Share

LEMBUR TENGAH MALAM
LEMBUR TENGAH MALAM
Author: Futopia

Legenda Lonceng Kematian

Suara sepatu hak tinggi Gracya Light Ningsee menggema di lorong kampus Earth Hosana Akarta. Setiap langkahnya menandakan otoritas, dan siapa pun yang melihatnya pasti tahu, tak ada mahasiswa nakal yang bisa bersembunyi darinya. Dengan rambut hitamnya yang selalu diikat rapi dan tatapan tajam yang hampir selalu terarah ke jam dinding, Gracya adalah sosok yang terkenal—bukan hanya sebagai lulusan terbaik akademi keperawatan, tapi juga sebagai asisten dosen yang tak kenal ampun terhadap perilaku mahasiswa jahil.

Pintu kaca menuju ruang kuliah farmasi terlihat di depan. Sambil mendorong pintu itu, Gracya sudah siap dengan apa pun yang mungkin menunggunya di dalam. Sejak bekerja sebagai asisten dosen di kampus ini, Gracya sudah hafal dengan tingkah laku mahasiswa yang kadang lebih kreatif dalam membuat ulah daripada belajar. Apalagi malam ini, dia mendengar dari staf bahwa ada sekelompok mahasiswa yang sedang merencanakan sesuatu untuk "mengerjai" salah satu dosen di shift malam.

Gracya menegakkan bahunya dan menarik napas dalam, mencoba mempersiapkan mental untuk menghadapi apapun yang akan ia temui. Seperti yang sudah ia duga, ketika ia masuk, dia langsung melihat sebuah tengkorak plastik tergantung di salah satu sudut ruangan, berayun pelan-pelan dari kipas angin langit-langit.

Tengkorak itu meneteskan sesuatu berwarna merah dari kakinya, pasti cat poster untuk menambah suasana seram seperti darah segar dan ember lain yang sepertinya jebakan pamungkas para mahasiswa jahil. Dan tepat di sebelah tengkorak itu, ada sebuah pel yang disandarkan ke kaca dan diselimuti kain putih laboraturium, seolah pel itu adalah penjaga yang ditugaskan untuk mengawasi "korban" berikutnya sebagai sosok hantu-hantuan palsu dengan rambut tebal.

Gracya menghela napas panjang sambil menggeleng. "Mahasiswa-mahasiswa ini benar-benar punya banyak waktu luang ya, bukannya belajar malah bikin hal-hal begini," pikirnya.

Dengan tenang, ia menurunkan tengkorak itu dari kipas dan meletakkannya di meja dosen. Tangannya dengan cekatan menurunkan ember cat yang hampir jatuh—jika dibiarkan, siapapun yang masuk ruangan ini bisa saja tersiram cairan merah menyerupai darah yang sebenarnya cuma cat poster murahan.

"Aduh... mereka pikir bisa menakut-nakuti dosen seperti ini, hah?" gumam Gracya sambil meletakkan pel ke pojokan ruangan. "Sudah ketinggalan zaman keles."

Gracya tahu, siapa pun yang merencanakan "jebakan" ini pasti sudah sering menonton film horor yang sama. Sebagai asisten dosen, tanggung jawabnya bukan hanya mengawasi perkuliahan, tetapi juga menjaga ketertiban di kampus ini. Lagipula, Earth Hosana Akarta bukan kampus sembarangan. Reputasinya sebagai kampus farmasi terkemuka, dengan program keperawatan yang ketat, sudah dikenal luas. Tapi di balik itu semua, ada cerita-cerita yang beredar di kalangan mahasiswa—kisah-kisah menyeramkan tentang lonceng kematian yang katanya bisa terdengar di malam hari di area rumah sakit kampus.

"Kalau dengar lonceng di tengah malam, itu artinya ada kematian yang tidak wajar," kata salah seorang mahasiswa suatu hari, dengan suara berbisik. Gracya yang mendengarnya hanya mendengus kecil. Baginya, itu hanyalah taktik murahan mahasiswa lama untuk menakut-nakuti mahasiswa baru yang takut kegelapan. Apalagi mengambil kelas karyawan, mulai dari sore jam empat sampai kurang lebih jam sembilan malam.

Meski begitu, cerita lonceng kematian telah menjadi semacam legenda yang dibicarakan dari generasi ke generasi di kampus ini. Para mahasiswa kerap menjadikannya bahan gurauan, terutama ketika ada yang harus berjaga di laboratorium atau perpustakaan hingga malam. Dan tentu saja, legenda ini sering digunakan oleh mahasiswa nakal sebagai alasan untuk "mengerjai" teman-temannya.

Gracya tahu semua ini. Setiap kali ada cerita tentang lonceng kematian, dia pasti akan menemukan satu atau dua mahasiswa yang mencoba memanipulasi ketakutan itu. "Kreatif sekali mereka," katanya suatu kali, sambil menyindir seorang mahasiswa yang ketahuan menyembunyikan speaker kecil di dalam lemari alat medis, lalu memutar suara lonceng dari ponselnya.

Tapi meski tampak acuh tak acuh, Gracya tidak bisa sepenuhnya mengabaikan cerita itu. Rumah sakit kampus memang punya sejarah yang kelam. Banyak mahasiswa, dan bahkan beberapa staf, yang mengklaim pernah mendengar dentingan lonceng tersebut. Mereka bersumpah mendengarnya di malam-malam tertentu walau tidak sampai tengah malam, ketika hanya ada sedikit orang di sekitar kampus. Beberapa mahasiswa bahkan mengaku melihat sosok misterius di sudut-sudut gelap rumah sakit—sosok yang tampak seperti pasien yang tersesat, atau mungkin lebih dari itu.

Namun, bagi Gracya, cerita-cerita seperti itu hanya mitos belaka. Dia lebih percaya bahwa banyak dari kejadian aneh yang dilaporkan hanyalah akibat dari imajinasi yang terlalu aktif, atau lebih buruk lagi, ulah mahasiswa yang suka iseng dan memanfaatkan keadaan agar rencana mereka membuahkan hasil entah untuk tujuan apa.

Hari itu pun tak berbeda. Setelah beres-beres ruangan yang penuh jebakan palsu, Gracya memeriksa daftar tugas yang harus ia kerjakan. Ia harus mengawasi shift malam di laboratorium farmasi, dan ia sudah mendengar gosip dari beberapa mahasiswa tentang rencana untuk "mencoba sesuatu yang baru" malam ini.

Sambil berjalan menuju laboratorium, Gracya melihat beberapa mahasiswa yang bergegas meninggalkan kampus. Mereka terlihat bersikap normal, tetapi Gracya tahu persis, ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Beberapa dari mereka menyembunyikan senyum licik, berpura-pura sibuk, dan salah satu dari mereka—seorang mahasiswa yang sering berulah—melirik ke arah Gracya dengan senyum polos, walau ia tahu mahasiswa itu pasti melakukan sesuatu.

"Saya harap kalian sudah menyelesaikan laporan akhir kalian," ujar Gracya dengan nada tegas, sambil menatap tajam ke arah mahasiswa yang paling mencurigakan itu.

Mahasiswa tersebut sedikit tersentak, tapi hanya mengangguk cepat sebelum kabur bersama teman-temannya sambil tertawa geli melihat tingkah kakak pengawasnya. Gracya mendengus sambil mempercepat langkahnya. "Kalau saja mereka bisa seserius itu saat belajar," gumamnya pelan.

Setibanya di laboratorium, suasana sudah sepi. Lampu-lampu masih menyala, tapi tak ada tanda-tanda adanya aktivitas. Gracya mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan-pesan terakhir dari rekan kerjanya, sebelum mulai memeriksa ruangan.

Suara tik... tik... tik... dari jam dinding terdengar jelas di telinga Gracya, menambah kesan sunyi di ruangan besar itu.

"Tidak ada yang aneh," pikirnya sambil memeriksa rak obat dan peralatan lainnya. Semuanya tampak rapi, bahkan timbangan obat dalam posisi mati, tidak ada tanda-tanda bahwa jebakan apapun telah dipasang di sini. Gracya merasa lega, tapi tetap waspada.

Setelah beberapa saat, Gracya duduk di salah satu kursi di belakang meja dosen. Sesaat, pikirannya melayang pada legenda lonceng kematian yang sering dibicarakan. Ia tidak percaya, tentu saja. Tapi entah mengapa, setiap kali ia mendengar cerita itu, ada sedikit rasa dingin yang menjalari tengkuknya. Mungkin itu hanya imajinasi, atau mungkin hanya kebetulan karena suasana kampus memang menyeramkan saat malam hari.

Tiba-tiba, pintu laboratorium berderit pelan. Gracya menoleh, dan meskipun ia tidak melihat siapa pun masuk, udara di ruangan tiba-tiba terasa lebih berat. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir perasaan aneh itu.

"Ini hanya malam yang biasa," katanya pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan diri bahwa tak ada yang perlu ditakuti.

Tapi saat Gracya kembali fokus ke ponselnya, dia mendengar suara lain—lembut, hampir tidak terdengar, tapi jelas. Suara seperti... dentingan lonceng.

Gracya terdiam. Napasnya tertahan sejenak, tapi wajahnya tetap datar. Ia menunduk, berpura-pura sibuk membuka email di ponselnya, meskipun jari-jarinya gemetar halus. Dia tahu apa yang baru saja didengarnya, tapi tidak akan mengakuinya. Tidak mungkin.

"Ah, pasti cuma angin mengenai timbangan obat," gumamnya, meski dalam hati ia tak sepenuhnya yakin.

Dengan tenang, Gracya menekan tombol kunci di ponselnya, meletakkannya di atas meja, dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan seperti biasa—seakan dentingan itu hanya halusinasi belaka.

Tetapi, di sudut ruangan, bayangan samar berkelebat, nyaris tak terlihat. Dan meskipun Gracya tetap berpura-pura sibuk, dia bisa merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status