Share

Dentingan Maut

Gracya baru saja duduk di ruang staf ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya dengan malas, berharap itu bukan panggilan tugas tambahan. Suara Pak Wiryo, dosen senior yang terkenal dengan pengetahuan lokalnya tentang sejarah kampus, terdengar di ujung sana, berbicara dengan nada agak cemas.

“Grace, bisa tolong gantikan Dewi malam ini? Katanya mendadak sakit. Tidak ada keterangan jelas, hanya katanya sangat mendadak.”

Gracya menelan ludah. Setelah malam-malam aneh belakangan ini, ia merasa lelah, tetapi rasa tanggung jawabnya mendorongnya untuk menerima. “Baik, Pak. Saya bisa.”

Malam itu, ia berjalan di lorong kampus yang sepi menuju ruang staf malam, merasakan dinginnya malam seperti menembus tulangnya. Suara langkahnya yang menggema di lorong menambah perasaan tidak nyaman yang semakin besar dalam dirinya. Di tengah kesunyian, ia teringat kembali pada cerita lonceng kematian yang sering dibicarakan mahasiswa. Cerita itu selalu terdengar seperti gurauan, tetapi akhir-akhir ini cerita tersebut terasa lebih nyata dari sekadar kisah horor kampus.

Ketika sampai di ruang staf, Gracya duduk sambil memandangi meja kosong di hadapannya. Suara tawa mahasiswa dari siang tadi masih terngiang di telinganya, terutama obrolan mereka tentang lonceng kematian.

“Eh, tahu gak, kalau denger lonceng itu katanya tamat sudah!” celetuk seorang mahasiswa.

Mahasiswa lain menimpali, “Iya, lonceng itu bukan buat sembarang orang, katanya. Mahasiswa angkatan tahun ketiga dulu juga katanya dengar suara itu sebelum…”

Gracya tersenyum tipis, walau sebenarnya tidak sepenuhnya merasa nyaman. Bagi para mahasiswa, cerita itu mungkin sekadar lelucon yang menyenangkan untuk ditertawakan. Tetapi setelah beberapa kali melihat hal-hal ganjil, Gracya mulai mempertanyakan apakah ada sesuatu yang lebih dalam di balik kisah itu.


Tidak lama setelah ia duduk, suara gemerincing dari gantungan kunci terdengar mendekat di lorong. Gracya menoleh dan melihat Pak Suwito, satpam yang sedang berkeliling seperti biasa. Kali ini, perasaan cemas Gracya membuatnya ragu untuk mengabaikan cerita-cerita seram.

“Pak Wito, bisa duduk sebentar?” Gracya memanggilnya pelan.

Pak Suwito menghentikan langkahnya, sedikit terkejut, tetapi ia menghampiri Gracya dan duduk di kursi di seberangnya. “Ada apa, Mbak Grace? Malam-malam gini tumben ajak ngobrol.”

Gracya menghela napas, menatap Pak Suwito dengan sedikit ragu, “Pak, saya mau tanya soal… cerita lonceng kematian di kampus ini. Itu beneran, kan?”

Pak Suwito terlihat berpikir sejenak, lalu tertawa pelan. “Ah, cerita lama itu memang selalu jadi bahan obrolan. Saya di sini udah lebih dari sepuluh tahun, Mbak Grace, dan tiap tahun pasti ada aja yang bicarain lonceng itu.”

“Tapi Bapak sendiri pernah dengar suaranya?” Gracya menatapnya dengan serius.

Ekspresi Pak Suwito berubah. Senyumnya perlahan menghilang, dan ia menunduk, menatap lantai. “Mbak Grace, kalau saya bilang pernah, apa Mbak mau percaya?”

Gracya mengangguk perlahan. “Kalau Bapak pernah dengar… saya rasa itu bukan cuma cerita kosong, Pak.”

Pak Suwito menghela napas panjang, suaranya pelan namun tegas, “Malam-malam kalau keliling di lorong lama, kadang saya dengar. Gak keras, cuma kayak suara jauh. Tapi ada aja perasaan gak enak. Pernah, beberapa tahun lalu, suara itu kedengeran di malam seorang petugas kebersihan ditemukan meninggal mendadak di lorong rumah sakit.”

“Petugas kebersihan? Apakah dia… juga dengar suara lonceng itu?” tanya Gracya, merasa napasnya mulai tercekat.

“Katanya, sebelum meninggal, dia sempat cerita ke penjaga lain kalau dia dengar suara lonceng dari arah bangsal kosong. Tapi pas saya periksa, gak ada apa-apa. Hanya ada ruangan kosong dan suara sunyi,” jawab Pak Suwito sambil menggelengkan kepala, mengingat kisah yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun sebelumnya.

Gracya merasakan ketakutan yang sama dengan malam-malam sebelumnya, tetapi kali ini terasa lebih nyata. Ia tidak berani menyela, membiarkan Pak Suwito melanjutkan ceritanya.

“Dulu pernah ada pasien yang juga meninggal tiba-tiba, Mbak Grace. Katanya siang itu dia masih segar bugar, malah bercanda sama perawat. Tapi malamnya, setelah suara lonceng itu kedengeran, dia ditemukan sudah tidak bernyawa. Mungkin itu kebetulan, tapi kebetulan yang terlalu sering, saya rasa.”


Gracya menatap kosong ke arah Pak Suwito, mencerna setiap kata. Rasanya ada benang merah yang menghubungkan semua cerita itu. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar dari lorong, disusul dengan dentingan samar lonceng yang familiar dan semakin mendekat.

Pak Suwito menoleh, wajahnya tiba-tiba pucat. “Dengar gak, Mbak?” bisiknya dengan nada khawatir.

Gracya mengangguk, meskipun tubuhnya mulai gemetar. “Ya, Pak… itu suaranya,” jawabnya, hampir tak terdengar.

“Kita jangan bergerak, Mbak. Biar suara itu lewat,” ucap Pak Suwito pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Mereka berdua duduk diam, menahan napas saat suara itu mendekat, dan kemudian menjauh, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara.

Setelah beberapa saat, Pak Suwito berbisik lagi, “Mbak Grace, kalau suara itu datang lagi, lebih baik Mbak jangan sendirian di sini. Saya rasa, lonceng itu memang bukan cuma legenda kampus. Dulu, ada rumor kalau lonceng itu… penanda seseorang akan segera meninggal.”

“Kenapa Bapak gak cerita dari dulu?” Gracya menahan napas, merasa sesak di dadanya. Pertanyaan-pertanyaan tentang suara lonceng itu kini semakin mendesaknya.

“Gak semua orang mau percaya, Mbak. Kebanyakan orang anggap itu cuma mitos. Tapi saya udah lihat terlalu banyak kejadian aneh di sini,” balas Pak Suwito, suaranya terdengar berat.

Gracya memandang Pak Suwito dengan tatapan kosong. Sekarang, ia mulai memahami kenapa cerita itu tetap hidup, kenapa mahasiswa, perawat, bahkan para dosen sering membicarakan lonceng kematian dengan nada serius meski terkadang bercampur tawa.

“Kalau gitu, kenapa gak ada yang berusaha cari loncengnya dan… memusnahkannya?” Gracya bertanya, suaranya penuh harap.

Pak Suwito menatap Gracya, tersenyum pahit. “Mungkin sudah banyak yang mencoba, tapi lonceng itu gak bisa dihilangkan, Mbak. Setiap kali orang berpikir lonceng itu sudah lenyap, pasti ada yang mendengarnya lagi, di tempat yang berbeda.”

Hening sesaat. Gracya menggenggam tangannya sendiri, merasa dingin mulai merasuki dirinya. Ia tidak bisa berpaling dari tatapan serius Pak Suwito, yang kali ini terlihat lebih seperti peringatan daripada sekadar nasihat.

“Dari dulu, saya udah bilang sama para petugas jaga malam lain. Kalau dengar suara lonceng itu, jangan berusaha mencari dari mana asalnya. Lebih baik biarkan saja,” ucap Pak Suwito dengan tegas, seolah menyiratkan betapa bahayanya mencoba menyingkap misteri di balik lonceng kematian itu.

Gracya hanya bisa mengangguk, masih terpaku dalam ketakutan dan kebingungan. Baginya, percakapan ini seperti membuka pintu menuju dunia lain, dunia yang penuh rahasia gelap yang seharusnya tetap tersembunyi.

Di tengah kesunyian, Pak Suwito berdiri, lalu menepuk bahu Gracya pelan. “Kalau Mbak butuh apa-apa, panggil saya saja. Saya akan berkeliling dulu,” katanya dengan nada yang lebih tenang, lalu melangkah pergi, meninggalkan Gracya dalam hening yang mencekam di ruang staf malam itu.

Perlahan, Gracya menyandarkan diri ke kursinya, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Bayangan-bayangan akan dentingan lonceng, wajah-wajah penuh ketakutan para pasien yang ia dengar kisahnya, dan ketidakpastian yang menyelimuti dirinya kini mulai mengisi pikirannya, memenuhi setiap inci ruang staf dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status