Jam makan siang, Khana mual-mual dan berlarian ke kamar mandi. Areta menautkan alisnya heran. Ia yang mengandung, kenapa Khana yang menunjukkan gejala yang sama."Areta sebentar," ujar Husein yang bergegas menyusul selirnya.Husein masuk ke dalam kamar mandi, terlihat Khana yang tersandar lemah."Nona Khana, kau baik-baik saja?""Perutku tak enak, Tuan. Kepalaku juga terasa pusing.""Hem, apa aku hamil?" yang Husein.Mata Khana berbinar-binar mendengar kalimat itu."Entahlah, aku juga berharap begitu.""Istirahatlah di kamarmu! Saya akan meminta Dokter Lena untuk memastikan."Khana menurut. Husein membantunya berjalan ke kamar. Tak lama setelah itu Dokter Lena pun sampai. Areta juga ikut menyusul untuk memastikan secara langsung."Bagaimana, Dok? Apa Nona Khana juga hamil?" tanya Husein antusias.Dokter Lena tersenyum ramah. Ia menggeleng dan berkata, "Tidak, Tuan. Nona Khana memiliki magh. Jadi dia tak boleh telat makan."Khana menghela napas putus asa. Ia sudah berharap banyak tadi.
Waktu berlalu, kini team penyidik telah memberikan informasi terbaru, tetapi bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Husein."Pria bertopeng yang menyusup di rumah Tuan beberapa hari yang lalu telah ditemukan mati bunuh diri dengan cara mengenaskan, Tuan."Mata Husein melotot mendengar kabar duka tersebut. "Bagaimana mungkin?""Dia memotong lidahnya sendiri, Tuan.""Hem, saya tidak yakin," desis Husein tak percaya."Team kami sudah menyelidiki, tak ada tanda-tanda jejak orang lain yang datang ke tempat korban melakukan tindakan itu.""Baiklah." Husein pasrah, karena percuma bersikeras, sebab pelakunya sudah memilih menghabisi dirinya sendiri ketimbang membuka suara."Tuan, di kamar ada boneka berlumuran darah!" teriak Areta dengan histeris."Ada apa lagi ini?" Husein berlari ke arah Areta. Disusul juga oleh Khana. Sedangkan team kepolisian sudah berlalu pergi sebelum Areta berteriak tadi.Husein masuk ke dalam kamar Areta, dan terpaku melihat sang istri duduk dengan terkulai lemah di lan
Kurang lebih empat puluh menit berjalan, kini, Husein sudah sampai di lokasi kejadian kecelakaan. Detak di dadanya kembali memburu ketika melihat mobil yang tak asing telah tergeletak di jalan. Kebetulan tempat itu sangat sepi, dan hanya ada satu dua kendaraan yang lewat."Nona Khana," ucap Husein saat melihat ke dalam mobil, selirnya tak sadarkan diri.Husein dengan cepat mengangkat tubuh Khana dan memindahkannya ke dalam mobil miliknya. Sementara di lokasi tak ada siapa-siapa selain Khana. Husein mengira selirnya kecelakaan tunggal.Namun, di mana Areta?"Apa mungkin Nona Khana mengejar penjahat itu hingga sampai terjadi kecelakaan begini?"Sekarang Khana sudah terbaring lemah di bangku belakang. Husein pun segera menancap gas membawanya ke rumah sakit. Tak lupa pula Husein menugaskan Roy agar mengambil mobil yang dikendarai Khana.Pikiran Husein bercabang, satu sisi ia sangat cemas dengan kondisi Khana yang masih tak membuka matanya. Darah segar mengalir di kening wanita cantik itu
Malam itu, 30 orang lelaki berbadan tegap lengkap dengan senjata dikirim Husein untuk membantu Rio dan yang lainnya dalam aksi membebaskan Areta.Husein menunggu di rumah dengan perasaan gelisah, sedangkan Khana juga sudah pulang bersamanya."Tuan, bagaimana cara menghubungi salah satu anak buahmu? Aku sungguh tak bisa tenang memikirkan Nyonya Areta di sana. Dulu, saat aku diculik, hanya ada beberapa penjahat saja yang berjaga. Rasanya sangat mencekam, apa lagi dengan puluhan seperti yang dihadapi Nyonya Areta sekarang," papar Khana."Saya juga tengah memikirkan hal serupa," sahut Husein tak berdaya.Khana memeluk tubuh suaminya dengan perasaan yang terguncang. Masalah yang terjadi bertubi-tubi menyerang rumah tangganya. Yang lebih parah lagi, penyebabnya adalah orang tua sendiri.Tak lama ponsel Husein berdering. Tertera sebuah nama di layarnya. 'Roy'"Saya hanya ingin mendengar kabar baik darimu, Roy!" desis Husein dingin.Roy menelan ludah dengan getir. Kabar yang dibawanya tidakla
Sepanjang hari itu Ros dilanda kebimbangan. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada sang Putra, karena sekarang Maxi telah mengkhianatinya, dan tak mau mendengarkan perintahnya.Ros mencoba terus menghubungi ke nomor Maxi, tetapi benar-benar sudah tak bisa tersambung. Lalu, Ros tak ingin putus asa begit saja. Ia pun menelepon ke anak buahya yang lain, yang selama ini juga turut membantu Maxi dalam rencananya."Hendry, Kau di mana? Apa kau sedang bersama Maxi?" tanya Ros."Saya di rumah, karena Bang Maxi bilang tugas-tugas kami sudah selesai, Nyonya. Bahkan semua bayaran juga sudah diberikan Bang Maxi," jawab Hendry.Kedua mata Ros yang sudah besar semakin membesar saat mendengar penjelasan tersebut."Apa? Bagaimana bisa? Saya belum mengirimkan bayaran tambahan untuk kalian,'' ujar Ros pula."saya tidak tahu kalau masalah itu, Nyonya. Saya sudah beneran terima uangnya, dan saya diminta untuk tidak melakukan apa-apa lagi untuk urusan Nyonya Areta.""Baiklah! Tapi, kau pastinya tahu di man
Seminggu sudah Areta berada di kediaman Maxi. Bahkan selama itu pula ia menangis meminta untuk dikembalikan ke rumahnya sendiri.Maxi yang memang menaruh hati pada Areta, ia tak tega melihat ratap pilu dari wanita yang telah mencuri hatinya tersebut. Akhirnya ia mengalah."Saya akan mengantarkanmu pulang," ucap Maxi dengan intonasi suara yang sumbang, sebab saat mengatakan hal itu ada tancapan duri yang menusuk di hatinya sendiri.Wajah Areta seketika menjadi ceria. Ia tersenyum sumringah seraya mengucapkan banyak kata terima kasih."Benarkah? Saya akan sangat berterima kasih padamu, dan saya berjanji akan membayar berapa pun yang kamu minta," papar Areta antusias.Maxi hanya menanggapi dengan tawa getir. "Saya tidak butuh apa-apa darimu dan keluargamu, Nyonya. Awalnya saya bekerja untuk Nyonya Ros memang berdasarkan uang, tapi setelah bertemu denganmu, semua berubah."Areta bergeming, ia sedikit terharu dengan ketulusan Maxi. Namun, mana mungkin ia mempertimbangkan rasa yang salah it
Semenjak kejadian hari itu, Dokter Hans merasa hidupnya sangat hampa bahkan tak berguna. Status kedokterannya pun tak dipakai lagi. Ia benar-benar merubah identitas diri.Namun, bayangan Khana tak bisa lepas dari ingatannya. Terlebih saat dia mengancam wanitanya dengan begitu kejam. Permainan yang dilakukan Dokter Hans memang licik, tetapi ia sungguh terpaksa. Karena Adik peempuannya berada dalam pengawasan Ros. Jika, tak menuruti maunya, maka Adiknya akan celaka."Bulan saja terus berganti, tapi tidak dengan perasaan saya, Nona Khana. Andai Nona tahu siapa saya, entah bagaimana responmu, Nona. Saya merindukan momen di mana pertama kali Nona mencoba menggoda saya. Saat itu Nona terlihat menggemaskan," gumam Dokter Hans seraya melangkah menuju mobil.Sedangkan Khana sendiri masih duduk terpaku mengingat-ngingat siapa lelaki yang menghampirinya tadi?"Seperti tak asing, tapi aku belum pernah bertemu dengannya. Ah, sudahlah! Tidak penting!' desisnya, kemudian beranjak untuk melanjutkan p
Gemeletuk gigi Husein beradu. Ia sudah dibuat cemas sedari tadi dengan pilihan antara Anak atau istri. Sekarang malah menerima kemalangan dengan hilangnya Areta.Khana dan dirinya ikut melihat rekaman cctv yang ada di depan kamar rawat Areta. Terlihat jelas kalau Areta mencoba keluar dengan ekspresi wajah kesakitan."Tuan, lihatlah! Nyonya Areta sadar, dan dia pergi sendiri," seru Khana.Wajah Husein semakin pucat menyaksikan aksi nekad sang istri. Kemudian ia menoleh ke arah Dokter William."Apa ini, Dok? Istri saya bisa pergi? Katamu kondisinya sangat lemah, lalu bagaimana bisa dia berjalan keluar dari sini?"Pertanyaan itu bagai tembakan peluru bagi Dokter William."Saya pun rasanya sangaat sulit mempercayai ini, Tuan. Akan tetapi, kondisi Nyonya Areta benar-benar tidak bisa dianggap sepele.""Mungkin Nyonya Areta dapat mendengar pembicaraan kita, lalu dia berusaha kabur. Aku yakin, Nyonya Areta sama sepertimu, Tuan. Dia tidak akan menerima janinnya diangkat," sambung Khana."Saya
Ros ingin berdiri dan menyelamatkan diri dari sana. Namun, kedua kakinya terasa lemah. Ia hanya mencoba menarik napas agar sedikit tenang."Ibu, saya sungguh tak menyangka kalau Ibu sama sekali tak bisa berubah. Ibu rela menjebak Anak Ibu sendiri demi ambisi yang tak ada hasilnya itu!" papar Husein dengan sorot mata siap menerkam."Husein ... itu semua belum tentu benar, Nak! Nona Khana pasti sudah merekayasanya. Kalau tidak, dari mana dia bisa menemukan rekaman yang dua puluh tahun lalu? Itu omong kosong, bukan?"Husein beralih menatap ke arah Khana."Aku mendapatkannya di hotel tempat kejadian itu, Tuan. Aku memang curiga, dan aku menyelidikinya. Kalau Tuan tak percya, silakan cek keaslian video rekaman ini!"Husein ingin semuanya jelas tanpa menduga-duga lagi. Ia mengundang seseorng yang ahli mengamati semua konten.Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, Flo dan Riva akhirnya tiba di rumah utama. Bersamaan dengan orang suruhan Husein."Ada apa kami dipanggil malam-malam begini?" ta
Husein mengambil bantal dan berbaring di sofa yang ada di kamar tersebut."Kenapa Tuan tidur di situ?" tanya Flo dengan suara gemetar. Ia gugup bercampur terlalu senang."Lalu saya harus tidur di ranjang denganmu?" Wajah Husein sangar menatap ke arahnya.Flo menunduk dan menjawab, "Saya pikir Tuan memang mau tidur di kamar ini satu ranjang dengan saya.""Jangan mimpi! Saya pun sebenarnya tak sudi berada di sini. Semua saya lakukan hanya semata-semata untuk Riva," hardik Husein.Flo tak berani lagi membuka suara. Ia naik ke atas ranjang seraya memperhatikan secara diam-diam sosok lelaki yang menutup mata di atas sofa. Ia tersenyum miris, tapi hatin ya tetap saja merasakan senang karena setidaknya ia bisa berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam ini.'Mungkin sekarang Tuan memang tak mau satu ranjang dengan saya, tapi suatu hari nanti saya yakin Tuan akan luluh juga. Riva akan tetap jadi senjata bagi saya melemahkanmu, Tuan," batin Flo.__Pagi sekali Husein telah menghilang
Malam harinya, semua kembali berkumpul di meja makan. Khana dan Ara tak pernah melewatkan makan malam bersama di rumah utama. Keduanya selalu memenuhi perintah Husein.Namun, malam ini Areta dan Arsya yang tak terlihat batang hidungnya. Sedangkan Riva bersama Flo turut hadir berkunjung, karena besok adalah wekeend."Ke mana Areta?" tanya Husein menatap ke arah Khana."Mungkin di kamar Arsya," sahut Khana dengan santai."Panggil dan ajak makan bersama!" titah Husein pula."Biar Ara saja yang memanggil Mama dan Arsya," sambung Ara yang dengan sugap berdiri.Ia melangkah perlahan dan mencoba memeberanikan diri menemui Arsya. Ia tahu, pasti Arsya juga sakit hatinya padanya.Sampai di depan kamar, Ara mengetuk pintu yang tak terkunci itu. Kemudian ia menerobos masuk."Mama, Arsya ... Papa sedang menunggu kalian untuk makan malam," ujar Ara mengukir senyum kaku."Kau makan saja dengan yang lain, Ara! Arsya tidak mau keluar kamarnya. Mama akan mengimbanginya makan di sini nanti," papar Areta
Areta dan Husein saling melempar pandangan mendengar penuturan dari Khana."Nona Khana ... apa maksudmu?" tanya Husein menyelidik.Ros seketika langsung pucat dan ketar-ketir."Husein, jangan dengarkan omong kosong dari istrimu yang tak setia ini. Dia mencoba memfitnah Flo! Padahal dirinya dulu pernah berkhianat."Suasana memanas. Arsya yang tengah terluka hatinya, ia memberontak dan berteriak akan kekacauan yang seolah tak menghiraukan keadaannya."Semua sama saja! Tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini!" teriaknya, kemudian ia berlari ke dalam kamar.Areta menyusulnya. Untuk sesaat Areta tak mau memikirkan masalah lain. Arsya jauh lebih penting baginya."Nona Khana ... tolong kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Husein mengulang kalimatnya.Khana melemparkan pandangan tajam ke arah Ros dan seketika ia menyeringai sinis. "Ibu yang paling mengerti. Maka, tanyakanlah padanya!""Ibu sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan istrimu ini, Husein. Ibu rasa dia sudah gila!'
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk
"katakan kalau tebakan Bundamu salah, Ara! Katakan kau masih menginginkan Bagas seorang,' gumam Arsya dalam hatinya.Ia cemas, takut Ara memikirkan pernyataan cinta dari Raka."Ara hanya sedang ingin fokus pada karir Ara, Bunda. Saat ini, Ara tak mau memikirkan hal lain, apa lagi cinta. Ara masih muda. Biarlah Ara menyelesaikan impian Ara terlebih dahulu,'' paparnya."Itu sangat keren, sayang." Husein memujinya dengan bangga.Namun, Arsya semakin gelisah. 'Kenapa sikap Ara seolah benar-benar sudah tak mengharapkan Bagas? Apa perasaan bisa dihapuskan semudah itu?'.Malam harinya, Riva dan Flo tak juga beranjak dari rumah utama."Sayang, ini sudah larut. Kau mau pulang jam berapa? Papa mengkhawatirkanmu menyetir sendiri malam-malam begini," ujar Husein."Papa, sebenarnya aku ingin meminta izin untuk menginap di sini malam ini. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat agar tak telat. Boleh, Papa?""Tentu saja boleh. Kau tak perlu mempertanyakan itu, sayang.""Terima kasih, Papa. Selama
Akhirnya Raka memutuskan bergabung di perusahaan Husein. Hari ini ia membawa semua kelengkapan berkas lamaran untuk memenuhi syarat diterima di sana."Raka, kamu akan menjadi asisten pribadiku di sini. Bagaimana? Apa posisi itu cukup?" tanya Arsya seraya mengukir senyum senang."Apa tidak berlebihan mengangkat aku di posisi itu dengan waktu seawal ini, Arsya?""Aku rasa tidak. Kau kan pintar dan berprestasi. Perusahaan butuh semangat juang anak muda. Jadi, kau hanya perlu melakukan tugasmu sebaik mungkin setelah ini," papar Arsya pula.Raka mengangguk setuju. "Terima kasih, Nona muda."Arsya tertawa lepas mendengar panggilan itu dari Raka. Namun, ia juga tak membantahnya, sebab dirinya harus profesional kerja.__Di sisi lain, Ara juga tengah bersemangat menjalani tugas-tugasnya sebagai penulis sekaligus penerbit. Bagas yang setiap hari berada satu kantor dengan Ara, pun akhirnya menyadari kalau benih cintanya semakin tumbuh bersemi.Namun, sebaliknya. Ara sudah tak merasakan apa-apa
Luna merasa sial, semenjak Riva turut bergabung di sana. Kini, diirnya harus menerima kehilangan pekerjaan yang sudah sangat membantu biaya kehidupannya selama ini.'Aku bersumpah akan membalas Riva nanti,' batinnya seraya meninggalkan perusahaan tersebut.Sementara di sisi lain, Arsya juga sedang memprsiapkan meeting penting yang pertama kali dipimpin olehnya. Seluruh harga penjualan saham dan sebagainya telah dijelaskan Jingga.Saat ini, semua bergantung pada keputusan Arsya."Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih atas kerjasama kalian di perusahaan ini. Sungguh, tanpa bantuan kalian, maka aku tak akan mampu mengontrolnya sendiri. Rapat kali ini untuk menentukan harga penjualan produk yang akan diluncurkan minggu depan. Aku dan Bu Jingga sudah mendiskusikannya. Aku sudah mengambil keputusan," ujar Arsya dengan ekspresi yang tenang."Maaf, Nona Muda ... tapi, list harga yang tertera ini jauh lebih tinggi dari harga yang kita pasarkan bulan lalu. Apa tidak salah?" protes admin pemasa