“Arum, kemana saja kamu menghilang semalaman?” tanya seorang kakek berbaju putih-putih. Rambut putihnya bergelombang panjang sebahu dan mengenakan kain ikat berwarna senada.
Lelaki itu berbicara pada sosok yang baru turun dari kuda putihnya. Iya, dialah Pendekar Bunga. Sosok aslinya ternyata seorang gadis remaja.
Pendekar Bunga alias Arum Sari meloncat turun dari punggung kuda. Ia lalu membuka tudung di kelapanya dan mengipas-ngipaskannya. Wajahnya tampak kepanasan dan berkeringat. Jalannya gontai dan malas-malasan.
“Aduh, aku ngantuk sekali, Kek.” Arum Sari membaringkan tubuhnya begitu saja di balai-balai bambu yang ada di depan pondok sederhana itu. Ia memejamkan matanya dengan rapat.
Kakek tua menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan tokat kayunya ia menggoyang-goyangkan kaki Arum Sari.
“Arum, mana pesananku? Apa kamu berhasil mendapatkannya?” tanya lelaki tua penasaran. Kemarin sebenarnya Ki Manggala, lelaki tua itu, mengutus Arum Sari untuk menemui sahabatnya yang tinggal di desa lereng bukit. Ia menitipkan sebuah pesan rahasia dan berharap Arum pulang mmebawa balasannya.
Tanpa membuka mata, pendekar bunga mengambil lipatan kertas yang terselip di balik bajunya. Lalu mengulurkannya pada Ki Manggala.
“Ini, Kek. Aku tak tahu orang itu menulis apa, aku sibuk mengejar dan berkelahi dengan para perampok …” jawab Arum Sari tak selesai, masih dengan memejamkan mata.
Ki Manggala mengambil lipatan kertas itu dari tangan Arum Sari. Ia sama sekali tak terkejut mendengar gadis remaja itu berkelahi dengan para perampok. Baginya hal itu yang sudah sangat biasa.
Perlahan dibukanya lipatan kertas dan dibacanya pelan-pelan. Pandangan matanya beralih dari selembar kertas pada Pendekar Bunga yang sudah tidur nyenyak. Nafasnya teratur dan tampak damai meski hanya tidur di atas balai sederhana beralaskan daun pandan.
Lelaki tua itu kemudian mengusap janggutnya yang berwarna kelabu.
“Bocah tengil nakal … sebentar lagi kamu harus meninggalkan tempat ini, untuk menjalani takdir hidupmu sendiri,” gumamnya seraya melangkah meninggalkan teras rumah.
Tubuh Ki Manggala sebenarnya masih sangat kuat. Dialah yang mengajari Pendekar Bunga bermacam ilmu kanuragan. Namun, untuk mengecoh musuhnya, ia lebih sering berpenampilan seperti lelaki tua yang lemah dan membawa tongkat kayu ke mana-mana. Hanya Arum Sari yang mengetahui rahasia itu.
Cara Ki Manggala menutupi jati dirinya rupanya ditiru oleh Arum Sari. Semenjak kecil, ia menolak memakai pakaian perempuan dan lebih senang mengenakan baju anak lelaki, dengan baju atasan sederhana dan celana panjang berwarna sama.
Terlahir sebagai seorang anak perempuan, Arum Sari tak pernah memakai baju kebaya atau melilitkan kain jarit di tubuhnya. Membayangkannya saja sudah repot, pasti tak bisa lagi bergerak lincah apalagi menaiki kuda.
Karena aksinya heroiknya yang sering menghajar para perampok atau begal di jalanan, nama Pendekar Bunga semakin dikenal di seantero negeri. Namun, tak seorang pun yang tahu identitas aslinya sebagai Arum Sari selain kakeknya sendiri.
Sepeninggal Ki Manggala, Arum Sari memicingkan matanya sebentar. Ia mendengar ocehan kakeknya itu tapi tak menganggapnya serius.
“Apa Kakek bermaksud mengusirku dari sini? Yang benar saja, siapa nanti yang membantunya menanak nasi dan memasak lauk? Dasar kakek yang aneh,” gerutu Arum Sari dengan lirih. Ia kemudian menguap lagi. Tak lama, gadis itu pun tertidur lelap.
Jelang sore hari, Arum Sari baru terbangun. Ia menggerakkan tubuhnya yang dirasakannya kaku dan pegal-pegal setelah semalaman berkuda lalu ditutup dengan perkelahian.
Gadis berparas manis itu masih bermalas-malasan di atas balai-balai sampai didengarkannya bunyi perutnya sendiri. Ia lapar karena belum makan sama sekali sejak pagi.
Hidungnya kembang kepis saat kepalanya menengok ke arah samping pondok, tempat yang biasa digunakan untuk memasak. Aroma ayam yang sedang bakar. Nikmat sekali. Arum Sari meneguk air ludahnya sendiri.
Pendekar Bunga segera meloncat dari tempat tidurnya dan melesat ke arah sumber bau lezat. Dilihatnya Ki Manggala sedang sibuk membolak-balik seekor ayam hutan di atas bara api yang membara.
“Kek, aku mau ayam panggangnya,” ucap Arum Sari penuh harap. Ia tahu kebiasaan kakeknya yang sedikit pelit saat membuat makanan kesukaannya sendiri.
Ki Manggala pura-pura tak mendegar suara Arum Sari. Ia justru mulai bersenandung dan kembali membolak-balik ayam hingga terlihat semakin matang kecoklatan.
“Kakeeekk …” seru Arum Sari berteriak. Dia hafal, setelah ini dia harus membuat drama dahulu baru mendapatkan apa yang dia inginkan.
“Apa yang harus aku lakukan, biar aku bisa ikut memakan ayam panggang itu, Kek? Katakanlah, pasti akan aku lakukan.”
Arum Sari membujuk kakeknya dan memasang muka memelas di hadapannya. Ia duduk berjongkok di depan Ki Manggala.
“Hmm, kau, bocah tengil. Isilah air di dalam gentong itu. Sudah habis. Aku sedang malas ke sungai,” ujar Ki Manggala acuh tak acuh.
Arum Sari mengangkat sebelah alisya. “Hanya itu? Biasanya Kakek akan menguji ilmu silatku dan mengajak berkelahi sampai aku menang, baru aku dapat yang aku minta.”
“Mau tidak? Kalau tidak mau ya tidak apa-apa. Lagi pula aku juga lapar sekali. Hanya ada makanan ini di pondok, aku belum ke desa lagi meminta-minta,” ujar Ki Manggala. Dia sempat menyunggingkan senyum geli saat mengatakan meminta-minta.
Arum Sari mengerucutkan bibirnya. Ia juga teringat drama yang biasa dimainkan Ki Manggala saat pergi ke desa dan mencari makanan. Ia akan berpura-pura menjadi orang tua yang lemah supaya orang berbelas kasihan dan memberikan uang atau makanan padanya.
“Sudahlah. Jangan pura-pura jadi pengemis lagi, lebih baik kakek cari pekerjaan yang benar, jadi tak harus minta dikasihani orang,” gerutu Arum Sari.
Namun, tentu saja usulnya itu akan ditolak mentah-mentah oleh kakeknya. “Oh tidak bisa, anak kecil. Aku datang ke desa untuk menguji manusia itu, mana yang dermawan, mana yang pelit. Yang baik aku tolong, yang buruk peringainya aku biarkan saja.” Ki Manggala menjawab sembari terkekeh.
“Ya, sudahlah. Suka-suka kakek saja.” Arum Sari mengangkat kedua bahunya dan beranjak dari jongkoknya.
“Aku ke sungai dulu, Kek. Aku isikan air segentong, tapi ingat. Sisakan sebagian ayam panggang itu untukku, aku lapar sekali. Sejak pagi belum makan.” Arum Sari kembali memohon dengan mimik memelas sembari memegangi perutnya.
“Siapa suruh kamu tidur seharian? Tadi pagi aku sudah merebus ubi, kupanggil-panggil namamu tak bangun juga.” Ki Manggala masih tak terima dengan perangai urakan gadis remaja itu.
Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf, Arum Sari gantian mengolok kakeknya. “Kakek macam apa yang membuat cucunya terlantar, tak makan, dan jadi pengembara tak karuan rimbanya,” cetusnya dengan muka cemberut.
“Hai, Pendekar Bunga! Ingatlah, siapa orang yang menyuapimu semenjak kau masih bayi,” ujar Ki Manggala tak mau kalah.
Arum Sari menarik nafas dan meniup udara dengan mulutnya. “Huff … baiklah. Aku akan mengisi air sekarang, tak mau berdebat lagi,” ucapnya seraya menyambar gentong air dan berjalan ke arah sungai di dekat pondok.
Meski tak jauh dari pondok, sungai itu berada di bawah tebing. Jalanan setapak yang menuju ke tempat itu cukup curam dan licin. Itulah alasan Ki Manggala lebih senang menyuruh Arum Sari yang mengambilkan air.
Tiba di pinggir sungai yang berair jernih, Arum Sari segera meminum airnya yang begitu bening. Dahaga yang dirasakannya seketika hilang saat air segar membasahi kerongkongannya. Ia berulang kali meminum air yang bersumber dari mata air di sela-sela bebatuan.
“Aaah, segarnya,” ucap Arum Sari gembira.
Gadis remaja itu lalu membasuh wajahnya yang kotor dan berdebu. Tak cukup membasuh wajah, Arum Sari ingin sekalian mandi dan berendam di sungai itu.
Sebelum melepaskan pakaiannya, ia menengok ke kanan dan ke kiri. Arum Sari tahu benar, hanya dia dan kakeknya yang ada di tempat itu. Sebuah tempat rahasia yang jauh berada di dalam hutan. Tapi, sebagai remaja yang baru beranjak dewasa rasa malunya tumbuh akibat dari bentuk tubuhnya yang mulai berubah.
Arum Sari perlahan melepas pakaiannya, lembar demi lembar, lalu meletakknya di atas bebatuan. Tubuhnya yang mulai mekar terlihat indah. Arum Sari menyisakan pakian dalam saja sebelum menceburkan dirinya ke dalam sungai berair jernih.
Gadis remaja itu memuaskan dirinya membasuh seluruh badan dan berulangkali menyelam ke dasar sungai. Rambutnya yang panjang terurai dan ikut basah.
“Segar sekali air sungai ini, rasanya aku sudah lama sekali tak mandi,” gumam Arum Sari sembari tertawa cekikikan. “Hihihi ….”
Arum Sari lalu menyelam lagi dan tak lama menyembulkan kepalanya di atas air. Namun, alangkah terkejutnya ia saat dilihatnya seorang pemuda sedang menatapnya dengan mulut terbuka di pinggir sungai.
“Aaakk! Pergi kau!” Teriakan Arum Sari terdengar sangat kencang. Ia terkejut dan malu dan buru-buru menutup tubuhnya.
Pemuda itu terhenyak sesaat. Ia pun kaget dengan yang dilihatnya. Setelah sadar, ketakutan menguasai pikirannya. Ia lari tunggang langgang dan berteriak keras.
“Tolooong … ada hantu hutaaan!”
“Gusti, mimpi apa aku semalam? Kenapa di tempat ini tiba-tiba ada pemuda yang mengintipku mandi? Huh!” Arum Sari bersungut-sungut sembari membenamkan tubuhnya ke dalam air dan menutup bagian sensitif tubuhnya dengan kedua tangannya.Kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Sepi dan hening lagi. Hanya ada suara gemericik air dan binatang hutan. Arum Sari segera menepi dan menyambar pakaiannya sebelum naik ke permukaan. Dengan cepat gadis itu memakai bajunya dan segera menampakkan lagi penampilannya sebagai seorang laki-laki.“Huff! Semoga tidak ketemu lagi dengan pemuda kesasar itu. Sialan,” umpat Arum Sari. Ia segera mengisi penuh gentong air dan memanggulnya kembali ke pondok.Perjalanan pulang Arum Sari dilakukan dengan cepat. Ia melompat-lompat lincah dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya.“Kakek, ini gentong airnya sudah penuh. Mana ayamnya?” ucap Arum Sari seraya meletakkan gentong air di dekat perapian.
Ki Manggala tak langsung menjawab pertanyaan Arum Sari. Bola matanya justru nanar menatap pepohonan besar yang mengelilingi pondok mereka. Pohon itu dikenal sebagai pohon yang angker. Orang-orang tak akan berani melintas di bawahnya. Sebab itulah pondok mereka menjadi tempat persembunyian yang sempurna.“Siapa dia, Kek? Katakan padaku. Aku pasti akan memburunya!” Arum Sari berucap sembari mengepalkan tangannya. Matanya menyorotkan kebencian. Bibit dendam tertanam di hatinya.“Ceritanya rumit, Arum. Nama orang itu Jayantaka. Dia justru sahabat ayahmu sendiri. Mereka sama-sama rekan satu perguruan. Tapi entah sejak kapan, Jayantaka menyimpan iri hati pada Patih Girisha, ayahmu.” Ki Manggala mulai menjelaskan secara runut. Arum Sari mendengarkan dengan penuh perhatian.“Patih Girisha? Ayahku seorang Patih, Kek?” tanya Arum Sari nyaris tak percaya. Ia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya.Ki Manggala menga
“Kek …”Arum Sari berbisik pada Ki Manggala yang buru-buru memberi isyarat untuk diam dengan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya.Pendekar tua itu terlihat memusatkan perhatian dan mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tangannya melakukan gerakan memutar lalu mengarahkan pada pohon-pohon raksasa yang mengelilingi pondok mereka.Ki Manggala terkenal dengan jurus kesaktian mengaburkan pandangan musuhnya. Rupanya ia baru saja membuat benteng gaib di sekitar pondok mereka. Manusia biasa tak akan bisa menembus ke dalam karena tak akan bisa melihat mereka.Pendekar Bunga sudah biasa menyaksikan pemandangan itu. Ia percaya gurunya akan semudah membalik telapak tangan menghadapi para pendatang asing. Namun, gadis itu jadi bertanya-tanya. Siapa mereka yang berani-beraninya datang ke hutan larangan yang terkenal angker ini? Pasti bukan orang biasa. Dia pasti orang yang nekat.“Apa kalian menemukannya?” tanya seseorang
Jalu Anggara tidak langsung menjawab pertanyaan pendekar bunga. Kedua bola matanya tampak berputar-putar. Dia sedang berpikir dan juga mengingat-ingat bagaimana pertemuannya dengan sosok wanita cantik yang dilihatnya sedang mandi di sungai kemarin. Melihat pemuda itu tak kunjung menjawab pertanyaannya, Pendekar Bunga kembali membentaknya. "Cepat katakan apa yang kamu lihat?!" ucapnya galak. "Engg ... anu, ... Aku hanya melihat dia dari arah belakang," kata Jalu Anggara. Akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat karena memang seperti itu yang dia lihat. "Aku melihat rambutnya yang panjang sepinggang dan juga dia mandi tidak mengenakan sehelai kain pun," kata Jalu Anggara lagi seraya menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dia sendiri malu dan sungkan mengatakan hal itu tetapi Pendekar Bunga memaksanya. Jalu Anggara berpikir sosok yang berdiri di depannya itu akan senang dengan informasi yang diberikan olehnya. Namun, bukannya senang Pendekar Bunga justru melempar sepotong ranting
Jalu Anggara lalu mengulurkan tangannya. Dia mengajak Pendekar Bunga untuk bersalaman. Pendekar bunga sedikit kebingungan dengan pertanyaan dari Jalu Anggara. Dia sendiri tentu saja tidak mau menyebutkan nama aslinya sebagai Arum Sari. Itu adalah nama seorang perempuan. Dengan cepat Pendekar Bunga mencari nama yang mirip dengan nama aslinya tetapi nama untuk seorang lelaki. "Panggil aku Ara," ujarPendekar Bunga sambil menyambut uluran tangan Jalu Anggara. Jalu Anggara menggenggam tangan Pendekar Bunga dengan erat. Dia agak sedikit terkejut saat menyentuh kulit dari sosok legendaris di depannya. Dia merasakan kulit yang begitu halus dan lentik. Rasanya tidak cocok menjadi tangan dari seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa. Jalu Anggara hanya bisa memendam pertanyaan itu dalam hatinya. "Hmm, bisa jadi karena memang ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Pendekar Bunga sangat tinggi. Dia tidak perlu banyak bekerja keras, jadilah tangannya lentik dan lembut seperti seorang perempuan.
Setelah setengah hari perjalanan akhirnya Jalu Anggara dan juga Pendekar Bunga sampai di kotapraja Watu Tiban.Dari jauh bangunan kota itu sudah terlihat. Benteng-bentengnya tampak tinggi memisahkan pusat pemerintahan dari rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.Perumahan penduduk yang ada di sekitar kotapraja terlihat jauh lebih bagus daripada gubuk-gubuk yang ada di desa-desa. Sebelum memasuki gerbang kotapraja, Pendekar Bunga tiba-tiba menarik tali kekang kudanya."Tunggu dulu!" kata dia. Jalu Anggara yang berada di sampingnya menoleh keheranan. "Ada apa?""Aku punya syarat lagi sebelum mau melangkah masuk ke kotapraja ini," ucap Aradana dengan mimik muka serius."Baik. Katakan apa syaratmu itu. Kenapa tidak dari tadi disampaikan?" ujar Jalu Anggara sambil menghela nafas. Ia berusaha bersabar. Membawa manusia unik seperti Pendekar Bunga memang bukan perkara mudah."Aku terus berpikir dan menimbang-nimbang selama di perjalanan tadi." Demikian alasan dari pendekar bunga."Iya.
Pagi-pagi sekali seorang utusan tampak mendatangi rumah kediaman Jalu Anggara. Prajurit itu adalah suruhan dari Patih Jayengrana, Pamannya. Jalu Anggara belum sepenuhnya membuka mata saat prajurit itu menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh sang paman.Tok tok tok!"Ndoro Jalu ..." panggil prajurit dengan suara agak dikeraskan.Jalu Anggara membuka sedikit daun pintu rumahnya. Matanya memicing memandang prajurit yang mengenakan kain seragam lurik di depannya. "Hmm ... ada apa?" tanya Jalu sambil menguap. Tangan kirinya cepat-cepat menutup mulutnya, dia sebenarnya masih sangat mengantuk."Ampun, Ndoro. Patih Jayeng menyuruh anda untuk menghadapnya segera," kata prajurit."Oh, ya. Paman sudah tahu aku pulang ya?" balas Jalu Anggara dengan malas. "Ya, Ndoro. Sejak semalam beliau sudah tahu tapi katanya biar pagi saja ketemunya," jawab prajurit."Ehm, memangnya kemarin Ndoro Jalu kemana sih? Kami semua khawatir lho," ucap prajurit itu lagi. Sebenarnya dia juga cukup akrab dengan Jalu.
Jalu Anggara masih berdiri termangu di atas punggung kudanya. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Pasar semakin ramai tetapi pedagang yang ia cari belum juga terlihat. “Ndoro cari apa sebenarnya?” tanya seorang mbok-mbok lagi. “Engg … aku … aku cari kain.” Jalu Anggara akhirnya menjawab juga. Iya, dia sedang mencari kain untuk mendukung rencananya. “Oalah, cari kain. Kalau pedagang kain tidak ada di pasar sebelah sini. Ini tempatnya penjual makanan dan sayuran. Ndoro jalan aja lurus ke arah timur. Nanti di sana ada deretan penjual kain,” jawab mbok-mbok yang sedang mengunyah sirih. Jalu Anggara melihat ke jalan yang ditunjukkan oleh mbok-mbok itu. Ia jadi tersenyum sendiri kenapa dari tadi tidak mencoba pergi ke sana tetapi hanya berputar-putar saja di deretan penjual sayur. “Oh ya, masih ke timur ya? Baik, Mbok. Aku kesana, terima kasih ya,” ucap Jalu Anggara. Sebelum pergi ia mengulurkan sebuah kepeng perak pada anak lelaki kecil yang masih menangis. “Ini buatmu. Sudah jangan menang