Azan Subuh sayup terdengar. Ranti menarik selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke arah leher. Dinginnya udara pagi benar-benar terasa menusuk tulang.
"Dek, bangun dulu. Subuh bareng yuk!" Terdengar panggilan Bayu sambil menggoyang-goyangkan ujung kakinya. Sontak saja membuat Ranti terpaksa harus membuka matanya."Luar biasa capeknya, Bang. Tulangku remuk semua rasanya."Ranti mengucek matanya. Menyibak selimut yang menutupi tubuhnya seraya meluruskan kedua tangannya ke samping kiri dan kanan serempak. "Nanti habis salat, tidur saja lagi."Tampak Bayu sudah siap dengan baju koko dan sarungnya. Air wudhu membasahi wajah laki-laki itu. "Abang sudah wudhu ya? Nggak salat ke masjid?" tanya Ranti seraya bangun dari tempat tidur. Mendudukkan tubuhnya di sisi kasur seraya memandang suaminya. "Sudah. Abang salat di rumah saja. Masjidnya agak jauh. Lagipula udaranya dingin banget. Dari tadi Abang bangunkan. Adek tidurnya pulas banget. Untung saja Abang tidak mengajak bertempur semalam hehe ...."Bayu tertawa kecil, menggoda istrinya. Menyibakkan anak rambut yang menutup sebagian wajah perempuan yang telah merebut hatinya itu."Apaan sih, Bang! Lain kali salat di masjid, Bang. Abang mau jadi suami solehah? Udah ... aku wudhu dulu. Abang tolong siapkan sajadah. "Siap istri cantikku."Ranti beranjak dari duduknya. Melangkahkan kaki keluar kamar. Tampak suasana rumah masih sepi. Tak lama kemudian, tampak gerakan pasangan suami istri itu menjalankan ibadah wajib dua rakaatnya. Menghadap Allah sebagai bentuk kepatuhan umat-Nya. Salam mengakhiri aktivitas mereka, diiringi kecupan takzim Ranti pada tangan kanan suaminya. "Tidur lagi saja, Dek. Kalau memang masih mengantuk. Abang mau jalan-jalan pagi. Sudah lama nggak jogging pagi.""Abang rutin olahraga tiap pagi? Walaupun kerja?" tanya Ranti seraya membuka mukena yang dikenakannya."Hampir setiap pagi. Lumayanlah untuk menjaga kebugaran tubuh. Paling juga setengah jam. Itu pun hanya seputaran kampung ini saja."Ranti melanjutkan gerakan tangannya dengan melipat kembali sajadah yang telah mereka gunakan. Menyimpannya di lemari pakaian milik Bayu."Boleh Adek ikut, Bang?" tanya Ranti.Bayu terkekeh saat mendengar pertanyaan istrinya itu."Tentu saja. Tapi kata Adek capek. Kalau memang masih capek mending istirahat."Bayu membuka baju koko sarung, menggantinya dengan setelan celana pendek dan kaos. Khas untuk pakaian olahraga."Ya ... hitung-hitung sambil mengenal daerah sini, Bang. Lagi pula sambil beradaptasi dengan cuaca di sini."Ranti membuka koper hitam berisi pakaiannya yang memang belum dikeluarkan isinya. Menurut Bayu, hari ini mereka akan melakukan langsung melakukan cek rumah kontrakan. Jika ada yang cocok, mereka akan langsung pindah esok hari. Jadi, Ranti sengaja membiarkan bajunya di koper tanpa dibongkar. Biar tak kerja dua kali."Ya sudah. Nanti sekalian kita beli sarapan saja, Dek. Abang tunggu di depan," ujar Bayu seraya melangkah keluar dari kamar.Ranti memilih celana panjang hitam dan kaos lengan panjang berwarna biru Dongker sebagai setelan olahraganya. Tak lupa, mengenakan hijab instan berwarna senada dengan baju kaosnya. Lampu ruang tengah masih belum dinyalakan. Hanya lampu dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi yang menyala. Tampaknya belum siapa pun yang melakukan aktivitas di rumah ini.Ranti melangkahkan kakinya keluar rumah. Tampak sang suami sedang menggerakkan anggota badannya. "Kita langsung jalan, Bang? Tak pamit dulu pada Ibu?""Iya, langsung saja. Biasanya Ibu dan Bapak habis salat Subuh juga emang tiduran lagi. Abang matikan dulu lampu luar rumah, Dek."Bayu melangkah kembali ke rumah. Menekan saklar lampu penghubung aliran listrik ke lampu yang berada di luar rumah. Ranti melangkahkan kakinya perlahan sembari menghirup udara pagi. Nyaman sekali rasanya jika menghirup udara yang bersih. Aroma tanah yang belum tersentuh debu. Wangi melati yang kebetulan ditanam di pekarangan rumah mertuanya menguar memenuhi penciuman Ranti, memberikan rasa tenang di hatinya.Suasana perkampungan yang masih cukup terasa kental membuat hati Ranti terasa damai. Sesekali Bayu menyapa orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Ada beberapa warung yang mulai dibuka oleh para pemiliknya."Bayu, sama istrinya ya?" Langkah mereka terhenti saat melewati warung yang sepertinya menjajakan berbagai jenis sayuran."Iya, Bik. Baru datang kemarin."Ranti menangkupkan kedua telapak tangannya di dada sebagai bentuk perkenalan diri. Tak lupa, senyum manis tersungging di bibirnya. Lesung pipit yang membentuk dua cekungan kecil di pipinya seolah menambah pesona yang ditebarkannya."Cantik, Yu. Pintar kau memilih istri."Bayu hanya mampu melemparkan senyum sembari tergelak."Bisa saja Bik Yani ini menggoda. Kami lanjut jalan ya Bik! Semoga dagangannya laris manis hari ini."Terdengar ucapan syukur dari Bik Yani saat Bayu dan Ranti kembali melangkahkan kaki."Kalau mau belanja sayuran dan lauk bisa di warung Bik Yani, Dek. Kamu belanja saja nanti biar bisa masak hari ini."Ranti tak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya pertanda setuju."Nanti sekalian jalan pulang kita singgah di warung Mang Yadi. Banyak menu di sana. Adek bisa pilih jajanan khas daerah ini di sana nanti."Ranti tersenyum saat mendengar ucapan Bayu. Semoga daerah ini tak membuatnya merasa seperti orang asing nantinya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Paling tidak Ranti dimudahkan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di daerah suaminya. Kebiasaan, cara bertutur sampai untuk urusan perut dan lidah. Walau masih berada di kawasan kepulauan yang sama, tiap daerah punya kebiasaan dan kekhasan masing-masing. Lampu penerang jalan sudah dimatikan. Jalan yang mereka lalui tak lagi gelap seperti saat meninggalkan rumah tadi. Semburat cahaya matahari mulai menampakkan pendarnya, walau terlihat masih malu. Orang yang berlalu-lalang pun mulai ramai. Kendaraan bermotor menjadi alat transportasi utama di daerah ini. Belum ada angkutan umum yang lewat sejak kaki mereka melangkah tadi.Tampak kerumunan di ujung jalan. Sepeda motor tampak berjejer di pinggir jalan."Itu warung Mang Yudi, Dek. Kita singgah ya!"Bayu menggandeng tangan Ranti, menyebrangi jalan untuk sampai ke tujuan. Tampak aneka jajan berjejer rapi. Semua yang datang sibuk memilih jajanan yang mereka sukai. Ranti hanya mengenal beberapa jenis jajanan yang memang juga ada di daerah asalnya. Pempek dan aneka gorengan menjadi menu wajib penjual makanan sepertinya."Di sini, jajanan langsung diambil sendiri. Pakai wadah plastik ini. Nanti kalau sudah selesai, baru dikasih ke Mang Yudi atau istrinya itu. Baru dihitung."Ranti menganggukkan kepala pertanda mengerti apa yang disampaikan suaminya. Berbeda dengan kebiasaan belanja di kampungnya. Cukup menyebutkan apa yang dikehendaki, penjual akan membungkus pesanan pembeli.Bayu segera memilih beberapa jenis kue. Laki-laki itu memang jarang sekali sarapan dengan nasi. Cukup dengan kue dan gorengan untuk mengisi perut sebelum memulai aktivitas sehari-hari."Ini kesukaan Ibu, Dek. Lakso namanya. Kamu bisa ambil juga kalau mau mencoba," ujar Bayu seraya menunjukkan sebuah wadah plastik mika berisi tumpukan tepung putih dengan cairan berwarna kuning di bungkus yang terpisah."Ambil satu, Bang. Aku mau coba."Ranti meneruskan gerakan tangannya yang sempat terhenti. Memilih kue-kue unik yang belum pernah dilihatnya selama ini.Setelah membayar jajanan mereka, Ranti dan Bayu meneruskan perjalananan. Langkah kaki yang tergolong lambat karena keduanya mencoba menikmati pagi dengan suasana yang berbeda hari ini. Berjalan kaki dengan pasangan tentu akan beda sensasinya dibandingkan saat jalan sendiri.Tepat jam tujuh saat Bayu melirik arloji di tangannya, mereka melangkah kembali ke rumah. Hanya ada Bapak yang sedang duduk menikmati secangkir kopi di teras saat keduanya tiba."Pagi, Pak," sapa Ranti."Ini tadi kami belikan kue untuk sarapan."Ranti meletakkan plastik aneka jajanan yang mereka bawa di meja kecil yang terletak di dekat mertuanya."Isi di piring saja, Ran."Mendengar ucapan mertuanya, Ranti segera bergegas masuk ke rumah dan langsung menuju dapur."Enak ya, pagi-pagi pengantin baru jalan-jalan. Orang sibuk membersihkan rumah, mencuci piring eh anggota keluarga baru sibuk berduaan. Nggak puas ya tadi malam berduaannya?"Ranti menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Nina, sang ipar. Jelas sekali, ucapan itu ditujukan untuk dirinya."Maaf, Dek. Tadi pagi habis Subuh, Bang Bayu ngajak Kakak jalan pagi. Sekalian lihat suasana kampung di pagi hari. Sini ... Kakak lanjutkan cuci piringnya."Rasa tak nyaman mendadak menyelimuti hati Ranti. Tadi pagi saat meninggalkan rumah, belum ada aktivitas yang terjadi. "Tak perlu, anggap saja Kakak tamu di rumah ini. Tamu kan tidak harus membantu pekerjaan rumah?!"Kalau tak memandang status dirinya sebagai orang baru di rumah ini, Ranti akan menjawab perkataan iparnya itu. Tapi demi rasa hormat pada sang mertua, Ranti memilih mengalahkan egonya."Ranti itu tak pernah bergelut dengan pekerjaan rumah, betul kan Ran? Nina, tak sepatutnya kamu mengajak Ranti untuk ikut membantu kita untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Kita tetap seperti biasanya, dengan pekerjaan rutin kita. Tak perlu kita mengharap Ranti membantu pekerjaan rumah ini. Lagipula, Ranti dan Bayu tak lama di sini. Mereka mau mencari kontrakan hari ini. Jadi ... jangan sampai kita bergantung pada Ranti."Jantung Ranti terasa sesak seketika. Oksigen yang mengalir di darahnya serasa berhenti menyuplai kebutuhan untuk paru-parunya. Tubuhnya gemetar, menahan emosi yang terasa membuncah. Sesakit inilah rasanya saat mengawali kehidupan rumah tangga?Ternyata hadirnya memang tak diharapkan keluarga Bayu, laki-laki yang dicintainya. Dua hari menginjakkan kaki di rumah ini cukup menjelaskan segalanya. Pagi yang tadinya dirasa indah oleh Ranti mendadak terasa bagaikan belati yang menghujam dasar hatinya. Ternyata, pagi ini menjadi awal kehidupan buruk rumah tangganya.Ranti tertegun dalam diamnya. Lidahnya terasa kelu seketika. Netranya mengembun. Sekuat tenaga Ranti mencoba menahan genangan air yang siap meleleh dari pelupuk matanya.Pernikahan yang selama ini menjadi dambaan ternyata tak seindah khayalan. Tak cukup cinta antar dua insan, ada keluarga besar kedua belah pihak yang ikut disatukan."Maaf, Bu. Ranti tak paham dengan kebiasaan di rumah ini. Nanti Ranti akan coba menyesuaikan diri."Akhirnya kalimat itu yang terucap dari bibir Ranti. Bukan karena rasa bersalah, namun lebih pada alasan agar tak memperpanjang masalah. Ranti merasa tak ada yang salah dengan dirinya. Pergi mengikuti ajakan Bayu bukan karena tak ingin mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah ini, Ranti siap untuk mengerjakan pekerjaan apapun."Kalau tak paham itu bertanya, jangan diam saja. Pas orang ribut baru mengaku tak paham."Ririn, adik bungsu Bayu tiba-tiba muncul di belakang Ranti sembari memegang sapu plastik di tangannya.
Ranti menjatuhkan pilihannya pada rumah ini. Rumah kecil bercat biru muda dengan suasana perumahan yang belum terlalu ramai. Harga kontrakan yang ditawarkan pun tak terlalu mahal untuk ukuran pasangan suami istri yang baru akan memulai babak baru kehidupan.Pemilik rumah, Pak Imam hanya meminta Ranti dan Bayu untuk merawat dan menjaga rumah itu dengan sebaik-baiknya, layaknya rumah sendiri. Pak Imam memang hanya menjadikan rumah tersebut sebagai investasi jangka panjang. Sebagai seorang pegawai dengan jabatan kepala bidang di kantor Bayu, harga cicilan rumah itu tentulah tak membebani beliau dan istrinya. Apalagi mengingat istri Pak Imam sendiri merupakan salah seorang pegawai dengan jabatan yang sama, meski di kantor yang berbeda."Alhamdulillah, Pak Imam baik ya, Bang. Tahu kalau kita lagi tak punya banyak uang saat ini," ujar Ranti setelah sosok pemilik rumah menghilang dengan kendaraan roda empatnya.Ranti dan Bayu baru saja melakukan akad kontrak atas rumah yan
Ranti dan Bayu baru saja menyelesaikan rutinitas tiga rakaat di penghujung senja yang semakin menggelap. Wujud ketaatan pada Sang Pencipta. Tak lupa memanjatkan doa agar segalanya dipermudah. "Nanti kita pamitan dulu sama Bapak dan Ibu, ya! Mau makan di rumah dulu sebelum berangkat?" tanya Bayu saat Ranti mengulurkan tangan, mencium takzim tangan kanannya. Masih di atas hamparan sajadah, keduanya duduk berhadapan."Makan nasi bungkus saja, Bang. Kita beli nasi di warung, makannya di rumah kita saja nanti."Bukan tanpa alasan Ranti menolak makan malam di rumah mertuanya. Tak ingin menjadi sesalan sat ada ucapan yang menyinggungnya nanti. Bukan Ranti berburuk sangka, tapi hanya ingin menyelamatkan telinga dan hatinya atas sesuatu yang bisa terjadi nanti.Berbekal pengalamannya tadi pagi, bukan tak mungkin akan ada ucapan pedas saat nasi putih hendak masuk ke mulutnya nanti. Seharian tak ada di rumah, membantu pekerjaan rumah pun tak dilakukannya. T
"Bang, kelihatannya di sini agak susah cari angkot ya?" tanya Ranti seraya tangannya sibuk mengelap kaca jendela dengan cairan pembersih dan kertas koran.Rumah yang sejak awal pembangunan belum pernah ditempati membuat debu dan bekas tetesan cat agak lengket di kaca. Bayu sendiri sedang mencabuti rumput-rumput liar di halaman depan rumah. Tak ada cangkul, tangan saja yang dikerahkan."Namanya juga perumahan, Dek. Nggak mungkinlah angkot masuk untuk mencari penumpang. Kalau mau pergi kemana-mana naik ojek online saja."Hari pertama di rumah kontrakan membuat Bayu dan Ranti memilih untuk fokus membersihkan bagian luar rumah. Bagian dalam rumah telah mereka bersihkan kemarin. Tinggal nantinya mencari perlengkapan rumah tangga yang dirasa tak ada dan memang betul-betul diperlukan.Sebagai pasangan suami istri yang baru menapaki kehidupan baru, mereka tahu jika tak mungkin menyediakan fasilitas rumah yang langsung lengkap saat ini. Dengan kondisi hany
"Kak Dinda??" Bayu menatap wanita yang sedang berdiri di belakang mereka. Wanita yang menjadi kakak iparnya karena menikah dengan kakak sulungnya, Bang Ilham.Ranti menegakkan tubuhnya dan menyodorkan tangan sebagai bentuk penghormatan pada wanita itu. Acuh tak acuh, wanita itu menyambutnya."Kakak belanja juga?" tanya Ranti seraya tersenyum. Ranti hanya mengenal sosok Dinda saat pertemuan pertama mereka. Saat akad dan resepsi pernikahannya dan Bayu. Tak banyak sapa yang terucap di antara mereka kala itu mengingat Ranti sedang fokus menjalani segala prosesi acara pernikahan mereka.Wajah Dinda tampak datar, tak ada senyum menghiasi wajah perempuan yang mengenakan kerudung coklat itu. Bahkan sekadar untuk membalas senyuman yang dilemparkan Ranti. Tatapannya menelisik pada kantung plastik yang ada di tangan Bayu."Ya iyalah, namanya juga di pasar. Kalau bukan belanja mau ngapain? Nongkrong gitu?"Jelas, Ranti menjadi tak enak hati. Niat ingin beramah-tamah ternyata tak mendapat balasan
Untuk ikan, sayuran, dan bahan dapur digantung di bagian depan motor Bayu yang memang memiliki cantolan. Tinggallah si cobek yang sekarang duduk manis di pangkuan Ranti. Jelas, Ranti agak sedikit kesusahan membawa peralatan dapur dari bahan batu itu dengan posisi duduk menyamping di motor"Rumah Bang Ilham memang tak jauh dari sini, Dek. Hanya arah beda arah. Nanti kapan-kapan Abang ajak ya ke sana!" ujar Bayu seraya mulai menjalankan motornya. " Iya, Bang." Terdengar jawaban dari Ranti yang duduk di boncengan Bayu. Bayu tak dapat melihat ekspresi istrinya saat mengiyakan ajakannya itu.Entah apa yang dirasakan Ranti saat ini setelah mendengar semua perkataan Kak Dinda tadi. Untung saja, Bayu sempat memotong ucapan wanita itu. Jika tidak, rentetan kalimat tak jelas akan semakin panjang mengalir dari bibirnya.Selama ini Bayu memang tak terlalu akrab dengan kedua kakak iparnya, baik istri Bang Ilham, kakak sulungnya maupun istri Bang Anwar, kakak keduanya. Entah mengapa, selain karena
"Dian ...????" ucap Bayu dengan nada terkejut.Wanita yang ada di hadapan Bayu tampak menunjukkan ekspresi yang sama juga."Bang Bayu ...."Bayu dan wanita itu tampak sama-sama tak menyangka akan sosok yang ada di hadapan mereka. "Abang yang tinggal di rumah ini?" tanya wanita yang dipanggil dengan nama Dian oleh Bayu tadi.Ranti yang sempat mendengar percakapan di ruang depan bergegas mengakhiri suapan nasi dari piring ke mulutnya. Dengan cepat, Ranti mencuci tangan dan mengelapnya dengan selembar serbet bersih. Langkah kaki diayunkannya menuju sumber suara.Dua sosok saling berhadapan menjadi pandangan netra Ranti saat mendekati pintu depan. Jelas sekali, keterkejutan tampak dari wajah suaminya dan wanita yang ada di hadapannya itu. Siapakah wanita itu? Apakah Bayu mengenalnya hingga raut wajah suaminya terlihat seperti seakan tak percaya dengan sosok yang ditemuinya itu?"Eh, iya. Sejak kemarin. Bersama istriku," ujar Bayu sembari menggaruk tengkuknya yang Ranti yakin sebenarnya ta
Tak ada kursi di rumah yang mereka tempati. Dan memang belum ada dana lebih untuk membeli itu. Sehelai karpet berbahan bulu rasfur dipilih Ranti sebagai pengganti kursi.Ranti menurut. Diikutinya langkah Bayu yang sudah lebih dulu berjalan dan langsung mendudukkan tubuhnya pada karpet bewarna coklat muda itu.Cemburu itu jelas dirasakan Ranti saat ini. Mengapa suaminya dan wanita tadi saling mengenal dan terkesan begitu akrab. Tak mungkin jika tak ada apa-apa di antara mereka. Ranti cukup merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya saat melihat dan mendengar percakapan keduanya tadi."Mau dengar cerita Abang? Tapi jangan dipotong ya! Apalagi sampai emosi nantinya."Bayu menatap wajah Ranti. Netra keduanya saling beradu. Ranti hanya diam, sementara Bayu akhirnya menarik napas dalam-dalam.Mencoba memahami perasaan istrinya ini, Bayu tak akan marah ataupun emosi. Istrinya tak salah. Pun dirinya juga tak merasa bersalah dengan semua yang serba kebetulan ini. Siapa yang akan menduganya?"Dia