Jalu Anggara meringis melihat Aradana melotot padanya. Anehnya, semakin galak justru Jalu makin terpesona dengan wajahnya yang seperti perempuan. Sepasang bola matanya yang bulat besar itu tampak indah dihiasi bulu mata yang lentik.“Iya, pura-pura jadi perempuan. Mau ‘kan? Tolonglah,” ucap Jalu setengah memohon. Aradana menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya mengerucut dan tampak sebal.“Gak mau!”Jawaban yang pendek dan sangat jelas. Namun, Jalu Anggara tidak mau menyerah. Tekadnya sudah bulat rencana itu harus dijalankan.“Hmm, dengarkan dulu. Kau kan sudah sepakat mau membantuku apa saja,” ujar Jalu beralasan. Ia mengungkit kembali perjanjian mereka.“Lagipula kau sudah kubayar,” imbuhnya lagi. Jalu tampak meringis, wajah tampannya jadi lucu. Aradana tak tahan melihatnya. Ia tak suka uang yang sudah diterimanya diungkit lagi.“Hmm, kau tau aku lelaki, kenapa kau suruh jadi perempuan?” ucap Ara. Suaranya mulai melunak. Bagaimana pun dia juga punya hutang budi pada J
Mata Jalu Anggara tak berkedip menatap Aradana yang baru keluar dari dalam pondok. Dia melihat sosok Pendekar Bunga sudah berubah total menjadi seorang perempuan yang cantik dan menarik.Aradana mengerutkan dahinya melihat reaksi Jalu Anggara. Pemuda itu berdiri mematung seperti orang tersihir, hanya matanya saja yang membelalak lebar.Aradana sampai harus melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya agar kesadaran Jalu Anggara kembali lagi."Hei, hei! Kamu kenapa?" tanya Aradana.Jalu Anggara tidak menjawab pertanyaan Aradana, dia tampak mengerjapkan matanya berulangkali. Saat terpejam dia berpikir tidak akan lagi melihat gadis cantik itu ketika matanya terbuka, tetapi nyatanya gadis itu masih berdiri di depannya."Oh maaf, aku tidak mengenalimu kau berubah total," ucap Jalu Anggara. Suaranya terdengar seperti orang yang tak percaya pada penglihatannya sendiri.Aradana melangkahkan kakinya ke depan Jalu. Gerakannya tomboy dan masih bertingkah seperti layaknya lelaki, sama sekali jauh
Patih Jayeng dan istrinya sudah menunggu di ruang tamu kediaman mereka. Keduanya duduk berdampingan di kursi kebesaran yang empuk dan berukir indah.Ketika melihat Jalu Anggara datang sambil menggandeng tangan seorang perempuan, keduanya sontak terkejut dan saling berpandangan keheranan. Raut wajah Patih Jayeng seketika terlihat masam, begitu pula dengan istrinya. Dia yang semula duduk bersandar berubah menjadi tegak dan melipat kedua tangan yang di depan dada."Kangmas, kenapa Jalu membawa seorang perempuan?" bisik istrinya penuh tanya. Wajahnya yang sebenarnya cantik jadi berubah galak. Namanya istri penguasa, dia pasti juga merasa ikut berkuasa seperti suaminya. Patih Jayeng terdiam untuk sesaat. Lelaki berkumis tebal itu lalu menjawab pertanyaan istrinya. Setengah menebak karena ia sendiri tidak tahu kabar apa yang dibawa oleh keponakannya itu."Mungkin itu pelayannya, Diajeng. Kita tunggu saja penjelasan dari anak itu," ucapnya dengan nada suara direndahkan. Entah dia harus ber
TRANG! TRING! WUSH! CRASH Bunyi pedang beradu terdengar saling sambar dengan cepat di tepian hutan. Suara teriakan dan sumpah serapah berulangkali terdengar dari perkelahian dahsyat di pagi buta itu. Segerombolan perampok berpakaian hitam-hitam begitu bernafsu mengeroyok musuhnya. Mereka ingin menghabisi sosok kecil yang mengenakan caping dari bambu. Wajahnya tak terlihat. Hanya gerakannya yang begitu gesit dan lincah seperti menari menghindari tebasan parang dan golok pengeroyoknya. “Ciaaat! Mati kau bocah ingusan!!” Teriak perampok bertubuh besar sembari mengarahkan goloknya tepat ke arah perut pendekar kecil. Namun, serangannya meleset. Dengan gerakan mengelak yang gemulai, sang pendekar bisa menghindar. Disusul tendangannya yang menyakitkan pada pangkal kaki penyerangnya. Perampok itu jatuh terjengkang dan meringis kesakitan. Teman-teman perampoknya melihat padanya dan merasa semakin tersulut emosinya. Mereka kembali menyerbu denga
“Arum, kemana saja kamu menghilang semalaman?” tanya seorang kakek berbaju putih-putih. Rambut putihnya bergelombang panjang sebahu dan mengenakan kain ikat berwarna senada.Lelaki itu berbicara pada sosok yang baru turun dari kuda putihnya. Iya, dialah Pendekar Bunga. Sosok aslinya ternyata seorang gadis remaja.Pendekar Bunga alias Arum Sari meloncat turun dari punggung kuda. Ia lalu membuka tudung di kelapanya dan mengipas-ngipaskannya. Wajahnya tampak kepanasan dan berkeringat. Jalannya gontai dan malas-malasan.“Aduh, aku ngantuk sekali, Kek.” Arum Sari membaringkan tubuhnya begitu saja di balai-balai bambu yang ada di depan pondok sederhana itu. Ia memejamkan matanya dengan rapat.Kakek tua menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan tokat kayunya ia menggoyang-goyangkan kaki Arum Sari.“Arum, mana pesananku? Apa kamu berhasil mendapatkannya?” tanya lelaki tua penasaran. Kemarin sebenarnya Ki Manggala, lelaki tu
“Gusti, mimpi apa aku semalam? Kenapa di tempat ini tiba-tiba ada pemuda yang mengintipku mandi? Huh!” Arum Sari bersungut-sungut sembari membenamkan tubuhnya ke dalam air dan menutup bagian sensitif tubuhnya dengan kedua tangannya.Kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Sepi dan hening lagi. Hanya ada suara gemericik air dan binatang hutan. Arum Sari segera menepi dan menyambar pakaiannya sebelum naik ke permukaan. Dengan cepat gadis itu memakai bajunya dan segera menampakkan lagi penampilannya sebagai seorang laki-laki.“Huff! Semoga tidak ketemu lagi dengan pemuda kesasar itu. Sialan,” umpat Arum Sari. Ia segera mengisi penuh gentong air dan memanggulnya kembali ke pondok.Perjalanan pulang Arum Sari dilakukan dengan cepat. Ia melompat-lompat lincah dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya.“Kakek, ini gentong airnya sudah penuh. Mana ayamnya?” ucap Arum Sari seraya meletakkan gentong air di dekat perapian.
Ki Manggala tak langsung menjawab pertanyaan Arum Sari. Bola matanya justru nanar menatap pepohonan besar yang mengelilingi pondok mereka. Pohon itu dikenal sebagai pohon yang angker. Orang-orang tak akan berani melintas di bawahnya. Sebab itulah pondok mereka menjadi tempat persembunyian yang sempurna.“Siapa dia, Kek? Katakan padaku. Aku pasti akan memburunya!” Arum Sari berucap sembari mengepalkan tangannya. Matanya menyorotkan kebencian. Bibit dendam tertanam di hatinya.“Ceritanya rumit, Arum. Nama orang itu Jayantaka. Dia justru sahabat ayahmu sendiri. Mereka sama-sama rekan satu perguruan. Tapi entah sejak kapan, Jayantaka menyimpan iri hati pada Patih Girisha, ayahmu.” Ki Manggala mulai menjelaskan secara runut. Arum Sari mendengarkan dengan penuh perhatian.“Patih Girisha? Ayahku seorang Patih, Kek?” tanya Arum Sari nyaris tak percaya. Ia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya.Ki Manggala menga
“Kek …”Arum Sari berbisik pada Ki Manggala yang buru-buru memberi isyarat untuk diam dengan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya.Pendekar tua itu terlihat memusatkan perhatian dan mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tangannya melakukan gerakan memutar lalu mengarahkan pada pohon-pohon raksasa yang mengelilingi pondok mereka.Ki Manggala terkenal dengan jurus kesaktian mengaburkan pandangan musuhnya. Rupanya ia baru saja membuat benteng gaib di sekitar pondok mereka. Manusia biasa tak akan bisa menembus ke dalam karena tak akan bisa melihat mereka.Pendekar Bunga sudah biasa menyaksikan pemandangan itu. Ia percaya gurunya akan semudah membalik telapak tangan menghadapi para pendatang asing. Namun, gadis itu jadi bertanya-tanya. Siapa mereka yang berani-beraninya datang ke hutan larangan yang terkenal angker ini? Pasti bukan orang biasa. Dia pasti orang yang nekat.“Apa kalian menemukannya?” tanya seseorang