Ranti melihat aneka masakan yang tersaji. Ayam goreng mentega, sate ayam, selada, kari telur, aneka lalapan, dan tak ketinggalan sambal tomat khas buatan emak Agung. Makanan setengah berat pun sudah tersaji. Bunga menambahkan es kelapa muda sebagai penghilang dahaga.
Mengedarkan pandangannya pada keluarga dan pegawai yang sudah hadir. Sebagian sedang menunaikan salat Asar di ruang musala keluarga. Ranti belum melihat sosok tamu istimewanya sore ini. Semoga mereka akan hadir agar semuanya dapat diselesaikan.Masih ingat dengan semua yang dilihatnya dua hari yang lalu, Ranti berusaha sekuat tenaga menahan genangan bulir bening yang siap tumpah dari ujung kedua netranya. Tak ingin menunda lagi, semuanya harus diputuskan sekarang. Berpuluh purnama telah terlalui, kenyataan itu masih tetap sama. Bahkan mungkin sampai ratusan purnama berlalu pun, dirinya tak akan mampu merubah kenyataan itu."Dek, mau dimulai acaranya sekarang?" tanya Bayu yang tiba-tiba munculSontak saja Bayu dan Bu Ratna merasa terkejut atas ucapan Ranti itu. Walaupun diucapkan dengan perlahan sehingga tak ada tamu atau pun anggota keluarga lain yang mendengar, tetap saja Bayu merasa terperanjat. Bingung sekaligus terkejut mengapa sang istri berkata seperti itu. Bu Ratna sendiri memilih diam. Tak mampu entah tak mau membalas ucapan menantunya. Wajah sang ibu mertua tak menunjukkan ekspresi apa pun saat menerima piring yang disodorkan Ranti. Namun bagi Ranti semua itu tak ada maknanya lagi.Selanjutnya tiba acara utama. Bayu memberikan sambutannya. Ranti tak henti melepaskan senyum bahagianya. Kebahagiaan hari ini mungkin tak akan terulang lagi ke depannya. "Terima kasih atas kehadiran semua yang sudah hadir di sini sore ini. Tak dapat kami lukiskan perasaan bahagia kami hari ini. Kalian telah membersamai kami selama ini. Bahkan pada saat kami, terutama saya mengalami masa-masa terburuk dalam kehidupan ini. Ucapan tulus ini kami sampaikan. Ta
"Abang tak lagi sering memberikan kami uang.""Bukankah jatah bulanan Ibu tetap kami berikan? Bahkan saat Bang Bayu di penjara pun, Kakak tetap memberikan Ibu uang kan? Padahal saat itu Bang Bayu tak lagi memiliki gaji sama sekali. Uang itu murni dari Kakak.""Tapi Abang dulu sering memberikan tambahan uang buatku dan Ibu di luar jatah bulanan itu."Ranti mengerti penyebab semua kebencian ibu mertuanya itu sekarang."Saat itu Bang Bayu masih bekerja kan?" tanya Ranti dengan nada sehalus mungkin."Kakak pasti telah mengguna-gunai Abang hingga tak lagi peduli ke kami. Padahal sekarang ekonomi Abnag jauh lebih baik daripada saat menjadi pegawai negeri dulu. Usaha Abang maju pesat. Tapi mengapa Abang tak royal lagi pada kami? Abang seakan tak berdaya karena cengkeraman tangan Kakak."Jelas sudah semuanya. Fitnah keji itu jelas-jelas membuat luka hati Ranti kembali menganga. Luka yang pernah ada semakin terasa perih karena mendapat siraman air garam di atasn
"Aku lelah dengan semua ini, Bang. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat."Ranti terisak. Menahan ledakan tangis sedapat mungkin agar tak terdengar anak-anaknya."Abang tahu, Dek. Tapi bukan dengan cara seperti ini untuk menyelesaikannya."Laki-laki itu beranjak, merangkulnya dalam dekapan erat. Membenamkan kepala istrinya ke dada bidang yang juga merasa sakit dengan semua kenyataan yang terjadi."Yang terpenting kita, Dek. Cinta kita. Kepercayaan di antara kita. Bukan tentang mereka."Ranti mendongakkan kepalanya. Menatap laki-laki itu. Suaminya yang telah berjuang memperjuangkan cinta mereka."Tapi mereka keluargamu, Bang. Tak ada kata mantan adik ataupun mantan kakak. Yang ada mantan istri. Hubungan kalian bagaikan air, tak akan putus walaupun dicincang. Jangan jadikan aku sebagai penghalang. Aku ikhlas."Netra mereka saling bertemu. Ranti mencoba meyakinkan Bayu, suaminya bahwa pilihan ini adalah yang terbaik. "Anak-anak kita, Dek. Mana yang lebih berharga? Saudara-saudara Aba
Ranti ragu melangkahkan kakinya mengikuti jejak Bayu, laki-laki yang telah menghalalkan dirinya seminggu yang lalu. Tiga tahun menjalin hubungan dengan laki-laki yang berasal dari pulau yang berbeda cukup untuknya memantapkan hati. Melabuhkan hati pada Bayu, kakak tingkatnya sejak duduk di tahun kedua dirinya menjadi mahasiswi. Ajakan menikah sudah dilakukan Bayu sejak dua tahun yang lalu. Tepatnya saat hari wisuda Bayu, laki-laki yang sekarang menjadi aparatur negara itu melamarnya."Dek, Abang akan kembali ke daerah. Ada penerimaan pegawai di sana. Abang rasa lebih baik kita halalkan dulu hubungan kita ini. Biar hati kita saling terikat, walau jarak memisahkan kita sementara ini."Bayu menyampaikan niatnya untuk menikahi Ranti kala itu, saat keduanya menghabiskan malam di warung tenda pinggir jalan. Menikmati ayam bakar dengan nasi dan lalapan, cukuplah untuk santapan anak kuliahan."Kalau memang kita jodoh, tak akan kemana Bang. Adek harus men
Azan Subuh sayup terdengar. Ranti menarik selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke arah leher. Dinginnya udara pagi benar-benar terasa menusuk tulang. "Dek, bangun dulu. Subuh bareng yuk!" Terdengar panggilan Bayu sambil menggoyang-goyangkan ujung kakinya. Sontak saja membuat Ranti terpaksa harus membuka matanya."Luar biasa capeknya, Bang. Tulangku remuk semua rasanya."Ranti mengucek matanya. Menyibak selimut yang menutupi tubuhnya seraya meluruskan kedua tangannya ke samping kiri dan kanan serempak. "Nanti habis salat, tidur saja lagi."Tampak Bayu sudah siap dengan baju koko dan sarungnya. Air wudhu membasahi wajah laki-laki itu. "Abang sudah wudhu ya? Nggak salat ke masjid?" tanya Ranti seraya bangun dari tempat tidur. Mendudukkan tubuhnya di sisi kasur seraya memandang suaminya. "Sudah. Abang salat di rumah saja. Masjidnya agak jauh. Lagipula udaranya dingin banget. Dari tadi Abang bangunkan. Adek tidurnya pu
Ranti tertegun dalam diamnya. Lidahnya terasa kelu seketika. Netranya mengembun. Sekuat tenaga Ranti mencoba menahan genangan air yang siap meleleh dari pelupuk matanya.Pernikahan yang selama ini menjadi dambaan ternyata tak seindah khayalan. Tak cukup cinta antar dua insan, ada keluarga besar kedua belah pihak yang ikut disatukan."Maaf, Bu. Ranti tak paham dengan kebiasaan di rumah ini. Nanti Ranti akan coba menyesuaikan diri."Akhirnya kalimat itu yang terucap dari bibir Ranti. Bukan karena rasa bersalah, namun lebih pada alasan agar tak memperpanjang masalah. Ranti merasa tak ada yang salah dengan dirinya. Pergi mengikuti ajakan Bayu bukan karena tak ingin mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah ini, Ranti siap untuk mengerjakan pekerjaan apapun."Kalau tak paham itu bertanya, jangan diam saja. Pas orang ribut baru mengaku tak paham."Ririn, adik bungsu Bayu tiba-tiba muncul di belakang Ranti sembari memegang sapu plastik di tangannya.
Ranti menjatuhkan pilihannya pada rumah ini. Rumah kecil bercat biru muda dengan suasana perumahan yang belum terlalu ramai. Harga kontrakan yang ditawarkan pun tak terlalu mahal untuk ukuran pasangan suami istri yang baru akan memulai babak baru kehidupan.Pemilik rumah, Pak Imam hanya meminta Ranti dan Bayu untuk merawat dan menjaga rumah itu dengan sebaik-baiknya, layaknya rumah sendiri. Pak Imam memang hanya menjadikan rumah tersebut sebagai investasi jangka panjang. Sebagai seorang pegawai dengan jabatan kepala bidang di kantor Bayu, harga cicilan rumah itu tentulah tak membebani beliau dan istrinya. Apalagi mengingat istri Pak Imam sendiri merupakan salah seorang pegawai dengan jabatan yang sama, meski di kantor yang berbeda."Alhamdulillah, Pak Imam baik ya, Bang. Tahu kalau kita lagi tak punya banyak uang saat ini," ujar Ranti setelah sosok pemilik rumah menghilang dengan kendaraan roda empatnya.Ranti dan Bayu baru saja melakukan akad kontrak atas rumah yan
Ranti dan Bayu baru saja menyelesaikan rutinitas tiga rakaat di penghujung senja yang semakin menggelap. Wujud ketaatan pada Sang Pencipta. Tak lupa memanjatkan doa agar segalanya dipermudah. "Nanti kita pamitan dulu sama Bapak dan Ibu, ya! Mau makan di rumah dulu sebelum berangkat?" tanya Bayu saat Ranti mengulurkan tangan, mencium takzim tangan kanannya. Masih di atas hamparan sajadah, keduanya duduk berhadapan."Makan nasi bungkus saja, Bang. Kita beli nasi di warung, makannya di rumah kita saja nanti."Bukan tanpa alasan Ranti menolak makan malam di rumah mertuanya. Tak ingin menjadi sesalan sat ada ucapan yang menyinggungnya nanti. Bukan Ranti berburuk sangka, tapi hanya ingin menyelamatkan telinga dan hatinya atas sesuatu yang bisa terjadi nanti.Berbekal pengalamannya tadi pagi, bukan tak mungkin akan ada ucapan pedas saat nasi putih hendak masuk ke mulutnya nanti. Seharian tak ada di rumah, membantu pekerjaan rumah pun tak dilakukannya. T