Dua minggu berlalu sejak tragedi pingsannya Nina saat resepsi pernikahannya. Sebenarnya saat itu tak hanya Nina yang pingsan. Bu Ratna, ibu mertua Ranti pun ikut pingsan saat harus mendengar pernyataan dokter bahwa putri kebanggaannya itu sedang berbadan dua. Tak tanggung-tanggung, usia kehamilan Nina sudah berjalan tiga bulan.
Bayu tak dapat menahan emosi saat mendengar kabar mengejutkan itu. Hampir saja wajah Randu menjadi sasaran bogem mentahnya jika tak ditahan oleh kedua abangnya. Rasa tak enak hatinya terbukti sudah. Laki-laki yang sekarang berstatus sebagai adik iparnya itu perangainya tak berubah.Saat Nina dilarikan ke rumah sakit pun suara sumbang mulai terdengar."Jangan-jangan Nina hamil, Rin. Ibu-ibu yang ada di dapur sedang hangat-hangatnya membahas tragedi pingsannya Nina tadi," ucap Dinda yang baru saja kembali dari kamar kecil. Wanita itu kembali mendudukkan tubuhnya di samping Rantim"Kakak serius?"Ranti terkejut saat m"Bu Ranti, nasinya sudah siap jika mau makan. Saya mau menidurkan Alif dulu."Ucapan Bu Ayu membuyarkan lamunan Ranti atas rentetan banyak peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Ranti memilih tak ikut campur atas urusan keluarga suaminya itu. Untuk apa? Tak ada yang bisa dilakukan saat ini kecuali berserah, pasrah pada semua kejadian yang telah terjadi. Nasi telah menjadi bubur, tak mungkin diubah menjadi beras kembali. Yang dapat dilakukan Ranti hanyalah menenangkan Bayu, saat suaminya berkeluh-kesah atas semua tragedi memalukan yang terjadi pada keluarganya itu."Bu Ayu dan Bu Ratna sudah makan?" tanya Ranti yang sudah tampak kesulitan mengangkat tubuhnya dari kursi di ruangan kecil bersebelahan dengan dapur. Ruangan itu menjadi musala sekaligus ruang kerja bagi Ranti dan Bayu."Nanti saja, Bu. Setelah salat. Makanan untuk pegawai pun sudah saya siapkan. Tapi sepertinya mereka lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dulu. Ibu tinggal men
"Biar saya saja yang membuka pintunya," ujar Bu Ayu seraya bangkit dari duduknya dan mencuci tangan dengan cepat. Piring kotor di tangannya diserahkan pada Bu Rina yang masih bermain dengan sabun dan spons di jemarinya.Ranti sendiri sudah dapat menduga pemilik suara tamu di siang hari ini. Siapa lagi, kalau bukan ibu mertuanya tercinta? Entah apa tujuan dan maksud kedatangan wanita yang telah melahirkan suaminya itu kali ini. Berbekal pengalaman yang sudah-sudah, jika tak ada maksud yang penting, ibu mertuanya ini tak akan sudi sepertinya ke rumah mereka.Mengangkat tubuhnya yang cukup kenyang setelah makan siang ini, Ranti lantas berjalan perlahan menuju ruang tamu keluarga yang terhubung dengan pintu samping. Pada saat membangun rumah ini dulu, Ranti sengaja meminta ada dua ruang tamu yang tentunya untuk peruntukan yang berbeda. Ruang tamu utama untuk menyambut para tamu yang memang sengaja datang ke rumah untuk tujuan tertentu. Sedangkan ruang tamu keluarga dig
Ucapan sang menantu sontak saja membuat wajah Bu Ratna memerah."Karena tak ada yang lain, mau tak mau Ibu makan."Ranti merasa ingin tertawa dalam hatinya mendengar ucapan sang mertua. Kalau tak berkomentar yang buruk atas diri Ranti, sepertinya wanita itu akan sakit kepalanya."Ibu sudah makannya? Mau menunggu Bang Bayu?"Ranti memilih mengikuti langkah kaki ketiganya. Sebenarnya Ranti merasa agak mengantuk siang ini. Tidur sesaat rasanya cukup nyaman. Tapi rasanya tak mungkin membiarkan mereka tanpa ditemani. Apa kata ibu mertuanya itu nanti? "Ya, Ibu mau menunggu. Tadi Nina menelepon Bayu, katanya sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin sekitar setengah jam lagi sampai di rumah."Ranti hanya menganggukkan kepala. Memilih duduk bersama mereka lebih lama lagi tentunya akan berpeluang membuat emosinya terkuras nanti. "Jangan berpikir Ibu mau minta uang pada Bayu, Ran. Uang amplop resepsi Nina kemarin masih belum Ibu g
Ranti tinggal menghitung hari. Kehamilannya sudah masuk hitungan waktu melahirkan. Ada rasa tenang saat akan melahirkan anak keduanya ini. Bukan hanya karena punya bekal pengalaman saat melahirkan Alif dulu, tapi ada yang berbeda saat persalinannya nanti. Ada kehadiran sang ibu yang akan mendampingi perjuangannya melahirkan cucu kedua untuk wanita itu.Bu Dewi akhirnya menuruti permintaan Ranti untuk ikut tinggal bersama keluarga putrinya itu. Mencoba menyimpan kenangan bersama suaminya yang masih tertinggal di rumah mereka. Walau tak berjanji akan berapa lama tinggal bersama Ranti dan Bayu, paling tidak saat ini dia akan mendampingi putrinya melahirkan. Hal yang tidak dapat dilakukannya saat persalinan pertama Ranti dulu."Bang ... ada telepon dari Ibu kemarin. Katanya mau ke sini besok. Rencananya Ibu akan tinggal bersama kita, entah untuk berapa lama. Abang keberatan?" tanya Ranti pada Bayu saat mereka sedang menikmati sarapan pagi dengan lontong sayur yang dibe
Benar saja. Tak lama menunggu, Ranti dapat melihat sosok wanita yang telah melahirkannya dari kejauhan. Satu buah koper yang ditarik dengan tangan kirinya dan sebuah kotak di tangan kanannya. Gegas Ranti menyambut ibunya dan langsung meraih kotak di tangan wanita itu."Alhamdulillah, Ibu sehat?" tanya Ranti sembari meraih tangan kanan Bu Dewi dan menciumnya dengan takzim. Bu Ayu pun mengikuti langkah dan gerakan tangan Ranti."Sehat. Aduh cucu Nenek, sudah besar sekarang. Nenek kangen."Bu Dewi melepaskan kopernya dan langsung meraih tubuh Alif dari gendongan Bu Ayu."Alif sudah pintar jalan ya?"Ranti dan Bu Ayu tersenyum melihat wajah berbinar Bu Dewi saat mencium Alif. Ranti berharap dengan bersama keluarga kecilnya, sang ibu tak lagi merasa sendiri menghabiskan hari tuanya."Kita langsung saja ya, Bu. Biar Bu Ayu yang bawakan kopernya," ujar Ranti sembari melangkah keluar dari area kedatangan. Beriringan mereka berj
Persalinan kedua Ranti sama lancarnya seperti saat melahirkan Alif. Masih di bidan yang sama, Ranti merasa mendapatkan kenyamanan dengan pelayanan yang diberikan Bidan Aryani kepada dirinya maupun anaknya.Fayza Kulla Azmina, wanita yang selalu menang setiap masa. Nama itu diberikan Ranti dan Bayu untuk anak kedua mereka. Tentunya dengan harapan sang putri nantinya akan mampu melewati rintangan kehidupan yang akan ditemui nantinya."Ran, Bu bidannya baik ya. Sabar mendampingi, tutur bahasanya pun sopan."Ranti baru saja menyusui putrinya. Walau pun air susunya belum banyak namun air susu pertama yang katanya mengandung kolostrum sangat baik untuk imunitas dan tumbuh kembang bayi."Iya, Bu. Alif dulu juga dilahirkan di sini."Hanya ada ibunya saat ini. Masih berada di tempat praktek Bidan Aryani. Setelah siang tadi merasakan perut yang mulas yang sangat hebat, tepat pukul empat sore Ranti melahirkan. Proses yang terbilang cepat karena pada
Bayu tak berbicara dengan suara yang keras, bahkan cenderung dengan nada berbisik. Namun Ranti jelas dapat menangkap arah pembicaraan suaminya itu. Siapa lagi kalau bukan dengan sang mertua paling bijaknya itu? Berbekal pengalaman saat melahirkan Alif dulu, Ranti memilih tak terlalu berharap lagi atas kehadiran sang ibu mertua untuk menengoknya ataupun anak mereka. Untuk apa terlalu berharap jika harapan itu sebenarnya tak ada? Bukan manusia tempat kita harusnya menggantungkan harap. Ada yang lebih pantas menjadi tempat menaruh harap seorang manusia.Entah apa yang diucapkan ibu mertuanya pada Bayu, tampak Bayu mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Ranti tahu itu pertanda suaminya menahan kesal biasanya.Ranti memilih keluar dari dalam kamar mandi saat Bayu mengakhiri pembicaraan di telepon dengan ucapan salam."Bang ... minta tolong bilang ke Bu Ayu siapkan makan siang ya! Adek mau makan sebentar lagi."Bayu menganggukkan kepalanya. Mel
Ranti mengernyitkan dahi. Apa yang dimaksud berubah haluan oleh ibu mertuanya itu?Dinda menegakkan tubuhnya. Beranjak mendekati sang ibu mertua dan meraih tangan kanannya."Ibu sehat?" tanya Dinda sembari tersenyum."Tak perlu basa-basi, Dinda," sahut Bu Ratna dengan sinis.Karuan saja wajah Dinda menjadi kecut saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Ranti menangkap tingkah Dinda yang tiba-tiba menjadi serba salah saat melihat kedatangan Bu Ratna dan Nina tadi."Kakak pulang dulu, Ran. Mau jemput anak-anak. Dinda pamit duluan, Bu." "Kakak tak mau makan siang dulu?" tanya Ranti yang merasa ikut tak enak hati atas kepulangan Dinda yang mendadak."Tak usah, Ran. Kakak takut telat menjemput anak-anak. Kakak pulang dulu. Assalamu'alaikum."Dinda cepat melangkah meninggalkan kamar dengan langkah yang tergesa. Ranti menjawab salam yang diucapkan Dinda."Duduk, Bu, Nina."Ranti mengarahkan pandangan