“Gusti, mimpi apa aku semalam? Kenapa di tempat ini tiba-tiba ada pemuda yang mengintipku mandi? Huh!” Arum Sari bersungut-sungut sembari membenamkan tubuhnya ke dalam air dan menutup bagian sensitif tubuhnya dengan kedua tangannya.
Kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Sepi dan hening lagi. Hanya ada suara gemericik air dan binatang hutan. Arum Sari segera menepi dan menyambar pakaiannya sebelum naik ke permukaan. Dengan cepat gadis itu memakai bajunya dan segera menampakkan lagi penampilannya sebagai seorang laki-laki.
“Huff! Semoga tidak ketemu lagi dengan pemuda kesasar itu. Sialan,” umpat Arum Sari. Ia segera mengisi penuh gentong air dan memanggulnya kembali ke pondok.
Perjalanan pulang Arum Sari dilakukan dengan cepat. Ia melompat-lompat lincah dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya.
“Kakek, ini gentong airnya sudah penuh. Mana ayamnya?” ucap Arum Sari seraya meletakkan gentong air di dekat perapian.
Ki Manggala menyerahkan setengah ayam panggangnya pada Arum Sari. “Ini. Makanlah. Kakek sengaja menangkap ayam di hutan tadi untukmu. Aku tahu kamu lelah setelah perjalanan semalam.”
Arum Sari mengangguk dan menerima ayam panggang itu dengan mata berbinar. Dengan rakus dikunyahnya daging lezat itu. Masih panas. Mulutnya terbuka dan sesekali meniup-niup.
“Masih panas, pelan-pelanlah makan. Kamu ini perempuan tapi seperti lelaki,” gerutu Ki Manggala seraya mengambil tempat minum dari tanah liat. Ia meniup air teh panas yang ada di dalamnya.
Arum Sari tampak tak menghiraukan perkataan Ki Manggala. Ia masih saja sibuk makan. Perutnya yang sedari tadi keroncongan butuh segera diisi penuh.
“Pelan-pelan makannya, Arum. Belajarlah bertingkah laku lembut sedikit sesuai kodratmu. Kamu perempuan, sebentar lagi dewasa. Mungkin kamu akan menikah dan punya anak …”
“Uhuk-uhuk! Sudahlah, Kek. Tak usah bahas itu. Aku lebih suka begini,” ucap Arum Sari memotong perkataan Ki Manggala.
“Bocah ini entah meniru siapa. Setiap perkataanku selalu dibantah. Tobat, tobat!” keluh Ki Manggala seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia ingat harus banyak bersabar dalam merawat dan membesarkan Arum Sari yang sifatnya sangat berbeda dengan anak kebanyakan.
Arum Sari tertawa renyah mendengar perkataan kakeknya. “Aku? Cucu Ki Manggala. Pendekar paling hebat di dunia persilatan yang sering menyamar sebagai pengemis di desa-desa, hahaha.”
Ki Manggala biasa tertawa menghadapi banyolan Arum Sari, tapi kali ini lelaki tua itu hanya diam. Matanya menerawang jauh. Seolah ada hal penting di ujung sana.
Menyadari kakeknya diam saja, Arum Sari cepat-cepat menghabiskan makanannya dan mengambil kendi berisi air dingin. Ia menenggaknya dengan mahir tanpa ada yang tumpah setetes pun.
Gadis remaja berusia 16 tahun itu kemudian mendekati Ki Manggala dan duduk di sampingnya. Sikap duduknya bersila, ia siap mendengarkan pelajaran atau petuah dari orang tua itu.
Satu sikap yang disukai Ki Manggala dari Arum Sari, meskipun dia senang bertingkah urakan dan sulit diatur, tapi hatinya sangat peka. Ia akan tahu kapan ada hal penting yang harus diketahui atau harus dikerjakannya tanpa membantah lagi.
“Kek, sebenarnya ada apa? Ceritalah padaku. Aku akan dengarkan,” ucap Arum Sari seraya tersenyum dan menyatukan kedua tangannya di depan dada. Tanda hormat dan bersedia menjadi pendengar yang baik.
Ki Manggala mengeluarkan secarik kertas yang dibawa oleh Arum Sari tadi. Ia memberikan kertas itu dan menyuruh gadis itu membacanya.
Arum Sari membuka lipatan kertas dan membaca serangkaian kalimat yang tertera di sana.
Sudah waktunya Putri Galuh Suri mengetahui identitasnya dan membersihkan nama baik keluarganya.
Arum Sari melipat lagi kertas itu dan menyerahkannya kembali pada Ki Manggala.
“Apa maksudnya, Kek? Aku sama sekali tak mengerti.” Arum Sari menyodorkan kertas itu dan menunjukkan muka datar. Dahinya berkerut sedikit.
Ki Manggala menatap lekat wajah Arum Sari. Lalu tersenyum samar-samar.
“Arum, apa kau pernah berpikir kalau kau bukan cucu kakek yang sebenarnya?” tanya Ki Manggala. Dia mencoba memulai percakapan itu dengan sedikit lelucon.
Iya, bagi Arum Sari pertanyaan itu memang sebuah lelucon. “Ya, tentu saja. Kadang aku merasa kau bukan kakekku yang sebenarnya. Sebabnya adalah, kau jarang memberiku makan yang enak. Makanan itu kakek simpan sendiri. Aku disuruh cari makan sendiri,” sungut Arum Sari. Raut mukanya menunjukkan ekspresi pura-pura kesal.
Ki Manggala terkekeh mendengarnya. “Cuma karena makanan? Aku melatihmu mencari makan sendiri biar bisa hidup di manapun kamu mengembara, bukan untuk menyengsarakanmu.”
Arum Sari masih belum terima dengan penjelasan Ki Manggala. “Iya, tapi di mana-mana, biasanya seorang kakek sayang cucunya dan memberikan semua yang diminta cucunya. Tapi kakek beda, malah mengajariku berkelahi dan bertahan hidup.”
Ki Manggala menepuk-nepuk bahu Arum Sari. “Dengarkan ini baik-baik, Pendekar Bunga. Aku harap kau akan mengingatnya. Maafkan aku. Kau memang bukan cucu asliku. Aku adalah teman seperguruan kakekmu yang asli. Kami terikat persaudaraan satu perguruan. Dialah yang menitipkanmu padaku,” ungkap Ki Manggala dengan raut wajah serius.
Arum Sari terdiam mendengar penjelasan Ki Manggala. Tak ada angin tak ada hujan, ia tiba-tiba mendapati kenyataan hidup yang sangat berbeda dari yang dipikirkannya.
“Ja-jadi, aku hanya cucu angkat kakek? Lalu siapa kakekku yang asli? Siapa orang tuaku? Di mana mereka sekarang?” Arum Sari mengajukan pertanyaan beruntun. Dia kini mulai mengerti. Pantas saja selama ini Ki Manggala selalu menghindar saat ditanya siapa orang tua kandung Arum Sari.
“Arum, sabarlah. Kakek akan menjelaskan satu-satu. Aku harap kamu siap menyimaknya,” ucap Ki Manggala dengan sabar.
Arum Sari mengangguk cepat. Saat itu terasa dadanya bergemuruh, penuh dan sesak. Rasa kalut dan bingung mengisi hati dan pikirannya. Ia merasa dunianya tak baik-baik saja.
“A-aku siap mendengarnya, Kek.” Arum Sari menjawab terbata. Matanya berulangkali mengerjap agar tak ada air mata yang menggenang di sana. Dia, Pendekar Bunga, pantang untuk lemah hati.
“Arum, orang tuamu sebenarnya adalah pejabat negeri di ibu kota. Kedudukannya tinggi, berasal dari kaum bangsawan. Begitu juga dengan ibumu. Dia wanita cantik dan berpendidikan. Tapi karena persaingan tak sehat dari pejabat yang lain, keluargamu menjadi korban.” Ki Manggala mulai menjelaskan.
Mulut Arum Sari tanpa sadar terbuka mendengar penjelasan Ki Manggala. Dia masih belum bisa mencerna kalimat itu seutuhnya.
“A-apa itu benar? Lalu di mana mereka kini? Kenapa aku ada di sini bersama Kakek?” Arum Sari kembali mengajukan pertanyaan beruntun.
“Orang tuamu semuanya sudah mati di dalam kobaran api. Maafkan aku dan kakekmu yang terlambat menyelamatkan kalian,” ujar Ki Manggala lirih seraya menggenggam tangan Arum Sari.
Mata Arum Sari membeliak kaget. “Mati? Mereka sudah mati?!”
Ki Manggala mengangguk. “Pihak musuh saat itu terlalu kuat dan banyak, mereka mengepung dan membakar rumahmu dengan licik. Orang tuamu tak bisa kami selamatkan. Hanya kamu yang masih ada dalam buian yang berhasil kami bawa pergi dari sana.”
Dada Arum Sari terasa semakin sesak. Sakit rasanya mendengar semua itu. Seolah ia kini merasakan sulitnya bernafas di tengah kepungan asap dan api yang membakar rumahnya.
“Lalu, kenapa Kakek baru mengatakan semua ini sekarang?” tanya Arum Sari. Dua bulir air mata jatuh dari kelopak matanya. Ia tak kuasa membendungnya.
“Kemarin kamu masih kecil, Arum. Sekarang saatnya kamu membalas kematian orang tuamu dan membersihkan nama baik keluargamu,” jawab Ki Manggala. Ia melihat kilatan marah di mata Arum Sari.
“Sampai ke ujung dunia pun aku akan mencari pembunuh orang tuaku. Katakan padaku, Kek. Siapa dia?”
Ki Manggala tak langsung menjawab pertanyaan Arum Sari. Bola matanya justru nanar menatap pepohonan besar yang mengelilingi pondok mereka. Pohon itu dikenal sebagai pohon yang angker. Orang-orang tak akan berani melintas di bawahnya. Sebab itulah pondok mereka menjadi tempat persembunyian yang sempurna.“Siapa dia, Kek? Katakan padaku. Aku pasti akan memburunya!” Arum Sari berucap sembari mengepalkan tangannya. Matanya menyorotkan kebencian. Bibit dendam tertanam di hatinya.“Ceritanya rumit, Arum. Nama orang itu Jayantaka. Dia justru sahabat ayahmu sendiri. Mereka sama-sama rekan satu perguruan. Tapi entah sejak kapan, Jayantaka menyimpan iri hati pada Patih Girisha, ayahmu.” Ki Manggala mulai menjelaskan secara runut. Arum Sari mendengarkan dengan penuh perhatian.“Patih Girisha? Ayahku seorang Patih, Kek?” tanya Arum Sari nyaris tak percaya. Ia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya.Ki Manggala menga
“Kek …”Arum Sari berbisik pada Ki Manggala yang buru-buru memberi isyarat untuk diam dengan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya.Pendekar tua itu terlihat memusatkan perhatian dan mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tangannya melakukan gerakan memutar lalu mengarahkan pada pohon-pohon raksasa yang mengelilingi pondok mereka.Ki Manggala terkenal dengan jurus kesaktian mengaburkan pandangan musuhnya. Rupanya ia baru saja membuat benteng gaib di sekitar pondok mereka. Manusia biasa tak akan bisa menembus ke dalam karena tak akan bisa melihat mereka.Pendekar Bunga sudah biasa menyaksikan pemandangan itu. Ia percaya gurunya akan semudah membalik telapak tangan menghadapi para pendatang asing. Namun, gadis itu jadi bertanya-tanya. Siapa mereka yang berani-beraninya datang ke hutan larangan yang terkenal angker ini? Pasti bukan orang biasa. Dia pasti orang yang nekat.“Apa kalian menemukannya?” tanya seseorang
Jalu Anggara tidak langsung menjawab pertanyaan pendekar bunga. Kedua bola matanya tampak berputar-putar. Dia sedang berpikir dan juga mengingat-ingat bagaimana pertemuannya dengan sosok wanita cantik yang dilihatnya sedang mandi di sungai kemarin. Melihat pemuda itu tak kunjung menjawab pertanyaannya, Pendekar Bunga kembali membentaknya. "Cepat katakan apa yang kamu lihat?!" ucapnya galak. "Engg ... anu, ... Aku hanya melihat dia dari arah belakang," kata Jalu Anggara. Akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat karena memang seperti itu yang dia lihat. "Aku melihat rambutnya yang panjang sepinggang dan juga dia mandi tidak mengenakan sehelai kain pun," kata Jalu Anggara lagi seraya menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dia sendiri malu dan sungkan mengatakan hal itu tetapi Pendekar Bunga memaksanya. Jalu Anggara berpikir sosok yang berdiri di depannya itu akan senang dengan informasi yang diberikan olehnya. Namun, bukannya senang Pendekar Bunga justru melempar sepotong ranting
Jalu Anggara lalu mengulurkan tangannya. Dia mengajak Pendekar Bunga untuk bersalaman. Pendekar bunga sedikit kebingungan dengan pertanyaan dari Jalu Anggara. Dia sendiri tentu saja tidak mau menyebutkan nama aslinya sebagai Arum Sari. Itu adalah nama seorang perempuan. Dengan cepat Pendekar Bunga mencari nama yang mirip dengan nama aslinya tetapi nama untuk seorang lelaki. "Panggil aku Ara," ujarPendekar Bunga sambil menyambut uluran tangan Jalu Anggara. Jalu Anggara menggenggam tangan Pendekar Bunga dengan erat. Dia agak sedikit terkejut saat menyentuh kulit dari sosok legendaris di depannya. Dia merasakan kulit yang begitu halus dan lentik. Rasanya tidak cocok menjadi tangan dari seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa. Jalu Anggara hanya bisa memendam pertanyaan itu dalam hatinya. "Hmm, bisa jadi karena memang ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Pendekar Bunga sangat tinggi. Dia tidak perlu banyak bekerja keras, jadilah tangannya lentik dan lembut seperti seorang perempuan.
Setelah setengah hari perjalanan akhirnya Jalu Anggara dan juga Pendekar Bunga sampai di kotapraja Watu Tiban.Dari jauh bangunan kota itu sudah terlihat. Benteng-bentengnya tampak tinggi memisahkan pusat pemerintahan dari rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.Perumahan penduduk yang ada di sekitar kotapraja terlihat jauh lebih bagus daripada gubuk-gubuk yang ada di desa-desa. Sebelum memasuki gerbang kotapraja, Pendekar Bunga tiba-tiba menarik tali kekang kudanya."Tunggu dulu!" kata dia. Jalu Anggara yang berada di sampingnya menoleh keheranan. "Ada apa?""Aku punya syarat lagi sebelum mau melangkah masuk ke kotapraja ini," ucap Aradana dengan mimik muka serius."Baik. Katakan apa syaratmu itu. Kenapa tidak dari tadi disampaikan?" ujar Jalu Anggara sambil menghela nafas. Ia berusaha bersabar. Membawa manusia unik seperti Pendekar Bunga memang bukan perkara mudah."Aku terus berpikir dan menimbang-nimbang selama di perjalanan tadi." Demikian alasan dari pendekar bunga."Iya.
Pagi-pagi sekali seorang utusan tampak mendatangi rumah kediaman Jalu Anggara. Prajurit itu adalah suruhan dari Patih Jayengrana, Pamannya. Jalu Anggara belum sepenuhnya membuka mata saat prajurit itu menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh sang paman.Tok tok tok!"Ndoro Jalu ..." panggil prajurit dengan suara agak dikeraskan.Jalu Anggara membuka sedikit daun pintu rumahnya. Matanya memicing memandang prajurit yang mengenakan kain seragam lurik di depannya. "Hmm ... ada apa?" tanya Jalu sambil menguap. Tangan kirinya cepat-cepat menutup mulutnya, dia sebenarnya masih sangat mengantuk."Ampun, Ndoro. Patih Jayeng menyuruh anda untuk menghadapnya segera," kata prajurit."Oh, ya. Paman sudah tahu aku pulang ya?" balas Jalu Anggara dengan malas. "Ya, Ndoro. Sejak semalam beliau sudah tahu tapi katanya biar pagi saja ketemunya," jawab prajurit."Ehm, memangnya kemarin Ndoro Jalu kemana sih? Kami semua khawatir lho," ucap prajurit itu lagi. Sebenarnya dia juga cukup akrab dengan Jalu.
Jalu Anggara masih berdiri termangu di atas punggung kudanya. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Pasar semakin ramai tetapi pedagang yang ia cari belum juga terlihat. “Ndoro cari apa sebenarnya?” tanya seorang mbok-mbok lagi. “Engg … aku … aku cari kain.” Jalu Anggara akhirnya menjawab juga. Iya, dia sedang mencari kain untuk mendukung rencananya. “Oalah, cari kain. Kalau pedagang kain tidak ada di pasar sebelah sini. Ini tempatnya penjual makanan dan sayuran. Ndoro jalan aja lurus ke arah timur. Nanti di sana ada deretan penjual kain,” jawab mbok-mbok yang sedang mengunyah sirih. Jalu Anggara melihat ke jalan yang ditunjukkan oleh mbok-mbok itu. Ia jadi tersenyum sendiri kenapa dari tadi tidak mencoba pergi ke sana tetapi hanya berputar-putar saja di deretan penjual sayur. “Oh ya, masih ke timur ya? Baik, Mbok. Aku kesana, terima kasih ya,” ucap Jalu Anggara. Sebelum pergi ia mengulurkan sebuah kepeng perak pada anak lelaki kecil yang masih menangis. “Ini buatmu. Sudah jangan menang
Jalu Anggara meringis melihat Aradana melotot padanya. Anehnya, semakin galak justru Jalu makin terpesona dengan wajahnya yang seperti perempuan. Sepasang bola matanya yang bulat besar itu tampak indah dihiasi bulu mata yang lentik.“Iya, pura-pura jadi perempuan. Mau ‘kan? Tolonglah,” ucap Jalu setengah memohon. Aradana menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya mengerucut dan tampak sebal.“Gak mau!”Jawaban yang pendek dan sangat jelas. Namun, Jalu Anggara tidak mau menyerah. Tekadnya sudah bulat rencana itu harus dijalankan.“Hmm, dengarkan dulu. Kau kan sudah sepakat mau membantuku apa saja,” ujar Jalu beralasan. Ia mengungkit kembali perjanjian mereka.“Lagipula kau sudah kubayar,” imbuhnya lagi. Jalu tampak meringis, wajah tampannya jadi lucu. Aradana tak tahan melihatnya. Ia tak suka uang yang sudah diterimanya diungkit lagi.“Hmm, kau tau aku lelaki, kenapa kau suruh jadi perempuan?” ucap Ara. Suaranya mulai melunak. Bagaimana pun dia juga punya hutang budi pada J