Hari itu terasa panjang bagi Gracya. Matahari mulai meredup di langit senja, menandakan bahwa tugasnya di kampus hampir selesai. Namun, Gracya masih punya satu tugas terakhir sebelum benar-benar bisa pulang. Dia diminta membantu bersih-bersih di ruang kerja mendiang Bu Direktur, yang kini ditempati oleh anak pemilik yayasan kampus. Sejak Bu Direktur meninggal beberapa bulan lalu, ruangan itu jarang sekali digunakan, dan tumpukan kertas, buku-buku, serta barang-barang pribadi mendiang masih tertinggal di dalamnya.
Gracya tidak tahu banyak tentang Bu Direktur. Dia terkenal sebagai sosok yang tegas namun dihormati, bahkan ditakuti oleh beberapa mahasiswa. Namun, ada satu hal yang sering menjadi topik pembicaraan: konon, Bu Direktur memiliki indera keenam. Banyak yang mengklaim bahwa beliau bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang biasa. Itu adalah salah satu alasan mengapa ruangan kerjanya sering kali dianggap menyeramkan.
Ketika Gracya membuka pintu ruang kerja itu, dia disambut oleh aroma debu dan kertas tua. Ruangan itu terasa sunyi, seperti menyimpan rahasia yang terpendam selama bertahun-tahun. Matahari sore yang temaram menembus tirai, memberikan cahaya keemasan yang memantul di atas tumpukan dokumen-dokumen lama di meja.
"Yah, tidak seburuk yang kupikir," gumam Gracya sambil melepaskan tasnya. Dia mengambil kemoceng dan mulai membersihkan rak buku yang berderet di sisi ruangan.
Saat dia membersihkan meja, matanya tertuju pada sebuah guci kecil yang terletak di sudut, dikelilingi oleh beberapa buku tebal. Guci itu tampak aneh, tidak seperti dekorasi biasa. Gracya mengernyitkan dahi, merasa asing dengan keberadaan benda itu. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya dan melanjutkan dengan lap pembersih di tangannya, bergerak dari satu meja ke meja lain, hingga akhirnya dia sampai di dekat guci tersebut.
"Harusnya guci ini sudah dipindahkan," gumamnya sambil mencoba menggesernya sedikit. Namun, saat Gracya menyentuh guci itu, tiba-tiba penutupnya tergelincir, dan sesuatu yang lembut dan berdebu keluar dari dalamnya.
"Aduh!" Gracya melonjak mundur, panik. "Apaan sih?"
Abu kremasi. Itulah yang ada di depan matanya. Gracya menatap abu tersebut dengan bingung, tetapi kesadarannya langsung muncul. Itu pasti abu mendiang Bu Direktur. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi jantungnya berdetak cepat. Tidak ada yang pernah memberitahunya bahwa abu Bu Direktur masih disimpan di sini. Dalam benaknya, tempat itu seharusnya sudah kosong, hanya diisi oleh barang-barang biasa, bukan sesuatu yang tidak biasa dan cenderung tidak pada tempatnya, seperti abu tersebut.
"Astaga, aku benar-benar harus lebih hati-hati!" katanya sambil buru-buru mengambil tisu dari tasnya. Ia berusaha membersihkan abu yang bertebaran di meja. Saat dia membersihkan debu tersebut, sehelai abu yang sangat halus tiba-tiba beterbangan di udara dan—tanpa sadar—Gracya menarik napas dalam. Debu abu itu terhisap masuk ke dalam hidungnya.
Gracya terdiam, matanya melebar. Dia terbatuk pelan, merasa sedikit sesak, tetapi yang lebih membuatnya tidak nyaman adalah perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Sebuah rasa dingin merayap di kulitnya, seperti ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya.
"Hadeh… cu-cuma debu. Tidak perlu panik," katanya pelan, mencoba menenangkan diri. "Ini semua cuma kebetulan."
Dia mencoba melanjutkan bersih-bersih, meskipun rasa aneh itu masih menggantung di pikirannya. Setelah beberapa menit, dia memutuskan bahwa ruangan sudah cukup bersih, dan memutuskan untuk keluar. Namun, saat Gracya membuka pintu dan melangkah ke luar, dia merasa ada sesuatu yang menahannya. Seperti ada mata yang mengawasi dari balik kegelapan ruangan itu.
Dengan cepat, Gracya mengabaikan perasaan itu, menutup pintu, dan berlalu pergi. Tapi langkahnya terasa lebih cepat dari biasanya, seolah-olah ada yang ingin ia tinggalkan di belakang.
Malam itu, Gracya tidak bisa tidur dengan tenang di kamar kosannya. Ada yang aneh. Dia merasa seperti terus-menerus diawasi. Setiap kali dia memejamkan mata, dia merasa ada bayangan-bayangan di tepi penglihatannya. Bayangan yang seolah berbisik, tapi dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Dia mencoba menenangkan diri, meyakinkan diri bahwa ini semua hanya akibat kelelahan dan insiden di ruangan Bu Direktur tadi.
"Sudah cukup tidur untuk hari ini. Besok juga sudah beres," bisiknya kepada dirinya sendiri, memaksa dirinya terlelap.
Namun, malam-malam berikutnya tidak lebih baik. Gracya mulai mengalami penglihatan-penglihatan sekilas. Saat dia sedang berjalan di kampus, bayangan sosok-sosok samar muncul di sudut matanya—kadang seorang pria berpakaian pasien rumah sakit yang tampak tersesat di koridor, kadang bayangan seorang perempuan yang berdiri memandanginya dari jauh.
Gracya berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutan. Dia tetap bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ketika penglihatan itu muncul, dia hanya akan mengalihkan perhatiannya ke hal lain, seperti sibuk bermain ponsel atau memperbaiki kacamatanya. Jika ada mahasiswa yang melihat reaksinya, mereka mungkin mengira Gracya hanya sedang lelah, padahal jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Semuanya baik-baik saja," Gracya sering berkata kepada dirinya sendiri. "Ini cuma stres menghadapi tanggal tua."
Namun, malam semakin panjang dan rasa takutnya mulai tumbuh.
Malam berikutnya, saat Gracya bertugas sendirian di ruang kuliah, suasana sunyi begitu mencekam. Dia merasa udara semakin berat, dan entah mengapa, punggungnya terasa dingin. Di sudut matanya, Gracya bisa melihat sosok samar—seperti bayangan seseorang yang duduk di kursi paling belakang ruangan. Gracya menelan ludah, mencoba mengabaikan kehadiran itu.
"Sekali lagi, ini hanya imajinasiku," gumamnya sambil memfokuskan diri pada buku catatan di depannya. Tapi kehadiran itu tidak hilang.
Setiap kali dia mengangkat kepala, bayangan itu seolah bergerak, tapi begitu dia menoleh, bayangan itu menghilang.
Gracya mulai merasa lebih tidak nyaman. Dia memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke luar kelas. Namun, sebelum dia bisa mencapai pintu, suara samar terdengar di telinganya. Suara yang seakan datang dari jauh, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
"G-ra… cya..."
Gracya berhenti, tubuhnya kaku. Dia menahan napas, mendengarkan. Tidak ada yang lain selain sunyi.
"Itu... cuma imajinasi," katanya pelan, meskipun dalam hatinya dia tahu, itu bukan sekadar imajinasi. Suara itu nyata. Sesuatu sedang memanggilnya.
Ia cepat-cepat keluar dari ruangan, langkahnya semakin cepat saat mendengar langkah kaki lain yang seakan mengikutinya dari belakang. Tapi ketika dia menoleh, tidak ada apa-apa.
Hari-hari berikutnya, penglihatan itu semakin intens. Suara bisikan dan tawa kecil yang aneh muncul, bayangan-bayangan semakin sering terlihat. Setiap kali dia bertugas sendirian di malam hari, Gracya merasa ada sesuatu yang berusaha mendekatinya. Tapi dia terus berpura-pura tidak peduli, meski tubuhnya selalu waspada.
"Ini semua gara-gara abu kremasi itu," pikirnya suatu malam, saat ia berbaring di kasurnya, terjaga. "Aku pasti terlalu banyak pikiran juga, butuh tidur yang cukup nih mulai sekarang."
Tapi tidurnya selalu terganggu oleh bisikan-bisikan aneh, bayangan yang semakin jelas muncul di mimpi buruknya. Dan setiap kali dia mencoba melupakannya, bayangan itu semakin mendesaknya untuk memahami.
Dan malam itu, saat dentingan lonceng terdengar di telinganya, Gracya mulai menyadari bahwa dia mungkin telah terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap dari sekadar stres, lelah, maupun tanggal tua.
Malam itu, hujan mulai turun dengan pelan, gerimis yang dingin membasahi aspal di luar kampus. Gracya duduk di bangku kecil di dekat pintu keluar, menunggu ojek online yang dipesannya melalui aplikasi di ponselnya. Dia baru saja menyelesaikan shift lemburnya di kampus, dan dengan cuaca yang mendung serta hawa malam yang menusuk tulang, dia tak sabar untuk segera pulang ke kosan.Sambil menunggu, Gracya membuka ponselnya, memeriksa lagi pesan dari aplikasi. “Di jalan,” tertulis di layar. Tapi sudah lima belas menit berlalu, dan tak ada tanda-tanda abang ojek online yang seharusnya menjemputnya."Ah, macet kali ya. Hujan begini pasti bikin jalanan semrawut," gumamnya, menenangkan diri sambil menarik jaketnya lebih erat untuk melawan dingin.Gracya menatap jalanan yang kosong. Lampu-lampu jalan memantulkan sinar redup di atas genangan air, dan sesekali terlihat kilatan lampu dari kendaraan yang lewat di kejauhan. Tapi ojeknya belum datang juga.Dia menghela napas panjang, memandangi pons
Keesokan paginya, Gracya merasa badannya masih pegal-pegal, seolah-olah tidur tidak cukup meredakan rasa lelah yang mendera sejak semalam. Mimpi-mimpi aneh tentang abang ojek online hantu masih menyisakan perasaan tidak nyaman di dadanya. Namun, dia tetap berusaha bersikap normal. Dia menatap cermin di kamar kosannya, memastikan wajahnya tidak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan."Udah pagi, nggak usah drama," ujarnya pada bayangan di cermin, sambil mengusap sedikit bedak di wajahnya. "Itu cuma stres, Gracya. Abang ojek online atau bukan, semua pasti aman hari ini."Namun, saat dia berjalan menuju kampus, keanehan mulai muncul lagi. Setiap kali dia melewati lorong kampus yang sepi, dia merasa ada sesuatu di belakangnya. Seolah-olah ada sepasang mata yang mengawasinya dari sudut-sudut ruangan. Setiap kali Gracya menoleh, tentu saja, tidak ada siapa pun. Hanya dinding-dinding dingin dan koridor kosong."Aduh, mungkin efek semalam. Jangan sampai jadi parno ya, Grace," katanya pelan, sam
Gracya mencoba menenangkan dirinya setelah suara lonceng misterius itu mereda. Dia tahu suasana di lorong kampus malam itu tidak akan berubah menjadi lebih nyaman, tapi dia harus tetap melanjutkan tugasnya menuju rumah sakit dari arah kampus. Dia menarik napas panjang, melangkah menuju koridor rumah sakit yang panjang dan gelap."Semua ini cuma halusinasi. Cuma imajinasi, pasti efek stres," gumamnya sambil menyenandungkan lagu pop ringan untuk mengusir rasa takut yang mulai merambat di sekujur tubuhnya.Lorong sangat itu sepi, tidak ada kehidupan kecuali dirinya sendiri yang bernafas. Lampu-lampu di sepanjang langit-langit berkedip-kedip, seperti memproyeksikan suasana mencekam. Suara sepatunya yang beradu dengan lantai keramik menjadi satu-satunya suara di sekitar. Namun, rasa dingin yang tiba-tiba merasuk ke dalam tubuhnya membuat Gracya semakin cemas.Di ujung lorong, sosok samar tersebut mulai bergerak perlahan seolah terhuyung-huyung. Gracya menajamkan pandangan. Sosok itu tampak
Gracya baru saja duduk di ruang staf ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya dengan malas, berharap itu bukan panggilan tugas tambahan. Suara Pak Wiryo, dosen senior yang terkenal dengan pengetahuan lokalnya tentang sejarah kampus, terdengar di ujung sana, berbicara dengan nada agak cemas.“Grace, bisa tolong gantikan Dewi malam ini? Katanya mendadak sakit. Tidak ada keterangan jelas, hanya katanya sangat mendadak.”Gracya menelan ludah. Setelah malam-malam aneh belakangan ini, ia merasa lelah, tetapi rasa tanggung jawabnya mendorongnya untuk menerima. “Baik, Pak. Saya bisa.”Malam itu, ia berjalan di lorong kampus yang sepi menuju ruang staf malam, merasakan dinginnya malam seperti menembus tulangnya. Suara langkahnya yang menggema di lorong menambah perasaan tidak nyaman yang semakin besar dalam dirinya. Di tengah kesunyian, ia teringat kembali pada cerita lonceng kematian yang sering dibicarakan mahasiswa. Cerita itu selalu terdengar seperti gurauan, tetapi akhir-akhir ini cerit
Setelah percakapan dengan Pak Suwito, Gracya merasa tidak enak badan, terutama bagian perutnya yang tiba-tiba melilit. Seolah-olah rasa takut dan cerita-cerita tentang lonceng kematian tadi menambah beban di perutnya. Ia berpikir mungkin hanya efek dari rasa cemas yang tertumpuk, tetapi gejala itu tak kunjung mereda."Aduh, perut, kenapa pas sekarang sih…" gerutunya pelan.Dengan langkah tergesa, Gracya berjalan ke kamar mandi kampus yang berada di ujung lorong, merasa semakin cemas setiap kali melihat bayangan dirinya di dinding atau mendengar bunyi kunci berderit dari pintu-pintu di sepanjang lorong. Suasana kampus yang sepi membuat setiap langkahnya terasa menggema, seolah-olah ia tidak berjalan sendirian. Tapi malam itu, Gracya hanya bisa berharap agar semua perasaan takutnya segera hilang setelah ia berhasil menuntaskan urusan di toilet.Sesampainya di kamar mandi, Gracya merasa lebih tenang. Ruangan yang terang dengan keramik putih bersih sedikit mengurangi ketegangannya. Setela
Gracya duduk di ruang staf dengan kepala yang terasa berat, mencoba mengabaikan bayangan kunti influencer yang ditemuinya di kamar mandi tadi. Sambil menenangkan diri, ia membuka ponselnya, berharap media sosial bisa mengalihkan pikiran. Namun, begitu membuka Instagram, matanya membelalak melihat deretan notifikasi aneh. Akun-akun asing membanjiri berandanya, sebagian besar dengan foto-foto bayi, menyukai unggahannya tanpa alasan jelas.Sejenak, Gracya hanya menatap notifikasi itu dengan heran. Ini aneh. Apa mungkin ini ulah seseorang yang sedang iseng? pikirnya, tetapi bayangan wajah kunti influencer di kamar mandi tadi langsung muncul di benaknya, membuatnya semakin resah. Ia berusaha untuk tidak peduli, menutup ponselnya dan memaksa dirinya berkonsentrasi pada laporan yang harus ia selesaikan.Ruang staf terasa sepi, hanya diisi suara detak jam yang perlahan, seperti penanda waktu yang semakin melambat. Gracya menarik napas dalam, berusaha menghalau perasaan takut yang seakan melek
Ruangan terasa semakin sempit dan pengap, seperti tak cukup oksigen untuk dihirup. Gracya duduk dengan tubuh gemetar, memandangi lonceng di atas meja yang tak kunjung hilang dari pikirannya. Suara dentingan samar yang bergema sejak tadi seolah menyatu dengan detak jantungnya, membuat ia semakin sulit membedakan antara kenyataan dan bayangan. Sejak suara tawa kunti itu lenyap, Gracya tak bisa lagi merasa tenang.Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus keluar… aku harus bicara dengan Pak Suwito, pikirnya. Ia berdiri dengan tubuh gemetar, memaksakan diri untuk melangkah keluar dari ruangan.Begitu pintu ruang staf tertutup di belakangnya, ia merasa sedikit lebih lega. Lorong panjang rumah sakit tampak sepi, dengan lampu-lampu redup yang menciptakan bayangan di dinding. Suasana yang biasanya terasa tenang kini berubah menjadi menakutkan, seolah-olah dinding-dinding lorong menyimpan rahasia yang menunggu untuk terungkap. Gracya melangkah perlahan, berusaha mencari sosok Pak Suwito yang biasany
Suara sepatu hak tinggi Gracya Light Ningsee menggema di lorong kampus Earth Hosana Akarta. Setiap langkahnya menandakan otoritas, dan siapa pun yang melihatnya pasti tahu, tak ada mahasiswa nakal yang bisa bersembunyi darinya. Dengan rambut hitamnya yang selalu diikat rapi dan tatapan tajam yang hampir selalu terarah ke jam dinding, Gracya adalah sosok yang terkenal—bukan hanya sebagai lulusan terbaik akademi keperawatan, tapi juga sebagai asisten dosen yang tak kenal ampun terhadap perilaku mahasiswa jahil.Pintu kaca menuju ruang kuliah farmasi terlihat di depan. Sambil mendorong pintu itu, Gracya sudah siap dengan apa pun yang mungkin menunggunya di dalam. Sejak bekerja sebagai asisten dosen di kampus ini, Gracya sudah hafal dengan tingkah laku mahasiswa yang kadang lebih kreatif dalam membuat ulah daripada belajar. Apalagi malam ini, dia mendengar dari staf bahwa ada sekelompok mahasiswa yang sedang merencanakan sesuatu untuk "mengerjai" salah satu dosen di shift malam.Gracya me