Iringan nyayian dalam bus menemani perjalanan wisata sebagai salah satu agenda pembelajaran kelas XI IPS A. Beberapa murid bersenandung merdu menunjukkan bakat vokal yang mereka miliki. Ada pun yang hanya sibuk menatap gadget--berselancar di sosial media, bermain game, dan berselfie ria di dalam bus. Para murid yang tidak mengikuti kegiatan selama perjalanan dikarenakan rasa pusing dan mual yang melanda.
"Hueekkk!"
Tidak jarang pula suara orang muntah terdengar. Mereka saling membatu memberikan minyak angin pada teman mereka yang tidak dapat menikmati perjalanan dengan tenang. Teman sebangku berbaik hati memijat leher ketika teman yang muntah sibuk mengeluarkan isi makanan ke dalam kantong plastik.
Berbagai momen dalam bus itu diabadikan oleh para fotografer dadakan yang tak lain adalah para murid itu sendiri. Hingga, kegiatan mereka terhenti ketika salah satu seorang murid berteriak histeris.
"Aaaaaa!"
"Zahra!" Ibu Tina memanggil salah satu murid bernama Zahra. Gadis imut dengan pipi yang tambum itu tersentak dari tidur.
Matanya tertutupi kain berwarna hitam. Ibu Tina datang menghampiri Zahra. Beliau menarik kain itu dari mata murid yang sudah membuat gadus seisi bus. Nampaklah sudah mata Zahra yang membengkak dan dikeliling warna hitam pada bagian tepi.
"Kamu bermimpi?"
Zahra melepas earphone yang masih mengeluarkan melodi merdu untuk didengar. Ia mengangguk sekilas--menatap para teman-teman sekelasnya yang memandang aneh.
"Maaf," kata Zahra. Ia mengalihkan perhatian ke arah hamparan sawah di tepi jalan. Ibu Tina mengerti--Zahra tidak sengaja membuat keributan. Dia hanya seorang anak pendiam yang tidak tertarik untuk bernyanyi bersama teman-teman sekelas.
"Mimpi apa sampai teriak kenceng gitu?" Ant--salah satu teman sekelas sekaligus tetangga Zahra penasaran. Ia duduk di sebelah jendela. Jelas saja wajah Zahra begitu terpampang jelas memantul dalam bayangan estetik. Terlebih, ketika matahari yang terbit dari arah Timur menyoroti mata bulat besar yang selalu kosong makna.
"Mimpi buruk." Zahra menjawab, tetapi tidak menatap Ant.

Nb : Ini lagi motret ecek-eceknya 😂
Ant mengambil earphone milik Zahra yang tergantung tak bertuan. Suara musik masih menyala dari benda bulat yang mampu menutupi telinga. Zahra tidak asing dengan sikap Ant yang selalu menganggap milik Zahra adalah barang kepunyannya. Lelaki berhidung bangir dengan dagu lancip itu tersenyum setelah memasang earphone Zahra dengan benar.
"Lir-ilir? Kamu enggak bosen denger lagu itu terus?"
"Enggak."
"Emang apa spesialnya sih, Ra? Tau sih lagunya emang nenangin batin, tapi kalo dengerin itu mulu kan jengah juga."
Tangan Zahra menggapai earphone di sebelah kiri Ant. Lantas ia memasangnya ke telinga. Mereka berbagi lagu--Zahra lebih tepatnya yang membiarkan Ant mendengar lagu yang sama.
"Aku kalo udah suka enggak bakal berpaling hati dari yang lain." Zahra kembali tidur. Namun kali ini ia membaringkan kepalanya di atas bahu Ant.
"Gimana kalo sebaliknya? Ada yang suka kamu dan dia enggak mau kalo bukan kamu."
Zahra diam. Ant tersenyum simpul memadang wajah gadis berparas manis dengan rambut ikal terurai di bahunya. Perjalanan terasa sangat menyenangkan ketika perasaan dalam hati mendukung tanpa menumbuhkan bibit-bibit buruk. Ibu Tina dan beberapa murid lainnya masih sibuk bernyanyi riang di belakang. Ant lebih memilih menikmati hamparan sawah yang nampak eksotis di matanya.
"Tidur, Ant."
Ant berpaling--mendapati Zahra yang tengah tersenyum dalam buaian mimpi. "Mimpi indah, Ra."
***
Rombongan pelajar tiba di kawasan Masjid Kudus. Sembari menanti waktu dzuhur yang masih tiga jam lagi, Ibu Tina mengajak anak didiknya duduk di pelantaran Masjid. Zahra baru saja keluar dari bus dengan mata bengkak dan rambut yang terlihat berantakan. Jika bukan Ant yang membangunkan, mungkin saat ini ia masih terlelap dalam mimpi.
"Ra, minggir dong!" Ant mendorong kening Zahra yang tidak mau lepas dari bahunya. "Malu diliatin yang lain!"
"Biarin! Aku masih ngantuk, tau!" Zahra bergelayut manja di tangan Ant. Mereka menjadi pusat perhatian para pengunjung Masjid yang datang.
"Kamu pake jilbab sana!"
"Enggak mau! Gerah!"
Para murid sedari tadi memang sudah memakai jilbab untuk menghargai para umat Islam yang berniat untuk beribadah di sana. Sebagian teman sekelas Zahra memang tidak memakai hijab, termasuk dirinya. Oleh sebab itu, Ibu Tina meminta para murid mempersiapkan hijab atau pun jilbab sebagai bentuk penghormatan dan sikap toleransi antar umat beragama.
"Tapi kamu bawa, kan?"
Zahra mengangguk. Ant menarik tangannya paksa dari jeratan Zahra. Cara itu berhasil membiarkan Zahra mengamuk di sebelah. Ant membalikkan tubuh Zahra. Ia membuka tas gadis itu lalu mencari keberadaan hijab yang katanya dia bawa.
"Mana? Kok enggak ada?"
"Di bawah buku!" seru Zahra, melipat tangannya di depan dada.
Ant berhasil menemukan hijab pashmina berwarna hitam. Ia kembali membalik tubuh Zahra. Lelaki beragama Hindu itu melilitkan hijab di kepala Zahra. Biar pun tidak Muslim, tetapi Ant tau bagaimana gadis Muslimah memakai hijab. Karena saudaranya adalah orang Islam, ia sering melihat bagaimana mereka memasang hijab.
"Nah, gini kan cantik!"
Zahra tidak berekspresi senang. Ia justru berjalan meninggalkan Ant.
"Ra, ayolah. Kamu kan Muslim, masa enggak suka pakai jilbab?"
Zahra berhenti. "Panas, gerah, dan enggak bebas tau!" Bentakan Zahra mengejutkan semua orang yang sedang melintas. Ant tertawa kecil. Dia mengusap kepala Zahra.
"Kalo udah biasa entar nyaman kok."
"Kamu tuh kepo banget, sih? Memangnya kamu pernah ngerasain?"
Ant memasang tudung jaket. Ia mengikat tali tudung sehingga kepalanya nampak tertutup seperti memakai hijab.
"Nih," tunjuknya ke arah kepala.
"Itu beda, Ant!"
"Kamu aneh deh. Ya jelas gerahan pake ini dong, Ra."
"Whatever! Your think not about me!"
"But, your look is wanna be good! Not for me, but for you."
"Stop, it!
"Aku ngomong gini karna kamu beneran oke pake jilbab, Ra."
"Bodo amat! Aku mau gabung sama yang lain."
"Kalo gitu sama aku. Yuk!"
Ant mengajak Zahra menuju rombongan. Tidak ada yang menyambut kedatangan mereka. Ibu Tina mengecek kehadiran para murid. Setelah dirasa lengkap, beliau mulai membimbing para murid untuk mengetahui kegiatan apa saja yang mereka lakukan selama study tour.
"Alhamdulillah, ya anak-anak. Kita sudah sampai di tempat tujuan dalam keadaan sehat tanpa kekurangaan suatu apa pun."
"Apanya yang sehat? Badan udah kayak orang demam gini, kok!" Zahra mengomentari dalam hati. Ia mengipas wajahnya menggunakan kipas mini.
"Puji syukur kita ucapkan pada Allah subhana wata'alla yang telah memberikan kita nikmat dan semoga apa yang diberikan pada kita menjadi berkah dan ladang pahala tentunya."
"Aamiin," jawab para murid minus Zahra mengharapkan doa yang sama. Sedang murid non-Islam mengamininya untuk keyakinan mereka.
"Tidak lupa pula sholawat serta salam kita hadiahkan dan kita lafazkan kepada manusia terbaik yang telah membawa kebaikan di seluruh dunia yakni, Baginda nabi Muhamad--"
"Sallallahualaihi wasallam."
"Semoga nantinya kegiatan kita dapat berlangsung lancar dari awal hingga akhir, aamiin. Nah, sebelum memulai kegiatan kalian pasti sudah tahu apa-apa saja yang perlu dilakukan dan tidak dilakukan. Artinya, kegiatan ini berjalan sesuai protokol dari Kepala sekolah sebagai penanggung jawab utama."
"Untuk kegiatan pertama, Ibu akan membagi kalian menjadi dua kelompok. Nah, absensi satu hingga dua belas adalah kelompok pertama dan absensi dua belas hingga dua empat adalah kelompok kedua."
Mendengar pembagian kelompot menurut nomor absensi membuat Zahra kesal. Ia tidak bisa dekat dengan teman-teman yang lain seperti ia dekat dengan Ant. Itu artinya, ia akan kembali menjadi sosok pendiam yang diacuhkan oleh anggota kelompok.
"Tugas kelompok pertama adalah mengumpulkan informasi di dalam masjid mengenai benda-benda bersejarah yang terkait dengan kerajaan Demak. Sedangkan, kelompok kedua mengumpulkan data informasi melalui keterangan para pengunjung mengenai pengetahuan mereka tentang kerajaan Demak dan kaitannya pada kehidupan era sekarang."
"Kalian bisa memotret tiap momen yang kalian temui sebagai data presentasi di sekolah. Dzuhur nanti, kita bertemu di sini dan melangsungkan sholat berjama'ah bagi yang Muslim."
Usai penjelasan Ibu Tina para anggota kelompok mulai berpencar. Zahra terlantung-lantung asing di dalam kelompoknya. Dita--murid terpintar di kelasnya bahkan begitu sibuk mewawancarai tiap pengunjung yang berdatangan. Zahra mendapat tugas yang sangat mudah. Namun, begitu malas ia kerjakan. Yakni mencatat penjelasan para narasumber dari rekaman. Alhasil, ia melalaikan tugasnya dengan kabur dan bersembunyi di tempat makan terdekat.
"Zahra?"
Dita datang sendiri menemui Zahra. Gadis Muslimah berhijab biru langit itu tersenyum. "Kamu di sini ternyata. Yang lain pada nyariin, tau."
"Pembohong!" Zahra berpura-pura tersenyum di depan Dita. "Aku laper. Kalo nungguin jadwal Ibu Tina keburu maag ku kambuh." Zahra beralasan.
"Ya udah enggak apa-apa. Nanti, kalo udah siap makan kamu balik lagi, ya."
Zahra mengangguk malas. Dita tersenyum simpul sembari melambai. Gadis itu menyebrang jalan untuk kembali pada rombongan. Zahra masih mengawasi dari balik warung kecil yang ada di tepi jalan.
Mata Zahra membulat besar ketika melihat Dita yang berniat menyebrang dihadang mobil truk yang sedang melaju kencang.
"Dita, jangan!" Zahra teriak-- berharap Dita tidak melanjutkan langkahnya. Namun sayang, gadis itu seperti tuli dalam menghadapi kematian.
Entah mendapat keberanian darimana Zahra berlari untuk menyelamatkan Dita. Ia menerjang tubuh Dita hingga mereka terpelanting ke trotoar. Dita mengerang kesakitan. Ia tersentak ketika tahu orang yang mendorongnya tidak ada di mana pun.
"Dek, kamu enggak apa-apa?"
Dita seperti orang ling-lung yang dikerumuni oleh orang-orang. Mereka yang ada di sana juga ikut terkejut ketika melihat tubuh Dita terempas dengan sendirinya hingga terjerembab di trotoar.
"Saya enggak apa-apa." Dita berdiri. Para kerumunan mulai membubarkan diri. Dita kembali menatap warung kecil tempat ia menemui Zahra. Namun, sosok gadis itu tidak ia temui. Zahra menghilang entah ke mana. Sejak saat itu, tidak ada yang tahu dimana Zahra berada.
***
Suara kicau burung nyaring terdengar di tengah lautan lepas. Sebuah kapal dagang yang mengangkut barang-barang berlayar menuju daratan terdekat. Kapten kapal memberikan intrupsi untuk membentangkan selayar. Mereka butuh dorongan angin yang lebih kuat agar cepat sampai ke tempat tujuan."Kapten, ada surat dari tuan Putri Tang."Lelaki berkumis tipis dengan rambut panjang sepinggang itu mengambil sebuah amplop dari tangan pelayannya."Kembalilah bekerja.""Baik, Kapten."Satu-satunya lelaki paling dihormati dalam kapal itu berjalan menuju kamarnya. Ia begitu gembira mendapat surat dari orang yang ia cinta. Sudah setahun lamanya ia pergi dari Cina mengembara ke beberapa wilayah di dunia. Ia berniaga dan bertemu dengan orang-orang penting tiap singgah ke daerah mereka. Kendati demikian, tidak membuatnya lupa akan cinta yang ia tinggal di tempat asal."Kian," panggilnya. Ia membuka amplop tersebut. Barisan huruf mandarin m
Awalnya Zahra begitu syok ketika terbangun dari ketidaksadarannya. Bagaimana tidak? Tahu-tahu saja ia sudah ada di sebuah ruangan pengap yang dipenuhi berbagai sayuran, buah-buahan, dan daging hewan yang tersimpan bersamaan dengan para orang asing yang memakai pakaian bergaya sangat kuno.Saat itu ia berusaha untuk mengingat kapan terakhir kali ia sadar. Namun, semakin banyak mengingat ia justru merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Selain itu, hasilnya pun tidak jauh berbeda. Ia yakin jika beberapa menit yang lalu ia berusaha mendorong tubuh Dita menjauh dari tengah jalan. Lalu, mengapa sekarang ia ada di tempat yang asing ini? Malah dalam keadaan fisik yang sangat baik. Hanya saja, kulitnya terlihat kusam dengan perutnya yang merasa keroncongan.Zahra tidak pernah mengira jika kehadirannya di dalam ruangan minim cahaya dan pelita adalah ancaman bagi mereka. Bahkan setelah mendengar bahasa yang keluar dari mulut mereka, Zahra kian syo
Debur ombak menghantam tubuh gadis berpeluh darah. Puluhan ikan hiu mengelilingi tubuh seorang manusia dengan aroma lezat yang memanggil perut keroncongan mereka. Arus laut yang semakin kencang mengendurkan niat memakan santapan secara percuma. Para hiu berbalik ke dasar lautan. Mereka menjauh dari kapal di atas yang mulai bergoyang labil."Zahra."Seekor lumba-lumba menarik tubuh gadis tak bertenaga menjauh dari kapal. Ringkihan seperti kayu berdecit mengurai ketegangan dalam hati kecil gadis yang bermimpi tentang kematian. Udara segar menyapa pernapasan yang sempat diserbu tajamnya air laut. Angin yang melintas mengeringkan wajahnya secara alami. Ia tidak mengira jika hidupnya akan berlanjut melalui perantara seekor lumba-lumba."Kau sudah sadar?"Mata Zahra yang masih terpejam sontak membuka paksa. Ia terbatuk--memuntahkan air laut yang ingin mengisi kantong perut. Suara aneh dari dekat tidak memberinya jawaban. Matanya melirik seekor lumba-lumb
Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata."Uhuhk!"Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang."Kau sudah sadar, Kapten?"Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu."Jangan takut, aku bukan hantu."Kini gadis dengan rambut b
Sementara itu, jauh di dalam wilayah Cina, tempat para penduduk ras Mongoloid bermukim. Selayar kapal terlipat serentak merapat di dekat dermaga. Kicau burung pelikan berdatangan mencari mangsa. Rombongan pedagang turun dari kapal membawa barang-barang muatan. Dipan kayu terusung ke depan menghubungkan jalan menuju daratan."Tang, dimana Kapten? Bukankah hari ini kapalnya akan singgah?"Ling Yie--sahabat Tang Eng Kian yang datang menemani nampak risau. Sudah dari fajar subuh mereka menunggu. Namun, selayar kapal Bumyen tak berkipar di sekitaran dermaga. Mendadak, suara bising terdengar dari sebuah kapal mewah membawa lambang kerajaan. Para manusia berpakaian seragam turun mengiringi sosok lelaki berperawakan gagah, tetapi tak murah senyum. Kehadirannya hanya sekilas--tidak berbekas. Karena setelah itu, dia masuk ke dalam kereta kuda."Nampaknya dia orang penting," kata Ling beropini. "Mungkin dia seorang Panglima kerajaan. Kau tahu? Ba
Hans--kuda gagah yang tinggal di dalam hutan membawa Zahra dan seorang Kapten pesohor. Miko--burung merpati putih lelah untuk terbang. Ia bersembunyi di balik baju milik Zahra. Walaupun masih takut dengan status Zahra dan juga kemampuannya berbahasa binatang, Bumyen tetapi berusaha ikut demi menjemput Tan Eng Kian di daratan Cina."Zahra, apakah kau serius ingin mengantar Kapten Bum ke wilayahnya?" Hans mendadak bertanya.Zahra duduk di belakang Bumyen. Ia tetap mengangguk walaupun Hans tidak melihat jawaban itu. "Aku akan pergi ke kedutaan Indonesia di Cina. Kau akan mengantarku kan, Kapten?""Kedutaan? Nama apa itu?" Bumyen akhirnya bersuara setelah ribut dengan cara otaknya berpikir. "Zahra, aku rasa kau sedikit aneh. Namamu asing, dan... caramu menyebutkan nama-nama tempat juga sama. Sebenarnya ... kau ini apa?"Tawa Zahra membuncah. Kelinci hutan lekas bersembunyi di balik pepohonan. Mereka takut--Zahra adalah nenek pe
DUA PULUH TAHUN KEMUDIAN....Namaku Azzahra Rafasya. Tercatat sebagai salah satu Siswi di sebuah sekolah Darmawarga di Jakarta Selatan. Aku tahu, kisah ini begitu sulit untuk dicerna akal manusia. Bahkan, sampai detik ini pula aku tidak tahu mengapa aku ada di tempat ini. Tempat dimana pedang adalah senjata yang begitu berharga. Tidak akan ada seorang polisi yang menghadangmu di jalan jika kau membawa benda tajam sebanyak apa pun itu.Dua puluh tahun tinggal di masa ini, aku mendapatkan begitu banyak pengalaman. Termasuk, siapa aku di sini. Ingatan tentang Kinara yang disukai oleh seorang Pangeran Kerajaan selalu terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu spesifik apa Kinara dan hubungannya dengan, Pangeran Kerthabumi. Ya ampun, siapa yang akan menyangka jika aku mendiami tubuh gadis yang terkait dengan orang besar di era ini?Pernah terlintas di pikiranku. Apakah selama ini aku begitu mengacuhkan dunia di masa depan? Sehingga, Dia membawaku ke masa lalu? Entahlah.
Kata pepatuah tua, tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Sebab itu, perkenalan itu dibutuhkan. Namun, bagi seorang Zahra Rafasya tidak penting adanya tahu siapa orang yang sedang duduk di sebalah. Atau pun, siapa orang yang telah memuji walau sekilas kalimat. Dia sudah terbiasa hidup dalam keterasingan. Tidak di masa depan, di masa lalu, dan sekarang sama saja. Zahra begitu sulit membaur dengan bangsa manusia. Hanya orang-orang terpilih bagi Zahra yang bisa dekat dengan dirinya. Itu pun, karena ia dan seseorang itu memiliki sebuah keterkaitan."Seharusnya kau meminta maaf, Ra." Miko memberikan saran. Melihat wajah Raden yang memerah karena pukulan Zahra, pasti sangat tidak adil bagi seorang lelaki yang rela terjun ke dalam air demi menolong nyawa gadis tidak tahu diri itu. "Dia itu baik. Siapa yang tahu dia menggagalkan aksi bunuh dirimu?"Zahra memang berniat bunuh diri ratusan kali. Namun, yang tadi itu diluar rencananya. Dia tidak tahu jika akan mati t