“Kek …”
Arum Sari berbisik pada Ki Manggala yang buru-buru memberi isyarat untuk diam dengan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Pendekar tua itu terlihat memusatkan perhatian dan mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tangannya melakukan gerakan memutar lalu mengarahkan pada pohon-pohon raksasa yang mengelilingi pondok mereka.
Ki Manggala terkenal dengan jurus kesaktian mengaburkan pandangan musuhnya. Rupanya ia baru saja membuat benteng gaib di sekitar pondok mereka. Manusia biasa tak akan bisa menembus ke dalam karena tak akan bisa melihat mereka.
Pendekar Bunga sudah biasa menyaksikan pemandangan itu. Ia percaya gurunya akan semudah membalik telapak tangan menghadapi para pendatang asing. Namun, gadis itu jadi bertanya-tanya. Siapa mereka yang berani-beraninya datang ke hutan larangan yang terkenal angker ini? Pasti bukan orang biasa. Dia pasti orang yang nekat.
“Apa kalian menemukannya?” tanya seseorang di balik rimbun pohon besar.
“Maaf, Tuan. Kami tak bisa menemukannya. Kami sudah berputar-putar di tempat ini, tapi tak ada jejak seorang manusia pun.” Seseorang terdengar menjawab dengan takut-takut.
“Bodoh kalian! Dia hanya seorang gadis remaja. Kalian harusnya bisa menemukan dia!” ucap orang itu lagi dengan marah.
“Iya, Tuan. Jika benar yang dilihat Tuan seorang gadis, kami pasti bisa menemukannya. Akan tetapi … kalau dia bangsa lelembut, bagaimana kami bisa menangkapnya?” elak pengawal yang lain lagi.
“Dia bukan bangsa siluman. Dia manusia bisa. Aku kira juga tadinya dia hantu. Tapi lihat, dia meninggalkan ini di tepi sungai. Ini milik seorang wanita!” Suara pemuda itu kembali bersikukuh bahwa ia melihat seorang manusia, bukan makhluk jadi-jadian.
Arum Sari meraba dadanya dan seketika mukanya memerah. Malu sekaligus marah. Pemuda itu telah merobek-robek rahasia pribadinya.
“Apa yang kau tinggalkan di sungai, Arum?” tanya Ki Manggala ikut penasaran. Ia tahu muridnya itu cerdas tapi adakalanya ceroboh.
“Ehm, anu … tidak, aku tidak meninggalkan apa-apa,” ucap Arum Sari berbohong. Ia pun merasa malu jika mengatakan kalau ia meninggalkan selembar kain yang biasa digunakan untuk melilit dadanya agar terlihat rata.
“Cepat cari lagi! Aku harus menemukan dia dan menikahinya.” Pemuda itu kembali bersuara.
Bagai disambar petir Arum Sari mendengarnya. Ia kini yakin sekali, pemuda itu adalah orang yang telah mengintipnya saat mandi di sungai tadi. ‘Dasar, pemuda mesum!’ kutuknya dalam hati.
Pendekar Bunga bangkit dari duduknya dan menyambar capingnya. Ia sudah tak sabar ingin menghajar pemuda itu. Kalau perlu sekalian membutakan matanya yang durjana karena sudah menatap bagian rahasia tubuhnya.
“Kek, aku tak bisa tinggal diam. Aku harus menghukumnya!” ucap Arum Sari marah. Tenaganya sudah pulih, energinya sudah terisi penuh untuk melakukan perkelahian lagi.
Ki Manggala hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Sia-sia saja melarang keinginan bocah tengil itu jika sudah di ujung amarah. “Pergilah, hati-hati. Sudah selesai cepat pulang lagi. Aku belum selesai menyusun rencana besarmu.”
Arum Sari mengangguk dan segera melesat pergi melewati semak di sisi yang berseberangan dari para pemburunya. Pedang perak tersandang anggun di punggungnya. Tangan kirinya tak lupa memetik sekuntum bunga yang sedang mekar. Pendekar Bunga siap beraksi lagi.
***
“Ssst, apakah kamu yakin yang dicari Tuan Jalu benar-benar manusia?” bisik seorang pengawal kepada temannya yang sedang menuruni jalan setapak.
Temannya menghentikan langkahnya dan membalas berbisik di telinga sang pengawal. “Aku tak yakin, daerah ini terkenal angker. Mungkin yang dilihat Tuan Jalu itu demit penghuni hutan ini.”
“Iya, kamu benar. Ini hutan larangan. Kenapa Tuan Jalu nekat masuk ke sini?” tanya pengawal itu lagi.
Pengawal yang satunya mengusap wajahnya, ia ikut merasa gundah. “Aku dengar Tuan Jalu dijodohkan dengan anak seorang pejabat yang tak disukainya. Ia jadi suka menyendiri dan melarikan diri ke hutan.”
“Ah, kamu yang benar saja. Dijodohkan kok malah kabur? Harusnya dia senang, hihihi …” Kedua pengawal itu terus menggosip pimpinan mereka. Tanpa mereka sadari Jalu Anggara, pemuda yang menjadi pimpinan mereka, sudah berdiri di ujung jalan dan menghadang mereka.
“Kalian berdua! Bukannya bekerja dengan benar malah membuat gosip. Kalian mau ditangkap demit penghuni hutan ini?” tanya Jalu Anggara galak. Pemuda berusia sekitar 18 tahun itu memarahi kedua orang bawahannya.
Jalu Anggara adalah keponakan panglima perang di Kadipaten itu. Ia terkenal kuat dengan ilmu beladirinya. Rupanya pun tak mengecawakan. Ia sangat tampan dengan hidung mancung dan rahang perseginya.
Benar kata kedua orang pengawalnya, baru-baru ini pamannya bermaksud menjodohkannya dengan putri anak pejabat yang lain. Akan tetapi Jalu Anggara menolaknya. Ia berkata masih ingin mengembara dan mencari pengalaman, tak ingin menikah muda.
“Maaf, Tuan Jalu. Kami hanya sedikit membuang ketakutan kami. Kata orang-orang hutan ini angker. Kenapa Tuan mengajak kami ke sini?” ucap pengawal bertubuh tambun takut-takut.
Jalu Anggara mendengus kesal mendengarnya. “Kalian ini prajurit, tugas kalian tak hanya duduk-duduk berjaga di pintu gerbang. Kalian juga harus bisa berkelahi dan melumpuhkan musuh. Mengerti?”
“Mengerti, Tuan. Ta-tapi …”
“Tidak ada tapi-tapian. Cepat cari lagi gadis itu. Aku harus mendapatkannya,” ujar Jalu Anggara dengan gusar.
“Baik, Tuan.” Kedua pengawal itu bermaksud meneruskan langkahnya tapi tiba-tiba gerakannya terhenti saat dua kerikil yang dilempar dari jauh mengenai kaki mereka.
Kedua prajurit itu saling menatap dan spontan berteriak tanpa bisa menggerakkan tubuhnya. “ADA DEMIT! TOlOONNGG …!”
Jalu Anggara ikut terkejut melihat kejadian di depan matanya. “Ada apa dengan kalian? Kenapa tiba-tiba tak bisa bergerak?”
Pemuda itu segera memasang sikap waspada dan mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Pedang tajam dikeluarkan dari dalam sarungnya.
“Keluarlah! Jangan jadi pengecut. Hadapi aku!” teriak Jalu Anggara berani. Ia tahu ada sepasang mata yang sedang mengamatinya dari tempat yang tersembunyi.
“Kau yang kurang ajar dan tak bisa menjaga mata. Berani-beraninya mengintip orang mandi!” Sebuah suara yang dibuat berwibawa terdengar dari balik pohon besar.
Bukannya takut, Jalu Anggara justru bersorak saat mendengar kalimat itu.
“Apa kau juga melihatnya?” tanya Jalu Anggara. “Keluarlah kisanak. Kita bisa berteman,” bujuk pemuda itu lagi.
“Sembarangan saja mengajak aku berteman denganmu. Aku tak sudi!” Suara dari balik pohon kembali terdengar. Ia menolak mentah-mentah tawaran Jalu Anggara.
“Ki sanak. Kau akan menyesal menolak tawaranku. Aku benar-benar sudah melihat bidadari. Bantu aku menangkap dia, aku akan memberikan imbalan yang sepadan.” Jalu Anggara berucap sembari melemparkan beberapa koin emas di tanah.
Sunyi senyap. Orang di balik pohon tak juga bereaksi.
“Apa jumlah yang aku tawarkan masih kurang? Baiklah aku berikan semua.” Jalu Anggara melemparkan seluruh kantong uangnya. Ia tahu, semua kepeng emas dia bawa cukup digunakan untuk hidup sampai setahun.
“Hmm, dia harus ditangkap hidup-hidup atau mati?” tanya suara dari balik pohon.
“Tentu saja hidup, kisanak. Dia gadis muda yang sangat cantik. Yang paling cantik yang pernah aku lihat.” Jalu Anggara mulai berdiplomasi. Jauh di lubuk hatinya ia memang betul-betul berharap bisa menemukan gadis itu lagi.
Mendengar kata ‘paling cantik’, Pendekar Bunga tak bisa lagi menahan senyumnya. Dia kemudian melesat dan berdiri di depan Jalu Anggara. Wajahnya disembunyikan di balik caping lebarnya.
Jalu Anggara terkejut melihat sosok legendaris itu tiba-tiba berdiri di depannya.
“Kau! Kau Pendekar Bunga yang mahsyur itu?” ucapnya nyaris tak percaya. Pemuda itu spontan menjura hormat.
“Maafkan kelancanganku, Pendekar Bunga.”
Pendekar Bunga mengangkat tangan kanannya. Ia tak suka banyak berbasa-basi. “Katakan padaku. Apa saja yang sudah kau lihat dari gadis itu?”
Jalu Anggara tidak langsung menjawab pertanyaan pendekar bunga. Kedua bola matanya tampak berputar-putar. Dia sedang berpikir dan juga mengingat-ingat bagaimana pertemuannya dengan sosok wanita cantik yang dilihatnya sedang mandi di sungai kemarin. Melihat pemuda itu tak kunjung menjawab pertanyaannya, Pendekar Bunga kembali membentaknya. "Cepat katakan apa yang kamu lihat?!" ucapnya galak. "Engg ... anu, ... Aku hanya melihat dia dari arah belakang," kata Jalu Anggara. Akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat karena memang seperti itu yang dia lihat. "Aku melihat rambutnya yang panjang sepinggang dan juga dia mandi tidak mengenakan sehelai kain pun," kata Jalu Anggara lagi seraya menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dia sendiri malu dan sungkan mengatakan hal itu tetapi Pendekar Bunga memaksanya. Jalu Anggara berpikir sosok yang berdiri di depannya itu akan senang dengan informasi yang diberikan olehnya. Namun, bukannya senang Pendekar Bunga justru melempar sepotong ranting
Jalu Anggara lalu mengulurkan tangannya. Dia mengajak Pendekar Bunga untuk bersalaman. Pendekar bunga sedikit kebingungan dengan pertanyaan dari Jalu Anggara. Dia sendiri tentu saja tidak mau menyebutkan nama aslinya sebagai Arum Sari. Itu adalah nama seorang perempuan. Dengan cepat Pendekar Bunga mencari nama yang mirip dengan nama aslinya tetapi nama untuk seorang lelaki. "Panggil aku Ara," ujarPendekar Bunga sambil menyambut uluran tangan Jalu Anggara. Jalu Anggara menggenggam tangan Pendekar Bunga dengan erat. Dia agak sedikit terkejut saat menyentuh kulit dari sosok legendaris di depannya. Dia merasakan kulit yang begitu halus dan lentik. Rasanya tidak cocok menjadi tangan dari seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa. Jalu Anggara hanya bisa memendam pertanyaan itu dalam hatinya. "Hmm, bisa jadi karena memang ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Pendekar Bunga sangat tinggi. Dia tidak perlu banyak bekerja keras, jadilah tangannya lentik dan lembut seperti seorang perempuan.
Setelah setengah hari perjalanan akhirnya Jalu Anggara dan juga Pendekar Bunga sampai di kotapraja Watu Tiban.Dari jauh bangunan kota itu sudah terlihat. Benteng-bentengnya tampak tinggi memisahkan pusat pemerintahan dari rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.Perumahan penduduk yang ada di sekitar kotapraja terlihat jauh lebih bagus daripada gubuk-gubuk yang ada di desa-desa. Sebelum memasuki gerbang kotapraja, Pendekar Bunga tiba-tiba menarik tali kekang kudanya."Tunggu dulu!" kata dia. Jalu Anggara yang berada di sampingnya menoleh keheranan. "Ada apa?""Aku punya syarat lagi sebelum mau melangkah masuk ke kotapraja ini," ucap Aradana dengan mimik muka serius."Baik. Katakan apa syaratmu itu. Kenapa tidak dari tadi disampaikan?" ujar Jalu Anggara sambil menghela nafas. Ia berusaha bersabar. Membawa manusia unik seperti Pendekar Bunga memang bukan perkara mudah."Aku terus berpikir dan menimbang-nimbang selama di perjalanan tadi." Demikian alasan dari pendekar bunga."Iya.
Pagi-pagi sekali seorang utusan tampak mendatangi rumah kediaman Jalu Anggara. Prajurit itu adalah suruhan dari Patih Jayengrana, Pamannya. Jalu Anggara belum sepenuhnya membuka mata saat prajurit itu menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh sang paman.Tok tok tok!"Ndoro Jalu ..." panggil prajurit dengan suara agak dikeraskan.Jalu Anggara membuka sedikit daun pintu rumahnya. Matanya memicing memandang prajurit yang mengenakan kain seragam lurik di depannya. "Hmm ... ada apa?" tanya Jalu sambil menguap. Tangan kirinya cepat-cepat menutup mulutnya, dia sebenarnya masih sangat mengantuk."Ampun, Ndoro. Patih Jayeng menyuruh anda untuk menghadapnya segera," kata prajurit."Oh, ya. Paman sudah tahu aku pulang ya?" balas Jalu Anggara dengan malas. "Ya, Ndoro. Sejak semalam beliau sudah tahu tapi katanya biar pagi saja ketemunya," jawab prajurit."Ehm, memangnya kemarin Ndoro Jalu kemana sih? Kami semua khawatir lho," ucap prajurit itu lagi. Sebenarnya dia juga cukup akrab dengan Jalu.
Jalu Anggara masih berdiri termangu di atas punggung kudanya. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Pasar semakin ramai tetapi pedagang yang ia cari belum juga terlihat. “Ndoro cari apa sebenarnya?” tanya seorang mbok-mbok lagi. “Engg … aku … aku cari kain.” Jalu Anggara akhirnya menjawab juga. Iya, dia sedang mencari kain untuk mendukung rencananya. “Oalah, cari kain. Kalau pedagang kain tidak ada di pasar sebelah sini. Ini tempatnya penjual makanan dan sayuran. Ndoro jalan aja lurus ke arah timur. Nanti di sana ada deretan penjual kain,” jawab mbok-mbok yang sedang mengunyah sirih. Jalu Anggara melihat ke jalan yang ditunjukkan oleh mbok-mbok itu. Ia jadi tersenyum sendiri kenapa dari tadi tidak mencoba pergi ke sana tetapi hanya berputar-putar saja di deretan penjual sayur. “Oh ya, masih ke timur ya? Baik, Mbok. Aku kesana, terima kasih ya,” ucap Jalu Anggara. Sebelum pergi ia mengulurkan sebuah kepeng perak pada anak lelaki kecil yang masih menangis. “Ini buatmu. Sudah jangan menang
Jalu Anggara meringis melihat Aradana melotot padanya. Anehnya, semakin galak justru Jalu makin terpesona dengan wajahnya yang seperti perempuan. Sepasang bola matanya yang bulat besar itu tampak indah dihiasi bulu mata yang lentik.“Iya, pura-pura jadi perempuan. Mau ‘kan? Tolonglah,” ucap Jalu setengah memohon. Aradana menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya mengerucut dan tampak sebal.“Gak mau!”Jawaban yang pendek dan sangat jelas. Namun, Jalu Anggara tidak mau menyerah. Tekadnya sudah bulat rencana itu harus dijalankan.“Hmm, dengarkan dulu. Kau kan sudah sepakat mau membantuku apa saja,” ujar Jalu beralasan. Ia mengungkit kembali perjanjian mereka.“Lagipula kau sudah kubayar,” imbuhnya lagi. Jalu tampak meringis, wajah tampannya jadi lucu. Aradana tak tahan melihatnya. Ia tak suka uang yang sudah diterimanya diungkit lagi.“Hmm, kau tau aku lelaki, kenapa kau suruh jadi perempuan?” ucap Ara. Suaranya mulai melunak. Bagaimana pun dia juga punya hutang budi pada J
Mata Jalu Anggara tak berkedip menatap Aradana yang baru keluar dari dalam pondok. Dia melihat sosok Pendekar Bunga sudah berubah total menjadi seorang perempuan yang cantik dan menarik.Aradana mengerutkan dahinya melihat reaksi Jalu Anggara. Pemuda itu berdiri mematung seperti orang tersihir, hanya matanya saja yang membelalak lebar.Aradana sampai harus melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya agar kesadaran Jalu Anggara kembali lagi."Hei, hei! Kamu kenapa?" tanya Aradana.Jalu Anggara tidak menjawab pertanyaan Aradana, dia tampak mengerjapkan matanya berulangkali. Saat terpejam dia berpikir tidak akan lagi melihat gadis cantik itu ketika matanya terbuka, tetapi nyatanya gadis itu masih berdiri di depannya."Oh maaf, aku tidak mengenalimu kau berubah total," ucap Jalu Anggara. Suaranya terdengar seperti orang yang tak percaya pada penglihatannya sendiri.Aradana melangkahkan kakinya ke depan Jalu. Gerakannya tomboy dan masih bertingkah seperti layaknya lelaki, sama sekali jauh
Patih Jayeng dan istrinya sudah menunggu di ruang tamu kediaman mereka. Keduanya duduk berdampingan di kursi kebesaran yang empuk dan berukir indah.Ketika melihat Jalu Anggara datang sambil menggandeng tangan seorang perempuan, keduanya sontak terkejut dan saling berpandangan keheranan. Raut wajah Patih Jayeng seketika terlihat masam, begitu pula dengan istrinya. Dia yang semula duduk bersandar berubah menjadi tegak dan melipat kedua tangan yang di depan dada."Kangmas, kenapa Jalu membawa seorang perempuan?" bisik istrinya penuh tanya. Wajahnya yang sebenarnya cantik jadi berubah galak. Namanya istri penguasa, dia pasti juga merasa ikut berkuasa seperti suaminya. Patih Jayeng terdiam untuk sesaat. Lelaki berkumis tebal itu lalu menjawab pertanyaan istrinya. Setengah menebak karena ia sendiri tidak tahu kabar apa yang dibawa oleh keponakannya itu."Mungkin itu pelayannya, Diajeng. Kita tunggu saja penjelasan dari anak itu," ucapnya dengan nada suara direndahkan. Entah dia harus ber