Awalnya Zahra begitu syok ketika terbangun dari ketidaksadarannya. Bagaimana tidak? Tahu-tahu saja ia sudah ada di sebuah ruangan pengap yang dipenuhi berbagai sayuran, buah-buahan, dan daging hewan yang tersimpan bersamaan dengan para orang asing yang memakai pakaian bergaya sangat kuno.
Saat itu ia berusaha untuk mengingat kapan terakhir kali ia sadar. Namun, semakin banyak mengingat ia justru merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Selain itu, hasilnya pun tidak jauh berbeda. Ia yakin jika beberapa menit yang lalu ia berusaha mendorong tubuh Dita menjauh dari tengah jalan. Lalu, mengapa sekarang ia ada di tempat yang asing ini? Malah dalam keadaan fisik yang sangat baik. Hanya saja, kulitnya terlihat kusam dengan perutnya yang merasa keroncongan.
Zahra tidak pernah mengira jika kehadirannya di dalam ruangan minim cahaya dan pelita adalah ancaman bagi mereka. Bahkan setelah mendengar bahasa yang keluar dari mulut mereka, Zahra kian syok. Terlebih, ketika ia diikat dan diserbu berbagai pertanyaan menggunakan bahasa Mandarin. Itu lebih mengerikan ketimbang tidak tahu apa-apa dengan kondisinya. Di sekolah ia hanya mempelajari bahasa Inggris. Maklum, sekolahnya bukan sekolah elit kaum konglomerat.
"Tidak bisakah kita berdiskusi?"
Chan--orang yang membawa Zahra tidak menjawab. Ia mendorong Zahra ke tepian kapal. Sontak hal itu menjadi tontonan para awak kapal yang lainnya. Gelombang lautan ikut berdesir menertawakan kesengsaraan gadis malang yang terlihat begitu lugu dengan wajah kebingungan.
"Ini resiko yang kau ambil karena sudah berani menyusup ke kapal kami." Chan membiarkan seorang gadis terjelungup di dekat kayu condong yang hanya sebesar tiga jengkal orang dewasa.
"Aku bukan penyusup! Sudah kukatakan aku ini pelajar dari Indonesia yang tersesat di dalam kapal kalian!"
Chan bahkan menarik ujung bibirnya setelah mendengar kata Indonesia. Seumur hidup ia menjelajah negeri, tak pernah satu orang pun menyebut nama negeri tersebut. Kumis tipisnya tersapu angin--bergerak mengikuti decihan dari mulutnya.
"Kau belajar di mana, Nona? Jangan asal bicara apalagi mencoba menipu kami."
Masya Allah....
Zahra heran mengapa orang-orang ini tidak tahu negaranya? Bahkan mereka terlihat begitu bingung ketika ia menyebut nama Indonesia. Padahal selama ini Zahra yakin. Negaranya telah mendunia! Hasil alamnya yang melimpah, prestasi generasi bangsa yang gemilang, dan sejumlah tempat yang begitu memanjakan mata. Kenapa mereka masih tabu dengan negaranya?
"Bali! Kau tahu, kan? Pulau dewata itu salah satu wilayah di negaraku!"
Zahra kira tidak ada salahnya menyebut nama Bali. Toh, memang tidak bisa dipungkiri lagi jika Bali adalah salah satu ikon Indonesia yang begitu tersohor. Walaupun banyak kebanggan lainnya, ia tidak dapat meminta waktu banyak untuk menaruhkan hidup di tangan lelaki berwajah oriental yang sudah siap mendorongnya kian dekat dengan air laut.
"Aku melakukan ini bukan atas kemauanku. Tetapi ini lebih baik ketimbang menerima resiko yang lebih buruk."
Sekali lagi, gelombang besar menyapu kapal. Kali ini air sampai ke dalam dan hampir membuat tubuh Zahra yang tertunduk lesu basah sebagian. Chan--lelaki kurus dengan pedang di pinggangnya mundur beberapa langkah setelah gelombang kedua menyusul.
Byar
Gadis dengan tubuh terikat itu tidak dapat berkutik melawan keganasan gelombang. Senyap--ketika para awak kapal melihat tubuhnya yang termandikan air laut. Perasaan tak mengenakan hati mulai menghantui pikirannya. Suara gemuruh terdengar riuh di atas langit. Angin menyapu helaian rambut dengan begitu kasar menghilangkan percikan air yang sempat menyentuh tubuh.
"Tsunami!"
Chan menarik padangnya ketika Zahra mencoba mendekat. Ia merangkak meneriakan kata tsunami di hadapan para orang-orang yang memandangnya takut. Mereka bersembunyi dari balik benda-benda besar. Tak termasuk Chan yang kini menodongkan pedang tepat di wajah Zahra.
"Kau berbicara apa?"
"Tsunami! Gelombang besar akan membalikkan kapal ini jika kalian tidak melakukan sesuatu!"
Para awak kapal di sana--terkecuali Chan tidak mengetahui apa yang Zahra ucapkan. Wajar saja, hanya Chan dan Bumyen orang yang bisa berbahasa asing di kapal itu. Selebihnya, hanya beberapa saja yang mereka kuasai. Letak kekuasaan begitu mengekang niat belajar mereka. Tidak bebas, tetapi dapat memiliki beberapa keterampilan adalah salah satu mereka bisa dan berkeinginan bekerja pada penguasa.
Melihat gadis terikat yang merunduk dengan tubuh goyah ke belakang--mereka menanti kapan angin menjerumuskan gadis penyusup kapal ke dalam perut hiu.
"Kami sudah terbiasa menghadapi gelombang seperti itu." Chan semakin mendekatkan pedangnya ke arah jantung Zahra. Para karnivora laut telah berputar menunggu kapan Chan melemparkan jatah makanan mereka ke bawah.
"Bagaimana caranya?" Zahra penasaran. Biar pun nyawanya telah menjadi sebuah sengketa yang diperebutkan para hiu kelaparan, ia tidak pernah mengatakan putus asa dalam hati kecil yang ia miliki.
"Kau tidak perlu ta--"
"Biarkan dia yang menjelaskan," kata Bumyen memecah kegentingan diantara Chan dan Zahra. Langkah Bumyen disambut gemerisik angin yang berebut membelai rambut panjang terikat menawan.
"Kalian tidak boleh meneruskan perjalanan ini! Bawa kapal menjauh dari pantai, bila perlu putar haluan ke tengah lautan! Itu akan memperkecil risiko bahayanya."
Tidak seorang pun yang mengatakan wow, wah, sejenis ungkapan pujian untuk ide yang tak pernah mereka lakukan. Bumyen merasakan sesuatu menggigit ujung jarinya. Ia berpendar--melihat burung merpati kecil yang kini hinggap di bahu gadis penyusup.
"Kau hanyalah seorang penyusup yang ingin mengeruk keuntungan dari kami!"
Suara Zahra tertahan oleh irisan pedang yang menebas kulis lehernya. Bukan Chan, melainkan Bumyen yang melempar sebuah suriken dengan gerakan kilat tanpa pemanasan dan mediasi terlebih dahulu. Aura sinis bersatu dengan gemuruh dan petir yang saling menyambar membunuh kebaikan di mata Bumyen bagi Zahra.
"Lompat!"
Suara kecil mengusik gendang telinga Zahra yang hampir terpecah karena sekali lagi Bumyen melemparkan suriken yang menancap ke bahunya.
Cring
"Lompat!"
Bibir Bumyen dan Chan tidak bergerak dan terbuka. Begitu pula para awak kapal yang hanya diam bersembunyi menahan diri dari suriken Bumyen yang tak dapat mereka hindari. Zahra yakin, suara itu begitu asing dan terdengar sangat kecil.
"Lompat!"
"Kemana?" Anehnya Zahra menjawab suara kecil yang terus-terusan membisikkan kata yang sama.
"Dari mana asalmu? Kau seorang penyusup dengan burung merpati yang berusaha mencelakaiku?"
Urat nadi Bumyen menonjol tatkala ia mencengkram pipi Zahra. Merpati adalah simbol komunikasi baginya. Melewati burung yang memiliki kisah romantis itu, ia dapat bertukar kabar dengan orang mana pun. Melihat bagaimana burung kecil itu duduk di sebelah gadis penyusup dengan begitu tentramnya, ia dapat memperkirakan jika Mutiara adalah orang suruhan dari musuhnya.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan siapa diriku. Nyawa orang-orang di kapal ini berada dalam bahaya!"
Pipi gadis penyusup memerah setelah udara dingin mulai mengusai kapal. Ia begitu kekeh terhadap analisisnya setelah melihat kumpulan burung-burung terbang di atas mereka menuju arah Selatan.
"Kau lihat itu?" Zahra menunjuk para burung dengan matanya. "Mereka sudah memperingati kalian. Apakah kalian benar-benar tidak tau apa itu tsunami?!"
Tidak ada jawaban. Udara terasa semakin mencekam kulit. Persendian seketika berubah kaku dan gigi ingin bersentuhan satu sama lain.
"Chan, biarkan dia turun."

Hanya ilustrasi. Hidupkan data kalo mau tau gimana Bumyen. (Sumber Pinterest)
Bumyen berbalik ke ruang kerjanya. Derap langkah yang ingin ditolak telinga Zahra. Bayangan Bumyen yang semakin menjauh menusuk hati kecilnya yang ingin bertahan hidup. Namun sayang, Chan hanyalah seorang pesuruh Bumyen. Ia mendekati tubuh mungil Zahra yang lusuh dengan rambut setengah kering dibantu angin.
"Jika aku mati, kalian akan menyesal! Aku mengutuk kapal ini dan orang-orang yang tinggal di dalamnya!"
Jduaarr
Mutiara memekik setelah petir menyambut sumpah yang ia ucapkan. Chan berang, sedangkan para awak kapal sibuk menyaksikan kapan gadis penyusup kapal terjatuh dan menjadi hidangan para hiu kelaparan.
"Kau yang akan menyesal setelah menyumpah kami."
Chan mendorong tubuh Zahra yang berlumur darah. Nadinya terselamatkan oleh kalung mungil berbentuk hati yang ia pakai. Hanya saja, kini kalung itu hilang setelah Bumyen menebasnya menggunakan suriken.
"Selamat tinggal, gadis penyusup."
Kayu yang lebarnya tiga jengkal itu berdenyut setelah Zahra memijaki kakinya di sana. Ia menatap ke bawah--membayangkan cara kematian paling ironi yang bahkan tidak pernah ia bayangkan seumur hidup.
"Kalian tidak akan pernah tenang setelah membuatku kehilangan nyawa!"
Apa pun yang Zahra sampaikan tidak akan membuat keputusan Chan goyah. Bukan pedang Chan yang menjatuhkan Zahra ke laut, melainkan angin yang memihak kapal Bumyen.
"Aaaaaaa!"
Byur
Jejak darah tertinggal di atas kayu tiga jengkal. Chan tidak ingin melihat bagaimana hiu mengoyak gadis itu di dalam air laut. Ia hanya pergi bertindak seolah-olah baru saja tidak ada orang yang mengakhiri nyawanya di sana.
Namun, belum lama ia berjalan menuju ruang Bumyen, sebuah gelombang besar datang menyapu isi kapal. Para awak kapal menjerit. Mereka bergotong royong membuang isi air yang hampir memenuhi geladak kapal.
"Kapten!" Pelayan menunduk setelah Bumyen keluar dari ruang kerjanya. Ia begitu terkejut ketika melihat isi kapal yang terporak-poranda diembas ganasnya gelombang air laut.
Byurr
"Aaaaaaa!"
Gelombang lebih besar sudah lebih dulu membalikkan kapal besar milik Bumyen. Mereka berusaha berenang di tengah lautan menyelamatkan diri. Namun sayang, sumpah Zahra telah mengutuk kapal mewah yang dimiliki Bumyen menjadi sebuah kapal terbengkalai--tenggelam di dasar laut dengan para jasad awak kapal.
***
Debur ombak menghantam tubuh gadis berpeluh darah. Puluhan ikan hiu mengelilingi tubuh seorang manusia dengan aroma lezat yang memanggil perut keroncongan mereka. Arus laut yang semakin kencang mengendurkan niat memakan santapan secara percuma. Para hiu berbalik ke dasar lautan. Mereka menjauh dari kapal di atas yang mulai bergoyang labil."Zahra."Seekor lumba-lumba menarik tubuh gadis tak bertenaga menjauh dari kapal. Ringkihan seperti kayu berdecit mengurai ketegangan dalam hati kecil gadis yang bermimpi tentang kematian. Udara segar menyapa pernapasan yang sempat diserbu tajamnya air laut. Angin yang melintas mengeringkan wajahnya secara alami. Ia tidak mengira jika hidupnya akan berlanjut melalui perantara seekor lumba-lumba."Kau sudah sadar?"Mata Zahra yang masih terpejam sontak membuka paksa. Ia terbatuk--memuntahkan air laut yang ingin mengisi kantong perut. Suara aneh dari dekat tidak memberinya jawaban. Matanya melirik seekor lumba-lumb
Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata."Uhuhk!"Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang."Kau sudah sadar, Kapten?"Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu."Jangan takut, aku bukan hantu."Kini gadis dengan rambut b
Sementara itu, jauh di dalam wilayah Cina, tempat para penduduk ras Mongoloid bermukim. Selayar kapal terlipat serentak merapat di dekat dermaga. Kicau burung pelikan berdatangan mencari mangsa. Rombongan pedagang turun dari kapal membawa barang-barang muatan. Dipan kayu terusung ke depan menghubungkan jalan menuju daratan."Tang, dimana Kapten? Bukankah hari ini kapalnya akan singgah?"Ling Yie--sahabat Tang Eng Kian yang datang menemani nampak risau. Sudah dari fajar subuh mereka menunggu. Namun, selayar kapal Bumyen tak berkipar di sekitaran dermaga. Mendadak, suara bising terdengar dari sebuah kapal mewah membawa lambang kerajaan. Para manusia berpakaian seragam turun mengiringi sosok lelaki berperawakan gagah, tetapi tak murah senyum. Kehadirannya hanya sekilas--tidak berbekas. Karena setelah itu, dia masuk ke dalam kereta kuda."Nampaknya dia orang penting," kata Ling beropini. "Mungkin dia seorang Panglima kerajaan. Kau tahu? Ba
Hans--kuda gagah yang tinggal di dalam hutan membawa Zahra dan seorang Kapten pesohor. Miko--burung merpati putih lelah untuk terbang. Ia bersembunyi di balik baju milik Zahra. Walaupun masih takut dengan status Zahra dan juga kemampuannya berbahasa binatang, Bumyen tetapi berusaha ikut demi menjemput Tan Eng Kian di daratan Cina."Zahra, apakah kau serius ingin mengantar Kapten Bum ke wilayahnya?" Hans mendadak bertanya.Zahra duduk di belakang Bumyen. Ia tetap mengangguk walaupun Hans tidak melihat jawaban itu. "Aku akan pergi ke kedutaan Indonesia di Cina. Kau akan mengantarku kan, Kapten?""Kedutaan? Nama apa itu?" Bumyen akhirnya bersuara setelah ribut dengan cara otaknya berpikir. "Zahra, aku rasa kau sedikit aneh. Namamu asing, dan... caramu menyebutkan nama-nama tempat juga sama. Sebenarnya ... kau ini apa?"Tawa Zahra membuncah. Kelinci hutan lekas bersembunyi di balik pepohonan. Mereka takut--Zahra adalah nenek pe
DUA PULUH TAHUN KEMUDIAN....Namaku Azzahra Rafasya. Tercatat sebagai salah satu Siswi di sebuah sekolah Darmawarga di Jakarta Selatan. Aku tahu, kisah ini begitu sulit untuk dicerna akal manusia. Bahkan, sampai detik ini pula aku tidak tahu mengapa aku ada di tempat ini. Tempat dimana pedang adalah senjata yang begitu berharga. Tidak akan ada seorang polisi yang menghadangmu di jalan jika kau membawa benda tajam sebanyak apa pun itu.Dua puluh tahun tinggal di masa ini, aku mendapatkan begitu banyak pengalaman. Termasuk, siapa aku di sini. Ingatan tentang Kinara yang disukai oleh seorang Pangeran Kerajaan selalu terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu spesifik apa Kinara dan hubungannya dengan, Pangeran Kerthabumi. Ya ampun, siapa yang akan menyangka jika aku mendiami tubuh gadis yang terkait dengan orang besar di era ini?Pernah terlintas di pikiranku. Apakah selama ini aku begitu mengacuhkan dunia di masa depan? Sehingga, Dia membawaku ke masa lalu? Entahlah.
Kata pepatuah tua, tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Sebab itu, perkenalan itu dibutuhkan. Namun, bagi seorang Zahra Rafasya tidak penting adanya tahu siapa orang yang sedang duduk di sebalah. Atau pun, siapa orang yang telah memuji walau sekilas kalimat. Dia sudah terbiasa hidup dalam keterasingan. Tidak di masa depan, di masa lalu, dan sekarang sama saja. Zahra begitu sulit membaur dengan bangsa manusia. Hanya orang-orang terpilih bagi Zahra yang bisa dekat dengan dirinya. Itu pun, karena ia dan seseorang itu memiliki sebuah keterkaitan."Seharusnya kau meminta maaf, Ra." Miko memberikan saran. Melihat wajah Raden yang memerah karena pukulan Zahra, pasti sangat tidak adil bagi seorang lelaki yang rela terjun ke dalam air demi menolong nyawa gadis tidak tahu diri itu. "Dia itu baik. Siapa yang tahu dia menggagalkan aksi bunuh dirimu?"Zahra memang berniat bunuh diri ratusan kali. Namun, yang tadi itu diluar rencananya. Dia tidak tahu jika akan mati t
Bukit di belakang kediaman rumah Bumyen menjadi satu-satunya penanda yang tidak akan Raden lupakan. Namun, wajah awet muda pemilik suara manja yang tidak henti membututi di belakang adalah hal yang sulit untuk Raden jabarkan.Gadis bernama Zahra itu mengendap-endap di balik semak dan pepohonan. Raden Patah mengetahui keberadaan Zahra dengan suara gaduh yang dia timbulkan. Anehnya, Zahra seperti orang bodoh yang tidak mengetahui ulahnya."Kinara? Bukankah dia sudah mati? Lalu, Kinara yang dimaksud gadis tadi mungkin adalah hantu jelman wanita itu?" Raden bermonolog. Sengaja karena ia ingin memancing gadis itu keluar."Sembarangan! Aku beneran Kinara, tau! Kamu enggak percaya?!" Zahra berkacak pinggang. Sesekali ia menggaruk kulitnya yang kemerahan digigit serangga. Pakaian Zahra yang hanya menggunakan lilitan jarit menjadi cukup terekspos bagi serangga yang ingin hinggap."Kemari," Raden berpaling walaupun ia meminta Zahra m
Mengingat keinginan Zahra untuk melaksanakan salat Raden pun memutuskan untuk membeli rukoh di pasar. Namun, tidak semudah yang dibayangkan. Zahra menolak ajakan Raden dengan dalih menjauhi para penduduk di desanya. Kendati demikian, Raden tidak patah arang. Ia membujuk Zahra, hingga gadis itu luluh dan memberanikan diri untuk ikut."Sebelum itu, aku harus meminta izin sama Bibi Galih."Raden mengangguk. Zahra terlihat bersemangat masuk ke dalam rumah Bumyen. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu Zahra. Ada yang berbeda dengan penampilan gadis aneh. Dia memakai selendang yang sengaja dililitkan di kepala untuk menutupi sebagian wajah. Raden tidak tahu, apa yang membuat gadis agresif bin aneh itu berusaha menutupi paras ayunya."Itu lebih baik." Raden memuji. Ia memimpin jalan, sedang Zahra berusaha membarengi langkanya. Namun, tidak pernah selalu kompak. Langkah Raden terlalu lebar dan cepat. Zahra menerima sikap Raden yang terlihat ti