Beberapa jam Setelah kepergian Mas Arga dia kembali menelpon ke ponselku, ketika aku angkat pria itu terdengar sangat resah dan panik."Halo, assalamualaikum.""Gita mengalami trauma berat dan mentalnya mengalami gangguan, nampaknya dia baru saja dicoba untuk diperkosa. Gadis itu nampak terguncang frustasi dan ketakutan.""Mengapa kau beri tahu aku seakan itu penting bagiku, aku tak peduli dan itu bukan urusanku," jawabku ketus."Keluarganya sudah lapor polisi," ujarnya dengan tegas.Mengapa suamiku harus mengatakan hal itu padaku? apa menurutnya laporan pada polisi akan penting? aku sama sekali tidak peduli. Andai pun wanita itu melapor, maka video penelanjangan dirinya akan viral di sosial media. Tentu saja dia tidak akan berani untuk membuka mulutnya, siap tentang siapa pelaku dan bagaimana detail kejadiannya."Ya lapor saja, aku tak peduli, dan ya, katakan padaku .. kau janji sudah mengakhiri hubungan dengan Gita, mengapa sekarang kau masih peduli padanya dan panik seolah-olah di
Sekuat-kuatnya aku ... perpisahan tetaplah hal yang menyakitkan, membayangkan bahwa kami yang dulu amat bahagia lalu tidak bersama lagi, membuat air mata ini menggenang di pelupuk mata. Aku menangis di sepertiga malam, di atas sajadah di mana kusujudkan diri dan melabuhkan doa doa panjang."Ya Allah, apa sampai di sini saja rumah tangga kami, sesingkat inikah hubungan yang kami untai dengan janji suci, haruskah berakhir hanya begini saja?"Semakin dipikirkan rasanya makin tak kuat diri ini membayangkannya. "Jika harus berpisah mengapa ditakdirkan bersama?" Mungkin bukan hanya aku yang menanyakan pertanyaan demikian tapi banyak orang di dunia ini dengan nasib yang sama.Sebuah misteri dan permainan takdir yang sulit diartikan. Terlihat tidak adil tapi Tuhan punya hak prerogratif yang tidak bisa diganggu gugat."Ah, aku pasrah," gumamku seraya merangkum air mata dengan ujung mukena.*Hari Minggu, pukul empat sore kedua belah pihak anggota keluarga untuk berdiskusi membicarakan peri
Setelah kepulanganku dari persidangan, kubuka pintu rumah yang sebagiannya terbuat dari kaca dengan hati Sekuat-kuatnya aku ... perpisahan tetaplah hal yang menyakitkan, membayangkan bahwa kami yang dulu amat bahagia lalu tidak bersama lagi, membuat air mata ini menggenang di pelupuk mata. Aku menangis di sepertiga malam, di atas sajadah di mana kusujudkan diri dan melabuhkan doa doa panjang."Ya Allah, apa sampai di sini saja rumah tangga kami, sesingkat inikah hubungan yang kami untai dengan janji suci, haruskah berakhir hanya begini saja?"Semakin dipikirkan rasanya makin tak kuat diri ini membayangkannya. "Jika harus berpisah mengapa ditakdirkan bersama?" Mungkin bukan hanya aku yang menanyakan pertanyaan demikian tapi banyak orang di dunia ini dengan nasib yang sama.Sebuah misteri dan permainan takdir yang sulit diartikan. Terlihat tidak adil tapi Tuhan punya hak prerogratif yang tidak bisa diganggu gugat."Ah, aku pasrah," gumamku seraya merangkum air mata dengan ujung muk
**"Aku mau pergi?" Lelaki terlihat rapi dengan setelan kemeja, rambutnya ditata dengan klimis dan aroma tubuhnya tercium hingga ke seluruh sudut rumah. Melihat ayahnya yang sudah tampan dan berpakaian necis biasanya anak-anak akan heboh bertanya dan minta ikut tapi mereka hanya duduk di depan televisi dan menatap Mas Arman dengan datar. Perbuatannya yang telah mengabaikan keluarga serta fakta yang kemudian terungkap pada anak-anak bahwa dia lebih memilih aruni daripada kami, membuat putra dan putriku terlihat canggung pada ayahnya sendiri. Segan, takut, kecewa dan kesal bercampur jadi satu dan tergambar jelas di wajah Dika dan Inayah. "Ada yang mau ikut?" Lelaki itu berkedip dan menggoda anak-anaknya tapi anak-anak hanya melihatnya lalu menghela nafas, mereka mengabaikannya lalu kembali fokus ke layar TV. "Baiklah, ayah tidak akan memaksa kalau kalian tidak mau ikut, tapi jangan menyesal karena ayah akan pergi ke pesta makan bersama tante aruni dan Gilang."Hah, ya ampun!Kini di
Karena menyadari sekarang aku sudah tidak memiliki orang yang akan menanggung kehidupan kami, maka, kuputuskan untuk mencoba mencari pekerjaan. Kuputuskan untuk mengakhiri dan tidak terus menangis tersedu-sedu dihadapan kedua orang tuaku dan keluarga.Aku tahu persis hatiku sesedih apa tapi mendramatisir keadaan bukanlah solusi yang benar. Aku harus bangun, mencari cara dan menemukan langkah untuk melanjutkan hidupku dan anakku.Kucoba menyusuri lowongan pekerjaan yang dibuka secara online di berbagai aplikasi, kucoba mencari sesuatu yang kemungkinan cocok denganku, misalnya sebagai penulis jurnal atau artikel majalah online atau bisnis rumahan. Aku ingin mencari pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah karena Aku juga ingin fokus pada tumbuh kembang putra semata wayangku.Kebetulan karena aku masih punya nomor kontak Ardina yang merupakan selingkuhan Mas Hendri--suaminya iparku--maka kuputuskan untuk menghubunginya dan mencoba mencari-cari mungkin ada kesempatan bekerja dengannya."
Ada rasa penasaran dalam benakku setelah selesai membahas segala hal dengan Ardina saat makan siang tadi. Kami saling bercerita dan mengevaluasi kinerja masing-masing harus saling mendukung kemudian membicarakan mantan suamiku.Aku heran mengapa dia mantanku menunda pernikahannya sementara dia sendiri mengaku telah menyebarkan undangan.Apa itu bagian dari rencananya untuk menyakitiku? apakah dia mengaku telah menyebarkan undangan padahal kenyataannya persiapan pernikahannya belum dilakukan sama sekali? kalau ternyata ada yang dibatalkan pasti ada alasan, lalu apa alasannya?"Ah, kenapa juga aku harus memikirkan lelaki jahat itu, dia bukan lagi bagian dari hidupku atau hatiku," pikirku sambil menepis segala hal tentangnya.Sepulang kantor, kukenakan mantel, dan merapikan meja kerjaku. Kuraih tas dan kunci motor, lalu keluar bersama teman-temanku, melewati pintu utama, lantas menerobos hujan yang sebentar lagi akan menderas, menyeberang menuju sebuah kedai roti di seberang jalan.Mu
Hari ini aku pergi ke tempat kerja seperti biasa, kutepikan motor dan masuk ke kantor dengan santai. Kusapa teman-temanku yang ada di kantor depan lalu kuambil tempat duduk di meja kerjaku. Kunyalakan komputer dan memulai segalanya dengan Bismillah.Tring ....Ada notifikasi di layar ponsel yaitu, pesan dari Ardina. Dia mengirimkan sebuah foto di mana dia dan Mas Hendri sedang berpose mesra, lalu di slide berikutnya wanita itu terlihat memeluk suami Mbak Feni dalam posisi membelakangi kamerea dengan raut penuh haru dan bahagia. Di tangannya ia pegang sebuah alat test kehamilan dan ekspresi itu sudah kupahami bahwa dia tengah mengumumkan kebahagiaannnya.(Apa? Kamu hamil, selamat ya, Ardina.)(Alhamdulillah, kini aku bisa mengukuhkan hubungan, aku punya alasan untuk dinikahi Mas Hendri dengan sah,) jawabnya dengan cepat.(Kamu lagi di mana?)(Di kantor aku, di seberang gedung kamu kan?)(Kapan kamu tahu kamu hamil?)(Kemarin malam. OMG, aku bahagia banget, sampai aku gak bisa bendun
Tak kusangka, sore hari ini, selepas jam kerja berakhir, ada sosok yang menungguku di loby utama. Ketika aku keluar dari lift pria itu langsung tersentak, matanya berbinar, dia mendekat, meski dengan langkah tersuruk rasa ragu. Jelas, roman wajahnya mengatakan hal itu."Mas Arga lagi ... hmm, malas aku menemuinya." Kupercepat langkah dan pura-pura tidak melihat pria itu. "Irma tunggu ...." Pria tampan itu sigap menarik tanganku. Aku terhenti sementara teman teman kerja yang menyasikan adegan itu kini bersorak dan menggoda kami dengan segala selorohan yang mencanggungkan, jelas, karena mereka tidak tahu sosok itu adalah itu mantan suamiku."Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan pelototan mata tak suka. Aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tanganku."Ayo menepi dan bicara," ajaknya."Kantor tutup dan gedung ini akan ditutup pula!" sentakku sambil menarik tanganku dengan kebencian yang sudah mengurat di kepala."Kalo begitu kita bicara di cafe seberang jalan."
Prang!Prak!Suara sepatuku memukul helm Mas Arga dengan kencang. Pria itu nyaris terjatuh dari motornya andai tidak menahan keseimbangan. "Astaga ... kamu kenapa Irma.""Kamu yang kenapa ngikutin aku terus? kamu dah gila ya Mas?""Aku gak ngikutin kamu, kamunya aja yang kepedean," jawabnya sambil melepas helm dan mengusap kepalanya yang kupukul tadi."Arah kantor kamu gak di sini Mas, tapi di jalur berbeda kamu gak malu mas dengan baju dinas keliling ngikutin aku dan suami, kamu gak malu pada keluargamu dan keluarga mertuamu?""Hei, aku gak ikutin kamu, aku cuma mau ke toko sparepart yang ada di jalan Ahmad Yani, kepedean kamu," balasnya."Kamu pikir aku gak lihat kamu ngikutin dari arah rumah? Awas ya Mas, kalau masih ngikutin aku, kulaporkan kamu ke polisi.""Lapor saja, aku ga takut polisi!""Hah, percuma bicara," balasku sambil membalikkan badan dan kembali ke mobil."Sombong sekali kamu, mentang mentang punya suami baru," ucapnya berteriak."Biarin!"" ... nanti juga kamu mento
"Darimana Sayang?" tanya Mas Adit ketika aku baru saja masuk ke kamar."Menemui tamu yang tidak diharapkan," jawabku sambil tersenyum padanya."Apa ada tamu yang tidak diharapkan?""Ya, ada, jenis tamu pengganggu yang akan merusak segalanya.""Siapa orangnya?""Istri mantan suamiku.""Ada apa dengannya?" suamiku langsung mengerjab dan bangkit dari pembaringannya."Dia merasa bahwa Mas Arga masih denganku dan terobsesi pada diri ini. Aku sangat tidak nyaman dengan itu," balasku."Kemarilah," ujarnya memberi isyarat, kuhampiri dia, kubawa diriku ke dalam rangkulannya serta kuletakkan kepala di atas bahunya."Dengar sayang, di rumah tangga kita hanya kita yang bisa menentukan bahagia atau tidaknya, mereka orang luar hanya segelintir gangguan yang tidak perlu dianggap serius.""Aku setuju dengan ucapanmu, Mas.""Jika istri mantanmu merasa risih tapi kau sama sekali tidak berhubungan dengan suaminya, maka kau tidak perlu khawatir dengan semua tuduhan itu. Selagi tidak ada bukti, anggap sa
Tentu saja orang-orang langsung berkerumun memperhatikan pria yang baru saja selesai bernyanyi tiba tiba langsung pingsan saja. Terlebih pingsannya di pelaminan tentu makin mengundang perhatianlah dia."Astaga dia siapa?""Arga mantan suami Irma," jawab seorang pria yang mengenal."Ya ampun, kasihan ....""Mungkin gak kuat menerima kenyataan," ujar yang lain. Reaksi orang beragam, ada yang tertawa, ada yang menatap miris dan lain pula reaksi kedua orang tuaku yang berdiri berdampingan sebagai pendamping pengantin mereka nampak sangat marah dengan keberadaan Mas Arga."Lagipula ngapain sih harus datang ke sini, nyusahin aja!" geram ayah dengan kesalnya."Mungkin dia ingin melihat Irma," jawab Ibu sambil mendekat dan memperhatikan mantan menantunya."Kayaknya bapak ini kelelahan, stress dan dehidrasi, mungkin seseorang bisa hubungi ambulans," ucap seorang temanku yang merupakan seorang petugas kesehatan, dia tadi memeriksa nadi dan wajah Mas Arga dan langsung menyimpulkan."Iya mari g
Tadinya aku akan melangsungkan pesta pertunangan dan memberi waktu lebih banyak untuk penjajakan hubungan dengan Mas Adit. Tapi karena Mas Adit tidak sabar untuk segera menghalalkan hubungan, ditambah dia juga sudah dekat dengan ayah dan ibu, maka aku tak punya alasan untuk menolak.Bukankah, sebaiknya pernikahan dipercepat dan perceraianlah yang harus ditunda. Ada kalanya niat baik memang tak harusnya dipendap lebih lama. Khawatir gagal atau malah tertikung orang lain."Calon Nyonyaku, maukah kita percepat niat baik kita untuk merajut hubungan ke jenjang yang lebih serius?" Tiba tiba kekasih tampanku menghampiri dengan secarik kertas yang ditulis demikian."Apa ini?""Ya, itu ...." Dia mengangkat alis memintaku membaca ulang memo tempelnya. Bayangkan ... dia menempel itu di layar komputerku."Astaga, Mas Adit, lebay tahu gak sih, dilihat orang ...." Kucabit segera memo sambil tertawa."Ya enggak apa apa, aku cuma butuh jawaban.""Secepatnya," jawabku singkat."Kapan, kamu sih, PHP te
Karena tidak mau terburu-buru menikah sebelum puas saling menjajaki, kuputuskan untuk melakukan acara lamaran dan pertunangan agar tali kasih di antara kami bisa diikat dalam satu janji.Kubagikan undangan pertunangan pada teman teman kerja di lingkungan kantor, kuminta dengan ramah dan sopan agar mereka berkenan datang untuk memberikan doa serta dukungan mereka. Kuserahkan amplop bersampul hitam putih dengan gambar bunga itu kepada Dina dan Reni, termasuk Ivanka, wanita yang menaksir pada calon suamiku. Dia yang kebetulan lewat kuhentikan dan dengan santun kusodorkan undangan itu."Mbak, aku mengundangmu," ucapku pelan. Sesaat wanita itu tertegun namun dia tetap menerima undanganku. Ditimbangnya amplop berukuran sedang itu dengan senyum miris, kalau dia menggumam sambil menggeleng pelan."Terima kasih, tapi sepertinya, aku tak bisa hadir," jawabnya dengan senyum kecut. Bahkan dia belum membukanya sehingga bisa tahu kapan dan hari apa, dia menunjukkan penolakan itu karena sudah jelas
Benar saja, sekitar dua puluh menit kemudian, aku bisa melihat pantulan cahaya motor di jendela kamar. Aku bangun memeriksa dan benar saja, itu adalah motor Gita. Sayup sayup kudengar mereka berdebat dengan teriakan, diantara rinai hujan dan petir malam.Kucoba menajamkan pendengaran dan memindai apa yang mereka lakukan."Aku nanya Mas, kamu lagi ngapain di sini?""Udahlah, itu bukan urusanmu, aku lagi mau ngomong sama ibunya Hafiz!""Tapi, ini hujan dan sudah malam, Mas. Ada apa kamu Mas?"Wanita itu mencengkeram bagian depan baju suaminya dengan kesal. Jilbab, wajah dan cardigannya basah tersapu hujan yang turun deras."Aku harus bicara. Itu tidak ada kaitannya denganmu," jawabnya sambil menghempas tangan sang istri."Kalau kamu gak ikut pulang sama aku, kita cerai aja Mas, itu artinya kamu gak mentingin aku!""Ya Allah, kamu pulang aja, aku masih ada urusan!"Mas Arga membentak Gita dengan kesal. "Oh ya ... jadi mau aku panggilkan Mbak Irma ke dalam, mau aku bilangin ke dia kala
Mungkin mas Arga tidak mau merasa dikalahkan dalam hal kebahagiaan, akhir akhir ini dia sering sekali membagikan link postingan Ig dan Facebooknya ke inbokku. Tautan yang dia kirim berisi postingan foto dan kata kata mesra untuk sang istri.Kadang aku melihat semua itu hanya menggeleng saja, postingannya bagiku bukan sebagai bentuk pamer atas kebahagiaan namun lebih terkesan memaksa terlihat bahagia dan yang ada hanya tempelan saja."Andai dia sungguh bahagia dengan cinta barunya, mungkin dia tak akan ingat untuk mengejarku lagi."Aku menggumam sambil meringis miris. Dari tempat dudukku, kupandangi anakku yang sibuk tertawa dan bermain dengan mainannya. Hanya menatapnya sehat dan ceria saja membuat hatiku tenteram dan bahagia. Itu saja sudah cukup. Aku tak butuh apapun lagi, aku sudah bekerja dan insya Allah bisa menanggung hidup sendiri.Jika suatu hari seorang pria baik dengan niat tulus datang melamar, maka aku akan menerima dengan syarat dia akan mencintai anakku juga.*Wak
Menuruti saran dari ibu aku memilih waktu makan siang untuk mengajak massa adik bicara dia yang selalu jadi tempat langganan makan siang kami. Cafe yang berada di lantai dasar tower kantorku.Pukul 12:34 Mas Adit nampak turun dari loby dan langsung masuk ke cafe, dari pintu utama kami bersitatap dan seperti biaasanya senyum itu tersungging lebar."Kamu udah makan?""Belum, Mas, masih nungguin kamu," jawabku memperbaiki posisi duduk."Harusnya kamu pesenin aja, aku akan makan makanan apapun yang kamu suguhkan," jawabnya tersenyum, sekali lagi menggetarkan dadaku.Lama perasaan ini tidak disentuh romansa dan sensaasi manis menggoda, sehingga ketika tiba tiba Mas Adit datang. Ada rasa baru yang kini menghiasi hatiku, aku selalu ingin tersenyum dan bahagia kala berdekatand dengannya. Energinya yang positif, tampilannya yang bersih dan wangi membuatku nyaman berdekatan."Merasa nggak sih kalau akhir-akhir ini kita jadi topik pembicaraan di kantor?""Aku paham, tapi selagi kita bersikap p
Begitu banyak orang yang berkerumun dalam ketegangan, begitu takut dan cemas tapi mereka tidak berani melerai. Sejak awal mereka tahu siapa yang lebih dulu menyulut emosi dan memancing kemarahan orang lain. "Lepaskan dia Kak, dia pasti sudah kapok," ujar seorang wanita."Iya, Kak, gak bakal diulang lagi kayaknya, itu orangnya udah ketakutan banget," timpal yang lain."Tidak, aku akan melemparnya ke muara agar menjadi santapan buaya, aku sama sekali tidak ragu," ujar Mas adit yang masih mencengkeram bagian leher pria yang kini mengucur darah segar dari bibir dan hidungnya."Aku tidak mengganggumu, beraninya kau mengganggu!" Mas Adit makin menggoyangkan badan Mas Arga, Mas Arga berteriak dan mencengkeram tangan kekasih baruku itu dengan panik."Aku juga akan membuatmu terjatuh bersamaku, hahahah," ujarnya. Tadinya dia ketakutan, tapi menit berikutnya pria itu seakan kehilangan akal, dia tertawa terbahak bahak dengan kondisi wajah yang sama sekali tidak sedap dipandang, babak belur dan