Sekuat-kuatnya aku ... perpisahan tetaplah hal yang menyakitkan, membayangkan bahwa kami yang dulu amat bahagia lalu tidak bersama lagi, membuat air mata ini menggenang di pelupuk mata. Aku menangis di sepertiga malam, di atas sajadah di mana kusujudkan diri dan melabuhkan doa doa panjang."Ya Allah, apa sampai di sini saja rumah tangga kami, sesingkat inikah hubungan yang kami untai dengan janji suci, haruskah berakhir hanya begini saja?"Semakin dipikirkan rasanya makin tak kuat diri ini membayangkannya. "Jika harus berpisah mengapa ditakdirkan bersama?" Mungkin bukan hanya aku yang menanyakan pertanyaan demikian tapi banyak orang di dunia ini dengan nasib yang sama.Sebuah misteri dan permainan takdir yang sulit diartikan. Terlihat tidak adil tapi Tuhan punya hak prerogratif yang tidak bisa diganggu gugat."Ah, aku pasrah," gumamku seraya merangkum air mata dengan ujung mukena.*Hari Minggu, pukul empat sore kedua belah pihak anggota keluarga untuk berdiskusi membicarakan peri
Setelah kepulanganku dari persidangan, kubuka pintu rumah yang sebagiannya terbuat dari kaca dengan hati Sekuat-kuatnya aku ... perpisahan tetaplah hal yang menyakitkan, membayangkan bahwa kami yang dulu amat bahagia lalu tidak bersama lagi, membuat air mata ini menggenang di pelupuk mata. Aku menangis di sepertiga malam, di atas sajadah di mana kusujudkan diri dan melabuhkan doa doa panjang."Ya Allah, apa sampai di sini saja rumah tangga kami, sesingkat inikah hubungan yang kami untai dengan janji suci, haruskah berakhir hanya begini saja?"Semakin dipikirkan rasanya makin tak kuat diri ini membayangkannya. "Jika harus berpisah mengapa ditakdirkan bersama?" Mungkin bukan hanya aku yang menanyakan pertanyaan demikian tapi banyak orang di dunia ini dengan nasib yang sama.Sebuah misteri dan permainan takdir yang sulit diartikan. Terlihat tidak adil tapi Tuhan punya hak prerogratif yang tidak bisa diganggu gugat."Ah, aku pasrah," gumamku seraya merangkum air mata dengan ujung muk
**"Aku mau pergi?" Lelaki terlihat rapi dengan setelan kemeja, rambutnya ditata dengan klimis dan aroma tubuhnya tercium hingga ke seluruh sudut rumah. Melihat ayahnya yang sudah tampan dan berpakaian necis biasanya anak-anak akan heboh bertanya dan minta ikut tapi mereka hanya duduk di depan televisi dan menatap Mas Arman dengan datar. Perbuatannya yang telah mengabaikan keluarga serta fakta yang kemudian terungkap pada anak-anak bahwa dia lebih memilih aruni daripada kami, membuat putra dan putriku terlihat canggung pada ayahnya sendiri. Segan, takut, kecewa dan kesal bercampur jadi satu dan tergambar jelas di wajah Dika dan Inayah. "Ada yang mau ikut?" Lelaki itu berkedip dan menggoda anak-anaknya tapi anak-anak hanya melihatnya lalu menghela nafas, mereka mengabaikannya lalu kembali fokus ke layar TV. "Baiklah, ayah tidak akan memaksa kalau kalian tidak mau ikut, tapi jangan menyesal karena ayah akan pergi ke pesta makan bersama tante aruni dan Gilang."Hah, ya ampun!Kini di
Karena menyadari sekarang aku sudah tidak memiliki orang yang akan menanggung kehidupan kami, maka, kuputuskan untuk mencoba mencari pekerjaan. Kuputuskan untuk mengakhiri dan tidak terus menangis tersedu-sedu dihadapan kedua orang tuaku dan keluarga.Aku tahu persis hatiku sesedih apa tapi mendramatisir keadaan bukanlah solusi yang benar. Aku harus bangun, mencari cara dan menemukan langkah untuk melanjutkan hidupku dan anakku.Kucoba menyusuri lowongan pekerjaan yang dibuka secara online di berbagai aplikasi, kucoba mencari sesuatu yang kemungkinan cocok denganku, misalnya sebagai penulis jurnal atau artikel majalah online atau bisnis rumahan. Aku ingin mencari pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah karena Aku juga ingin fokus pada tumbuh kembang putra semata wayangku.Kebetulan karena aku masih punya nomor kontak Ardina yang merupakan selingkuhan Mas Hendri--suaminya iparku--maka kuputuskan untuk menghubunginya dan mencoba mencari-cari mungkin ada kesempatan bekerja dengannya."
Ada rasa penasaran dalam benakku setelah selesai membahas segala hal dengan Ardina saat makan siang tadi. Kami saling bercerita dan mengevaluasi kinerja masing-masing harus saling mendukung kemudian membicarakan mantan suamiku.Aku heran mengapa dia mantanku menunda pernikahannya sementara dia sendiri mengaku telah menyebarkan undangan.Apa itu bagian dari rencananya untuk menyakitiku? apakah dia mengaku telah menyebarkan undangan padahal kenyataannya persiapan pernikahannya belum dilakukan sama sekali? kalau ternyata ada yang dibatalkan pasti ada alasan, lalu apa alasannya?"Ah, kenapa juga aku harus memikirkan lelaki jahat itu, dia bukan lagi bagian dari hidupku atau hatiku," pikirku sambil menepis segala hal tentangnya.Sepulang kantor, kukenakan mantel, dan merapikan meja kerjaku. Kuraih tas dan kunci motor, lalu keluar bersama teman-temanku, melewati pintu utama, lantas menerobos hujan yang sebentar lagi akan menderas, menyeberang menuju sebuah kedai roti di seberang jalan.Mu
Hari ini aku pergi ke tempat kerja seperti biasa, kutepikan motor dan masuk ke kantor dengan santai. Kusapa teman-temanku yang ada di kantor depan lalu kuambil tempat duduk di meja kerjaku. Kunyalakan komputer dan memulai segalanya dengan Bismillah.Tring ....Ada notifikasi di layar ponsel yaitu, pesan dari Ardina. Dia mengirimkan sebuah foto di mana dia dan Mas Hendri sedang berpose mesra, lalu di slide berikutnya wanita itu terlihat memeluk suami Mbak Feni dalam posisi membelakangi kamerea dengan raut penuh haru dan bahagia. Di tangannya ia pegang sebuah alat test kehamilan dan ekspresi itu sudah kupahami bahwa dia tengah mengumumkan kebahagiaannnya.(Apa? Kamu hamil, selamat ya, Ardina.)(Alhamdulillah, kini aku bisa mengukuhkan hubungan, aku punya alasan untuk dinikahi Mas Hendri dengan sah,) jawabnya dengan cepat.(Kamu lagi di mana?)(Di kantor aku, di seberang gedung kamu kan?)(Kapan kamu tahu kamu hamil?)(Kemarin malam. OMG, aku bahagia banget, sampai aku gak bisa bendun
Tak kusangka, sore hari ini, selepas jam kerja berakhir, ada sosok yang menungguku di loby utama. Ketika aku keluar dari lift pria itu langsung tersentak, matanya berbinar, dia mendekat, meski dengan langkah tersuruk rasa ragu. Jelas, roman wajahnya mengatakan hal itu."Mas Arga lagi ... hmm, malas aku menemuinya." Kupercepat langkah dan pura-pura tidak melihat pria itu. "Irma tunggu ...." Pria tampan itu sigap menarik tanganku. Aku terhenti sementara teman teman kerja yang menyasikan adegan itu kini bersorak dan menggoda kami dengan segala selorohan yang mencanggungkan, jelas, karena mereka tidak tahu sosok itu adalah itu mantan suamiku."Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan pelototan mata tak suka. Aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tanganku."Ayo menepi dan bicara," ajaknya."Kantor tutup dan gedung ini akan ditutup pula!" sentakku sambil menarik tanganku dengan kebencian yang sudah mengurat di kepala."Kalo begitu kita bicara di cafe seberang jalan."
Sungguh tidak ada yang lebih membahagiakan ketika melihat orang yang pernah mencampakkan dan menyakiti kini balik tersakiti dan menderita. Meski aku tidak mengetahui sepenuhnya seluk beluk apa latar belakang yang membuat Mas Arga membatalkan pernikahan hingga waktu yang tidak ditentukan, tapi setidaknya aku mulai merasakan bahwa dia goyah dengan keputusan awalnya. Keputusan yang digadang-gadang akan membuatnya bahagia dengan cara melupakanku dan meninggalkan Hafiz.Tidaklah sebuah kebodohan meninggalkan keluarga yang mencintai dan selalu menunggu kita dengan penuh kerinduan, lalu mengganti semua kesetiaan itu dengan penghianatan atau cinta yang dibelokkan. Meski menurut pepatah menikah belum tentu berjodoh tapi sebuah ikatan tidak akan terjalin tanpa ada komitmen dan janji untuk menghabiskan hidup bersama selamanya.Di sisi lain seumur hidup gunakan terlalu lama jika dihabiskan dengan orang yang salah, tadinya aku pun bertahan dan ingin menjaga keutuhan rumah tangga namun lama-kelamaa