Gracya baru saja duduk di ruang staf ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya dengan malas, berharap itu bukan panggilan tugas tambahan. Suara Pak Wiryo, dosen senior yang terkenal dengan pengetahuan lokalnya tentang sejarah kampus, terdengar di ujung sana, berbicara dengan nada agak cemas.
“Grace, bisa tolong gantikan Dewi malam ini? Katanya mendadak sakit. Tidak ada keterangan jelas, hanya katanya sangat mendadak.”
Gracya menelan ludah. Setelah malam-malam aneh belakangan ini, ia merasa lelah, tetapi rasa tanggung jawabnya mendorongnya untuk menerima. “Baik, Pak. Saya bisa.”
Malam itu, ia berjalan di lorong kampus yang sepi menuju ruang staf malam, merasakan dinginnya malam seperti menembus tulangnya. Suara langkahnya yang menggema di lorong menambah perasaan tidak nyaman yang semakin besar dalam dirinya. Di tengah kesunyian, ia teringat kembali pada cerita lonceng kematian yang sering dibicarakan mahasiswa. Cerita itu selalu terdengar seperti gurauan, tetapi akhir-akhir ini cerita tersebut terasa lebih nyata dari sekadar kisah horor kampus.
Ketika sampai di ruang staf, Gracya duduk sambil memandangi meja kosong di hadapannya. Suara tawa mahasiswa dari siang tadi masih terngiang di telinganya, terutama obrolan mereka tentang lonceng kematian.
“Eh, tahu gak, kalau denger lonceng itu katanya tamat sudah!” celetuk seorang mahasiswa.
Mahasiswa lain menimpali, “Iya, lonceng itu bukan buat sembarang orang, katanya. Mahasiswa angkatan tahun ketiga dulu juga katanya dengar suara itu sebelum…”
Gracya tersenyum tipis, walau sebenarnya tidak sepenuhnya merasa nyaman. Bagi para mahasiswa, cerita itu mungkin sekadar lelucon yang menyenangkan untuk ditertawakan. Tetapi setelah beberapa kali melihat hal-hal ganjil, Gracya mulai mempertanyakan apakah ada sesuatu yang lebih dalam di balik kisah itu.
Tidak lama setelah ia duduk, suara gemerincing dari gantungan kunci terdengar mendekat di lorong. Gracya menoleh dan melihat Pak Suwito, satpam yang sedang berkeliling seperti biasa. Kali ini, perasaan cemas Gracya membuatnya ragu untuk mengabaikan cerita-cerita seram.
“Pak Wito, bisa duduk sebentar?” Gracya memanggilnya pelan.
Pak Suwito menghentikan langkahnya, sedikit terkejut, tetapi ia menghampiri Gracya dan duduk di kursi di seberangnya. “Ada apa, Mbak Grace? Malam-malam gini tumben ajak ngobrol.”
Gracya menghela napas, menatap Pak Suwito dengan sedikit ragu, “Pak, saya mau tanya soal… cerita lonceng kematian di kampus ini. Itu beneran, kan?”
Pak Suwito terlihat berpikir sejenak, lalu tertawa pelan. “Ah, cerita lama itu memang selalu jadi bahan obrolan. Saya di sini udah lebih dari sepuluh tahun, Mbak Grace, dan tiap tahun pasti ada aja yang bicarain lonceng itu.”
“Tapi Bapak sendiri pernah dengar suaranya?” Gracya menatapnya dengan serius.
Ekspresi Pak Suwito berubah. Senyumnya perlahan menghilang, dan ia menunduk, menatap lantai. “Mbak Grace, kalau saya bilang pernah, apa Mbak mau percaya?”
Gracya mengangguk perlahan. “Kalau Bapak pernah dengar… saya rasa itu bukan cuma cerita kosong, Pak.”
Pak Suwito menghela napas panjang, suaranya pelan namun tegas, “Malam-malam kalau keliling di lorong lama, kadang saya dengar. Gak keras, cuma kayak suara jauh. Tapi ada aja perasaan gak enak. Pernah, beberapa tahun lalu, suara itu kedengeran di malam seorang petugas kebersihan ditemukan meninggal mendadak di lorong rumah sakit.”
“Petugas kebersihan? Apakah dia… juga dengar suara lonceng itu?” tanya Gracya, merasa napasnya mulai tercekat.
“Katanya, sebelum meninggal, dia sempat cerita ke penjaga lain kalau dia dengar suara lonceng dari arah bangsal kosong. Tapi pas saya periksa, gak ada apa-apa. Hanya ada ruangan kosong dan suara sunyi,” jawab Pak Suwito sambil menggelengkan kepala, mengingat kisah yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun sebelumnya.
Gracya merasakan ketakutan yang sama dengan malam-malam sebelumnya, tetapi kali ini terasa lebih nyata. Ia tidak berani menyela, membiarkan Pak Suwito melanjutkan ceritanya.
“Dulu pernah ada pasien yang juga meninggal tiba-tiba, Mbak Grace. Katanya siang itu dia masih segar bugar, malah bercanda sama perawat. Tapi malamnya, setelah suara lonceng itu kedengeran, dia ditemukan sudah tidak bernyawa. Mungkin itu kebetulan, tapi kebetulan yang terlalu sering, saya rasa.”
Gracya menatap kosong ke arah Pak Suwito, mencerna setiap kata. Rasanya ada benang merah yang menghubungkan semua cerita itu. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar dari lorong, disusul dengan dentingan samar lonceng yang familiar dan semakin mendekat.
Pak Suwito menoleh, wajahnya tiba-tiba pucat. “Dengar gak, Mbak?” bisiknya dengan nada khawatir.
Gracya mengangguk, meskipun tubuhnya mulai gemetar. “Ya, Pak… itu suaranya,” jawabnya, hampir tak terdengar.
“Kita jangan bergerak, Mbak. Biar suara itu lewat,” ucap Pak Suwito pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Mereka berdua duduk diam, menahan napas saat suara itu mendekat, dan kemudian menjauh, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara.
Setelah beberapa saat, Pak Suwito berbisik lagi, “Mbak Grace, kalau suara itu datang lagi, lebih baik Mbak jangan sendirian di sini. Saya rasa, lonceng itu memang bukan cuma legenda kampus. Dulu, ada rumor kalau lonceng itu… penanda seseorang akan segera meninggal.”
“Kenapa Bapak gak cerita dari dulu?” Gracya menahan napas, merasa sesak di dadanya. Pertanyaan-pertanyaan tentang suara lonceng itu kini semakin mendesaknya.
“Gak semua orang mau percaya, Mbak. Kebanyakan orang anggap itu cuma mitos. Tapi saya udah lihat terlalu banyak kejadian aneh di sini,” balas Pak Suwito, suaranya terdengar berat.
Gracya memandang Pak Suwito dengan tatapan kosong. Sekarang, ia mulai memahami kenapa cerita itu tetap hidup, kenapa mahasiswa, perawat, bahkan para dosen sering membicarakan lonceng kematian dengan nada serius meski terkadang bercampur tawa.
“Kalau gitu, kenapa gak ada yang berusaha cari loncengnya dan… memusnahkannya?” Gracya bertanya, suaranya penuh harap.
Pak Suwito menatap Gracya, tersenyum pahit. “Mungkin sudah banyak yang mencoba, tapi lonceng itu gak bisa dihilangkan, Mbak. Setiap kali orang berpikir lonceng itu sudah lenyap, pasti ada yang mendengarnya lagi, di tempat yang berbeda.”
Hening sesaat. Gracya menggenggam tangannya sendiri, merasa dingin mulai merasuki dirinya. Ia tidak bisa berpaling dari tatapan serius Pak Suwito, yang kali ini terlihat lebih seperti peringatan daripada sekadar nasihat.
“Dari dulu, saya udah bilang sama para petugas jaga malam lain. Kalau dengar suara lonceng itu, jangan berusaha mencari dari mana asalnya. Lebih baik biarkan saja,” ucap Pak Suwito dengan tegas, seolah menyiratkan betapa bahayanya mencoba menyingkap misteri di balik lonceng kematian itu.
Gracya hanya bisa mengangguk, masih terpaku dalam ketakutan dan kebingungan. Baginya, percakapan ini seperti membuka pintu menuju dunia lain, dunia yang penuh rahasia gelap yang seharusnya tetap tersembunyi.
Di tengah kesunyian, Pak Suwito berdiri, lalu menepuk bahu Gracya pelan. “Kalau Mbak butuh apa-apa, panggil saya saja. Saya akan berkeliling dulu,” katanya dengan nada yang lebih tenang, lalu melangkah pergi, meninggalkan Gracya dalam hening yang mencekam di ruang staf malam itu.
Perlahan, Gracya menyandarkan diri ke kursinya, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Bayangan-bayangan akan dentingan lonceng, wajah-wajah penuh ketakutan para pasien yang ia dengar kisahnya, dan ketidakpastian yang menyelimuti dirinya kini mulai mengisi pikirannya, memenuhi setiap inci ruang staf dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.
Setelah percakapan dengan Pak Suwito, Gracya merasa tidak enak badan, terutama bagian perutnya yang tiba-tiba melilit. Seolah-olah rasa takut dan cerita-cerita tentang lonceng kematian tadi menambah beban di perutnya. Ia berpikir mungkin hanya efek dari rasa cemas yang tertumpuk, tetapi gejala itu tak kunjung mereda."Aduh, perut, kenapa pas sekarang sih…" gerutunya pelan.Dengan langkah tergesa, Gracya berjalan ke kamar mandi kampus yang berada di ujung lorong, merasa semakin cemas setiap kali melihat bayangan dirinya di dinding atau mendengar bunyi kunci berderit dari pintu-pintu di sepanjang lorong. Suasana kampus yang sepi membuat setiap langkahnya terasa menggema, seolah-olah ia tidak berjalan sendirian. Tapi malam itu, Gracya hanya bisa berharap agar semua perasaan takutnya segera hilang setelah ia berhasil menuntaskan urusan di toilet.Sesampainya di kamar mandi, Gracya merasa lebih tenang. Ruangan yang terang dengan keramik putih bersih sedikit mengurangi ketegangannya. Setela
Gracya duduk di ruang staf dengan kepala yang terasa berat, mencoba mengabaikan bayangan kunti influencer yang ditemuinya di kamar mandi tadi. Sambil menenangkan diri, ia membuka ponselnya, berharap media sosial bisa mengalihkan pikiran. Namun, begitu membuka Instagram, matanya membelalak melihat deretan notifikasi aneh. Akun-akun asing membanjiri berandanya, sebagian besar dengan foto-foto bayi, menyukai unggahannya tanpa alasan jelas.Sejenak, Gracya hanya menatap notifikasi itu dengan heran. Ini aneh. Apa mungkin ini ulah seseorang yang sedang iseng? pikirnya, tetapi bayangan wajah kunti influencer di kamar mandi tadi langsung muncul di benaknya, membuatnya semakin resah. Ia berusaha untuk tidak peduli, menutup ponselnya dan memaksa dirinya berkonsentrasi pada laporan yang harus ia selesaikan.Ruang staf terasa sepi, hanya diisi suara detak jam yang perlahan, seperti penanda waktu yang semakin melambat. Gracya menarik napas dalam, berusaha menghalau perasaan takut yang seakan melek
Ruangan terasa semakin sempit dan pengap, seperti tak cukup oksigen untuk dihirup. Gracya duduk dengan tubuh gemetar, memandangi lonceng di atas meja yang tak kunjung hilang dari pikirannya. Suara dentingan samar yang bergema sejak tadi seolah menyatu dengan detak jantungnya, membuat ia semakin sulit membedakan antara kenyataan dan bayangan. Sejak suara tawa kunti itu lenyap, Gracya tak bisa lagi merasa tenang.Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus keluar… aku harus bicara dengan Pak Suwito, pikirnya. Ia berdiri dengan tubuh gemetar, memaksakan diri untuk melangkah keluar dari ruangan.Begitu pintu ruang staf tertutup di belakangnya, ia merasa sedikit lebih lega. Lorong panjang rumah sakit tampak sepi, dengan lampu-lampu redup yang menciptakan bayangan di dinding. Suasana yang biasanya terasa tenang kini berubah menjadi menakutkan, seolah-olah dinding-dinding lorong menyimpan rahasia yang menunggu untuk terungkap. Gracya melangkah perlahan, berusaha mencari sosok Pak Suwito yang biasany
Matahari pagi mulai merayap di balik jendela rumah sakit, menandai berakhirnya shift malam yang panjang dan penuh ketegangan bagi Gracya. Beberapa jam berlalu tanpa ada keanehan lebih lanjut setelah ia meninggalkan lorong dan kembali ke ruang staf. Keletihan akibat malam-malam lembur membuat matanya terasa berat, namun rasa lega mulai muncul seiring sinar matahari yang menyinari ruangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa bernapas sedikit lebih lega.Setidaknya, aku bisa keluar dari sini dengan selamat… pikirnya, sambil membereskan beberapa barang di mejanya. Pikirannya beralih sejenak pada lonceng emas kecil yang masih ada di sana, mengingat bagaimana benda itu terus mengganggunya sepanjang malam.Ia menoleh ke arah ruang istirahat, tempat beberapa rekan perawatnya sedang berkumpul untuk mengobrol sambil menyeruput kopi pagi. Terlihat wajah-wajah yang sudah familiar: Rita, perawat yang terkenal cerewet tapi baik hati, Dita, yang selalu ceria, dan Andin, yang sedikit pendiam tetapi
Gracya akhirnya tiba di depan rumah kosnya setelah malam panjang yang penuh ketegangan. Sepanjang perjalanan pulang, kepalanya berat, pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan yang ia lihat selama shift malam. Bahkan, ia sempat ketiduran di punggung abang ojek yang membawanya pulang. Abang ojek itu harus membangunkannya dengan lembut, membisikkan, “Mbak, sudah sampai.”Gracya mengusap matanya, terkejut mendapati abang ojek yang tersenyum di depannya ternyata cukup tampan. Sebelum ia sempat mengucapkan terima kasih, abang itu hanya berkata, “Hati-hati, Mbak. Kayaknya mau hujan, jangan lupa jemurannya diangkat ya.”“Eh, iya, iya. Makasih, Bang,” jawab Gracya dengan senyum mengantuk, meskipun dalam hati ia sedikit terkejut dengan perkataan itu. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia menjemur baju, karena akhir-akhir ini ia hanya pulang ke kos untuk istirahat sejenak sebelum kembali ke rumah sakit.Setelah membayar, ia melangkah masuk ke kosan, yang terlihat sepi karena para penghuni la
Hujan deras mengguyur tanpa henti di luar kosan Gracya, menciptakan irama monoton yang terasa semakin menambah suasana mencekam. Hujan seakan membekukan malam itu, menjadikan setiap suara—tetirisan air, desiran angin, bahkan detak jarum jam di dinding kamar—terdengar berlipat kali lebih nyaring. Gracya duduk di sudut kamar kosnya, dengan jendela yang setengah tertutup, menyaksikan tetesan air yang menetes dari genteng dan meluncur bebas menuju tanah. Di bawah cahaya lampu meja yang temaram, bayangannya sendiri tampak melintasi dinding kamar, menambah nuansa seram pada malam itu.Dia menatap laptop di depannya, membuka beberapa folder yang berisi arsip rumah sakit. Gracya tahu bahwa penyelidikan ini berbahaya; jika ketahuan, posisinya sebagai asisten dosen mungkin terancam. Namun, rasa penasaran dan kegelisahan yang ia rasakan sejak pertemuannya dengan hantu pasien korban malpraktik membuatnya tidak bisa tinggal diam. Dia memikirkan arwah-arwah yang mungkin belum beristirahat dengan te
Langit malam sudah gelap pekat ketika Gracya akhirnya terlelap. Hujan deras yang mengguyur sedari sore mulai mereda, menyisakan udara lembab yang menyelubungi kamarnya. Di luar jendela, sisa-sisa gerimis masih terdengar berirama, mengiringi tidurnya yang tidak tenang. Tubuhnya terasa berat, seolah diganduli sesuatu. Namun, bukannya merasakan kedamaian tidur yang menenangkan, Gracya justru mendapati dirinya berada di koridor rumah sakit yang lengang dan sunyi.Lampu-lampu redup di lorong panjang itu berkedip lemah, membuat suasana terasa lebih dingin dan mencekam. Gracya berjalan perlahan di lorong tersebut, setiap langkahnya menggema, namun seperti tenggelam dalam keheningan yang hampa. Seolah seluruh rumah sakit mengawasinya dalam diam.Langkah-langkahnya membawanya ke pintu ICU, yang tiba-tiba terbuka pelan tanpa suara. Di dalamnya, kabut tipis merayap di lantai, memantulkan cahaya putih pucat dari lampu di atas kepala. Napas Gracya tertahan ketika ia melihat sosok kecil di ujung ru
Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi
Gracya sedang menyantap mie ayam di kantin kampus ketika ia menangkap sosok Chandra yang berdiri ragu-ragu di pintu masuk. Pemuda itu terlihat gelisah, sesekali melirik ke arahnya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya."Chan!" panggil Gracya dengan suara lantang, membuat beberapa staf di sekitar menoleh. "Ngapain berdiri kayak patung begitu?"Wajah Chandra langsung memerah. Dengan langkah kaku, ia menghampiri meja Gracya. "Pa-pagi, Kak.""Tumben pagi-pagi udah keliatan. Biasanya kan kamu shift siang?" goda Gracya sambil tersenyum jahil."Itu... saya..." Chandra tergagap, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.Di meja sebelah, beberapa perawat senior mulai berbisik-bisik sambil cekikikan. "Cieee... yang brondong ngejar-ngejar kakak senior nih.""Ssst, tapi cocok loh. Yang satu cantik yang satu ganteng," timpal yang lain.Chandra semakin salah tingkah mendengar bisikan-bisikan itu. Ia hendak berbalik pergi ketika Gracya menarik
Chandra mengamati Gracya dari kejauhan, menyaksikan bagaimana seniornya itu dengan tenang membaca jurnal Bu Susan sambil sesekali mengetik sesuatu di laptopnya. Sudah seminggu berlalu sejak ia ditugaskan menemani Gracya selama shift malam, sebuah "kehormatan" yang sebenarnya tidak diinginkan oleh staf lain karena cerita-cerita seram yang beredar."Kak Grace," panggil Chandra pelan, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kakak nggak takut ya kerja malam terus?"Gracya mengangkat wajahnya dari jurnal, tersenyum tipis. "Kenapa harus takut? Kan ada kamu yang nemenin."Chandra merasakan wajahnya memanas. Tiga tahun perbedaan usia mereka terasa tidak berarti saat Gracya melemparkan candaan-candaan ringan seperti ini. Namun di balik sikapnya yang terkesan penakut, Chandra menyimpan tujuan yang lebih dalam."Kak," Chandra memberanikan diri. "Kakak percaya nggak sama cerita lonceng kematian itu?"Gracya terdiam sejenak, matanya menerawang. "Dulu n
Gracya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah malam penuh ketegangan di ruang arsip. Ia masih memikirkan dokumen-dokumen yang baru saja ia temukan—daftar pasien dengan kematian misterius, catatan tentang "Lonceng Kematian," dan tulisan tangan Bu Susan yang menyebutkan kuil tua sebagai asal mula lonceng tersebut. Namun, semua itu terpaksa ia simpan sementara waktu. Ada hal lain yang lebih mendesak: Chandra.Cowok itu kini duduk dengan wajah pucat di ruangan staf, memeluk lututnya seperti anak kecil yang baru saja melihat hantu. Gracya mengamati dari pintu ruangan, mencoba menahan tawa kecil yang muncul di tengah rasa lelahnya. "Anak baru ini benar-benar kena mental," pikirnya."Kak Gracya..." Chandra memanggil pelan, suaranya gemetar. "Boleh nggak saya duduk di sini aja sama Kakak? Jangan suruh saya balik ke ruangan staf sendirian lagi, ya?"Gracya mengangkat alis. "Kenapa? Bukannya tadi kamu cuma mau ke toilet?"Chandra mengangguk cepat, matanya melebar seperti an
Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken
Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s
Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap
Gracya berdiri terpaku di tengah ruangan dokumen. Bayangan hitam yang mengintimidasi semakin mendekat, bergerak seperti asap pekat yang hidup. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rak-rak bergetar, dokumen-dokumen beterbangan, dan suara-suara samar seperti bisikan terdengar dari berbagai sudut. Gracya tahu apa yang akan terjadi. Bayangan itu seolah mencari celah untuk masuk, berusaha merasukinya.Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tuhan, tolong aku... lindungi aku dari semua ini. Ia mulai berdoa dalam hati, suaranya terdengar bergetar di pikirannya sendiri. Bayangan itu bergerak semakin dekat, dan udara terasa semakin berat.Dentang lonceng terdengar tiba-tiba, memecah kesunyian. Suaranya bergema, mengguncang ruangan seperti alunan peringatan yang kuat. Gracya membuka matanya. Pemandangan di depannya telah berubah. Tidak ada lagi rak-rak kayu atau tumpukan dokumen yang berserakan. Sebagai gantinya, ia ber
Gracya berjalan dengan langkah cepat di koridor kampus farmasi yang sepi, sementara Dewi, yang terlihat cemas, terus mengikuti di belakangnya. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang yang hanya diterangi lampu-lampu redup. Angin malam meniupkan hawa dingin dari celah jendela tua, membuat lorong terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Grace, tunggu,” panggil Dewi dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Kamu mau ke mana? Jangan tinggalin aku sendirian di sini.”Gracya berhenti, menoleh ke belakang. Dewi tampak semakin takut, matanya melirik ke sudut-sudut gelap lorong. Gracya menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Kenapa dia harus ikut malam ini? Aku harus menyelesaikan ini sendiri.“Aku cuma mau ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini,” jawab Gracya setenang mungkin.“Enggak! Aku ikut. Aku nggak mau sendirian,” Dewi bersikeras, matanya membulat penuh ketakutan. “Tempat ini... kamu tahu sendiri, kan? Tempat ini nggak normal.”Gracya tidak punya pilihan selain membiar
Langit sore itu mulai meredup. Matahari berusaha menembus awan tebal, namun cahayanya kalah oleh mendung kelabu yang menggantung di atas kota. Angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk dan membuat Gracya merapatkan jaketnya lebih erat. Langkahnya perlahan menyusuri trotoar menuju kampus, sambil sesekali menggenggam saku celana di mana lonceng kecil berdiam tanpa suara. Benda ini, yang pagi tadi ia temukan dalam genggamannya saat bangun tidur, kini menjadi beban yang ia bawa dengan berat hati.Lonceng ini seharusnya sudah dikembalikan ke ruangan Bu Susan, pikirnya. Namun entah mengapa, ada perasaan ragu dan takut yang membuatnya belum berani melakukannya. Seolah-olah ada energi misterius dalam lonceng ini yang mengikatnya, dan membawa Gracya ke dalam arus kejadian-kejadian aneh yang semakin sulit ia jelaskan dengan logika.Dalam benaknya, ia teringat akan permintaan Dewi, rekan sekaligus teman yang dikenal sangat penakut. Dewi memintanya untuk menemani shi