Matahari pagi mulai merayap di balik jendela rumah sakit, menandai berakhirnya shift malam yang panjang dan penuh ketegangan bagi Gracya. Beberapa jam berlalu tanpa ada keanehan lebih lanjut setelah ia meninggalkan lorong dan kembali ke ruang staf. Keletihan akibat malam-malam lembur membuat matanya terasa berat, namun rasa lega mulai muncul seiring sinar matahari yang menyinari ruangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa bernapas sedikit lebih lega.Setidaknya, aku bisa keluar dari sini dengan selamat… pikirnya, sambil membereskan beberapa barang di mejanya. Pikirannya beralih sejenak pada lonceng emas kecil yang masih ada di sana, mengingat bagaimana benda itu terus mengganggunya sepanjang malam.Ia menoleh ke arah ruang istirahat, tempat beberapa rekan perawatnya sedang berkumpul untuk mengobrol sambil menyeruput kopi pagi. Terlihat wajah-wajah yang sudah familiar: Rita, perawat yang terkenal cerewet tapi baik hati, Dita, yang selalu ceria, dan Andin, yang sedikit pendiam tetapi
Gracya akhirnya tiba di depan rumah kosnya setelah malam panjang yang penuh ketegangan. Sepanjang perjalanan pulang, kepalanya berat, pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan yang ia lihat selama shift malam. Bahkan, ia sempat ketiduran di punggung abang ojek yang membawanya pulang. Abang ojek itu harus membangunkannya dengan lembut, membisikkan, “Mbak, sudah sampai.”Gracya mengusap matanya, terkejut mendapati abang ojek yang tersenyum di depannya ternyata cukup tampan. Sebelum ia sempat mengucapkan terima kasih, abang itu hanya berkata, “Hati-hati, Mbak. Kayaknya mau hujan, jangan lupa jemurannya diangkat ya.”“Eh, iya, iya. Makasih, Bang,” jawab Gracya dengan senyum mengantuk, meskipun dalam hati ia sedikit terkejut dengan perkataan itu. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia menjemur baju, karena akhir-akhir ini ia hanya pulang ke kos untuk istirahat sejenak sebelum kembali ke rumah sakit.Setelah membayar, ia melangkah masuk ke kosan, yang terlihat sepi karena para penghuni la
Hujan deras mengguyur tanpa henti di luar kosan Gracya, menciptakan irama monoton yang terasa semakin menambah suasana mencekam. Hujan seakan membekukan malam itu, menjadikan setiap suara—tetirisan air, desiran angin, bahkan detak jarum jam di dinding kamar—terdengar berlipat kali lebih nyaring. Gracya duduk di sudut kamar kosnya, dengan jendela yang setengah tertutup, menyaksikan tetesan air yang menetes dari genteng dan meluncur bebas menuju tanah. Di bawah cahaya lampu meja yang temaram, bayangannya sendiri tampak melintasi dinding kamar, menambah nuansa seram pada malam itu.Dia menatap laptop di depannya, membuka beberapa folder yang berisi arsip rumah sakit. Gracya tahu bahwa penyelidikan ini berbahaya; jika ketahuan, posisinya sebagai asisten dosen mungkin terancam. Namun, rasa penasaran dan kegelisahan yang ia rasakan sejak pertemuannya dengan hantu pasien korban malpraktik membuatnya tidak bisa tinggal diam. Dia memikirkan arwah-arwah yang mungkin belum beristirahat dengan te
Langit malam sudah gelap pekat ketika Gracya akhirnya terlelap. Hujan deras yang mengguyur sedari sore mulai mereda, menyisakan udara lembab yang menyelubungi kamarnya. Di luar jendela, sisa-sisa gerimis masih terdengar berirama, mengiringi tidurnya yang tidak tenang. Tubuhnya terasa berat, seolah diganduli sesuatu. Namun, bukannya merasakan kedamaian tidur yang menenangkan, Gracya justru mendapati dirinya berada di koridor rumah sakit yang lengang dan sunyi.Lampu-lampu redup di lorong panjang itu berkedip lemah, membuat suasana terasa lebih dingin dan mencekam. Gracya berjalan perlahan di lorong tersebut, setiap langkahnya menggema, namun seperti tenggelam dalam keheningan yang hampa. Seolah seluruh rumah sakit mengawasinya dalam diam.Langkah-langkahnya membawanya ke pintu ICU, yang tiba-tiba terbuka pelan tanpa suara. Di dalamnya, kabut tipis merayap di lantai, memantulkan cahaya putih pucat dari lampu di atas kepala. Napas Gracya tertahan ketika ia melihat sosok kecil di ujung ru
Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi
Gracya berjalan dengan langkah cepat di koridor kampus farmasi yang sepi, sementara Dewi, yang terlihat cemas, terus mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang yang hanya diterangi lampu-lampu redup. Angin malam meniupkan hawa dingin dari celah jendela tua, membuat lorong terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Grace, tunggu,” panggil Dewi dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Kamu mau ke mana? Jangan tinggalin aku sendirian di sini.”Gracya berhenti, menoleh ke belakang. Dewi tampak semakin takut, matanya melirik ke sudut-sudut gelap lorong. Gracya menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Kenapa dia harus ikut malam ini? Aku harus menyelesaikan ini sendiri.“Aku cuma mau ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini,” jawab Gracya setenang mungkin.“Enggak! Aku ikut. Aku nggak mau sendirian,” Dewi bersikeras, matanya membulat penuh ketakutan. “Tempat ini... kamu tahu sendiri, kan? Tempat ini nggak normal.”Gracya tidak punya pilihan selain membiar
Gracya berdiri terpaku di tengah ruangan dokumen. Bayangan hitam yang mengintimidasi semakin mendekat, bergerak seperti asap pekat yang hidup. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rak-rak bergetar, dokumen-dokumen beterbangan, dan suara-suara samar seperti bisikan terdengar dari berbagai sudut. Gracya tahu apa yang akan terjadi. Bayangan itu seolah mencari celah untuk masuk, berusaha merasukinya.Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tuhan, tolong aku... lindungi aku dari semua ini. Ia mulai berdoa dalam hati, suaranya terdengar bergetar di pikirannya sendiri. Bayangan itu bergerak semakin dekat, dan udara terasa semakin berat.Dentang lonceng terdengar tiba-tiba, memecah kesunyian. Suaranya bergema, mengguncang ruangan seperti alunan peringatan yang kuat. Gracya membuka matanya. Pemandangan di depannya telah berubah. Tidak ada lagi rak-rak kayu atau tumpukan dokumen yang berserakan. Sebagai gantinya, ia ber
Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap
Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken
Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s
Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap
Gracya berdiri terpaku di tengah ruangan dokumen. Bayangan hitam yang mengintimidasi semakin mendekat, bergerak seperti asap pekat yang hidup. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rak-rak bergetar, dokumen-dokumen beterbangan, dan suara-suara samar seperti bisikan terdengar dari berbagai sudut. Gracya tahu apa yang akan terjadi. Bayangan itu seolah mencari celah untuk masuk, berusaha merasukinya.Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tuhan, tolong aku... lindungi aku dari semua ini. Ia mulai berdoa dalam hati, suaranya terdengar bergetar di pikirannya sendiri. Bayangan itu bergerak semakin dekat, dan udara terasa semakin berat.Dentang lonceng terdengar tiba-tiba, memecah kesunyian. Suaranya bergema, mengguncang ruangan seperti alunan peringatan yang kuat. Gracya membuka matanya. Pemandangan di depannya telah berubah. Tidak ada lagi rak-rak kayu atau tumpukan dokumen yang berserakan. Sebagai gantinya, ia ber
Gracya berjalan dengan langkah cepat di koridor kampus farmasi yang sepi, sementara Dewi, yang terlihat cemas, terus mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang yang hanya diterangi lampu-lampu redup. Angin malam meniupkan hawa dingin dari celah jendela tua, membuat lorong terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Grace, tunggu,” panggil Dewi dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Kamu mau ke mana? Jangan tinggalin aku sendirian di sini.”Gracya berhenti, menoleh ke belakang. Dewi tampak semakin takut, matanya melirik ke sudut-sudut gelap lorong. Gracya menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Kenapa dia harus ikut malam ini? Aku harus menyelesaikan ini sendiri.“Aku cuma mau ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini,” jawab Gracya setenang mungkin.“Enggak! Aku ikut. Aku nggak mau sendirian,” Dewi bersikeras, matanya membulat penuh ketakutan. “Tempat ini... kamu tahu sendiri, kan? Tempat ini nggak normal.”Gracya tidak punya pilihan selain membiar
Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi
Langit malam sudah gelap pekat ketika Gracya akhirnya terlelap. Hujan deras yang mengguyur sedari sore mulai mereda, menyisakan udara lembab yang menyelubungi kamarnya. Di luar jendela, sisa-sisa gerimis masih terdengar berirama, mengiringi tidurnya yang tidak tenang. Tubuhnya terasa berat, seolah diganduli sesuatu. Namun, bukannya merasakan kedamaian tidur yang menenangkan, Gracya justru mendapati dirinya berada di koridor rumah sakit yang lengang dan sunyi.Lampu-lampu redup di lorong panjang itu berkedip lemah, membuat suasana terasa lebih dingin dan mencekam. Gracya berjalan perlahan di lorong tersebut, setiap langkahnya menggema, namun seperti tenggelam dalam keheningan yang hampa. Seolah seluruh rumah sakit mengawasinya dalam diam.Langkah-langkahnya membawanya ke pintu ICU, yang tiba-tiba terbuka pelan tanpa suara. Di dalamnya, kabut tipis merayap di lantai, memantulkan cahaya putih pucat dari lampu di atas kepala. Napas Gracya tertahan ketika ia melihat sosok kecil di ujung ru
Hujan deras mengguyur tanpa henti di luar kosan Gracya, menciptakan irama monoton yang terasa semakin menambah suasana mencekam. Hujan seakan membekukan malam itu, menjadikan setiap suara—tetirisan air, desiran angin, bahkan detak jarum jam di dinding kamar—terdengar berlipat kali lebih nyaring. Gracya duduk di sudut kamar kosnya, dengan jendela yang setengah tertutup, menyaksikan tetesan air yang menetes dari genteng dan meluncur bebas menuju tanah. Di bawah cahaya lampu meja yang temaram, bayangannya sendiri tampak melintasi dinding kamar, menambah nuansa seram pada malam itu.Dia menatap laptop di depannya, membuka beberapa folder yang berisi arsip rumah sakit. Gracya tahu bahwa penyelidikan ini berbahaya; jika ketahuan, posisinya sebagai asisten dosen mungkin terancam. Namun, rasa penasaran dan kegelisahan yang ia rasakan sejak pertemuannya dengan hantu pasien korban malpraktik membuatnya tidak bisa tinggal diam. Dia memikirkan arwah-arwah yang mungkin belum beristirahat dengan te
Gracya akhirnya tiba di depan rumah kosnya setelah malam panjang yang penuh ketegangan. Sepanjang perjalanan pulang, kepalanya berat, pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan yang ia lihat selama shift malam. Bahkan, ia sempat ketiduran di punggung abang ojek yang membawanya pulang. Abang ojek itu harus membangunkannya dengan lembut, membisikkan, “Mbak, sudah sampai.”Gracya mengusap matanya, terkejut mendapati abang ojek yang tersenyum di depannya ternyata cukup tampan. Sebelum ia sempat mengucapkan terima kasih, abang itu hanya berkata, “Hati-hati, Mbak. Kayaknya mau hujan, jangan lupa jemurannya diangkat ya.”“Eh, iya, iya. Makasih, Bang,” jawab Gracya dengan senyum mengantuk, meskipun dalam hati ia sedikit terkejut dengan perkataan itu. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia menjemur baju, karena akhir-akhir ini ia hanya pulang ke kos untuk istirahat sejenak sebelum kembali ke rumah sakit.Setelah membayar, ia melangkah masuk ke kosan, yang terlihat sepi karena para penghuni la