TRANG! TRING!
WUSH! CRASH
Bunyi pedang beradu terdengar saling sambar dengan cepat di tepian hutan. Suara teriakan dan sumpah serapah berulangkali terdengar dari perkelahian dahsyat di pagi buta itu. Segerombolan perampok berpakaian hitam-hitam begitu bernafsu mengeroyok musuhnya.
Mereka ingin menghabisi sosok kecil yang mengenakan caping dari bambu. Wajahnya tak terlihat. Hanya gerakannya yang begitu gesit dan lincah seperti menari menghindari tebasan parang dan golok pengeroyoknya.
“Ciaaat! Mati kau bocah ingusan!!”
Teriak perampok bertubuh besar sembari mengarahkan goloknya tepat ke arah perut pendekar kecil. Namun, serangannya meleset. Dengan gerakan mengelak yang gemulai, sang pendekar bisa menghindar. Disusul tendangannya yang menyakitkan pada pangkal kaki penyerangnya. Perampok itu jatuh terjengkang dan meringis kesakitan.
Teman-teman perampoknya melihat padanya dan merasa semakin tersulut emosinya. Mereka kembali menyerbu dengan kekuatan penuh. Keringat sebesar butiran jagung bercucuran membasahi tubuh mereka.
Pendekar bertubuh ramping itu masih santai saja melayani serangan bertubi-tubi yang datang padanya. Dia lebih banyak menghindar dan bertahan tanpa banyak menyerang balik. Pedang perak tergenggam di tangan kanannya.
Gerombolan perampok merasa dipermainkan. Serangan mereka semakin kacau dan membabi buta. Nyatanya musuh kecilnya itu sangat sulit untuk ditaklukkan.
“Kita habisi dia di sini sekarang! Bocah kecil ini mengganggu pekerjaan kita saja!”
Teriak perampok berkumis baplang. Matanya merah menahan marah. Dengusan nafasnya terdengar keras memburu. Emosinya serasa meledak di ubun-ubunnya.
Mendengar teriakan perampok berkumis, yang lain segera memasang kuda-kuda lagi dan membentuk formasi menyerbu dan mengunci musuh. Serbuan terakhir untuk memastikan musuhnya mati saat itu juga.
Seperti diaba-aba, mereka bergerak serentak seraya menghunuskan senjatanya masing mengarah pada sang pendekar.
Pendekar berbaju biru tak bergeming, dia hanya menarik nafas bosan. Tepat saat parang dan golok hanya berjarak sejengkal dari tubuhnya dia memijak tanah dengan kuat dan melenting ke atas. Serangan itu gagal mengenai tubuh sang pendekar tapi justru merobek dan menusuk tubuh teman-temannya sendiri.
Gerombolan perampok jatuh bergelimpangan. Darah segar mengucur dari luka menganga. Mereka mengaduh dan berteriak kesakitan. Dua orang langsung diam tak berkutik. Mungkin pingsan atau menemui ajal.
Pendekar kecil turun lagi menginjak tanah dengan anggun. Pedang dimasukkan lagi ke dalam sarungnya dan diselempangkan di bahu. Kedua tangannya bersedekap seakan tak peduli. Dia diam sebentar memastikan apakah ada serangan lagi dari para perampok.
Seorang perampok yang hanya menderita luka ringan menyambar lagi goloknya dan berdiri terhuyung-huyung. Ia ingin melakukan serangan terakhir untuk membalaskan dendam teman-temannya.
“Bocah cilik kurang ajar! Aku tak akan melupakan perbuatanmu pada teman-temanku! Terimalah pembalasanku ini!!” Teriaknya marah seraya menyerbu ke arah pendekar bercaping.
Baru berlari beberapa langkah, tiba-tiba lututnya terasa kaku. Seperti ada kekuatan yang menahan gerakannya. Sumpah serapah kembali terlontar dari mulutnya.
Pendekar kecil mulai kesal dan merasa terganggu dengan suara keras yang didengarnya. Tangan kanannya melambai sedikit, mendadak suara itu lenyap. Mulut sang perampok melongo tak bisa digerakkan. Hanya bola matanya yang berputar-putar, panik sekaligus mengancam.
“Ah, sudahlah. Aku tak bermaksud membunuh. Kalian sendiri yang saling bunuh. Aku pun tak mau membunuhmu. Aku hanya melumpuhkanmu. Tengah hari nanti kau bisa lepas sendiri.” Pendekar bunga berucap sembari mengeluarkan setangkai bunga mawar dari balik baju jubahnya.
Ia melangkah maju mendekati perampok yang sedang dilumpuhkannya. Caping yang dikenakannya diturunkan lagi sehingga wajahnya semakin tak kelihatan. Diselipkannya setangkai bunga itu di ikat pinggang perampok.
Tatapan mata sang perampok masih melotot memperingatkan. Tapi pendekar kecil itu tak takut sama sekali.
Setelah dekat dia berkata pelan. “Sudah, tak usah marah-marah. Aku hanya memperingatkan kalian. Janganlah lagi mencuri dan mengambil harta yang bukan milik kalian.”
Sang pendekar misterius berbalik arah dan hendak meninggalkan medan perkelahian itu. Namun, ia menghentikan langkahnya sejenak.
“Katakan pada pimpinan kalian. Pendekar Bunga tak akan membiarkan kejahatan meraja lela di wilayah ini.”
Tanpa menoleh lagi sang pendekar berjalan menunju jalan setapak. Siulan nyaring terdengar dari mulutnya. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dengan ringkikannya yang khas.
Seekor kuda putih menghampiri Pendekar Bunga dan menghentak-hentakkan kaki depannya. Antara senang dipanggil oleh majikannya atau kesal karena hari sudah mulai terang tapi mereka masih di tepian hutan.
“Iya, iya. Ayo kita pulang. Maafkan aku membuatmu menunggu,” ucap Pendekar Bunga seraya menaiki punggung kudanya.
Tali kekang kuda ditariknya pelan lalu kedua kakinya menyenggol tubuh kuda memberi aba-aba. Kuda putih segera berlari menembus ke dalam hutan.
***
Hari semakin terang. Orang-orang dusun mulai terlihat berlalu lalang melintasi jalanan setapak di tepian hutan.
Seorang lelaki yang memikul hasil bumi tiba-tiba berteriak kencang. Pikulannya sontak terlepas. Isinya tumpah berhamburan. Sementara dia berlari menjauh.
“Rajapatiii … toloooong! Ada rajapati!!” teriaknya. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya.
Orang-orang segera merubungnya dan bertanya-tanya ada kejadian apa.
Sambil menunjuk-nunjuk ke arah bekas perkelahian, lelaki itu menjelaskan dengan putus-putus.
“Di-di di sana … Ada orang-orang mati. Banyak darah, berceceran. Mungkin, masih ada, yang hidup, tapi mereka terluka, parah …”
Orang-orang segera berlarian mendatangi tempat yang ditunjukkah lelaki itu. Mereka ikut berteriak histeris.
“Gusti … benar. Ada pembunuhan di sini. Siapa mereka ini?” tanya pemuda yang masih bergelung sarung. Ditutupnya sebagian mukanya dengan kain itu dan mengintip takut-takut pemandangan mengenaskan di depannya.
“Iya, iya. Siapa mereka? Siapa pembunuh biadab itu?” tanya yang lain kasak kusuk. Desa mereka termasuk tempat yang aman selama ini, tak pernah ada kejadian sadis seperti itu.
Seorang lelaki yang mengenakan ikat kepala kawung maju ke depan dan memeriksa para korban. Dia membalik tubuh mereka dan mengamatinya dengan cermat.
Tak jauh dari tubuh para korban itu ia menemukan buntalan kain. Hati-hati diambilnya benda itu dan dibukanya.
“Lho?! Isinya perhiasan dan uang? Kalau begitu mereka bukan korban, tapi para perampok bajingan!” serunya terkejut.
Orang-orang yang berkerumun mendekat semakin berani mengamati muka para perampok. Jika dilihat dari pakaian dan perlengkapan yang mereka bawa, mereka membenarkan dugaan itu.
“Jika benar mereka kawanan perampok, mungkin mereka yang selama ini meresahkan desa tetangga. Saya dengar sudah beberawa bulan terakhir ini ada saja rumah warga yang dimasuki perampok dan digarong seluruh harta bendanya. Mereka ini garong yang kejam karena tak segan melukai.”
“Benar, benar. Lihat! Mereka semua membawa parang dan golok tajam. Hiii … seram!” Seorang lelaki tua bergidik ngeri melihat senjata dan darah yang mulai mengering di senjata itu.
“Apa masih ada yang hidup?” tanya seorang pemuda. Ia melihat kawanan perampok yang ada di tempat itu diam tak berkutik.
Anggota perampok terakhir yang dilumpuhkan oleh Pendekar Bunga memang diam saja sedari tadi. Tubuhnya belum bisa bergerak. Ia pun memejamkan mata dan pura-pura pingsan saat mendengar orang-orang desa mengerumuni tubuh mereka.
Lelaki yang menemukan mereka maju dan mendekat ke arahnya. Ia tertarik mengambil setangkai mawar yang terselip di pinggang perampok itu.
“Aku rasa yang ini masih hidup. Dia masih bernafas. Dan ini … apa ini? Ada bunga di bajunya?” tanyanya saat melihat hal yang tak biasa itu.
“Bunga? Bunga mawar? Apa dia hendak merayu perempuan hingga membawa-bawa bunga saat sedang merampok?” Seorang pemuda berkomentar sambil tertawa terbahak.
Orang-orang ikut menertawakan perampok itu. Sang perampok hancur egonya. Rontok sudah harga dirinya sebagai seorang perampok yang kejam dan ditakut. ‘Semua gara-gara si pendekar bunga sialan itu!’ umpatnya dalam hati.
“Sudah, sudah. Ayo kita bawa mereka ke balai dusun. Biar yang mati diurus, yang luka di rawat dan kembalikan pada keluarganya. Hukuman menanti jika mereka benar merampok.” Seorang lelaki yang dituakan mengambil keputusan.
Orang-orang dusun kemudian menggotong para perampok malang itu.
Mendengar keputusan itu, perampok yang masih hidup hanya bisa menyumpah dalam hati. ‘Jika setelah ini aku masih hidup, aku pasti akan mengejarmu, Pendekar Bunga!’
“Arum, kemana saja kamu menghilang semalaman?” tanya seorang kakek berbaju putih-putih. Rambut putihnya bergelombang panjang sebahu dan mengenakan kain ikat berwarna senada.Lelaki itu berbicara pada sosok yang baru turun dari kuda putihnya. Iya, dialah Pendekar Bunga. Sosok aslinya ternyata seorang gadis remaja.Pendekar Bunga alias Arum Sari meloncat turun dari punggung kuda. Ia lalu membuka tudung di kelapanya dan mengipas-ngipaskannya. Wajahnya tampak kepanasan dan berkeringat. Jalannya gontai dan malas-malasan.“Aduh, aku ngantuk sekali, Kek.” Arum Sari membaringkan tubuhnya begitu saja di balai-balai bambu yang ada di depan pondok sederhana itu. Ia memejamkan matanya dengan rapat.Kakek tua menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan tokat kayunya ia menggoyang-goyangkan kaki Arum Sari.“Arum, mana pesananku? Apa kamu berhasil mendapatkannya?” tanya lelaki tua penasaran. Kemarin sebenarnya Ki Manggala, lelaki tu
“Gusti, mimpi apa aku semalam? Kenapa di tempat ini tiba-tiba ada pemuda yang mengintipku mandi? Huh!” Arum Sari bersungut-sungut sembari membenamkan tubuhnya ke dalam air dan menutup bagian sensitif tubuhnya dengan kedua tangannya.Kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Sepi dan hening lagi. Hanya ada suara gemericik air dan binatang hutan. Arum Sari segera menepi dan menyambar pakaiannya sebelum naik ke permukaan. Dengan cepat gadis itu memakai bajunya dan segera menampakkan lagi penampilannya sebagai seorang laki-laki.“Huff! Semoga tidak ketemu lagi dengan pemuda kesasar itu. Sialan,” umpat Arum Sari. Ia segera mengisi penuh gentong air dan memanggulnya kembali ke pondok.Perjalanan pulang Arum Sari dilakukan dengan cepat. Ia melompat-lompat lincah dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya.“Kakek, ini gentong airnya sudah penuh. Mana ayamnya?” ucap Arum Sari seraya meletakkan gentong air di dekat perapian.
Ki Manggala tak langsung menjawab pertanyaan Arum Sari. Bola matanya justru nanar menatap pepohonan besar yang mengelilingi pondok mereka. Pohon itu dikenal sebagai pohon yang angker. Orang-orang tak akan berani melintas di bawahnya. Sebab itulah pondok mereka menjadi tempat persembunyian yang sempurna.“Siapa dia, Kek? Katakan padaku. Aku pasti akan memburunya!” Arum Sari berucap sembari mengepalkan tangannya. Matanya menyorotkan kebencian. Bibit dendam tertanam di hatinya.“Ceritanya rumit, Arum. Nama orang itu Jayantaka. Dia justru sahabat ayahmu sendiri. Mereka sama-sama rekan satu perguruan. Tapi entah sejak kapan, Jayantaka menyimpan iri hati pada Patih Girisha, ayahmu.” Ki Manggala mulai menjelaskan secara runut. Arum Sari mendengarkan dengan penuh perhatian.“Patih Girisha? Ayahku seorang Patih, Kek?” tanya Arum Sari nyaris tak percaya. Ia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya.Ki Manggala menga
“Kek …”Arum Sari berbisik pada Ki Manggala yang buru-buru memberi isyarat untuk diam dengan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya.Pendekar tua itu terlihat memusatkan perhatian dan mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tangannya melakukan gerakan memutar lalu mengarahkan pada pohon-pohon raksasa yang mengelilingi pondok mereka.Ki Manggala terkenal dengan jurus kesaktian mengaburkan pandangan musuhnya. Rupanya ia baru saja membuat benteng gaib di sekitar pondok mereka. Manusia biasa tak akan bisa menembus ke dalam karena tak akan bisa melihat mereka.Pendekar Bunga sudah biasa menyaksikan pemandangan itu. Ia percaya gurunya akan semudah membalik telapak tangan menghadapi para pendatang asing. Namun, gadis itu jadi bertanya-tanya. Siapa mereka yang berani-beraninya datang ke hutan larangan yang terkenal angker ini? Pasti bukan orang biasa. Dia pasti orang yang nekat.“Apa kalian menemukannya?” tanya seseorang
Jalu Anggara tidak langsung menjawab pertanyaan pendekar bunga. Kedua bola matanya tampak berputar-putar. Dia sedang berpikir dan juga mengingat-ingat bagaimana pertemuannya dengan sosok wanita cantik yang dilihatnya sedang mandi di sungai kemarin. Melihat pemuda itu tak kunjung menjawab pertanyaannya, Pendekar Bunga kembali membentaknya. "Cepat katakan apa yang kamu lihat?!" ucapnya galak. "Engg ... anu, ... Aku hanya melihat dia dari arah belakang," kata Jalu Anggara. Akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat karena memang seperti itu yang dia lihat. "Aku melihat rambutnya yang panjang sepinggang dan juga dia mandi tidak mengenakan sehelai kain pun," kata Jalu Anggara lagi seraya menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dia sendiri malu dan sungkan mengatakan hal itu tetapi Pendekar Bunga memaksanya. Jalu Anggara berpikir sosok yang berdiri di depannya itu akan senang dengan informasi yang diberikan olehnya. Namun, bukannya senang Pendekar Bunga justru melempar sepotong ranting
Jalu Anggara lalu mengulurkan tangannya. Dia mengajak Pendekar Bunga untuk bersalaman. Pendekar bunga sedikit kebingungan dengan pertanyaan dari Jalu Anggara. Dia sendiri tentu saja tidak mau menyebutkan nama aslinya sebagai Arum Sari. Itu adalah nama seorang perempuan. Dengan cepat Pendekar Bunga mencari nama yang mirip dengan nama aslinya tetapi nama untuk seorang lelaki. "Panggil aku Ara," ujarPendekar Bunga sambil menyambut uluran tangan Jalu Anggara. Jalu Anggara menggenggam tangan Pendekar Bunga dengan erat. Dia agak sedikit terkejut saat menyentuh kulit dari sosok legendaris di depannya. Dia merasakan kulit yang begitu halus dan lentik. Rasanya tidak cocok menjadi tangan dari seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa. Jalu Anggara hanya bisa memendam pertanyaan itu dalam hatinya. "Hmm, bisa jadi karena memang ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Pendekar Bunga sangat tinggi. Dia tidak perlu banyak bekerja keras, jadilah tangannya lentik dan lembut seperti seorang perempuan.
Setelah setengah hari perjalanan akhirnya Jalu Anggara dan juga Pendekar Bunga sampai di kotapraja Watu Tiban.Dari jauh bangunan kota itu sudah terlihat. Benteng-bentengnya tampak tinggi memisahkan pusat pemerintahan dari rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.Perumahan penduduk yang ada di sekitar kotapraja terlihat jauh lebih bagus daripada gubuk-gubuk yang ada di desa-desa. Sebelum memasuki gerbang kotapraja, Pendekar Bunga tiba-tiba menarik tali kekang kudanya."Tunggu dulu!" kata dia. Jalu Anggara yang berada di sampingnya menoleh keheranan. "Ada apa?""Aku punya syarat lagi sebelum mau melangkah masuk ke kotapraja ini," ucap Aradana dengan mimik muka serius."Baik. Katakan apa syaratmu itu. Kenapa tidak dari tadi disampaikan?" ujar Jalu Anggara sambil menghela nafas. Ia berusaha bersabar. Membawa manusia unik seperti Pendekar Bunga memang bukan perkara mudah."Aku terus berpikir dan menimbang-nimbang selama di perjalanan tadi." Demikian alasan dari pendekar bunga."Iya.
Pagi-pagi sekali seorang utusan tampak mendatangi rumah kediaman Jalu Anggara. Prajurit itu adalah suruhan dari Patih Jayengrana, Pamannya. Jalu Anggara belum sepenuhnya membuka mata saat prajurit itu menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh sang paman.Tok tok tok!"Ndoro Jalu ..." panggil prajurit dengan suara agak dikeraskan.Jalu Anggara membuka sedikit daun pintu rumahnya. Matanya memicing memandang prajurit yang mengenakan kain seragam lurik di depannya. "Hmm ... ada apa?" tanya Jalu sambil menguap. Tangan kirinya cepat-cepat menutup mulutnya, dia sebenarnya masih sangat mengantuk."Ampun, Ndoro. Patih Jayeng menyuruh anda untuk menghadapnya segera," kata prajurit."Oh, ya. Paman sudah tahu aku pulang ya?" balas Jalu Anggara dengan malas. "Ya, Ndoro. Sejak semalam beliau sudah tahu tapi katanya biar pagi saja ketemunya," jawab prajurit."Ehm, memangnya kemarin Ndoro Jalu kemana sih? Kami semua khawatir lho," ucap prajurit itu lagi. Sebenarnya dia juga cukup akrab dengan Jalu.