Jalu Anggara tidak langsung menjawab pertanyaan pendekar bunga. Kedua bola matanya tampak berputar-putar. Dia sedang berpikir dan juga mengingat-ingat bagaimana pertemuannya dengan sosok wanita cantik yang dilihatnya sedang mandi di sungai kemarin.
Melihat pemuda itu tak kunjung menjawab pertanyaannya, Pendekar Bunga kembali membentaknya.
"Cepat katakan apa yang kamu lihat?!" ucapnya galak.
"Engg ... anu, ... Aku hanya melihat dia dari arah belakang," kata Jalu Anggara. Akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat karena memang seperti itu yang dia lihat.
"Aku melihat rambutnya yang panjang sepinggang dan juga dia mandi tidak mengenakan sehelai kain pun," kata Jalu Anggara lagi seraya menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dia sendiri malu dan sungkan mengatakan hal itu tetapi Pendekar Bunga memaksanya.
Jalu Anggara berpikir sosok yang berdiri di depannya itu akan senang dengan informasi yang diberikan olehnya. Namun, bukannya senang Pendekar Bunga justru melempar sepotong ranting kepadanya karena kesal.
Beruntung Jalu Anggara bisa menghindarinya. Jika orang biasa yang terkena sabetan ranting itu, bisa-bisa langsung jatuh terkapar.
"Kamu ini ya, dasar tidak tahu sopan santun!! Sudah tahu ada orang mandi kenapa malah memperhatikan? Harusnya kau cepat berpaling dan pergi!" protes Pendekar Bunga. Ia kesal dengan Jalu Anggara yang menurutnya tak tahu adat.
"Aku ... Aku sungguh tak sengaja melihat dia," ucap Jalu Anggara membela diri.
"Siapa juga yang berniat mengintip orang mandi. Aku bukan pemuda brengsek seperti itu. Kebetulan saja aku sedang lewat dan ingin mengambil air minum, tak sengaja aku melihat ada dia yang sedang mandi."
Pendekar bunga terdiam. Apa yang diucapkan Jalu Anggara mungkin benar. Jika dia lelaki kurang ajar, bisa saja justru dia sudah menyergapnya saat sedang sedang mandi.
Melihat Pendekar Bunga yang terdiam, Jalu Anggara kembali bertanya. "Ehm, apakah anda benar-benar tidak pernah mengetahui ada sosok seperti itu di sekitar tempat ini?"
Pendekar bunga tampak bosan dengan Jalu Anggara yang terus-terusan menanyakan di mana keberadaan sosok wanita yang dilihatnya.
"Tidak," jawab Pendekar Bunga dengan keras
"Masa kau tidak melihatnya? Kisanak 'kan orang sakti. Aku pikir seisi hutan ini adalah tempat bermainmu, mana mungkin tidak pernah bertemu dengan dia?" Jalu Anggara masih berusaha mendesak Pendekar Bunga.
Pendekar nyentrik itu akhirnya hilang kesabaran. Ia tak mau menjawab lagi pertanyaan dari Jalu Anggara dan memilih pergi berlalu begitu saja.
"Hei, hei ... kau jangan seenaknya pergi. Aku sedang menawarkan kesepakatan kepadamu. Lagi pula kau tadi sudah mengambil uangku. Kenapa malah pergi begitu saja?" tanya Jalu Anggara sambil berjalan cepat mengejar Pendekar Bunga.
Pendekar Bunga menghentikan langkah kakinya. Benar juga, dia sudah mengambil seluruh keping emas dari Jalu Anggara tetapi dia malah pergi begitu saja. Perbuatan itu menyalahi jiwa kesatria dari seorang pendekar.
"Hmm, baiklah aku akan mendengarkan tawaran darimu tapi berhenti bertanya tentang gadis hantu itu," ucap Pendekar Bunga. Ia sengaja menyebut kata hantu supaya Jalu Anggara menganggap gadis itu memang bangsa lelmbut yang tak akan bisa lagi ditemukan.
Mata Jalu Anggara membelalak lebar. Jadi, gadis yang dicarinya itu hantu? Oh, pantas saja Pendekar Bunga tak mau berurusan dengan dia.
Jalu Anggara tadinya tidak mau mengubah kesepakatan, yang dia butuhkan saat ini memang gadis itu. Tetapi melihat sosok yang dijumpainya adalah seorang pendekar yang legendaris, Jalu Anggara jadi berpikir untuk menawarkan kesepakatan lain.
Dia sendiri sudah sering mendengar reputasi dari Pendekar Bunga. Seorang pendekar yang misterius tapi suka muncul tiba-tiba membasmi kawanan perampok atau maling yang biasa menyambangi desa-desa. Dia lalu membagi-bagikan barang curian dari penjahat itu kepada penduduk yang miskin.
Jalu Anggara jadi berpikir kalau emas yang tadi dia berikan kepada Pendekar Bunga sudah pasti juga akan dibagi-bagikan juga oleh pendekar itu kepada mereka yang kurang beruntung. Hatinya tersentuh, ia merasa tidak menyesal sudah memberikan semua uangnya.
"Hmm, begini, Pendekar Bunga. Bagaimana kalau kau bekerja denganku?" tawar Jalu Anggara. Ia bersiap memulai diplomasinya.
"Pekerjaan macam apa itu? Aku tidak suka bekerja, aku suka hidup bebas dan semauku," jawab Pendekar Bunga.
Jawaban itu tentu saja membuat alis mata Jalu Anggara naik sebelah.
"Iya, maksudku kau tetap bisa hidup bebas dan semaumu tetapi saat aku membutuhkanmu, kau harus membantuku." Jalu Anggara tak mau begitu saja menyerah.
"Bantuan seperti apa?" tanya Pendekar Bunga sambil memainkan kantong berisi uang di tangannya. Dia sendiri sedang berpikir, jika berhubungan dengan seseorang yang memiliki banyak harta, tentu dia tak akan perlu bersusah payah mengintai para maling.
"Bantuan untuk mengurus para prajurit yang ada di Kadipaten ini. Selain itu, aku juga sering mendapat tugas untuk menangkap gerombolan begal dan perampok. Kita bisa bekerja sana," terang Jalu Anggara. Dia berulangkali melirik Pendekar Bunga, ingin melihat reaksinya.
"Kamu siapa?" tanya Pendekar Bunga.
Jalu Anggara cepat-cepat menjelaskan asal usulnya. "Namaku, Jalu Anggara. Aku adalah keponakan dari seorang Panglima di Kota Praja," jawab lelaki gagah itu penuh percaya diri.
Pendekar Bunga menunjukkan gelagat tertarik. Jalu Anggara kemudian berbicara lagi. "Kalau kau mau bekerja denganku, hidupmu akan terjamin. Lagi pula aku juga sama sepertimu, suka membantu kaum yang lemah. Salah satu tugasku adalah mengamankan wilayah-wilayah yang rawan menjadi tempat beraksiny apada garong dan perampok," jelas Jalu Anggara.
Pendekar Bunga tampak sedang menimbang tawaran itu. Pendekar Bunga selama ini enggan sekali bertemu dengan orang asing. Tetapi setelah mendapatkan penjelasan dari ayah angkatnya perihal orang tua aslinya, Pendekar Bunga jadi berpikir untuk mulai menyelidiki kasus itu dan mencari para pembunuh keluarganya.
Satu-satunya jalan agar dia bisa menyusup masuk dan menyelidiki kasus itu adalah dengan bergabung dengan para prajurit Kadipaten.
Jalu Anggara menunggu jawaban dari Pendekar Bunga dengan harap-harap cemas. Dia melihat Pendekar Bunga berdiri tegak dengan tenang tetapi sudah pasti dia sedang merenung dan mempertimbangkan tawaran darinya.
Jalu Anggara kembali menawarkan kesepakatan yang menurutnya lebih bagus lagi.
"Begini saja. Kau tidak hanya menjadi prajuritku tetapi kau akan menjadi orang kepercayaanku, jadi tangan kananku. Aku akan menceritakan apa saja tugas-tugas rahasiaku dan informasi-informasi penting lainnya. Informasi penting itu sebenarnya hanya boleh diketahui oleh para pimpinan. Aku mempercayaimu karena selama ini reputasimu adalah pendekar pembela kebenaran," kata Jalu Anggara. Ia menawarkan hal itu agar mendapatkan kepercayaan dari Pendekar Bunga.
Tawaran terakhir dari Jalu Anggara membuat Pendekar Bunga semakin mantap hatinya untuk menerimanya. Tetapi dia masih punya pemikiran lain.
"Bagaimana ini? terima atau tidak ya? Aku ingin menerimanya tapi pemuda ini juga menyebalkan," kata hatinya.
"Aku tidak berpikir akan bisa bekerja sama dengan baik dengannya. Kelihatan sekali Dia memiliki selera yang aneh. Lagipula dia sepertinya mudah jatuh cinta pada wanita atau mempermainkan wanita. Aku sangat membenci sifat yang seperti itu," batin Arum Sari alias Pendekar Bunga. Sebagai seorang wanita tentu dia harus sangat berhati-hati dengan orang yang baru dikenalnya.
Namun, kesepakatan lain yang ditawarkan oleh Jalu Anggara yang akan menjadikannya sebagai tangan kanan tak bisa begitu saja diabaikan. Jika dia menjadi orang kepercayaan dari keponakan Panglima Perang itu, dia bisa dengan cepat menemukan siapa pembunuh orang tuanya.
"Bagaimana, apakah kau menerima tawaranku?" tanya Jalu Anggara sekali lagi dengan penuh harap. Bahkan, kini dia pun mencoba memasang wajah memelas agar pendekar bunga mau menerimanya.
Akhirnya pendekar bunga menganggukkan kepalanya dengan berat. "Hmm, baiklah aku menerimanya. Harap kau pegang kata-katamu dan juga janjimu. Pertama kau akan menjamin hidupku, yang kedua kau akan menjadikanku sebagai tangan kananmu," ucap Pendekar Bunga.
Mendengar persetujuan dari Pendekar Bunga, Jalu Anggara spontan menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersujud kepadanya.
"Terima kasih, Tuan. Aku senang sekali kau akhirnya mau menerima tawaranku," ucapnya dengan nada suara ceria.Namun, Pendekar Bunga tampak kurang suka dengan penghormatan yang berlebihan dari Jalu Anggara. "Hentikan, bangunlah! Aku tidak suka kau seperti itu. Kenapa kau menyembah-nyembahku? Cepat berdiri!" kata dia .
"Katanya aku ini tangan kananmu Kenapa kau bersikap seolah kau adalah pelayanku?" tanya Pendekar Bunga sambil memalingkan muka.
Jalu Anggara segera berdiri dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Iya juga ya. Kita ini mitra kerja, kenapa aku justru menghamba padamu?" kata dia. Jalu Anggara lalu memasang wajah tegasnya dan membusungkan dadanya.
"Baiklah, kawan. Sekarang kita adalah mitra kerja. Kau bisa memanggilku dengan panggilan Jalu. Apakah kau punya nama yang lain selain julukanmu sebagai Pendekar Bunga?" tanya pimpinan prajurit Kadipaten itu.
Jalu Anggara lalu mengulurkan tangannya. Dia mengajak Pendekar Bunga untuk bersalaman. Pendekar bunga sedikit kebingungan dengan pertanyaan dari Jalu Anggara. Dia sendiri tentu saja tidak mau menyebutkan nama aslinya sebagai Arum Sari. Itu adalah nama seorang perempuan. Dengan cepat Pendekar Bunga mencari nama yang mirip dengan nama aslinya tetapi nama untuk seorang lelaki. "Panggil aku Ara," ujarPendekar Bunga sambil menyambut uluran tangan Jalu Anggara. Jalu Anggara menggenggam tangan Pendekar Bunga dengan erat. Dia agak sedikit terkejut saat menyentuh kulit dari sosok legendaris di depannya. Dia merasakan kulit yang begitu halus dan lentik. Rasanya tidak cocok menjadi tangan dari seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa. Jalu Anggara hanya bisa memendam pertanyaan itu dalam hatinya. "Hmm, bisa jadi karena memang ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Pendekar Bunga sangat tinggi. Dia tidak perlu banyak bekerja keras, jadilah tangannya lentik dan lembut seperti seorang perempuan.
Setelah setengah hari perjalanan akhirnya Jalu Anggara dan juga Pendekar Bunga sampai di kotapraja Watu Tiban.Dari jauh bangunan kota itu sudah terlihat. Benteng-bentengnya tampak tinggi memisahkan pusat pemerintahan dari rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.Perumahan penduduk yang ada di sekitar kotapraja terlihat jauh lebih bagus daripada gubuk-gubuk yang ada di desa-desa. Sebelum memasuki gerbang kotapraja, Pendekar Bunga tiba-tiba menarik tali kekang kudanya."Tunggu dulu!" kata dia. Jalu Anggara yang berada di sampingnya menoleh keheranan. "Ada apa?""Aku punya syarat lagi sebelum mau melangkah masuk ke kotapraja ini," ucap Aradana dengan mimik muka serius."Baik. Katakan apa syaratmu itu. Kenapa tidak dari tadi disampaikan?" ujar Jalu Anggara sambil menghela nafas. Ia berusaha bersabar. Membawa manusia unik seperti Pendekar Bunga memang bukan perkara mudah."Aku terus berpikir dan menimbang-nimbang selama di perjalanan tadi." Demikian alasan dari pendekar bunga."Iya.
Pagi-pagi sekali seorang utusan tampak mendatangi rumah kediaman Jalu Anggara. Prajurit itu adalah suruhan dari Patih Jayengrana, Pamannya. Jalu Anggara belum sepenuhnya membuka mata saat prajurit itu menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh sang paman.Tok tok tok!"Ndoro Jalu ..." panggil prajurit dengan suara agak dikeraskan.Jalu Anggara membuka sedikit daun pintu rumahnya. Matanya memicing memandang prajurit yang mengenakan kain seragam lurik di depannya. "Hmm ... ada apa?" tanya Jalu sambil menguap. Tangan kirinya cepat-cepat menutup mulutnya, dia sebenarnya masih sangat mengantuk."Ampun, Ndoro. Patih Jayeng menyuruh anda untuk menghadapnya segera," kata prajurit."Oh, ya. Paman sudah tahu aku pulang ya?" balas Jalu Anggara dengan malas. "Ya, Ndoro. Sejak semalam beliau sudah tahu tapi katanya biar pagi saja ketemunya," jawab prajurit."Ehm, memangnya kemarin Ndoro Jalu kemana sih? Kami semua khawatir lho," ucap prajurit itu lagi. Sebenarnya dia juga cukup akrab dengan Jalu.
Jalu Anggara masih berdiri termangu di atas punggung kudanya. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Pasar semakin ramai tetapi pedagang yang ia cari belum juga terlihat. “Ndoro cari apa sebenarnya?” tanya seorang mbok-mbok lagi. “Engg … aku … aku cari kain.” Jalu Anggara akhirnya menjawab juga. Iya, dia sedang mencari kain untuk mendukung rencananya. “Oalah, cari kain. Kalau pedagang kain tidak ada di pasar sebelah sini. Ini tempatnya penjual makanan dan sayuran. Ndoro jalan aja lurus ke arah timur. Nanti di sana ada deretan penjual kain,” jawab mbok-mbok yang sedang mengunyah sirih. Jalu Anggara melihat ke jalan yang ditunjukkan oleh mbok-mbok itu. Ia jadi tersenyum sendiri kenapa dari tadi tidak mencoba pergi ke sana tetapi hanya berputar-putar saja di deretan penjual sayur. “Oh ya, masih ke timur ya? Baik, Mbok. Aku kesana, terima kasih ya,” ucap Jalu Anggara. Sebelum pergi ia mengulurkan sebuah kepeng perak pada anak lelaki kecil yang masih menangis. “Ini buatmu. Sudah jangan menang
Jalu Anggara meringis melihat Aradana melotot padanya. Anehnya, semakin galak justru Jalu makin terpesona dengan wajahnya yang seperti perempuan. Sepasang bola matanya yang bulat besar itu tampak indah dihiasi bulu mata yang lentik.“Iya, pura-pura jadi perempuan. Mau ‘kan? Tolonglah,” ucap Jalu setengah memohon. Aradana menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya mengerucut dan tampak sebal.“Gak mau!”Jawaban yang pendek dan sangat jelas. Namun, Jalu Anggara tidak mau menyerah. Tekadnya sudah bulat rencana itu harus dijalankan.“Hmm, dengarkan dulu. Kau kan sudah sepakat mau membantuku apa saja,” ujar Jalu beralasan. Ia mengungkit kembali perjanjian mereka.“Lagipula kau sudah kubayar,” imbuhnya lagi. Jalu tampak meringis, wajah tampannya jadi lucu. Aradana tak tahan melihatnya. Ia tak suka uang yang sudah diterimanya diungkit lagi.“Hmm, kau tau aku lelaki, kenapa kau suruh jadi perempuan?” ucap Ara. Suaranya mulai melunak. Bagaimana pun dia juga punya hutang budi pada J
Mata Jalu Anggara tak berkedip menatap Aradana yang baru keluar dari dalam pondok. Dia melihat sosok Pendekar Bunga sudah berubah total menjadi seorang perempuan yang cantik dan menarik.Aradana mengerutkan dahinya melihat reaksi Jalu Anggara. Pemuda itu berdiri mematung seperti orang tersihir, hanya matanya saja yang membelalak lebar.Aradana sampai harus melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya agar kesadaran Jalu Anggara kembali lagi."Hei, hei! Kamu kenapa?" tanya Aradana.Jalu Anggara tidak menjawab pertanyaan Aradana, dia tampak mengerjapkan matanya berulangkali. Saat terpejam dia berpikir tidak akan lagi melihat gadis cantik itu ketika matanya terbuka, tetapi nyatanya gadis itu masih berdiri di depannya."Oh maaf, aku tidak mengenalimu kau berubah total," ucap Jalu Anggara. Suaranya terdengar seperti orang yang tak percaya pada penglihatannya sendiri.Aradana melangkahkan kakinya ke depan Jalu. Gerakannya tomboy dan masih bertingkah seperti layaknya lelaki, sama sekali jauh
Patih Jayeng dan istrinya sudah menunggu di ruang tamu kediaman mereka. Keduanya duduk berdampingan di kursi kebesaran yang empuk dan berukir indah.Ketika melihat Jalu Anggara datang sambil menggandeng tangan seorang perempuan, keduanya sontak terkejut dan saling berpandangan keheranan. Raut wajah Patih Jayeng seketika terlihat masam, begitu pula dengan istrinya. Dia yang semula duduk bersandar berubah menjadi tegak dan melipat kedua tangan yang di depan dada."Kangmas, kenapa Jalu membawa seorang perempuan?" bisik istrinya penuh tanya. Wajahnya yang sebenarnya cantik jadi berubah galak. Namanya istri penguasa, dia pasti juga merasa ikut berkuasa seperti suaminya. Patih Jayeng terdiam untuk sesaat. Lelaki berkumis tebal itu lalu menjawab pertanyaan istrinya. Setengah menebak karena ia sendiri tidak tahu kabar apa yang dibawa oleh keponakannya itu."Mungkin itu pelayannya, Diajeng. Kita tunggu saja penjelasan dari anak itu," ucapnya dengan nada suara direndahkan. Entah dia harus ber
TRANG! TRING! WUSH! CRASH Bunyi pedang beradu terdengar saling sambar dengan cepat di tepian hutan. Suara teriakan dan sumpah serapah berulangkali terdengar dari perkelahian dahsyat di pagi buta itu. Segerombolan perampok berpakaian hitam-hitam begitu bernafsu mengeroyok musuhnya. Mereka ingin menghabisi sosok kecil yang mengenakan caping dari bambu. Wajahnya tak terlihat. Hanya gerakannya yang begitu gesit dan lincah seperti menari menghindari tebasan parang dan golok pengeroyoknya. “Ciaaat! Mati kau bocah ingusan!!” Teriak perampok bertubuh besar sembari mengarahkan goloknya tepat ke arah perut pendekar kecil. Namun, serangannya meleset. Dengan gerakan mengelak yang gemulai, sang pendekar bisa menghindar. Disusul tendangannya yang menyakitkan pada pangkal kaki penyerangnya. Perampok itu jatuh terjengkang dan meringis kesakitan. Teman-teman perampoknya melihat padanya dan merasa semakin tersulut emosinya. Mereka kembali menyerbu denga