Hari itu terasa panjang bagi Gracya. Matahari mulai meredup di langit senja, menandakan bahwa tugasnya di kampus hampir selesai. Namun, Gracya masih punya satu tugas terakhir sebelum benar-benar bisa pulang. Dia diminta membantu bersih-bersih di ruang kerja mendiang Bu Direktur, yang kini ditempati oleh anak pemilik yayasan kampus. Sejak Bu Direktur meninggal beberapa bulan lalu, ruangan itu jarang sekali digunakan, dan tumpukan kertas, buku-buku, serta barang-barang pribadi mendiang masih tertinggal di dalamnya.
Gracya tidak tahu banyak tentang Bu Direktur. Dia terkenal sebagai sosok yang tegas namun dihormati, bahkan ditakuti oleh beberapa mahasiswa. Namun, ada satu hal yang sering menjadi topik pembicaraan: konon, Bu Direktur memiliki indera keenam. Banyak yang mengklaim bahwa beliau bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang biasa. Itu adalah salah satu alasan mengapa ruangan kerjanya sering kali dianggap menyeramkan.
Ketika Gracya membuka pintu ruang kerja itu, dia disambut oleh aroma debu dan kertas tua. Ruangan itu terasa sunyi, seperti menyimpan rahasia yang terpendam selama bertahun-tahun. Matahari sore yang temaram menembus tirai, memberikan cahaya keemasan yang memantul di atas tumpukan dokumen-dokumen lama di meja.
"Yah, tidak seburuk yang kupikir," gumam Gracya sambil melepaskan tasnya. Dia mengambil kemoceng dan mulai membersihkan rak buku yang berderet di sisi ruangan.
Saat dia membersihkan meja, matanya tertuju pada sebuah guci kecil yang terletak di sudut, dikelilingi oleh beberapa buku tebal. Guci itu tampak aneh, tidak seperti dekorasi biasa. Gracya mengernyitkan dahi, merasa asing dengan keberadaan benda itu. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya dan melanjutkan dengan lap pembersih di tangannya, bergerak dari satu meja ke meja lain, hingga akhirnya dia sampai di dekat guci tersebut.
"Harusnya guci ini sudah dipindahkan," gumamnya sambil mencoba menggesernya sedikit. Namun, saat Gracya menyentuh guci itu, tiba-tiba penutupnya tergelincir, dan sesuatu yang lembut dan berdebu keluar dari dalamnya.
"Aduh!" Gracya melonjak mundur, panik. "Apaan sih?"
Abu kremasi. Itulah yang ada di depan matanya. Gracya menatap abu tersebut dengan bingung, tetapi kesadarannya langsung muncul. Itu pasti abu mendiang Bu Direktur. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi jantungnya berdetak cepat. Tidak ada yang pernah memberitahunya bahwa abu Bu Direktur masih disimpan di sini. Dalam benaknya, tempat itu seharusnya sudah kosong, hanya diisi oleh barang-barang biasa, bukan sesuatu yang tidak biasa dan cenderung tidak pada tempatnya, seperti abu tersebut.
"Astaga, aku benar-benar harus lebih hati-hati!" katanya sambil buru-buru mengambil tisu dari tasnya. Ia berusaha membersihkan abu yang bertebaran di meja. Saat dia membersihkan debu tersebut, sehelai abu yang sangat halus tiba-tiba beterbangan di udara dan—tanpa sadar—Gracya menarik napas dalam. Debu abu itu terhisap masuk ke dalam hidungnya.
Gracya terdiam, matanya melebar. Dia terbatuk pelan, merasa sedikit sesak, tetapi yang lebih membuatnya tidak nyaman adalah perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Sebuah rasa dingin merayap di kulitnya, seperti ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya.
"Hadeh… cu-cuma debu. Tidak perlu panik," katanya pelan, mencoba menenangkan diri. "Ini semua cuma kebetulan."
Dia mencoba melanjutkan bersih-bersih, meskipun rasa aneh itu masih menggantung di pikirannya. Setelah beberapa menit, dia memutuskan bahwa ruangan sudah cukup bersih, dan memutuskan untuk keluar. Namun, saat Gracya membuka pintu dan melangkah ke luar, dia merasa ada sesuatu yang menahannya. Seperti ada mata yang mengawasi dari balik kegelapan ruangan itu.
Dengan cepat, Gracya mengabaikan perasaan itu, menutup pintu, dan berlalu pergi. Tapi langkahnya terasa lebih cepat dari biasanya, seolah-olah ada yang ingin ia tinggalkan di belakang.
Malam itu, Gracya tidak bisa tidur dengan tenang di kamar kosannya. Ada yang aneh. Dia merasa seperti terus-menerus diawasi. Setiap kali dia memejamkan mata, dia merasa ada bayangan-bayangan di tepi penglihatannya. Bayangan yang seolah berbisik, tapi dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Dia mencoba menenangkan diri, meyakinkan diri bahwa ini semua hanya akibat kelelahan dan insiden di ruangan Bu Direktur tadi.
"Sudah cukup tidur untuk hari ini. Besok juga sudah beres," bisiknya kepada dirinya sendiri, memaksa dirinya terlelap.
Namun, malam-malam berikutnya tidak lebih baik. Gracya mulai mengalami penglihatan-penglihatan sekilas. Saat dia sedang berjalan di kampus, bayangan sosok-sosok samar muncul di sudut matanya—kadang seorang pria berpakaian pasien rumah sakit yang tampak tersesat di koridor, kadang bayangan seorang perempuan yang berdiri memandanginya dari jauh.
Gracya berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutan. Dia tetap bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ketika penglihatan itu muncul, dia hanya akan mengalihkan perhatiannya ke hal lain, seperti sibuk bermain ponsel atau memperbaiki kacamatanya. Jika ada mahasiswa yang melihat reaksinya, mereka mungkin mengira Gracya hanya sedang lelah, padahal jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Semuanya baik-baik saja," Gracya sering berkata kepada dirinya sendiri. "Ini cuma stres menghadapi tanggal tua."
Namun, malam semakin panjang dan rasa takutnya mulai tumbuh.
Malam berikutnya, saat Gracya bertugas sendirian di ruang kuliah, suasana sunyi begitu mencekam. Dia merasa udara semakin berat, dan entah mengapa, punggungnya terasa dingin. Di sudut matanya, Gracya bisa melihat sosok samar—seperti bayangan seseorang yang duduk di kursi paling belakang ruangan. Gracya menelan ludah, mencoba mengabaikan kehadiran itu.
"Sekali lagi, ini hanya imajinasiku," gumamnya sambil memfokuskan diri pada buku catatan di depannya. Tapi kehadiran itu tidak hilang.
Setiap kali dia mengangkat kepala, bayangan itu seolah bergerak, tapi begitu dia menoleh, bayangan itu menghilang.
Gracya mulai merasa lebih tidak nyaman. Dia memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke luar kelas. Namun, sebelum dia bisa mencapai pintu, suara samar terdengar di telinganya. Suara yang seakan datang dari jauh, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
"G-ra… cya..."
Gracya berhenti, tubuhnya kaku. Dia menahan napas, mendengarkan. Tidak ada yang lain selain sunyi.
"Itu... cuma imajinasi," katanya pelan, meskipun dalam hatinya dia tahu, itu bukan sekadar imajinasi. Suara itu nyata. Sesuatu sedang memanggilnya.
Ia cepat-cepat keluar dari ruangan, langkahnya semakin cepat saat mendengar langkah kaki lain yang seakan mengikutinya dari belakang. Tapi ketika dia menoleh, tidak ada apa-apa.
Hari-hari berikutnya, penglihatan itu semakin intens. Suara bisikan dan tawa kecil yang aneh muncul, bayangan-bayangan semakin sering terlihat. Setiap kali dia bertugas sendirian di malam hari, Gracya merasa ada sesuatu yang berusaha mendekatinya. Tapi dia terus berpura-pura tidak peduli, meski tubuhnya selalu waspada.
"Ini semua gara-gara abu kremasi itu," pikirnya suatu malam, saat ia berbaring di kasurnya, terjaga. "Aku pasti terlalu banyak pikiran juga, butuh tidur yang cukup nih mulai sekarang."
Tapi tidurnya selalu terganggu oleh bisikan-bisikan aneh, bayangan yang semakin jelas muncul di mimpi buruknya. Dan setiap kali dia mencoba melupakannya, bayangan itu semakin mendesaknya untuk memahami.
Dan malam itu, saat dentingan lonceng terdengar di telinganya, Gracya mulai menyadari bahwa dia mungkin telah terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap dari sekadar stres, lelah, maupun tanggal tua.
Malam itu, hujan mulai turun dengan pelan, gerimis yang dingin membasahi aspal di luar kampus. Gracya duduk di bangku kecil di dekat pintu keluar, menunggu ojek online yang dipesannya melalui aplikasi di ponselnya. Dia baru saja menyelesaikan shift lemburnya di kampus, dan dengan cuaca yang mendung serta hawa malam yang menusuk tulang, dia tak sabar untuk segera pulang ke kosan.Sambil menunggu, Gracya membuka ponselnya, memeriksa lagi pesan dari aplikasi. “Di jalan,” tertulis di layar. Tapi sudah lima belas menit berlalu, dan tak ada tanda-tanda abang ojek online yang seharusnya menjemputnya."Ah, macet kali ya. Hujan begini pasti bikin jalanan semrawut," gumamnya, menenangkan diri sambil menarik jaketnya lebih erat untuk melawan dingin.Gracya menatap jalanan yang kosong. Lampu-lampu jalan memantulkan sinar redup di atas genangan air, dan sesekali terlihat kilatan lampu dari kendaraan yang lewat di kejauhan. Tapi ojeknya belum datang juga.Dia menghela napas panjang, memandangi pons
Keesokan paginya, Gracya merasa badannya masih pegal-pegal, seolah-olah tidur tidak cukup meredakan rasa lelah yang mendera sejak semalam. Mimpi-mimpi aneh tentang abang ojek online hantu masih menyisakan perasaan tidak nyaman di dadanya. Namun, dia tetap berusaha bersikap normal. Dia menatap cermin di kamar kosannya, memastikan wajahnya tidak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan."Udah pagi, nggak usah drama," ujarnya pada bayangan di cermin, sambil mengusap sedikit bedak di wajahnya. "Itu cuma stres, Gracya. Abang ojek online atau bukan, semua pasti aman hari ini."Namun, saat dia berjalan menuju kampus, keanehan mulai muncul lagi. Setiap kali dia melewati lorong kampus yang sepi, dia merasa ada sesuatu di belakangnya. Seolah-olah ada sepasang mata yang mengawasinya dari sudut-sudut ruangan. Setiap kali Gracya menoleh, tentu saja, tidak ada siapa pun. Hanya dinding-dinding dingin dan koridor kosong."Aduh, mungkin efek semalam. Jangan sampai jadi parno ya, Grace," katanya pelan, sam
Gracya mencoba menenangkan dirinya setelah suara lonceng misterius itu mereda. Dia tahu suasana di lorong kampus malam itu tidak akan berubah menjadi lebih nyaman, tapi dia harus tetap melanjutkan tugasnya menuju rumah sakit dari arah kampus. Dia menarik napas panjang, melangkah menuju koridor rumah sakit yang panjang dan gelap."Semua ini cuma halusinasi. Cuma imajinasi, pasti efek stres," gumamnya sambil menyenandungkan lagu pop ringan untuk mengusir rasa takut yang mulai merambat di sekujur tubuhnya.Lorong sangat itu sepi, tidak ada kehidupan kecuali dirinya sendiri yang bernafas. Lampu-lampu di sepanjang langit-langit berkedip-kedip, seperti memproyeksikan suasana mencekam. Suara sepatunya yang beradu dengan lantai keramik menjadi satu-satunya suara di sekitar. Namun, rasa dingin yang tiba-tiba merasuk ke dalam tubuhnya membuat Gracya semakin cemas.Di ujung lorong, sosok samar tersebut mulai bergerak perlahan seolah terhuyung-huyung. Gracya menajamkan pandangan. Sosok itu tampak
Gracya baru saja duduk di ruang staf ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya dengan malas, berharap itu bukan panggilan tugas tambahan. Suara Pak Wiryo, dosen senior yang terkenal dengan pengetahuan lokalnya tentang sejarah kampus, terdengar di ujung sana, berbicara dengan nada agak cemas.“Grace, bisa tolong gantikan Dewi malam ini? Katanya mendadak sakit. Tidak ada keterangan jelas, hanya katanya sangat mendadak.”Gracya menelan ludah. Setelah malam-malam aneh belakangan ini, ia merasa lelah, tetapi rasa tanggung jawabnya mendorongnya untuk menerima. “Baik, Pak. Saya bisa.”Malam itu, ia berjalan di lorong kampus yang sepi menuju ruang staf malam, merasakan dinginnya malam seperti menembus tulangnya. Suara langkahnya yang menggema di lorong menambah perasaan tidak nyaman yang semakin besar dalam dirinya. Di tengah kesunyian, ia teringat kembali pada cerita lonceng kematian yang sering dibicarakan mahasiswa. Cerita itu selalu terdengar seperti gurauan, tetapi akhir-akhir ini cerit
Setelah percakapan dengan Pak Suwito, Gracya merasa tidak enak badan, terutama bagian perutnya yang tiba-tiba melilit. Seolah-olah rasa takut dan cerita-cerita tentang lonceng kematian tadi menambah beban di perutnya. Ia berpikir mungkin hanya efek dari rasa cemas yang tertumpuk, tetapi gejala itu tak kunjung mereda."Aduh, perut, kenapa pas sekarang sih…" gerutunya pelan.Dengan langkah tergesa, Gracya berjalan ke kamar mandi kampus yang berada di ujung lorong, merasa semakin cemas setiap kali melihat bayangan dirinya di dinding atau mendengar bunyi kunci berderit dari pintu-pintu di sepanjang lorong. Suasana kampus yang sepi membuat setiap langkahnya terasa menggema, seolah-olah ia tidak berjalan sendirian. Tapi malam itu, Gracya hanya bisa berharap agar semua perasaan takutnya segera hilang setelah ia berhasil menuntaskan urusan di toilet.Sesampainya di kamar mandi, Gracya merasa lebih tenang. Ruangan yang terang dengan keramik putih bersih sedikit mengurangi ketegangannya. Setela
Gracya duduk di ruang staf dengan kepala yang terasa berat, mencoba mengabaikan bayangan kunti influencer yang ditemuinya di kamar mandi tadi. Sambil menenangkan diri, ia membuka ponselnya, berharap media sosial bisa mengalihkan pikiran. Namun, begitu membuka Instagram, matanya membelalak melihat deretan notifikasi aneh. Akun-akun asing membanjiri berandanya, sebagian besar dengan foto-foto bayi, menyukai unggahannya tanpa alasan jelas.Sejenak, Gracya hanya menatap notifikasi itu dengan heran. Ini aneh. Apa mungkin ini ulah seseorang yang sedang iseng? pikirnya, tetapi bayangan wajah kunti influencer di kamar mandi tadi langsung muncul di benaknya, membuatnya semakin resah. Ia berusaha untuk tidak peduli, menutup ponselnya dan memaksa dirinya berkonsentrasi pada laporan yang harus ia selesaikan.Ruang staf terasa sepi, hanya diisi suara detak jam yang perlahan, seperti penanda waktu yang semakin melambat. Gracya menarik napas dalam, berusaha menghalau perasaan takut yang seakan melek
Ruangan terasa semakin sempit dan pengap, seperti tak cukup oksigen untuk dihirup. Gracya duduk dengan tubuh gemetar, memandangi lonceng di atas meja yang tak kunjung hilang dari pikirannya. Suara dentingan samar yang bergema sejak tadi seolah menyatu dengan detak jantungnya, membuat ia semakin sulit membedakan antara kenyataan dan bayangan. Sejak suara tawa kunti itu lenyap, Gracya tak bisa lagi merasa tenang.Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus keluar… aku harus bicara dengan Pak Suwito, pikirnya. Ia berdiri dengan tubuh gemetar, memaksakan diri untuk melangkah keluar dari ruangan.Begitu pintu ruang staf tertutup di belakangnya, ia merasa sedikit lebih lega. Lorong panjang rumah sakit tampak sepi, dengan lampu-lampu redup yang menciptakan bayangan di dinding. Suasana yang biasanya terasa tenang kini berubah menjadi menakutkan, seolah-olah dinding-dinding lorong menyimpan rahasia yang menunggu untuk terungkap. Gracya melangkah perlahan, berusaha mencari sosok Pak Suwito yang biasany
Matahari pagi mulai merayap di balik jendela rumah sakit, menandai berakhirnya shift malam yang panjang dan penuh ketegangan bagi Gracya. Beberapa jam berlalu tanpa ada keanehan lebih lanjut setelah ia meninggalkan lorong dan kembali ke ruang staf. Keletihan akibat malam-malam lembur membuat matanya terasa berat, namun rasa lega mulai muncul seiring sinar matahari yang menyinari ruangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa bernapas sedikit lebih lega.Setidaknya, aku bisa keluar dari sini dengan selamat… pikirnya, sambil membereskan beberapa barang di mejanya. Pikirannya beralih sejenak pada lonceng emas kecil yang masih ada di sana, mengingat bagaimana benda itu terus mengganggunya sepanjang malam.Ia menoleh ke arah ruang istirahat, tempat beberapa rekan perawatnya sedang berkumpul untuk mengobrol sambil menyeruput kopi pagi. Terlihat wajah-wajah yang sudah familiar: Rita, perawat yang terkenal cerewet tapi baik hati, Dita, yang selalu ceria, dan Andin, yang sedikit pendiam tetapi
Gracya sedang menyantap mie ayam di kantin kampus ketika ia menangkap sosok Chandra yang berdiri ragu-ragu di pintu masuk. Pemuda itu terlihat gelisah, sesekali melirik ke arahnya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya."Chan!" panggil Gracya dengan suara lantang, membuat beberapa staf di sekitar menoleh. "Ngapain berdiri kayak patung begitu?"Wajah Chandra langsung memerah. Dengan langkah kaku, ia menghampiri meja Gracya. "Pa-pagi, Kak.""Tumben pagi-pagi udah keliatan. Biasanya kan kamu shift siang?" goda Gracya sambil tersenyum jahil."Itu... saya..." Chandra tergagap, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.Di meja sebelah, beberapa perawat senior mulai berbisik-bisik sambil cekikikan. "Cieee... yang brondong ngejar-ngejar kakak senior nih.""Ssst, tapi cocok loh. Yang satu cantik yang satu ganteng," timpal yang lain.Chandra semakin salah tingkah mendengar bisikan-bisikan itu. Ia hendak berbalik pergi ketika Gracya menarik
Chandra mengamati Gracya dari kejauhan, menyaksikan bagaimana seniornya itu dengan tenang membaca jurnal Bu Susan sambil sesekali mengetik sesuatu di laptopnya. Sudah seminggu berlalu sejak ia ditugaskan menemani Gracya selama shift malam, sebuah "kehormatan" yang sebenarnya tidak diinginkan oleh staf lain karena cerita-cerita seram yang beredar."Kak Grace," panggil Chandra pelan, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kakak nggak takut ya kerja malam terus?"Gracya mengangkat wajahnya dari jurnal, tersenyum tipis. "Kenapa harus takut? Kan ada kamu yang nemenin."Chandra merasakan wajahnya memanas. Tiga tahun perbedaan usia mereka terasa tidak berarti saat Gracya melemparkan candaan-candaan ringan seperti ini. Namun di balik sikapnya yang terkesan penakut, Chandra menyimpan tujuan yang lebih dalam."Kak," Chandra memberanikan diri. "Kakak percaya nggak sama cerita lonceng kematian itu?"Gracya terdiam sejenak, matanya menerawang. "Dulu n
Gracya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah malam penuh ketegangan di ruang arsip. Ia masih memikirkan dokumen-dokumen yang baru saja ia temukan—daftar pasien dengan kematian misterius, catatan tentang "Lonceng Kematian," dan tulisan tangan Bu Susan yang menyebutkan kuil tua sebagai asal mula lonceng tersebut. Namun, semua itu terpaksa ia simpan sementara waktu. Ada hal lain yang lebih mendesak: Chandra.Cowok itu kini duduk dengan wajah pucat di ruangan staf, memeluk lututnya seperti anak kecil yang baru saja melihat hantu. Gracya mengamati dari pintu ruangan, mencoba menahan tawa kecil yang muncul di tengah rasa lelahnya. "Anak baru ini benar-benar kena mental," pikirnya."Kak Gracya..." Chandra memanggil pelan, suaranya gemetar. "Boleh nggak saya duduk di sini aja sama Kakak? Jangan suruh saya balik ke ruangan staf sendirian lagi, ya?"Gracya mengangkat alis. "Kenapa? Bukannya tadi kamu cuma mau ke toilet?"Chandra mengangguk cepat, matanya melebar seperti an
Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken
Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s
Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap
Gracya berdiri terpaku di tengah ruangan dokumen. Bayangan hitam yang mengintimidasi semakin mendekat, bergerak seperti asap pekat yang hidup. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rak-rak bergetar, dokumen-dokumen beterbangan, dan suara-suara samar seperti bisikan terdengar dari berbagai sudut. Gracya tahu apa yang akan terjadi. Bayangan itu seolah mencari celah untuk masuk, berusaha merasukinya.Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tuhan, tolong aku... lindungi aku dari semua ini. Ia mulai berdoa dalam hati, suaranya terdengar bergetar di pikirannya sendiri. Bayangan itu bergerak semakin dekat, dan udara terasa semakin berat.Dentang lonceng terdengar tiba-tiba, memecah kesunyian. Suaranya bergema, mengguncang ruangan seperti alunan peringatan yang kuat. Gracya membuka matanya. Pemandangan di depannya telah berubah. Tidak ada lagi rak-rak kayu atau tumpukan dokumen yang berserakan. Sebagai gantinya, ia ber
Gracya berjalan dengan langkah cepat di koridor kampus farmasi yang sepi, sementara Dewi, yang terlihat cemas, terus mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang yang hanya diterangi lampu-lampu redup. Angin malam meniupkan hawa dingin dari celah jendela tua, membuat lorong terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Grace, tunggu,” panggil Dewi dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Kamu mau ke mana? Jangan tinggalin aku sendirian di sini.”Gracya berhenti, menoleh ke belakang. Dewi tampak semakin takut, matanya melirik ke sudut-sudut gelap lorong. Gracya menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Kenapa dia harus ikut malam ini? Aku harus menyelesaikan ini sendiri.“Aku cuma mau ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini,” jawab Gracya setenang mungkin.“Enggak! Aku ikut. Aku nggak mau sendirian,” Dewi bersikeras, matanya membulat penuh ketakutan. “Tempat ini... kamu tahu sendiri, kan? Tempat ini nggak normal.”Gracya tidak punya pilihan selain membiar
Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi