Share

Hantu Ojek Online

Malam itu, hujan mulai turun dengan pelan, gerimis yang dingin membasahi aspal di luar kampus. Gracya duduk di bangku kecil di dekat pintu keluar, menunggu ojek online yang dipesannya melalui aplikasi di ponselnya. Dia baru saja menyelesaikan shift lemburnya di kampus, dan dengan cuaca yang mendung serta hawa malam yang menusuk tulang, dia tak sabar untuk segera pulang ke kosan.

Sambil menunggu, Gracya membuka ponselnya, memeriksa lagi pesan dari aplikasi. “Di jalan,” tertulis di layar. Tapi sudah lima belas menit berlalu, dan tak ada tanda-tanda abang ojek online yang seharusnya menjemputnya.

"Ah, macet kali ya. Hujan begini pasti bikin jalanan semrawut," gumamnya, menenangkan diri sambil menarik jaketnya lebih erat untuk melawan dingin.

Gracya menatap jalanan yang kosong. Lampu-lampu jalan memantulkan sinar redup di atas genangan air, dan sesekali terlihat kilatan lampu dari kendaraan yang lewat di kejauhan. Tapi ojeknya belum datang juga.

Dia menghela napas panjang, memandangi ponsel dan berpikir untuk membatalkan pesanannya. Tapi sebelum sempat dia mengambil keputusan, suara motor terdengar mendekat dari arah jalan kampus. Deru mesin itu terdengar berat dan tak beraturan, seolah motor itu berusaha keras untuk tetap hidup di tengah cuaca yang buruk.

Gracya mengangkat kepalanya, matanya menelusuri jalanan di depan gerbang kampus. Dari balik bayangan pohon, perlahan muncul siluet motor. Motor itu bergerak pelan, seperti tertatih-tatih, dan tak lama kemudian berhenti tepat di depannya.

Namun, yang dilihat Gracya membuat jantungnya langsung berdegup kencang.

Seorang pria yang seharusnya abang ojek online berdiri di sana, tetapi sesuatu jelas sangat salah. Tubuhnya… tidak utuh. Separuh tubuhnya berada di atas jok motor, seolah tersambung dengan setengah motornya, sementara separuh lagi—bagian bawah tubuhnya—terlihat menempel di belakang motor. Helm yang ia kenakan penuh dengan darah, dengan retakan besar di sisi kiri, dan Gracya bisa melihat sedikit darah yang menetes dari bawah visor. Jaket ojek online yang dikenakannya penuh bercak darah, robek di sana-sini, dan—yang paling menakutkan—sebagian dari isi perutnya terlihat keluar, seolah terurai dari tubuhnya yang terbelah.

Satu kakinya berada di atas motor, sementara kaki lainnya… entah di mana.

"Ya ampun," desis Gracya dalam hati, tanpa menggerakkan bibirnya.

Pandangannya dengan cepat beralih ke ponsel di tangannya. Ini bukan ojek yang dia pesan. Ini pasti bukan. Tapi tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak. Dia tidak berani melihat ke arah abang ojek itu lagi, takut apa yang akan terjadi jika tatapannya bertemu dengan sosok menyeramkan itu.

"Neng, sudah nunggu lama ya?" Suara berat dan serak itu tiba-tiba terdengar di sebelahnya, membuat Gracya hampir melompat dari tempat duduknya. Dia bisa merasakan napasnya tertahan, tubuhnya menegang. Suara itu seperti berasal dari balik kubur, penuh dengan penderitaan yang tak terlukiskan.

Gracya berusaha keras untuk menahan diri. Matanya tetap tertuju pada layar ponselnya, jari-jarinya dengan cepat berpindah dari satu ikon ke ikon lain, berpura-pura sibuk. Mainkan apa saja, buka aplikasi apa saja, yang penting jangan lihat ke arah dia, pikirnya sambil menggertakkan gigi.

"Neng?" suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat, seolah-olah abang ojek itu memiringkan tubuhnya, mencoba mencari tatapan Gracya.

Gracya merasa mual. Dalam hatinya, dia tahu kalau dia tidak boleh menatapnya. Instingnya berkata bahwa sekali dia menatap, segalanya bisa berubah menjadi lebih buruk. Jantungnya berdegup sangat kencang, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya, meskipun udara malam terasa menusuk.

"Main hape aja, pura-pura nggak tahu," katanya dalam hati. Tangannya gemetar, tapi dia tetap memaksa dirinya untuk tetap fokus pada layar ponsel. Namun, dalam kepanikan itu, dia tak sengaja membuka aplikasi kalkulator. Ya Tuhan, kalkulator?! pikirnya frustasi, tapi dia tetap bermain angka-angka di layar, seolah-olah sedang menghitung sesuatu yang penting.

"Yah, kukira kau bisa melihatku," suara abang ojek itu terdengar lirih, dan Gracya bisa merasakan nada kecewa dalam suaranya.

Gracya tetap menatap ponselnya, pura-pura tidak mendengar. Tapi dari sudut matanya, dia melihat abang ojek itu berbalik. Motor yang setengah terbelah itu perlahan-lahan bergerak menjauh. Gracya menahan napas, berharap situasi ini segera berakhir.

Tapi sebelum abang ojek itu pergi sepenuhnya, dia mendengar suara motor itu bergerak lagi—tetapi kali ini ke arah yang tidak mungkin.

Gracya mengintip dari sudut matanya, dan apa yang dilihatnya membuat bulu kuduknya berdiri. Abang ojek itu, lengkap dengan motornya yang terbelah, melaju langsung menuju tembok kampus. Dan dalam sekejap, tubuhnya menembus tembok tersebut dengan lancar, meninggalkan jejak tipis darah di belakangnya.

Dia masuk ke rumah sakit kampus, pikir Gracya, napasnya tersendat.

Gracya tetap diam di tempatnya. Tubuhnya seolah membeku, tidak bisa bergerak. Perlahan, dia mengembuskan napas yang entah sejak kapan dia tahan. Perasaannya campur aduk antara lega dan ketakutan yang luar biasa. Tapi wajahnya tetap datar, meskipun di dalam kepalanya, semuanya kacau balau.

Ini tidak mungkin. Ini pasti cuma lelah… pikirnya, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Tapi dia tahu, dalam hati kecilnya, apa yang dia lihat tadi bukanlah hasil dari kelelahan. Itu adalah sesuatu yang nyata. Sesuatu yang seharusnya tidak berada di dunia ini.

Namun, meski hatinya dipenuhi ketakutan, Gracya tetap berpura-pura kuat. Dia mengambil napas panjang, memasukkan ponselnya ke dalam tas, dan berdiri. Badannya gemetar sedikit, tapi dia tidak mau memperlihatkannya. Sebisa mungkin, dia menjaga sikapnya agar terlihat normal.

Tanpa membuang waktu, dia memesan ojek online yang baru. "Semoga yang ini manusia," gumamnya sambil mencoba tertawa, meski suaranya terdengar getir.

Tidak sampai sepuluh menit, ojek barunya datang—kali ini benar-benar seorang manusia. Abang ojek itu tersenyum ramah, tidak ada tanda-tanda darah atau tubuh yang terbelah. Gracya menghela napas lega, meskipun ketakutan masih menyelimuti pikirannya.

"Sudah nunggu lama ya, mbak?" kata abang ojek sambil mencoba mengatur kembali posisi motornya agar memudahkan tubuh Gracya yang terlihat kecil dan pendek terhadap motornya yang cukup tinggi, kemudian memberikan helm sebagai protokol keamanan.

"Nggak kok, mas," jawab Gracya sambil berusaha menahan tangannya yang masih cukup gemetar karena penampakan sebelumnya. Sekali lagi, Gracya menarik nafas panjang, menggelengkan kepala sebelum mengambil helm yang diberikan abang gojek padanya.

Tidak lama kemudian, ia naik ke atas motor, dan saat motor melaju menjauh dari kampus, Gracya tidak bisa mengabaikan bayangan yang masih menghantui pikirannya—abang ojek yang menembus tembok, membawa serta rasa sakit yang entah datang dari mana.

"Ini baru awal," bisiknya dalam hati, seolah merasakan bahwa pengalaman aneh ini hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih menakutkan. "Mudah-mudahan yang barusan terjadi hanya sekali saja, tapi masalahnya... Seolah makhluk itu menyadari aku bisa melihatnya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status