Suara sepatu hak tinggi Gracya Light Ningsee menggema di lorong kampus Earth Hosana Akarta. Setiap langkahnya menandakan otoritas, dan siapa pun yang melihatnya pasti tahu, tak ada mahasiswa nakal yang bisa bersembunyi darinya. Dengan rambut hitamnya yang selalu diikat rapi dan tatapan tajam yang hampir selalu terarah ke jam dinding, Gracya adalah sosok yang terkenal—bukan hanya sebagai lulusan terbaik akademi keperawatan, tapi juga sebagai asisten dosen yang tak kenal ampun terhadap perilaku mahasiswa jahil.
Pintu kaca menuju ruang kuliah farmasi terlihat di depan. Sambil mendorong pintu itu, Gracya sudah siap dengan apa pun yang mungkin menunggunya di dalam. Sejak bekerja sebagai asisten dosen di kampus ini, Gracya sudah hafal dengan tingkah laku mahasiswa yang kadang lebih kreatif dalam membuat ulah daripada belajar. Apalagi malam ini, dia mendengar dari staf bahwa ada sekelompok mahasiswa yang sedang merencanakan sesuatu untuk "mengerjai" salah satu dosen di shift malam.
Gracya menegakkan bahunya dan menarik napas dalam, mencoba mempersiapkan mental untuk menghadapi apapun yang akan ia temui. Seperti yang sudah ia duga, ketika ia masuk, dia langsung melihat sebuah tengkorak plastik tergantung di salah satu sudut ruangan, berayun pelan-pelan dari kipas angin langit-langit.
Tengkorak itu meneteskan sesuatu berwarna merah dari kakinya, pasti cat poster untuk menambah suasana seram seperti darah segar dan ember lain yang sepertinya jebakan pamungkas para mahasiswa jahil. Dan tepat di sebelah tengkorak itu, ada sebuah pel yang disandarkan ke kaca dan diselimuti kain putih laboraturium, seolah pel itu adalah penjaga yang ditugaskan untuk mengawasi "korban" berikutnya sebagai sosok hantu-hantuan palsu dengan rambut tebal.
Gracya menghela napas panjang sambil menggeleng. "Mahasiswa-mahasiswa ini benar-benar punya banyak waktu luang ya, bukannya belajar malah bikin hal-hal begini," pikirnya.
Dengan tenang, ia menurunkan tengkorak itu dari kipas dan meletakkannya di meja dosen. Tangannya dengan cekatan menurunkan ember cat yang hampir jatuh—jika dibiarkan, siapapun yang masuk ruangan ini bisa saja tersiram cairan merah menyerupai darah yang sebenarnya cuma cat poster murahan.
"Aduh... mereka pikir bisa menakut-nakuti dosen seperti ini, hah?" gumam Gracya sambil meletakkan pel ke pojokan ruangan. "Sudah ketinggalan zaman keles."
Gracya tahu, siapa pun yang merencanakan "jebakan" ini pasti sudah sering menonton film horor yang sama. Sebagai asisten dosen, tanggung jawabnya bukan hanya mengawasi perkuliahan, tetapi juga menjaga ketertiban di kampus ini. Lagipula, Earth Hosana Akarta bukan kampus sembarangan. Reputasinya sebagai kampus farmasi terkemuka, dengan program keperawatan yang ketat, sudah dikenal luas. Tapi di balik itu semua, ada cerita-cerita yang beredar di kalangan mahasiswa—kisah-kisah menyeramkan tentang lonceng kematian yang katanya bisa terdengar di malam hari di area rumah sakit kampus.
"Kalau dengar lonceng di tengah malam, itu artinya ada kematian yang tidak wajar," kata salah seorang mahasiswa suatu hari, dengan suara berbisik. Gracya yang mendengarnya hanya mendengus kecil. Baginya, itu hanyalah taktik murahan mahasiswa lama untuk menakut-nakuti mahasiswa baru yang takut kegelapan. Apalagi mengambil kelas karyawan, mulai dari sore jam empat sampai kurang lebih jam sembilan malam.
Meski begitu, cerita lonceng kematian telah menjadi semacam legenda yang dibicarakan dari generasi ke generasi di kampus ini. Para mahasiswa kerap menjadikannya bahan gurauan, terutama ketika ada yang harus berjaga di laboratorium atau perpustakaan hingga malam. Dan tentu saja, legenda ini sering digunakan oleh mahasiswa nakal sebagai alasan untuk "mengerjai" teman-temannya.
Gracya tahu semua ini. Setiap kali ada cerita tentang lonceng kematian, dia pasti akan menemukan satu atau dua mahasiswa yang mencoba memanipulasi ketakutan itu. "Kreatif sekali mereka," katanya suatu kali, sambil menyindir seorang mahasiswa yang ketahuan menyembunyikan speaker kecil di dalam lemari alat medis, lalu memutar suara lonceng dari ponselnya.
Tapi meski tampak acuh tak acuh, Gracya tidak bisa sepenuhnya mengabaikan cerita itu. Rumah sakit kampus memang punya sejarah yang kelam. Banyak mahasiswa, dan bahkan beberapa staf, yang mengklaim pernah mendengar dentingan lonceng tersebut. Mereka bersumpah mendengarnya di malam-malam tertentu walau tidak sampai tengah malam, ketika hanya ada sedikit orang di sekitar kampus. Beberapa mahasiswa bahkan mengaku melihat sosok misterius di sudut-sudut gelap rumah sakit—sosok yang tampak seperti pasien yang tersesat, atau mungkin lebih dari itu.
Namun, bagi Gracya, cerita-cerita seperti itu hanya mitos belaka. Dia lebih percaya bahwa banyak dari kejadian aneh yang dilaporkan hanyalah akibat dari imajinasi yang terlalu aktif, atau lebih buruk lagi, ulah mahasiswa yang suka iseng dan memanfaatkan keadaan agar rencana mereka membuahkan hasil entah untuk tujuan apa.
Hari itu pun tak berbeda. Setelah beres-beres ruangan yang penuh jebakan palsu, Gracya memeriksa daftar tugas yang harus ia kerjakan. Ia harus mengawasi shift malam di laboratorium farmasi, dan ia sudah mendengar gosip dari beberapa mahasiswa tentang rencana untuk "mencoba sesuatu yang baru" malam ini.
Sambil berjalan menuju laboratorium, Gracya melihat beberapa mahasiswa yang bergegas meninggalkan kampus. Mereka terlihat bersikap normal, tetapi Gracya tahu persis, ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Beberapa dari mereka menyembunyikan senyum licik, berpura-pura sibuk, dan salah satu dari mereka—seorang mahasiswa yang sering berulah—melirik ke arah Gracya dengan senyum polos, walau ia tahu mahasiswa itu pasti melakukan sesuatu.
"Saya harap kalian sudah menyelesaikan laporan akhir kalian," ujar Gracya dengan nada tegas, sambil menatap tajam ke arah mahasiswa yang paling mencurigakan itu.
Mahasiswa tersebut sedikit tersentak, tapi hanya mengangguk cepat sebelum kabur bersama teman-temannya sambil tertawa geli melihat tingkah kakak pengawasnya. Gracya mendengus sambil mempercepat langkahnya. "Kalau saja mereka bisa seserius itu saat belajar," gumamnya pelan.
Setibanya di laboratorium, suasana sudah sepi. Lampu-lampu masih menyala, tapi tak ada tanda-tanda adanya aktivitas. Gracya mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan-pesan terakhir dari rekan kerjanya, sebelum mulai memeriksa ruangan.
Suara tik... tik... tik... dari jam dinding terdengar jelas di telinga Gracya, menambah kesan sunyi di ruangan besar itu.
"Tidak ada yang aneh," pikirnya sambil memeriksa rak obat dan peralatan lainnya. Semuanya tampak rapi, bahkan timbangan obat dalam posisi mati, tidak ada tanda-tanda bahwa jebakan apapun telah dipasang di sini. Gracya merasa lega, tapi tetap waspada.
Setelah beberapa saat, Gracya duduk di salah satu kursi di belakang meja dosen. Sesaat, pikirannya melayang pada legenda lonceng kematian yang sering dibicarakan. Ia tidak percaya, tentu saja. Tapi entah mengapa, setiap kali ia mendengar cerita itu, ada sedikit rasa dingin yang menjalari tengkuknya. Mungkin itu hanya imajinasi, atau mungkin hanya kebetulan karena suasana kampus memang menyeramkan saat malam hari.
Tiba-tiba, pintu laboratorium berderit pelan. Gracya menoleh, dan meskipun ia tidak melihat siapa pun masuk, udara di ruangan tiba-tiba terasa lebih berat. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir perasaan aneh itu.
"Ini hanya malam yang biasa," katanya pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan diri bahwa tak ada yang perlu ditakuti.
Tapi saat Gracya kembali fokus ke ponselnya, dia mendengar suara lain—lembut, hampir tidak terdengar, tapi jelas. Suara seperti... dentingan lonceng.
Gracya terdiam. Napasnya tertahan sejenak, tapi wajahnya tetap datar. Ia menunduk, berpura-pura sibuk membuka email di ponselnya, meskipun jari-jarinya gemetar halus. Dia tahu apa yang baru saja didengarnya, tapi tidak akan mengakuinya. Tidak mungkin.
"Ah, pasti cuma angin mengenai timbangan obat," gumamnya, meski dalam hati ia tak sepenuhnya yakin.
Dengan tenang, Gracya menekan tombol kunci di ponselnya, meletakkannya di atas meja, dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan seperti biasa—seakan dentingan itu hanya halusinasi belaka.
Tetapi, di sudut ruangan, bayangan samar berkelebat, nyaris tak terlihat. Dan meskipun Gracya tetap berpura-pura sibuk, dia bisa merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan.
Hari itu terasa panjang bagi Gracya. Matahari mulai meredup di langit senja, menandakan bahwa tugasnya di kampus hampir selesai. Namun, Gracya masih punya satu tugas terakhir sebelum benar-benar bisa pulang. Dia diminta membantu bersih-bersih di ruang kerja mendiang Bu Direktur, yang kini ditempati oleh anak pemilik yayasan kampus. Sejak Bu Direktur meninggal beberapa bulan lalu, ruangan itu jarang sekali digunakan, dan tumpukan kertas, buku-buku, serta barang-barang pribadi mendiang masih tertinggal di dalamnya.Gracya tidak tahu banyak tentang Bu Direktur. Dia terkenal sebagai sosok yang tegas namun dihormati, bahkan ditakuti oleh beberapa mahasiswa. Namun, ada satu hal yang sering menjadi topik pembicaraan: konon, Bu Direktur memiliki indera keenam. Banyak yang mengklaim bahwa beliau bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang biasa. Itu adalah salah satu alasan mengapa ruangan kerjanya sering kali dianggap menyeramkan.Ketika Gracya membuka pintu ruang kerja itu, dia disamb
Malam itu, hujan mulai turun dengan pelan, gerimis yang dingin membasahi aspal di luar kampus. Gracya duduk di bangku kecil di dekat pintu keluar, menunggu ojek online yang dipesannya melalui aplikasi di ponselnya. Dia baru saja menyelesaikan shift lemburnya di kampus, dan dengan cuaca yang mendung serta hawa malam yang menusuk tulang, dia tak sabar untuk segera pulang ke kosan.Sambil menunggu, Gracya membuka ponselnya, memeriksa lagi pesan dari aplikasi. “Di jalan,” tertulis di layar. Tapi sudah lima belas menit berlalu, dan tak ada tanda-tanda abang ojek online yang seharusnya menjemputnya."Ah, macet kali ya. Hujan begini pasti bikin jalanan semrawut," gumamnya, menenangkan diri sambil menarik jaketnya lebih erat untuk melawan dingin.Gracya menatap jalanan yang kosong. Lampu-lampu jalan memantulkan sinar redup di atas genangan air, dan sesekali terlihat kilatan lampu dari kendaraan yang lewat di kejauhan. Tapi ojeknya belum datang juga.Dia menghela napas panjang, memandangi pons
Keesokan paginya, Gracya merasa badannya masih pegal-pegal, seolah-olah tidur tidak cukup meredakan rasa lelah yang mendera sejak semalam. Mimpi-mimpi aneh tentang abang ojek online hantu masih menyisakan perasaan tidak nyaman di dadanya. Namun, dia tetap berusaha bersikap normal. Dia menatap cermin di kamar kosannya, memastikan wajahnya tidak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan."Udah pagi, nggak usah drama," ujarnya pada bayangan di cermin, sambil mengusap sedikit bedak di wajahnya. "Itu cuma stres, Gracya. Abang ojek online atau bukan, semua pasti aman hari ini."Namun, saat dia berjalan menuju kampus, keanehan mulai muncul lagi. Setiap kali dia melewati lorong kampus yang sepi, dia merasa ada sesuatu di belakangnya. Seolah-olah ada sepasang mata yang mengawasinya dari sudut-sudut ruangan. Setiap kali Gracya menoleh, tentu saja, tidak ada siapa pun. Hanya dinding-dinding dingin dan koridor kosong."Aduh, mungkin efek semalam. Jangan sampai jadi parno ya, Grace," katanya pelan, sam
Gracya mencoba menenangkan dirinya setelah suara lonceng misterius itu mereda. Dia tahu suasana di lorong kampus malam itu tidak akan berubah menjadi lebih nyaman, tapi dia harus tetap melanjutkan tugasnya menuju rumah sakit dari arah kampus. Dia menarik napas panjang, melangkah menuju koridor rumah sakit yang panjang dan gelap."Semua ini cuma halusinasi. Cuma imajinasi, pasti efek stres," gumamnya sambil menyenandungkan lagu pop ringan untuk mengusir rasa takut yang mulai merambat di sekujur tubuhnya.Lorong sangat itu sepi, tidak ada kehidupan kecuali dirinya sendiri yang bernafas. Lampu-lampu di sepanjang langit-langit berkedip-kedip, seperti memproyeksikan suasana mencekam. Suara sepatunya yang beradu dengan lantai keramik menjadi satu-satunya suara di sekitar. Namun, rasa dingin yang tiba-tiba merasuk ke dalam tubuhnya membuat Gracya semakin cemas.Di ujung lorong, sosok samar tersebut mulai bergerak perlahan seolah terhuyung-huyung. Gracya menajamkan pandangan. Sosok itu tampak
Gracya baru saja duduk di ruang staf ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya dengan malas, berharap itu bukan panggilan tugas tambahan. Suara Pak Wiryo, dosen senior yang terkenal dengan pengetahuan lokalnya tentang sejarah kampus, terdengar di ujung sana, berbicara dengan nada agak cemas.“Grace, bisa tolong gantikan Dewi malam ini? Katanya mendadak sakit. Tidak ada keterangan jelas, hanya katanya sangat mendadak.”Gracya menelan ludah. Setelah malam-malam aneh belakangan ini, ia merasa lelah, tetapi rasa tanggung jawabnya mendorongnya untuk menerima. “Baik, Pak. Saya bisa.”Malam itu, ia berjalan di lorong kampus yang sepi menuju ruang staf malam, merasakan dinginnya malam seperti menembus tulangnya. Suara langkahnya yang menggema di lorong menambah perasaan tidak nyaman yang semakin besar dalam dirinya. Di tengah kesunyian, ia teringat kembali pada cerita lonceng kematian yang sering dibicarakan mahasiswa. Cerita itu selalu terdengar seperti gurauan, tetapi akhir-akhir ini cerit
Setelah percakapan dengan Pak Suwito, Gracya merasa tidak enak badan, terutama bagian perutnya yang tiba-tiba melilit. Seolah-olah rasa takut dan cerita-cerita tentang lonceng kematian tadi menambah beban di perutnya. Ia berpikir mungkin hanya efek dari rasa cemas yang tertumpuk, tetapi gejala itu tak kunjung mereda."Aduh, perut, kenapa pas sekarang sih…" gerutunya pelan.Dengan langkah tergesa, Gracya berjalan ke kamar mandi kampus yang berada di ujung lorong, merasa semakin cemas setiap kali melihat bayangan dirinya di dinding atau mendengar bunyi kunci berderit dari pintu-pintu di sepanjang lorong. Suasana kampus yang sepi membuat setiap langkahnya terasa menggema, seolah-olah ia tidak berjalan sendirian. Tapi malam itu, Gracya hanya bisa berharap agar semua perasaan takutnya segera hilang setelah ia berhasil menuntaskan urusan di toilet.Sesampainya di kamar mandi, Gracya merasa lebih tenang. Ruangan yang terang dengan keramik putih bersih sedikit mengurangi ketegangannya. Setela
Gracya duduk di ruang staf dengan kepala yang terasa berat, mencoba mengabaikan bayangan kunti influencer yang ditemuinya di kamar mandi tadi. Sambil menenangkan diri, ia membuka ponselnya, berharap media sosial bisa mengalihkan pikiran. Namun, begitu membuka Instagram, matanya membelalak melihat deretan notifikasi aneh. Akun-akun asing membanjiri berandanya, sebagian besar dengan foto-foto bayi, menyukai unggahannya tanpa alasan jelas.Sejenak, Gracya hanya menatap notifikasi itu dengan heran. Ini aneh. Apa mungkin ini ulah seseorang yang sedang iseng? pikirnya, tetapi bayangan wajah kunti influencer di kamar mandi tadi langsung muncul di benaknya, membuatnya semakin resah. Ia berusaha untuk tidak peduli, menutup ponselnya dan memaksa dirinya berkonsentrasi pada laporan yang harus ia selesaikan.Ruang staf terasa sepi, hanya diisi suara detak jam yang perlahan, seperti penanda waktu yang semakin melambat. Gracya menarik napas dalam, berusaha menghalau perasaan takut yang seakan melek
Ruangan terasa semakin sempit dan pengap, seperti tak cukup oksigen untuk dihirup. Gracya duduk dengan tubuh gemetar, memandangi lonceng di atas meja yang tak kunjung hilang dari pikirannya. Suara dentingan samar yang bergema sejak tadi seolah menyatu dengan detak jantungnya, membuat ia semakin sulit membedakan antara kenyataan dan bayangan. Sejak suara tawa kunti itu lenyap, Gracya tak bisa lagi merasa tenang.Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus keluar… aku harus bicara dengan Pak Suwito, pikirnya. Ia berdiri dengan tubuh gemetar, memaksakan diri untuk melangkah keluar dari ruangan.Begitu pintu ruang staf tertutup di belakangnya, ia merasa sedikit lebih lega. Lorong panjang rumah sakit tampak sepi, dengan lampu-lampu redup yang menciptakan bayangan di dinding. Suasana yang biasanya terasa tenang kini berubah menjadi menakutkan, seolah-olah dinding-dinding lorong menyimpan rahasia yang menunggu untuk terungkap. Gracya melangkah perlahan, berusaha mencari sosok Pak Suwito yang biasany
Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken
Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s
Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap
Gracya berdiri terpaku di tengah ruangan dokumen. Bayangan hitam yang mengintimidasi semakin mendekat, bergerak seperti asap pekat yang hidup. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rak-rak bergetar, dokumen-dokumen beterbangan, dan suara-suara samar seperti bisikan terdengar dari berbagai sudut. Gracya tahu apa yang akan terjadi. Bayangan itu seolah mencari celah untuk masuk, berusaha merasukinya.Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tuhan, tolong aku... lindungi aku dari semua ini. Ia mulai berdoa dalam hati, suaranya terdengar bergetar di pikirannya sendiri. Bayangan itu bergerak semakin dekat, dan udara terasa semakin berat.Dentang lonceng terdengar tiba-tiba, memecah kesunyian. Suaranya bergema, mengguncang ruangan seperti alunan peringatan yang kuat. Gracya membuka matanya. Pemandangan di depannya telah berubah. Tidak ada lagi rak-rak kayu atau tumpukan dokumen yang berserakan. Sebagai gantinya, ia ber
Gracya berjalan dengan langkah cepat di koridor kampus farmasi yang sepi, sementara Dewi, yang terlihat cemas, terus mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang yang hanya diterangi lampu-lampu redup. Angin malam meniupkan hawa dingin dari celah jendela tua, membuat lorong terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Grace, tunggu,” panggil Dewi dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Kamu mau ke mana? Jangan tinggalin aku sendirian di sini.”Gracya berhenti, menoleh ke belakang. Dewi tampak semakin takut, matanya melirik ke sudut-sudut gelap lorong. Gracya menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Kenapa dia harus ikut malam ini? Aku harus menyelesaikan ini sendiri.“Aku cuma mau ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini,” jawab Gracya setenang mungkin.“Enggak! Aku ikut. Aku nggak mau sendirian,” Dewi bersikeras, matanya membulat penuh ketakutan. “Tempat ini... kamu tahu sendiri, kan? Tempat ini nggak normal.”Gracya tidak punya pilihan selain membiar
Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi
Langit malam sudah gelap pekat ketika Gracya akhirnya terlelap. Hujan deras yang mengguyur sedari sore mulai mereda, menyisakan udara lembab yang menyelubungi kamarnya. Di luar jendela, sisa-sisa gerimis masih terdengar berirama, mengiringi tidurnya yang tidak tenang. Tubuhnya terasa berat, seolah diganduli sesuatu. Namun, bukannya merasakan kedamaian tidur yang menenangkan, Gracya justru mendapati dirinya berada di koridor rumah sakit yang lengang dan sunyi.Lampu-lampu redup di lorong panjang itu berkedip lemah, membuat suasana terasa lebih dingin dan mencekam. Gracya berjalan perlahan di lorong tersebut, setiap langkahnya menggema, namun seperti tenggelam dalam keheningan yang hampa. Seolah seluruh rumah sakit mengawasinya dalam diam.Langkah-langkahnya membawanya ke pintu ICU, yang tiba-tiba terbuka pelan tanpa suara. Di dalamnya, kabut tipis merayap di lantai, memantulkan cahaya putih pucat dari lampu di atas kepala. Napas Gracya tertahan ketika ia melihat sosok kecil di ujung ru
Hujan deras mengguyur tanpa henti di luar kosan Gracya, menciptakan irama monoton yang terasa semakin menambah suasana mencekam. Hujan seakan membekukan malam itu, menjadikan setiap suara—tetirisan air, desiran angin, bahkan detak jarum jam di dinding kamar—terdengar berlipat kali lebih nyaring. Gracya duduk di sudut kamar kosnya, dengan jendela yang setengah tertutup, menyaksikan tetesan air yang menetes dari genteng dan meluncur bebas menuju tanah. Di bawah cahaya lampu meja yang temaram, bayangannya sendiri tampak melintasi dinding kamar, menambah nuansa seram pada malam itu.Dia menatap laptop di depannya, membuka beberapa folder yang berisi arsip rumah sakit. Gracya tahu bahwa penyelidikan ini berbahaya; jika ketahuan, posisinya sebagai asisten dosen mungkin terancam. Namun, rasa penasaran dan kegelisahan yang ia rasakan sejak pertemuannya dengan hantu pasien korban malpraktik membuatnya tidak bisa tinggal diam. Dia memikirkan arwah-arwah yang mungkin belum beristirahat dengan te
Gracya akhirnya tiba di depan rumah kosnya setelah malam panjang yang penuh ketegangan. Sepanjang perjalanan pulang, kepalanya berat, pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan yang ia lihat selama shift malam. Bahkan, ia sempat ketiduran di punggung abang ojek yang membawanya pulang. Abang ojek itu harus membangunkannya dengan lembut, membisikkan, “Mbak, sudah sampai.”Gracya mengusap matanya, terkejut mendapati abang ojek yang tersenyum di depannya ternyata cukup tampan. Sebelum ia sempat mengucapkan terima kasih, abang itu hanya berkata, “Hati-hati, Mbak. Kayaknya mau hujan, jangan lupa jemurannya diangkat ya.”“Eh, iya, iya. Makasih, Bang,” jawab Gracya dengan senyum mengantuk, meskipun dalam hati ia sedikit terkejut dengan perkataan itu. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia menjemur baju, karena akhir-akhir ini ia hanya pulang ke kos untuk istirahat sejenak sebelum kembali ke rumah sakit.Setelah membayar, ia melangkah masuk ke kosan, yang terlihat sepi karena para penghuni la