Ucapan sang menantu sontak saja membuat wajah Bu Ratna memerah.
"Karena tak ada yang lain, mau tak mau Ibu makan."Ranti merasa ingin tertawa dalam hatinya mendengar ucapan sang mertua. Kalau tak berkomentar yang buruk atas diri Ranti, sepertinya wanita itu akan sakit kepalanya."Ibu sudah makannya? Mau menunggu Bang Bayu?"Ranti memilih mengikuti langkah kaki ketiganya. Sebenarnya Ranti merasa agak mengantuk siang ini. Tidur sesaat rasanya cukup nyaman. Tapi rasanya tak mungkin membiarkan mereka tanpa ditemani. Apa kata ibu mertuanya itu nanti?"Ya, Ibu mau menunggu. Tadi Nina menelepon Bayu, katanya sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin sekitar setengah jam lagi sampai di rumah."Ranti hanya menganggukkan kepala. Memilih duduk bersama mereka lebih lama lagi tentunya akan berpeluang membuat emosinya terkuras nanti."Jangan berpikir Ibu mau minta uang pada Bayu, Ran. Uang amplop resepsi Nina kemarin masih belum Ibu gRanti tinggal menghitung hari. Kehamilannya sudah masuk hitungan waktu melahirkan. Ada rasa tenang saat akan melahirkan anak keduanya ini. Bukan hanya karena punya bekal pengalaman saat melahirkan Alif dulu, tapi ada yang berbeda saat persalinannya nanti. Ada kehadiran sang ibu yang akan mendampingi perjuangannya melahirkan cucu kedua untuk wanita itu.Bu Dewi akhirnya menuruti permintaan Ranti untuk ikut tinggal bersama keluarga putrinya itu. Mencoba menyimpan kenangan bersama suaminya yang masih tertinggal di rumah mereka. Walau tak berjanji akan berapa lama tinggal bersama Ranti dan Bayu, paling tidak saat ini dia akan mendampingi putrinya melahirkan. Hal yang tidak dapat dilakukannya saat persalinan pertama Ranti dulu."Bang ... ada telepon dari Ibu kemarin. Katanya mau ke sini besok. Rencananya Ibu akan tinggal bersama kita, entah untuk berapa lama. Abang keberatan?" tanya Ranti pada Bayu saat mereka sedang menikmati sarapan pagi dengan lontong sayur yang dibe
Benar saja. Tak lama menunggu, Ranti dapat melihat sosok wanita yang telah melahirkannya dari kejauhan. Satu buah koper yang ditarik dengan tangan kirinya dan sebuah kotak di tangan kanannya. Gegas Ranti menyambut ibunya dan langsung meraih kotak di tangan wanita itu."Alhamdulillah, Ibu sehat?" tanya Ranti sembari meraih tangan kanan Bu Dewi dan menciumnya dengan takzim. Bu Ayu pun mengikuti langkah dan gerakan tangan Ranti."Sehat. Aduh cucu Nenek, sudah besar sekarang. Nenek kangen."Bu Dewi melepaskan kopernya dan langsung meraih tubuh Alif dari gendongan Bu Ayu."Alif sudah pintar jalan ya?"Ranti dan Bu Ayu tersenyum melihat wajah berbinar Bu Dewi saat mencium Alif. Ranti berharap dengan bersama keluarga kecilnya, sang ibu tak lagi merasa sendiri menghabiskan hari tuanya."Kita langsung saja ya, Bu. Biar Bu Ayu yang bawakan kopernya," ujar Ranti sembari melangkah keluar dari area kedatangan. Beriringan mereka berj
Persalinan kedua Ranti sama lancarnya seperti saat melahirkan Alif. Masih di bidan yang sama, Ranti merasa mendapatkan kenyamanan dengan pelayanan yang diberikan Bidan Aryani kepada dirinya maupun anaknya.Fayza Kulla Azmina, wanita yang selalu menang setiap masa. Nama itu diberikan Ranti dan Bayu untuk anak kedua mereka. Tentunya dengan harapan sang putri nantinya akan mampu melewati rintangan kehidupan yang akan ditemui nantinya."Ran, Bu bidannya baik ya. Sabar mendampingi, tutur bahasanya pun sopan."Ranti baru saja menyusui putrinya. Walau pun air susunya belum banyak namun air susu pertama yang katanya mengandung kolostrum sangat baik untuk imunitas dan tumbuh kembang bayi."Iya, Bu. Alif dulu juga dilahirkan di sini."Hanya ada ibunya saat ini. Masih berada di tempat praktek Bidan Aryani. Setelah siang tadi merasakan perut yang mulas yang sangat hebat, tepat pukul empat sore Ranti melahirkan. Proses yang terbilang cepat karena pada
Bayu tak berbicara dengan suara yang keras, bahkan cenderung dengan nada berbisik. Namun Ranti jelas dapat menangkap arah pembicaraan suaminya itu. Siapa lagi kalau bukan dengan sang mertua paling bijaknya itu? Berbekal pengalaman saat melahirkan Alif dulu, Ranti memilih tak terlalu berharap lagi atas kehadiran sang ibu mertua untuk menengoknya ataupun anak mereka. Untuk apa terlalu berharap jika harapan itu sebenarnya tak ada? Bukan manusia tempat kita harusnya menggantungkan harap. Ada yang lebih pantas menjadi tempat menaruh harap seorang manusia.Entah apa yang diucapkan ibu mertuanya pada Bayu, tampak Bayu mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Ranti tahu itu pertanda suaminya menahan kesal biasanya.Ranti memilih keluar dari dalam kamar mandi saat Bayu mengakhiri pembicaraan di telepon dengan ucapan salam."Bang ... minta tolong bilang ke Bu Ayu siapkan makan siang ya! Adek mau makan sebentar lagi."Bayu menganggukkan kepalanya. Mel
Ranti mengernyitkan dahi. Apa yang dimaksud berubah haluan oleh ibu mertuanya itu?Dinda menegakkan tubuhnya. Beranjak mendekati sang ibu mertua dan meraih tangan kanannya."Ibu sehat?" tanya Dinda sembari tersenyum."Tak perlu basa-basi, Dinda," sahut Bu Ratna dengan sinis.Karuan saja wajah Dinda menjadi kecut saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Ranti menangkap tingkah Dinda yang tiba-tiba menjadi serba salah saat melihat kedatangan Bu Ratna dan Nina tadi."Kakak pulang dulu, Ran. Mau jemput anak-anak. Dinda pamit duluan, Bu." "Kakak tak mau makan siang dulu?" tanya Ranti yang merasa ikut tak enak hati atas kepulangan Dinda yang mendadak."Tak usah, Ran. Kakak takut telat menjemput anak-anak. Kakak pulang dulu. Assalamu'alaikum."Dinda cepat melangkah meninggalkan kamar dengan langkah yang tergesa. Ranti menjawab salam yang diucapkan Dinda."Duduk, Bu, Nina."Ranti mengarahkan pandangan
"Ibu mau ikut makan juga?" tanya Ranti kepada mertuanya."Iya, Bu Ratna. Makan siang saja dulu. Saya sudah masak banyak tadi. Bu Ratna dan Nina tak buru-buru kan?"Tampak wajah malu-malu Bu Ratna dan Nina saat mendengar tawaran dari Bu Dewi."Ya sudah, kami makan dulu kalau begitu. Sambil menunggu Bayu."Ranti melangkah keluar dari kamar diikuti oleh mertua dan adik iparnya. Bu Dewi hanya dapat menggelengkan kepala melihat aksi luar biasa besannya itu.Tapi Bu Dewi tak ragu akan kehidupan putrinya ke depan nanti. Semoga firasat seorang ibu tak salah. Bayu dapat diandalkan untuk melindungi putri dan cucu-cucunya. Walau bukan dengan melawan ibunya, Bu Dewi yakin Bayu akan dapat menempatkan dirinya dalam posisi sebagai kepala keluarga, orang yang akan menjadi andalan keluarga putrinya saat ada masalah.Bu Ratna dan Nina tanpa sungkan duduk di meja makan bersama Ranti. Ranti dengan menu sederhana, khusus dibuat ibunya sebagai sajian untuk wanita yang baru me
Tak terasa usia Fayza sudah mulai menginjak tujuh bulan. Bocah mungil itu tidak lagi hanya mengonsumsi ASI dari Ranti, berbagai makanan pendamping pun mulai diberikan untuk tumbuh kembangnya yang optimal. Untung saja, Fayza bukan tipikal pemilih untuk urusan makanan. Bayi perempuan ini hampir sama seperti Alif, kakaknya. Apa pun yang disajikan bundanya akan langsung dilahap Fayza dengan semangat. Alif sudah berusia dua tahun. Bocah itu sedang aktif-aktifnya beraktivitas. Bahkan seringkali Ranti terpaksa meminta Bu Ayu merapikan bajunya di lemari berulang kali, hanya karena dibongkar susunannya oleh Alif. Jika sore hari, Ranti akan membiarkan putra kecilnya itu bermain bersama anak-anak tetangga yang sebaya dengannya di depan rumah. "Bu, untuk jumlah stok roti di kafe malem ini seperti biasa ya?" tanya Winda, salah seorang pegawai bagian produksi kepada Ranti yang sedang menyuapi Fayza dengan bubur ayam wortel.Ranti memang berupaya sedapat mungkin memas
Bayu diam, sepertinya tak ada kata yang akan meluncur dari mulutnya. Akhirnya laki-laki itu menegakkan tubuhnya."Abang tunggu di kamar, Dek. Ada yang mau Abang bicarakan."Ranti mengernyitkan dahinya. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi hingga Bayu bersikap seperti ini. Ranti tak berkata apa-apa, hanya bergegas melangkahkan kakinya mengikuti sang suami setelah sebelumnya menyerahkan Fayza pada Bu Rina yang kebetulan lewat dan meminta wanita itu untuk melanjutkan menyuapi anaknya.Langkah kaki Ranti sempat terhenti saat melihat Bayu duduk di sofa yang terletak di depan tempat tidur mereka. Tak lama kemudian, Ranti pun memilih duduk di samping suaminya itu."Maafkan Abang, Dek."Hanya kalimat itu yang mampu diucapkan Bayu. Ranti lagi-lagi menatap bingung suaminya. Apakah gerangan kesalahan yang telah dilakukan Bayu? Apa ada kaitannya dengan hutang Nina yang diberikan mereka enam bulan yang lalu?Pinjaman yang jumlahnya dua puluh