Gracya mencoba menenangkan dirinya setelah suara lonceng misterius itu mereda. Dia tahu suasana di lorong kampus malam itu tidak akan berubah menjadi lebih nyaman, tapi dia harus tetap melanjutkan tugasnya menuju rumah sakit dari arah kampus. Dia menarik napas panjang, melangkah menuju koridor rumah sakit yang panjang dan gelap.
"Semua ini cuma halusinasi. Cuma imajinasi, pasti efek stres," gumamnya sambil menyenandungkan lagu pop ringan untuk mengusir rasa takut yang mulai merambat di sekujur tubuhnya.
Lorong sangat itu sepi, tidak ada kehidupan kecuali dirinya sendiri yang bernafas. Lampu-lampu di sepanjang langit-langit berkedip-kedip, seperti memproyeksikan suasana mencekam. Suara sepatunya yang beradu dengan lantai keramik menjadi satu-satunya suara di sekitar. Namun, rasa dingin yang tiba-tiba merasuk ke dalam tubuhnya membuat Gracya semakin cemas.
Di ujung lorong, sosok samar tersebut mulai bergerak perlahan seolah terhuyung-huyung. Gracya menajamkan pandangan. Sosok itu tampak seperti seorang perempuan, berjalan pelan menuju ke arahnya. Dari kejauhan, Gracya bisa melihat bahwa sosok tersebut memiliki perut yang sangat besar, seperti perempuan hamil. Tetapi ada sesuatu yang salah. Caranya bergerak tidak seperti orang yang berjalan dengan normal. Langkahnya tersendat-sendat, seperti boneka yang rusak, dan kegelapan di sekitarnya seolah melahap bayangannya.
"Nggak, nggak mungkin beneran... itu pasti cuma seseorang..." Gracya berbisik, berharap sosok itu hanyalah salah satu perawat yang kebetulan sedang bertugas.
Namun, semakin sosok itu mendekat, semakin jelas bahwa sesuatu yang jauh lebih aneh sedang terjadi. Perutnya yang besar itu tampak salah tempat. Perutnya tidak berada di depan seperti biasanya, tapi… di belakang. Tubuhnya seakan terbalik, tetapi kakinya masih menyentuh lantai. Dan yang lebih mengerikan, kepalanya berputar 180 derajat, memperlihatkan wajah kosong yang tidak memiliki mata.
Gracya menelan ludah, napasnya tercekat.
Sosok itu terus mendekat, langkahnya lambat, dan Gracya tetap terpaku di tempat. Sesuatu di dalam dirinya berteriak untuk berlari, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Waktu terasa melambat ketika sosok itu semakin dekat, dan akhirnya berhenti beberapa meter di depannya.
Dan sebelum Gracya bisa memikirkan apa yang terjadi, sosok itu tiba-tiba melakukan sesuatu yang sangat tidak mungkin.
Sosok itu merunduk, tubuhnya melengkung, dan kemudian, dengan kecepatan yang mengerikan, ia merangkak ke atas. Ya, ke atas. Sosok itu merayap dengan perut besar di belakang, seperti laba-laba yang memanjat langit-langit. Kepalanya tetap terbalik 180 derajat, memandang ke arah Gracya dengan wajah tanpa ekspresi, meskipun tidak ada mata di sana.
Sosok itu sekarang merayap di atas langit-langit, tepat di atas Gracya, menatap langsung ke arahnya dari ketinggian. Gracya bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tangannya gemetar, tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.
"Aku cuma… aku cuma… aku cuma... numpang lewat," Gracya berbisik pada dirinya sendiri, mencoba menyakinkan dirinya untuk tidak berhenti di tempat itu.
Sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk tetap tenang, Gracya memutar otak, mencari alasan untuk tidak terlihat panik. Mata Gracya kemudian menangkap sesuatu di lantai—atau lebih tepatnya, dia membayangkan sesuatu.
"Kecoa... iya, kecoa! Pasti ada kecoa di sini," ujarnya dengan suara kecil, meskipun tidak ada serangga apapun di sekitarnya. "Aku benci kecoa... lebih baik aku ngejar mereka biar cepat pergi dari sini."
Dengan gerakan yang lebih cepat dari yang ia kira bisa dilakukan, Gracya langsung bergerak menuju ujung lorong. Dia berpura-pura mengejar "kecoa" itu, berlari kecil dengan langkah ringan, sambil tetap menghindari kontak mata dengan sosok hantu di atasnya.
Ini bukan nyata. Ini cuma kecoa yang aku bayangin!
Tapi di balik semua itu, Gracya tahu bahwa sosok itu masih di sana, merangkak di langit-langit dengan pergerakan yang tak masuk akal. Hantu itu tidak membuat suara apa pun, hanya diam, mengawasinya lewat mata yang tak ada.
Ketika akhirnya Gracya melihat pintu keluar yang mengarah ke area luar gedung rumah sakit, dia hampir ingin bersorak lega. Di luar sana, dia melihat sosok penjaga keamanan, Pak Suwito, sedang berdiri di pos jaga dengan tenang. Sosok yang selalu menyapanya dengan senyum ramah, bahkan di malam-malam terkelam sekalipun.
Pak Suwito! Gracya hampir berteriak dalam hati. Kalau ada sosok manusia, pasti semuanya akan terasa lebih normal.
Dia berlari kecil menuju pos jaga, masih berpura-pura mengejar kecoa imajiner yang tentu saja tidak ada. Begitu sampai di pos, Gracya langsung melambatkan langkahnya, mencoba tampak tenang. Pak Suwito menoleh dan menyapanya dengan senyum ramah seperti biasa.
"Eh, Mbak Gracya. Shift malam ya? Kok lari-larian sih?" tanyanya dengan nada santai, seakan malam ini tak ada yang salah.
Gracya berusaha mengatur napasnya, menyembunyikan ketakutannya dengan senyuman lemah. "Ah, nggak kok, Pak. Cuma... lagi ngejar kecoa tadi di lorong. Sumpah, kecoanya gede banget."
Pak Suwito tertawa kecil, suaranya rendah namun penuh kehangatan. "Kecoa, ya? Pasti bikin kaget, tuh. Apalagi gede!"
Gracya mencoba menormalkan suasana, sambil sesekali melirik ke arah gedung rumah sakit. Sosok hantu ibu hamil itu sudah menghilang, tapi rasa dingin masih menyelimuti tubuhnya. Dia merapatkan jaketnya dan mencoba bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
"Pak Suwito," katanya, sedikit berbisik, "Pak pernah nggak sih... lihat yang aneh-aneh di sini?"
Pak Suwito hanya tersenyum tipis dan menggaruk kepalanya. "Hehe, Mbak Gracya nanya begitu. Mbak kan tahu sendiri, ini rumah sakit bekas jajahan Velanta. Kalau dibilang aneh, ya semuanya di sini aneh. Apalagi jam segini."
Gracya mengernyitkan dahi. "Maksudnya... apa yang aneh, Pak?"
Suwito tertawa kecil lagi. "Waktu Wakanesia dijajah kaum asing ratusan tahun silam, Velanta pakai rumah sakit ini sebagai tempat penahanan. Banyak yang nggak keluar hidup-hidup dari sini. Jadi ya, kalau sekarang ada yang 'aneh-aneh' muncul, Mbak, jangan kaget. Biasa saja."
Gracya menelan ludah. Suara Pak Suwito yang biasanya menenangkan kini terasa lebih menakutkan. "Jadi... Pak Suwito juga pernah lihat yang aneh-aneh?"
Pak Suwito mengangguk. "Pernah sekali, Mbak. Ada bayangan di ujung lorong, tapi begitu didekati, hilang. Dulu saya kira itu cuma lampu rusak atau mata saya lelah, tapi makin lama saya ngerti, ada ‘penunggu’ di sana."
Gracya merasakan kakinya mulai lemas, tapi dia tetap berdiri tegak. "Oh... gitu ya," jawabnya dengan suara kecil, meski pikirannya mulai bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Apakah yang dia lihat tadi adalah salah satu dari penampakan itu? Atau sesuatu yang lebih kelam dari sejarah rumah sakit ini?
Dia mencoba menenangkan dirinya lagi, menyadari bahwa malam ini tidak akan mudah. Suwito meliriknya, masih dengan senyum yang anehnya terasa lebih menyeramkan dari biasanya.
"Kalau ada apa-apa, jangan ragu panggil saya, Mbak. Saya biasa jagain yang begituan," katanya setengah bercanda.
Gracya hanya tertawa kecil, tawa getir yang tak bisa dia tahan lagi. "Ya Pak. Semoga nggak perlu ya."
Dengan suara lonceng yang kini hilang, Gracya meninggalkan Pak Suwito dan berjalan menuju gedung utama. Namun, meskipun dentingan lonceng itu sudah tak terdengar lagi, perasaan bahwa ada sesuatu yang selalu mengawasinya tetap tak terhapuskan.
Gracya baru saja duduk di ruang staf ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya dengan malas, berharap itu bukan panggilan tugas tambahan. Suara Pak Wiryo, dosen senior yang terkenal dengan pengetahuan lokalnya tentang sejarah kampus, terdengar di ujung sana, berbicara dengan nada agak cemas.“Grace, bisa tolong gantikan Dewi malam ini? Katanya mendadak sakit. Tidak ada keterangan jelas, hanya katanya sangat mendadak.”Gracya menelan ludah. Setelah malam-malam aneh belakangan ini, ia merasa lelah, tetapi rasa tanggung jawabnya mendorongnya untuk menerima. “Baik, Pak. Saya bisa.”Malam itu, ia berjalan di lorong kampus yang sepi menuju ruang staf malam, merasakan dinginnya malam seperti menembus tulangnya. Suara langkahnya yang menggema di lorong menambah perasaan tidak nyaman yang semakin besar dalam dirinya. Di tengah kesunyian, ia teringat kembali pada cerita lonceng kematian yang sering dibicarakan mahasiswa. Cerita itu selalu terdengar seperti gurauan, tetapi akhir-akhir ini cerit
Setelah percakapan dengan Pak Suwito, Gracya merasa tidak enak badan, terutama bagian perutnya yang tiba-tiba melilit. Seolah-olah rasa takut dan cerita-cerita tentang lonceng kematian tadi menambah beban di perutnya. Ia berpikir mungkin hanya efek dari rasa cemas yang tertumpuk, tetapi gejala itu tak kunjung mereda."Aduh, perut, kenapa pas sekarang sih…" gerutunya pelan.Dengan langkah tergesa, Gracya berjalan ke kamar mandi kampus yang berada di ujung lorong, merasa semakin cemas setiap kali melihat bayangan dirinya di dinding atau mendengar bunyi kunci berderit dari pintu-pintu di sepanjang lorong. Suasana kampus yang sepi membuat setiap langkahnya terasa menggema, seolah-olah ia tidak berjalan sendirian. Tapi malam itu, Gracya hanya bisa berharap agar semua perasaan takutnya segera hilang setelah ia berhasil menuntaskan urusan di toilet.Sesampainya di kamar mandi, Gracya merasa lebih tenang. Ruangan yang terang dengan keramik putih bersih sedikit mengurangi ketegangannya. Setela
Gracya duduk di ruang staf dengan kepala yang terasa berat, mencoba mengabaikan bayangan kunti influencer yang ditemuinya di kamar mandi tadi. Sambil menenangkan diri, ia membuka ponselnya, berharap media sosial bisa mengalihkan pikiran. Namun, begitu membuka Instagram, matanya membelalak melihat deretan notifikasi aneh. Akun-akun asing membanjiri berandanya, sebagian besar dengan foto-foto bayi, menyukai unggahannya tanpa alasan jelas.Sejenak, Gracya hanya menatap notifikasi itu dengan heran. Ini aneh. Apa mungkin ini ulah seseorang yang sedang iseng? pikirnya, tetapi bayangan wajah kunti influencer di kamar mandi tadi langsung muncul di benaknya, membuatnya semakin resah. Ia berusaha untuk tidak peduli, menutup ponselnya dan memaksa dirinya berkonsentrasi pada laporan yang harus ia selesaikan.Ruang staf terasa sepi, hanya diisi suara detak jam yang perlahan, seperti penanda waktu yang semakin melambat. Gracya menarik napas dalam, berusaha menghalau perasaan takut yang seakan melek
Ruangan terasa semakin sempit dan pengap, seperti tak cukup oksigen untuk dihirup. Gracya duduk dengan tubuh gemetar, memandangi lonceng di atas meja yang tak kunjung hilang dari pikirannya. Suara dentingan samar yang bergema sejak tadi seolah menyatu dengan detak jantungnya, membuat ia semakin sulit membedakan antara kenyataan dan bayangan. Sejak suara tawa kunti itu lenyap, Gracya tak bisa lagi merasa tenang.Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus keluar… aku harus bicara dengan Pak Suwito, pikirnya. Ia berdiri dengan tubuh gemetar, memaksakan diri untuk melangkah keluar dari ruangan.Begitu pintu ruang staf tertutup di belakangnya, ia merasa sedikit lebih lega. Lorong panjang rumah sakit tampak sepi, dengan lampu-lampu redup yang menciptakan bayangan di dinding. Suasana yang biasanya terasa tenang kini berubah menjadi menakutkan, seolah-olah dinding-dinding lorong menyimpan rahasia yang menunggu untuk terungkap. Gracya melangkah perlahan, berusaha mencari sosok Pak Suwito yang biasany
Suara sepatu hak tinggi Gracya Light Ningsee menggema di lorong kampus Earth Hosana Akarta. Setiap langkahnya menandakan otoritas, dan siapa pun yang melihatnya pasti tahu, tak ada mahasiswa nakal yang bisa bersembunyi darinya. Dengan rambut hitamnya yang selalu diikat rapi dan tatapan tajam yang hampir selalu terarah ke jam dinding, Gracya adalah sosok yang terkenal—bukan hanya sebagai lulusan terbaik akademi keperawatan, tapi juga sebagai asisten dosen yang tak kenal ampun terhadap perilaku mahasiswa jahil.Pintu kaca menuju ruang kuliah farmasi terlihat di depan. Sambil mendorong pintu itu, Gracya sudah siap dengan apa pun yang mungkin menunggunya di dalam. Sejak bekerja sebagai asisten dosen di kampus ini, Gracya sudah hafal dengan tingkah laku mahasiswa yang kadang lebih kreatif dalam membuat ulah daripada belajar. Apalagi malam ini, dia mendengar dari staf bahwa ada sekelompok mahasiswa yang sedang merencanakan sesuatu untuk "mengerjai" salah satu dosen di shift malam.Gracya me
Hari itu terasa panjang bagi Gracya. Matahari mulai meredup di langit senja, menandakan bahwa tugasnya di kampus hampir selesai. Namun, Gracya masih punya satu tugas terakhir sebelum benar-benar bisa pulang. Dia diminta membantu bersih-bersih di ruang kerja mendiang Bu Direktur, yang kini ditempati oleh anak pemilik yayasan kampus. Sejak Bu Direktur meninggal beberapa bulan lalu, ruangan itu jarang sekali digunakan, dan tumpukan kertas, buku-buku, serta barang-barang pribadi mendiang masih tertinggal di dalamnya.Gracya tidak tahu banyak tentang Bu Direktur. Dia terkenal sebagai sosok yang tegas namun dihormati, bahkan ditakuti oleh beberapa mahasiswa. Namun, ada satu hal yang sering menjadi topik pembicaraan: konon, Bu Direktur memiliki indera keenam. Banyak yang mengklaim bahwa beliau bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang biasa. Itu adalah salah satu alasan mengapa ruangan kerjanya sering kali dianggap menyeramkan.Ketika Gracya membuka pintu ruang kerja itu, dia disamb
Malam itu, hujan mulai turun dengan pelan, gerimis yang dingin membasahi aspal di luar kampus. Gracya duduk di bangku kecil di dekat pintu keluar, menunggu ojek online yang dipesannya melalui aplikasi di ponselnya. Dia baru saja menyelesaikan shift lemburnya di kampus, dan dengan cuaca yang mendung serta hawa malam yang menusuk tulang, dia tak sabar untuk segera pulang ke kosan.Sambil menunggu, Gracya membuka ponselnya, memeriksa lagi pesan dari aplikasi. “Di jalan,” tertulis di layar. Tapi sudah lima belas menit berlalu, dan tak ada tanda-tanda abang ojek online yang seharusnya menjemputnya."Ah, macet kali ya. Hujan begini pasti bikin jalanan semrawut," gumamnya, menenangkan diri sambil menarik jaketnya lebih erat untuk melawan dingin.Gracya menatap jalanan yang kosong. Lampu-lampu jalan memantulkan sinar redup di atas genangan air, dan sesekali terlihat kilatan lampu dari kendaraan yang lewat di kejauhan. Tapi ojeknya belum datang juga.Dia menghela napas panjang, memandangi pons
Keesokan paginya, Gracya merasa badannya masih pegal-pegal, seolah-olah tidur tidak cukup meredakan rasa lelah yang mendera sejak semalam. Mimpi-mimpi aneh tentang abang ojek online hantu masih menyisakan perasaan tidak nyaman di dadanya. Namun, dia tetap berusaha bersikap normal. Dia menatap cermin di kamar kosannya, memastikan wajahnya tidak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan."Udah pagi, nggak usah drama," ujarnya pada bayangan di cermin, sambil mengusap sedikit bedak di wajahnya. "Itu cuma stres, Gracya. Abang ojek online atau bukan, semua pasti aman hari ini."Namun, saat dia berjalan menuju kampus, keanehan mulai muncul lagi. Setiap kali dia melewati lorong kampus yang sepi, dia merasa ada sesuatu di belakangnya. Seolah-olah ada sepasang mata yang mengawasinya dari sudut-sudut ruangan. Setiap kali Gracya menoleh, tentu saja, tidak ada siapa pun. Hanya dinding-dinding dingin dan koridor kosong."Aduh, mungkin efek semalam. Jangan sampai jadi parno ya, Grace," katanya pelan, sam