Suara kicau burung nyaring terdengar di tengah lautan lepas. Sebuah kapal dagang yang mengangkut barang-barang berlayar menuju daratan terdekat. Kapten kapal memberikan intrupsi untuk membentangkan selayar. Mereka butuh dorongan angin yang lebih kuat agar cepat sampai ke tempat tujuan.
"Kapten, ada surat dari tuan Putri Tang."
Lelaki berkumis tipis dengan rambut panjang sepinggang itu mengambil sebuah amplop dari tangan pelayannya.
"Kembalilah bekerja."
"Baik, Kapten."
Satu-satunya lelaki paling dihormati dalam kapal itu berjalan menuju kamarnya. Ia begitu gembira mendapat surat dari orang yang ia cinta. Sudah setahun lamanya ia pergi dari Cina mengembara ke beberapa wilayah di dunia. Ia berniaga dan bertemu dengan orang-orang penting tiap singgah ke daerah mereka. Kendati demikian, tidak membuatnya lupa akan cinta yang ia tinggal di tempat asal.
"Kian," panggilnya. Ia membuka amplop tersebut. Barisan huruf mandarin menyapanya. Tak butuh waktu lama untuk membuat Kapten tersenyum.
Angin berbisik padaku tiap purnama. Dibelainya wajahku yang muram karenamu. Dedaunan kering berkeremis ketika kupijak. Mereka menyanyikanku lagu, tetapi tak semerdu suara langkahmu. Kini, ketika musim semi datang, burung berkicau memberiku kehangatan dalam senyap di petang gulita. Kau datang, kata surat yang tertulis di bawah kaki merpati.
Kapten Bum menahan senyum hanya dengan membaca goresan tulisan Tang Eng. Ia kembali membaca isi surat itu setelah mengendalikan diri agar tidak terlihat seperti orang gila.
Aku benar-benar yakin dengan janji yang kau ucapkan dulu. Kau akan menjemputku, membawaku, dan memulai semua cerita kita dari awal. Aku selalu meyakini itu, dan semoga Allah meluruskan niatmu. Aku menunggumu, Bumyen.
Bumyen meletakkan surat dari Tang ke atas meja kerjanya. Ia mendudukkan dirinya di atas kursi. Bumyen--pemuda gagah dengan kulit putih itu menatap lukisan Tang yang terpajang indah memenuhi dinding ruang kerja sekaligus tempat istirahatnya.
"Kian, aku akan menjemputmu."
Bumyen sangat merindukan Tang Eng Kian. Hari-hari di mana mereka menghabiskan waktu berdua dengan berlari di tepi pantai. Tang bukan seorang gadis biasa. Butuh waktu yang sangat lama untuk bertemu gadis itu.
"Kapten!"
Bumyen menatap awak kapalnya yang datang tergopoh-gopoh membawa sebuah kapak. "Ada apa?"
"Seorang penyusup, Kapten! Dia ada di ruang persediaan makanan. Koki Lee telah mengikatnya di bawah sana!"
Penyusup adalah ancaman serius yang harus segera ditangani. Bumyen tak pernah main-main dalam menghadapi musuhnya. Mereka mengganggu, itu artinya mereka mengibarkan bendera perang!
Bumyen mengikuti langkah awak kapalnya. Ia menuruni tangga, lalu berhenti tepat setelah melihat seorang wanita dengan pakaian lusuh terikat di tiang.
"Kalian sudah mendapatkan informasi apa saja darinya?"
Para awak kapal Bumyen--terutama yang bekerja di bagian bawah menggeleng bersamaan.
"Kami tidak mengerti bahasa apa yang dia pakai, Kapten."
Bumyen mengernyit. Ia berjalan mendekati seorang wanita yang dituduh sebagai seorang penyusup itu. Rambutnya berantakan, ia menunduk lesu seperti orang kelaparan. Mulutnya disekap-- karena ia telah banyak membuat keributan.

"Hei."
Usai membebaskan mulut gadis itu, Bumyen berganti menelisik tiap jengkal wajah yang ada di depannya. Penyusup itu mendongak sedikit. Bumyen mengangkat kepala penyusup itu yang terkesan menutupi siapa dirinya. Mata bulat besar dengan hidung pesek dan bibir mungil namun berisi menjadi ciri khas wanita itu. Matanya yang besar terlihat sangat lesu ketika berjumpa pandang dengan Bumyen.
"Aku orang baik, Tuan!" Gadis itu memiliki pita suara yang tajam meski bibirnya kering. "Namaku Zahra, dan aku tidak mengerti apa yang kalian ucapkan."
"Kau dari bangsa Melayu?" Bumyen masih tak melepaskan tangannya dari pipi penyusup itu. Kulitnya yang sedikit coklat begitu kontras dengan kulit Bumyen yang berwarna putih bersih.
"Aku dari Sumatra, dan aku orang Indonesia. Aku tidak bisa berbahasa Mandarin."
Pengalaman sebagai seorang pengembara membuat Bumyen bisa berbicara dalam beberapa bahasa. Namun ia baru mendengar logat bahasa yang diucapkan gadis itu. Sama seperti bahasa Melayu, tetapi cukup berbeda dalam pelafalannya.
"Bawa dia ke ruang kerjaku."
Para awak kapal sontak terkejut. Mereka saling lempar pandang. Tidak mengerti mengapa Bumyen seberani itu membawa penyusup ke dalam tempat yang begitu penting baginya.
"Tunggu apa lagi?! Cepat bawa dia!"
"Baik, Kapten!"
Bumyen meninggalkan penyusup itu. Ia menunggu para pekerjanya membawa wanita tadi ke ruangan pribadinya. Tinggi wanita itu bahkan sebatas dadanya. Melihat secara fisik, Bumyen ragu jika wanita itu benar-benar seorang penyusup.
Terlebih, dengan cara berbicaranya yang berbeda dari kebanyakan orang. Baru kali ini Bumyen tahu bahasa Melayu dengan pelafalan seperti itu. Juga sebuah tempat bernama Indonesia.
"Kapten, kami akan masuk."
"Ya."
Wanita itu didudukkan di depan Bumyen. Tangannya masih terikat, bajunya begitu lusuh dengan rambut yang terurai.
"Kau satu-satunya orang yang mengerti bahasaku. Hanya kau yang dapat menolongku di sini."
Bumyen tidak tahu maksud wanita di depannya. Ia masih terlihat sangat muda. Mungkin umurnya masih sekitar dua puluhan kurang. Hal itu kian menambah kuat kesimpulannya mengenai wanita itu.
"Zahra, kau... ingin makan?"
Zahra mengangguk. Bumyen berdiri membawakan wanita itu beberapa buah-buahan. Karena tangan Mutiara terikat, Bumyen terpaksa menyuapi wanita di depannya.
"Sudah berapa lama kau ada di kapalku?"
Mutiara menggeleng sembari mengunyah makanannya. "Aku tidak tahu. Aku bahkan terkejut setelah tahu aku ada di sini."
Bumyen tertawa mendengar alasan tak masuk akan dari mulut Zahra. Ia membiarkan gadis itu mengenyangkan perutnya terlebih dahulu. Biar pun Bumyen sangat anti musuh, tetapi ia masih memiliki sisi manusiawi terhadap mereka--musuhnya.
"Kau sangat baik!" Zahra tersenyum setelah menghabiskan seluruh buah-buahan milik Bumyen.
"Kambing harus diberi makan yang banyak sebelum disembelih, bukan?"
"Maksudmu, kau akan menyembelihku?!"
Bumyen meletakkan telunjuknya di atas dagu. Ia mengernyit sembari menatap tubuh Zahra dari bawah hingga ke atas.
"Sangat cocok!"
Zahra tercekat. Ia bahkan masih kebingungan dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Bagaimana ia berakhir di dalam sebuah kapal? Dan mengapa ia bisa terbawa oleh kapal yang diisi oleh orang yang berbicara bahasa Mandarin?
"Makan daging manusia itu haram, tau!"
"Siapa yang ingin memakan dagingmu? Lebih baik aku menyumbangkannya ke hiu."
"Membunuh itu juga haram!"
"Kapan aku pernah bilang ingin membunuhmu?"
"Tad--yang kambing-kambing itu apa?!"
"Kau menyamakan dirimu dengan kambing? Aaahh, atau kau bosan menjadi manusia dan ingin menjadi kambing?"
"Aaarrgghh! Bukan!"
Andai tangan Zahra tidak terikat, ia sudah pasti menjambak rambutnya. Kapten yang disapa Bumyen itu seperti orang paling menjengkelkan yang pernah ia temui.
"Kau sangat cocok untuk menjadi pelayanku."
"Hah, pelayan?! Eh Kapten yang rambutnya enggak pernah di pangkas, aku ini pelajar SMA yang masih aktif di sekolah! Dan sekarang aku terjebak di sini. Dan juga, jangan tanya kenapa dan bagaimana aku bisa ada di kapal ini!"
Bumyen melipat tangannya. Ia duduk di atas meja--menatap mata bulat besar milik Zahra. Bibirnya yang mungil namun berisi terlipat ke dalam. Ia menikmati wajah kesal Zahra. Biarpun bahasanya terdengar aneh dan sedikit asing, Bumyen masih bisa memahami apa yang lawan bicaranya sampaikan.
"Kau ingin menjadi pelayanku atau tahananku?" Bumyen memberikan penawaran. Zahra masih memasang wajah kesal melihat orang yang berlagak jumawa di depannya.
"Bisa tolong lepaskan ikatanku? Kau bisa ditahan oleh KPAI atas tindak kekerasan kepada anak di bawah umur!"
"Apa itu KPAI?"
"Serius?! Kau tidak tau apa itu KPAI?"
Bumyen terdiam. Ia menarik dagu Zahra. "Berhenti berbicara tidak jelas. Aku akan mengirimmu ke dalam sel tahanan jika kau masih tidak menuruti perintahku."
"Aku berbicara dengan sangat jel--"
"Chan!" Bumyen memanggil nama seseorang. Tak lama setelah itu, seorang lelaki berwajah lebih muda darinya datang membawa sebuah pedang yang diletakkan di sebelah pinggul.
Zahra menelan salivanya dengan terpaksa. Ia ketakutan! Orang-orang di sekitarnya terlihat begitu kuno dan agresif. Bahkan Bumyen yang pernah bersikap tenang padanya berubah menjadi kejam dengan mencengkram wajah Zahra begitu kuat.
"Kapten Bum? Kenapa kau membawa gadis ini ke ruang kerjamu?"
"Tidak penting apa alasannya. Sekarang, bawa gadis ini pergi dari kapalku!"
"Pergi?"
"Buang dia ke laut!"
Zahra memekik. Dia menggeleng berulang kali, tetapi Bumyen tak menghiraukan sikapnya. Chan--orang kepercayaan Bumyen awalnya terdiam di tempat. Namun tak butuh waktu lama baginya untuk menuruti perintah Bumyen.
"Tolong, kumohon! Jangan lakukan ini padaku!
Bumyen tidak peduli ucapan Zahra. Bahkan ketika ia memberontak di tangan Chan. Ia tidak ingin ambil pusing mengenai gadis itu. Mau penyusup atau pun mata-mata, gadis itu tak lebih dari seorang wanita biasa di matanya. Namun sayang, Bumyen tidak ingin mengambil risiko. Sehingga, lebih baik ia membuang gadis itu di tengah lautan. Jika ia beruntung, mungkin seseorang akan menyelamatkannya.
***
Awalnya Zahra begitu syok ketika terbangun dari ketidaksadarannya. Bagaimana tidak? Tahu-tahu saja ia sudah ada di sebuah ruangan pengap yang dipenuhi berbagai sayuran, buah-buahan, dan daging hewan yang tersimpan bersamaan dengan para orang asing yang memakai pakaian bergaya sangat kuno.Saat itu ia berusaha untuk mengingat kapan terakhir kali ia sadar. Namun, semakin banyak mengingat ia justru merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Selain itu, hasilnya pun tidak jauh berbeda. Ia yakin jika beberapa menit yang lalu ia berusaha mendorong tubuh Dita menjauh dari tengah jalan. Lalu, mengapa sekarang ia ada di tempat yang asing ini? Malah dalam keadaan fisik yang sangat baik. Hanya saja, kulitnya terlihat kusam dengan perutnya yang merasa keroncongan.Zahra tidak pernah mengira jika kehadirannya di dalam ruangan minim cahaya dan pelita adalah ancaman bagi mereka. Bahkan setelah mendengar bahasa yang keluar dari mulut mereka, Zahra kian syo
Debur ombak menghantam tubuh gadis berpeluh darah. Puluhan ikan hiu mengelilingi tubuh seorang manusia dengan aroma lezat yang memanggil perut keroncongan mereka. Arus laut yang semakin kencang mengendurkan niat memakan santapan secara percuma. Para hiu berbalik ke dasar lautan. Mereka menjauh dari kapal di atas yang mulai bergoyang labil."Zahra."Seekor lumba-lumba menarik tubuh gadis tak bertenaga menjauh dari kapal. Ringkihan seperti kayu berdecit mengurai ketegangan dalam hati kecil gadis yang bermimpi tentang kematian. Udara segar menyapa pernapasan yang sempat diserbu tajamnya air laut. Angin yang melintas mengeringkan wajahnya secara alami. Ia tidak mengira jika hidupnya akan berlanjut melalui perantara seekor lumba-lumba."Kau sudah sadar?"Mata Zahra yang masih terpejam sontak membuka paksa. Ia terbatuk--memuntahkan air laut yang ingin mengisi kantong perut. Suara aneh dari dekat tidak memberinya jawaban. Matanya melirik seekor lumba-lumb
Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata."Uhuhk!"Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang."Kau sudah sadar, Kapten?"Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu."Jangan takut, aku bukan hantu."Kini gadis dengan rambut b
Sementara itu, jauh di dalam wilayah Cina, tempat para penduduk ras Mongoloid bermukim. Selayar kapal terlipat serentak merapat di dekat dermaga. Kicau burung pelikan berdatangan mencari mangsa. Rombongan pedagang turun dari kapal membawa barang-barang muatan. Dipan kayu terusung ke depan menghubungkan jalan menuju daratan."Tang, dimana Kapten? Bukankah hari ini kapalnya akan singgah?"Ling Yie--sahabat Tang Eng Kian yang datang menemani nampak risau. Sudah dari fajar subuh mereka menunggu. Namun, selayar kapal Bumyen tak berkipar di sekitaran dermaga. Mendadak, suara bising terdengar dari sebuah kapal mewah membawa lambang kerajaan. Para manusia berpakaian seragam turun mengiringi sosok lelaki berperawakan gagah, tetapi tak murah senyum. Kehadirannya hanya sekilas--tidak berbekas. Karena setelah itu, dia masuk ke dalam kereta kuda."Nampaknya dia orang penting," kata Ling beropini. "Mungkin dia seorang Panglima kerajaan. Kau tahu? Ba
Hans--kuda gagah yang tinggal di dalam hutan membawa Zahra dan seorang Kapten pesohor. Miko--burung merpati putih lelah untuk terbang. Ia bersembunyi di balik baju milik Zahra. Walaupun masih takut dengan status Zahra dan juga kemampuannya berbahasa binatang, Bumyen tetapi berusaha ikut demi menjemput Tan Eng Kian di daratan Cina."Zahra, apakah kau serius ingin mengantar Kapten Bum ke wilayahnya?" Hans mendadak bertanya.Zahra duduk di belakang Bumyen. Ia tetap mengangguk walaupun Hans tidak melihat jawaban itu. "Aku akan pergi ke kedutaan Indonesia di Cina. Kau akan mengantarku kan, Kapten?""Kedutaan? Nama apa itu?" Bumyen akhirnya bersuara setelah ribut dengan cara otaknya berpikir. "Zahra, aku rasa kau sedikit aneh. Namamu asing, dan... caramu menyebutkan nama-nama tempat juga sama. Sebenarnya ... kau ini apa?"Tawa Zahra membuncah. Kelinci hutan lekas bersembunyi di balik pepohonan. Mereka takut--Zahra adalah nenek pe
DUA PULUH TAHUN KEMUDIAN....Namaku Azzahra Rafasya. Tercatat sebagai salah satu Siswi di sebuah sekolah Darmawarga di Jakarta Selatan. Aku tahu, kisah ini begitu sulit untuk dicerna akal manusia. Bahkan, sampai detik ini pula aku tidak tahu mengapa aku ada di tempat ini. Tempat dimana pedang adalah senjata yang begitu berharga. Tidak akan ada seorang polisi yang menghadangmu di jalan jika kau membawa benda tajam sebanyak apa pun itu.Dua puluh tahun tinggal di masa ini, aku mendapatkan begitu banyak pengalaman. Termasuk, siapa aku di sini. Ingatan tentang Kinara yang disukai oleh seorang Pangeran Kerajaan selalu terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu spesifik apa Kinara dan hubungannya dengan, Pangeran Kerthabumi. Ya ampun, siapa yang akan menyangka jika aku mendiami tubuh gadis yang terkait dengan orang besar di era ini?Pernah terlintas di pikiranku. Apakah selama ini aku begitu mengacuhkan dunia di masa depan? Sehingga, Dia membawaku ke masa lalu? Entahlah.
Kata pepatuah tua, tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Sebab itu, perkenalan itu dibutuhkan. Namun, bagi seorang Zahra Rafasya tidak penting adanya tahu siapa orang yang sedang duduk di sebalah. Atau pun, siapa orang yang telah memuji walau sekilas kalimat. Dia sudah terbiasa hidup dalam keterasingan. Tidak di masa depan, di masa lalu, dan sekarang sama saja. Zahra begitu sulit membaur dengan bangsa manusia. Hanya orang-orang terpilih bagi Zahra yang bisa dekat dengan dirinya. Itu pun, karena ia dan seseorang itu memiliki sebuah keterkaitan."Seharusnya kau meminta maaf, Ra." Miko memberikan saran. Melihat wajah Raden yang memerah karena pukulan Zahra, pasti sangat tidak adil bagi seorang lelaki yang rela terjun ke dalam air demi menolong nyawa gadis tidak tahu diri itu. "Dia itu baik. Siapa yang tahu dia menggagalkan aksi bunuh dirimu?"Zahra memang berniat bunuh diri ratusan kali. Namun, yang tadi itu diluar rencananya. Dia tidak tahu jika akan mati t
Bukit di belakang kediaman rumah Bumyen menjadi satu-satunya penanda yang tidak akan Raden lupakan. Namun, wajah awet muda pemilik suara manja yang tidak henti membututi di belakang adalah hal yang sulit untuk Raden jabarkan.Gadis bernama Zahra itu mengendap-endap di balik semak dan pepohonan. Raden Patah mengetahui keberadaan Zahra dengan suara gaduh yang dia timbulkan. Anehnya, Zahra seperti orang bodoh yang tidak mengetahui ulahnya."Kinara? Bukankah dia sudah mati? Lalu, Kinara yang dimaksud gadis tadi mungkin adalah hantu jelman wanita itu?" Raden bermonolog. Sengaja karena ia ingin memancing gadis itu keluar."Sembarangan! Aku beneran Kinara, tau! Kamu enggak percaya?!" Zahra berkacak pinggang. Sesekali ia menggaruk kulitnya yang kemerahan digigit serangga. Pakaian Zahra yang hanya menggunakan lilitan jarit menjadi cukup terekspos bagi serangga yang ingin hinggap."Kemari," Raden berpaling walaupun ia meminta Zahra m