Debur ombak menghantam tubuh gadis berpeluh darah. Puluhan ikan hiu mengelilingi tubuh seorang manusia dengan aroma lezat yang memanggil perut keroncongan mereka. Arus laut yang semakin kencang mengendurkan niat memakan santapan secara percuma. Para hiu berbalik ke dasar lautan. Mereka menjauh dari kapal di atas yang mulai bergoyang labil.
"Zahra."
Seekor lumba-lumba menarik tubuh gadis tak bertenaga menjauh dari kapal. Ringkihan seperti kayu berdecit mengurai ketegangan dalam hati kecil gadis yang bermimpi tentang kematian. Udara segar menyapa pernapasan yang sempat diserbu tajamnya air laut. Angin yang melintas mengeringkan wajahnya secara alami. Ia tidak mengira jika hidupnya akan berlanjut melalui perantara seekor lumba-lumba.
"Kau sudah sadar?"
Mata Zahra yang masih terpejam sontak membuka paksa. Ia terbatuk--memuntahkan air laut yang ingin mengisi kantong perut. Suara aneh dari dekat tidak memberinya jawaban. Matanya melirik seekor lumba-lumba yang berenang pelan di permukaan. Akal sehatnya mulai berperang dengan kesimpulan teraneh yang ia pikirkan.
"Kau... yang berbicara padaku?"
"Uhm. Aku lumba-lumba yang menolongmu."
Akal sehat Zahra tertampar jawaban hewan mamalia laut berwarna abu-abu cerah tidak berbentuk wujud manusia jadi-jadian apalagi robot buatan. Lumba-lumba baik hati membawa Zahra ke pesisir pantai. Lembayung pohon kelapa mulai melambai mengajak mereka mendekat. Namun sayang, lumba-lumba itu bukan siluman hewan yang mampu berubah wujud demi menemani perjalanan Zahra.
"Bagaimana bisa aku berbicara denganmu?!"
Zahra menangkup moncong lumba-lumba yang ingin segera pergi. Deruan ombak besar masih berpotensi berbahaya bagi ukuran manusia lemah. Darah yang mengaliri di leher Zahra terlihat semakin sedikit. Kendati demikian, luka itu perlu diobati.
"Aku tidak tau. Instingku memerintahkanku untuk menolongmu. Dan seekor burung merpati memberitahuku siapa namamu. Tidak kusangka, kau bisa berbicara bahasa kami."
"Bahasa kami?"
"Kau dapat berkomunikasi dengan hewan."
Tangan ringkih Zahra mulai mengendur. Ia begitu terkejut hingga jantungnya terasa berpindah tempat. Ini hal paling aneh yang pernah ia alami. Terbangun di tempat asing dan mendapatkan kekuatan yang begitu... konyol menurutnya.
"Aku akan pergi. Kau harus lebih berhati-hati dalam menjalani hidupmu."
Lumba-lumba baik hati mengibaskan ekornya. Ia pergi menuju lautan luas yang menjadi tempat tinggalnya.
"Terimakasih!" Zahra melambai. Walaupun ia tidak tahu harus bagaimana ia melanjutkan hidup di tempat asing.
"Syukurlah, kau selamat!"
Suara asing terdengar kembali. Kali ini berasal dari atas. Seekor burung merpati dengan bulu berwarna putih cerah hinggap di bahu Zahra. Tidak butuh waktu yang lama untuk memahami siapa yang bersuara sekarang. Mata kecil dengan paruh yang lumayan runcing mematuk kepala seorang gadis dengan rambut yang setengah mengering.
"Bagaimana bisa aku berbicara dengan kalian?" Zahra melirik merpati putih yang begitu sering membengkokkan kepala kenan lalu ke kiri. "Kau sedang sakit kepala?"
Andai saat ini beberapa manusia berlibur di pantai dengan sedikit amukan ombak. Mereka yang melihat Zahra mungkin akan tercengang bak orang dungu dan lugu. Atau hal yang lebih kasar lagi, menganggap gadis dengan rambut berantakan sedikit ikal bergelombang sebagai orang bodoh yang berbicara dengan burung merpati.
"Kau alami. Seperti kemampuan khusus yang diberikan padamu. Soal kebiasaanku, ini cukup normal untuk seekor burung sejenisku."
Byuuurrr
Ombak menghantam kaki Zahra. Suara gemuruh tidak lagi terdengar. Pupilnya membulat besar setelah melihat apa yang dibawa ombak. Seekor lumba-lumba berbeda warna dari yang sebelumnya mendorong seseorang dalam keadaan terbaring lemah.
"Kapten?!"
Tangan Zahra menutup mulutnya setelah tahu siapa manusia tak sadarkan diri yang dibawa lumba-lumba. Kakinya bergerak cepat mendekati manusia lemah tanpa tenaga dengan tubuh basah kuyup. Lumba-lumba yang membawa Bumyen--Kapten kapal mewah pergi kembali ke laut.
"Kau serius ingin menolong Kapten?"
"Entah, lha. Tetapi, meninggalkannya di sini juga bukan ide yang bagus."
Zahra menarik tangan Bumyen ke bawah pesisir. Wilayah dimana ombak tidak sampai menyentuh kulit mereka. Gemerisik angin masih terjaga dengan udara dingin yang tidak berteman.
"Dia bahkan yang membuatmu hampir celaka. Kenapa kita tidak meninggalkannya di sini? Itu lebih baik daripada mempersulit hidupmu. Bisa saja dia akan melakukan hal yang sama jika kau menolong Kapten."
Zahra menyibak bahunya. Merpati pergi menjauh dan beralih hinggap di pasir putih. "Lumba-lumba saja mau menolong orang lain menggunakan instingnya. Masa manusia tidak menggunakan akal untuk membantu sesama?!"
"Baiklah, terserah padamu. Aku tidak akan membantu banyak jika Kapten berbuat macam-macam."
Setidaknya tidak ada hasutan lagi untuk membuat niat baik Zahra terlaksana. Ia menyentuh dada Bumyen--menekan-nekannya dengan kuat untuk mengeluarkan air yang sudah terlanjur masuk ke dalam perut. Karena tidak kunjung berhasil, Zahra terpaksa memberikan napas buatan. Burung merpati putih yang menyaksikan pertolongan pada Kapten menutup matanya menggunakan sayap yang ia miliki.
"Memalukan!"
Usaha Zahra membuahkan hasil. Bumyen terbatuk hebat disusul muntahan air laut yang mengotori baju kunonya. Ia terdiam--setelah menatap mata bulat besar yang memandangnya tenang.
"Kau?!" Bumyen menunjuk Zahra. Tubuhnya beringsut mundur diikuti mata sipit yang sedikit melebar.
Merpati putih terbang dan kembali hinggap di bahu Zahra. "Dia menjadi aneh setelah kau menc--"
"Aku menolongnya!" Zahra berkata ketus. Sungguh, tidak ada niat bermacam-macam dengan Bumyen. Ia hanya mengusung jiwa kemanusiaan sesama makhluk ciptaan-Nya.
"Kau berbicara dengan siapa?!" Tubuh Bumyen bergetar. Terlebih ketika daun-daun di sekitar melambai kencang seperti diberi kekuatan supranatural. Padahal, secara harfiah mereka--daun-daun tertiup angin laut.
"Kapten, kau sudah selamat. Sekarang, bisakah kita berdamai?"
Zahra menjulurkan tangannya. Ia sangat berharap jika Bumyen akan menerima kesepakatan untuk membantunya pulang ke Indonesia. Namun sayang, Bumyen justru terjatuh pingsan ketika Zahra mencoba mendekat.
"Apakah dia mengira aku ini hantu?"
"Mungkin," jawab merpati putih. Bibir Zahra tak dapat dipaksa untuk tersenyum. Ia kembali mengusir burung menyebalkan itu dari bahunya.
"Aku akan menunggunya kembali sadar. Ah, apakah di sini ada tempat penginapan?"
Sangat berbahaya bagi seorang gadis dengan tubuh ringkih tak bertenaga kuat seperti Zahra berkeliaran di tempat asing seorang diri. Ia bisa saja mendapat serangan tidak terduga dari manusia atau pun alam. Dan juga, seseorang yang kini menjadi tanggung jawabnya. Biar pun Bumyen pernah kejam, tetapi ia tidak bisa meninggalkan lelaki itu begitu saja. Bumyen masih dibutuhkan sebagai pengantar pulang. Untuk sekali saja, Zahra ingin memanfaatkan orang lain demi kebutuhannya. Dia ingin kembali menemui keluarga dan sahabatnya--Ant.
"Tidak tau. Aku belum pernah ke sini sebelumnya."
Zahra mendesah kecewa. Haruskah ia menelusuri hutan demi mendapatkan ranting kering agar nantinya digunakan untuk menghangatkan diri? Ia bahkan tidak pernah mengikuti ekstrakurikuler Pramuka ketika sekolah. Sangat asing baginya menjejalah alam seorang diri di tengah-tengah ketidakkenalan terhadap lingkungan di sekitar.
"Tetapi, aku mungkin bisa membawakan kuda untukmu. Kau bisa menunggang kuda, kan?"
"Tidak bisa. Tetapi, jika aku bisa berbicara pada mereka, bukankah hal itu menjadi lebih mudah? Mereka bisa membawaku tanpa harus kupaksa menggunakan tali dan semacamnya agar mereka bergerak."
"Tidak semudah itu. Mereka cukup sulit diajak berkompromi terlebih pada orang yang baru mereka kenal."
"Apa gunanya merpati sepertimu ada di sini? Jadilah berguna dengan membuat mereka membantuku mencari jalan keluar!"
Kata-kata Zahra mungkin terdengar kasar. Namun merpati putih tidak membalas bentakan seorang gadis ringkih yang memiliki rambut bergelombang. Ia pergi tanpa mengatakan apa pun pada Zahra. Sayapnya membentang lebar di angkasa. Sejenak, Zahra menyesal telah memerintahkan merpati putih tanpa kalimat yang pantas.
"Merpati! Kembalilah!"
Hanya angin yang menyahut kalimat Zahra. Wujud hewan itu sudah punah membawa rasa penyesalan yang tak berkesudahan. Kini ia sendiri, tidak termasuk Bumyen yang masih terlelap dalam mimpi baru. Deburan ombak saling menghantam. Mereka berebut sampai ke tepian. Hanya itu yang menjadi teman Zahra saat ini. Begitu sepi, tanpa teman bicara.
***
Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata."Uhuhk!"Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang."Kau sudah sadar, Kapten?"Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu."Jangan takut, aku bukan hantu."Kini gadis dengan rambut b
Sementara itu, jauh di dalam wilayah Cina, tempat para penduduk ras Mongoloid bermukim. Selayar kapal terlipat serentak merapat di dekat dermaga. Kicau burung pelikan berdatangan mencari mangsa. Rombongan pedagang turun dari kapal membawa barang-barang muatan. Dipan kayu terusung ke depan menghubungkan jalan menuju daratan."Tang, dimana Kapten? Bukankah hari ini kapalnya akan singgah?"Ling Yie--sahabat Tang Eng Kian yang datang menemani nampak risau. Sudah dari fajar subuh mereka menunggu. Namun, selayar kapal Bumyen tak berkipar di sekitaran dermaga. Mendadak, suara bising terdengar dari sebuah kapal mewah membawa lambang kerajaan. Para manusia berpakaian seragam turun mengiringi sosok lelaki berperawakan gagah, tetapi tak murah senyum. Kehadirannya hanya sekilas--tidak berbekas. Karena setelah itu, dia masuk ke dalam kereta kuda."Nampaknya dia orang penting," kata Ling beropini. "Mungkin dia seorang Panglima kerajaan. Kau tahu? Ba
Hans--kuda gagah yang tinggal di dalam hutan membawa Zahra dan seorang Kapten pesohor. Miko--burung merpati putih lelah untuk terbang. Ia bersembunyi di balik baju milik Zahra. Walaupun masih takut dengan status Zahra dan juga kemampuannya berbahasa binatang, Bumyen tetapi berusaha ikut demi menjemput Tan Eng Kian di daratan Cina."Zahra, apakah kau serius ingin mengantar Kapten Bum ke wilayahnya?" Hans mendadak bertanya.Zahra duduk di belakang Bumyen. Ia tetap mengangguk walaupun Hans tidak melihat jawaban itu. "Aku akan pergi ke kedutaan Indonesia di Cina. Kau akan mengantarku kan, Kapten?""Kedutaan? Nama apa itu?" Bumyen akhirnya bersuara setelah ribut dengan cara otaknya berpikir. "Zahra, aku rasa kau sedikit aneh. Namamu asing, dan... caramu menyebutkan nama-nama tempat juga sama. Sebenarnya ... kau ini apa?"Tawa Zahra membuncah. Kelinci hutan lekas bersembunyi di balik pepohonan. Mereka takut--Zahra adalah nenek pe
DUA PULUH TAHUN KEMUDIAN....Namaku Azzahra Rafasya. Tercatat sebagai salah satu Siswi di sebuah sekolah Darmawarga di Jakarta Selatan. Aku tahu, kisah ini begitu sulit untuk dicerna akal manusia. Bahkan, sampai detik ini pula aku tidak tahu mengapa aku ada di tempat ini. Tempat dimana pedang adalah senjata yang begitu berharga. Tidak akan ada seorang polisi yang menghadangmu di jalan jika kau membawa benda tajam sebanyak apa pun itu.Dua puluh tahun tinggal di masa ini, aku mendapatkan begitu banyak pengalaman. Termasuk, siapa aku di sini. Ingatan tentang Kinara yang disukai oleh seorang Pangeran Kerajaan selalu terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu spesifik apa Kinara dan hubungannya dengan, Pangeran Kerthabumi. Ya ampun, siapa yang akan menyangka jika aku mendiami tubuh gadis yang terkait dengan orang besar di era ini?Pernah terlintas di pikiranku. Apakah selama ini aku begitu mengacuhkan dunia di masa depan? Sehingga, Dia membawaku ke masa lalu? Entahlah.
Kata pepatuah tua, tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Sebab itu, perkenalan itu dibutuhkan. Namun, bagi seorang Zahra Rafasya tidak penting adanya tahu siapa orang yang sedang duduk di sebalah. Atau pun, siapa orang yang telah memuji walau sekilas kalimat. Dia sudah terbiasa hidup dalam keterasingan. Tidak di masa depan, di masa lalu, dan sekarang sama saja. Zahra begitu sulit membaur dengan bangsa manusia. Hanya orang-orang terpilih bagi Zahra yang bisa dekat dengan dirinya. Itu pun, karena ia dan seseorang itu memiliki sebuah keterkaitan."Seharusnya kau meminta maaf, Ra." Miko memberikan saran. Melihat wajah Raden yang memerah karena pukulan Zahra, pasti sangat tidak adil bagi seorang lelaki yang rela terjun ke dalam air demi menolong nyawa gadis tidak tahu diri itu. "Dia itu baik. Siapa yang tahu dia menggagalkan aksi bunuh dirimu?"Zahra memang berniat bunuh diri ratusan kali. Namun, yang tadi itu diluar rencananya. Dia tidak tahu jika akan mati t
Bukit di belakang kediaman rumah Bumyen menjadi satu-satunya penanda yang tidak akan Raden lupakan. Namun, wajah awet muda pemilik suara manja yang tidak henti membututi di belakang adalah hal yang sulit untuk Raden jabarkan.Gadis bernama Zahra itu mengendap-endap di balik semak dan pepohonan. Raden Patah mengetahui keberadaan Zahra dengan suara gaduh yang dia timbulkan. Anehnya, Zahra seperti orang bodoh yang tidak mengetahui ulahnya."Kinara? Bukankah dia sudah mati? Lalu, Kinara yang dimaksud gadis tadi mungkin adalah hantu jelman wanita itu?" Raden bermonolog. Sengaja karena ia ingin memancing gadis itu keluar."Sembarangan! Aku beneran Kinara, tau! Kamu enggak percaya?!" Zahra berkacak pinggang. Sesekali ia menggaruk kulitnya yang kemerahan digigit serangga. Pakaian Zahra yang hanya menggunakan lilitan jarit menjadi cukup terekspos bagi serangga yang ingin hinggap."Kemari," Raden berpaling walaupun ia meminta Zahra m
Mengingat keinginan Zahra untuk melaksanakan salat Raden pun memutuskan untuk membeli rukoh di pasar. Namun, tidak semudah yang dibayangkan. Zahra menolak ajakan Raden dengan dalih menjauhi para penduduk di desanya. Kendati demikian, Raden tidak patah arang. Ia membujuk Zahra, hingga gadis itu luluh dan memberanikan diri untuk ikut."Sebelum itu, aku harus meminta izin sama Bibi Galih."Raden mengangguk. Zahra terlihat bersemangat masuk ke dalam rumah Bumyen. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu Zahra. Ada yang berbeda dengan penampilan gadis aneh. Dia memakai selendang yang sengaja dililitkan di kepala untuk menutupi sebagian wajah. Raden tidak tahu, apa yang membuat gadis agresif bin aneh itu berusaha menutupi paras ayunya."Itu lebih baik." Raden memuji. Ia memimpin jalan, sedang Zahra berusaha membarengi langkanya. Namun, tidak pernah selalu kompak. Langkah Raden terlalu lebar dan cepat. Zahra menerima sikap Raden yang terlihat ti
Majapahit merupakan kerajaan besar yang berhasil mencetuskan nama Nusantara, hingga memperluas daerah kekusaannya. Semenjak kematian patih Gajih Mada, kerajaan itu hidup dalam berbagai keanekaragaman budaya. Para pendatang dari luar kerajaan dari Cina, India, Asia Tengah, dan Tenggara silih berganti menjalin kerjasama dengan kerajaan yang kini dipimpin oleh Raja Brawijaya V atau biasa dipanggil Raden Kertabhumi.Raja itu dikenal berhati lembut penuh kasih sayang. Terutama, pada seorang istrinya bernama Dewi Amarawati. Rakyat memanggilnya Putri Champa karena asal wanita berparas rupawan itu dari Kerajaan Champa.Kecantikan eloknya membuat hati Brawijaya tersihir untuk melakukan apa pun yang Putri Champa inginkan. Termasuk, menyingkirkan Putri Cina--Tan Eng Kian ke Palembamg karena eloknya yang menandingi Putri Champa. Ia seorang Muslimah yang diangkat sebagai Permaisuri kerajaan. Tidak hanya menduduki takhta singgasana Majapahit, ia juga meng