Ranti ragu melangkahkan kakinya mengikuti jejak Bayu, laki-laki yang telah menghalalkan dirinya seminggu yang lalu. Tiga tahun menjalin hubungan dengan laki-laki yang berasal dari pulau yang berbeda cukup untuknya memantapkan hati. Melabuhkan hati pada Bayu, kakak tingkatnya sejak duduk di tahun kedua dirinya menjadi mahasiswi.
Ajakan menikah sudah dilakukan Bayu sejak dua tahun yang lalu. Tepatnya saat hari wisuda Bayu, laki-laki yang sekarang menjadi aparatur negara itu melamarnya."Dek, Abang akan kembali ke daerah. Ada penerimaan pegawai di sana. Abang rasa lebih baik kita halalkan dulu hubungan kita ini. Biar hati kita saling terikat, walau jarak memisahkan kita sementara ini."Bayu menyampaikan niatnya untuk menikahi Ranti kala itu, saat keduanya menghabiskan malam di warung tenda pinggir jalan. Menikmati ayam bakar dengan nasi dan lalapan, cukuplah untuk santapan anak kuliahan."Kalau memang kita jodoh, tak akan kemana Bang. Adek harus menyelesaikan kuliah dulu, fokus pada skripsi. Insya Allah jika dimudahkan, tahun depan selesai. Abang juga fokus pada tes. Jaga hati kita, lagi pula setahun tak terasa nantinya, Bang."Ranti menatap sendu pada kekasih hatinya itu. Menjalani hubungan dalam rentang jarak yang terpisah oleh lautan. Ada cita-cita yang harus mereka berdua perjuangkan saat ini. Sampai akhirnya, saat yang mereka nantikan tiba. Minggu kemarin, Ranti resmi menjadi istri Bayu Purnama, laki-laki yang berdinas di Badan Keuangan Daerah provinsi mereka. Bukan keputusan yang mudah bagi Ranti, saat harus menekan ego untuk berkarir setelah menamatkan kuliahnya."Dek, ayo masuk! Kenapa berdiri di situ saja?" Panggilan Bayu menyadarkan Ranti dari bayangan perjalanan kisah cinta mereka.Bayu melangkah mendekati Ranti, menggandeng tangan istrinya itu. Memastikan langkah wanita itu tegak bersamanya."Adek jangan terkejut ya kalau mendengar nada tinggi saat berbicara di rumah ini. Bukan karena marah ataupun tak suka, tapi memang beginilah nada bicara orang di daerah Abang."Genggaman tangan Bayu menguatkan hati Ranti yang sempat khawatir dengan drama kehidupan menantu dan mertua yang selama ini sering didengarnya. "Assalamu'alaikum." Serempak pasangan suami istri itu mengucapkan salam.Tak ada balasan dari dalam rumah. Bayu melepaskan genggaman tangannya dari Ranti, membuka pintu yang sedari tadi tak siapa pun membukanya.Tampak ibunya sedang duduk di depan televisi. Menonton drama kehidupan yang ujung ceritanya pasti sudah bisa ditebak. Mustahil sebenarnya jika ibu tak mendengar ucapan salam yang mereka ucapkan."Bu ... Ibu tak mendengar salam kami tadi?" Bayu mendekati ibunya dan segera mengulurkan tangan mencium takzim tangan kanan wanita yang telah melahirkannya itu. Keluarga besar Bayu memang hanya dua hari saja di daerah Ranti. Keesokan hari setelah resepsi, tinggallah Bayu sendiri di rumah keluarga istrinya itu. "Oh ... kalian sudah sampai? Maaf ... Ibu tak mendengar salam kalian."Wanita paruh baya yang sedang duduk itu tak beranjak sama sekali. Menyambut uluran tangan Bayu yang diikuti Ranti tanpa mengangkat tubuhnya sama sekali dari sofa. Matanya pun tak berpindah, masih menatap layar datar di hadapannya.Sontak saja perasaan Ranti tak nyaman. Tak ada sambutan hangat yang selayaknya ditunjukkan mertua pada seorang menantu yang baru saja tiba.Ranti memang tak terlalu mengenal keluarga Bayu, suaminya. Lautan yang memisahkan asal mereka membuat acara tatap muka hanya terjadi melalui video di gawai saja. Bahkan pada saat lamaran, tak ada keluarga besar Bayu yang datang. Alasan jarak yang jauh serta bapaknya yang sering sakit-sakitan membuat kedua orang tua Ranti tak mempermasalahkan kehadiran calon besannya itu."Jadi ... kalian akan tinggal bersama Ibu dan Bapak ya?" Pertanyaan itu meluncur saat pasangan suami istri itu baru saja mendudukkan tubuh lelah mereka di sofa yang ada di hadapan wanita paruh baya itu."Hanya sementara, Bu. Nanti Bayu dan Ranti akan mencari kontrakan. Sengaja kemarin-kemarin Bayu belum mencari kontrakan, biar sekalian menunggu Ranti sana. Mana yang lebih nyaman baginya nanti."Bayu jelas merasa tak nyaman dengan istrinya atas pertanyaan yang dilontarkan ibunya itu. Pelan, tangannya meraih jemari Ranti. Memastikan semuanya akan baik-baik saja."Ya ... bagus itu. Jangan sampai nanti ada cerita jelek yang beredar antara Ibu dan istrimu baru kalian baru mau cari kontrakan. Bukan Ibu dan Bapak keberatan, tapi kami lebih menghindari saja. Takut jelek di belakang hari. Benar kan, Ran?"Ranti menganggukkan kepala seraya melemparkan senyum kecil. Walau benar apa yang dikatakan mertuanya, tetap saja hal ini terlalu dini untuk dibicarakan pada anggota keluarga baru seperti dirinya.Tak ada tawaran teh hangat ataupun nasi untuk disantap. Padahal jelas sekali jam makan siang telah dilewatkan Ranti dan Bayu karena ingin buru-buru sampai di rumah, tempat Bayu dibesarkan selama ini."Kakak dan abangnya Bayu juga langsung memisahkan diri dengan Ibu dan Bapak setelah menikah. Agar tak terjadi konflik menurut mereka. Alhamdulillah, hubungan kami baik-baik saja selama ini. Benar kan, Pak?"Laki-laki paruh baya yang baru keluar dari kamarnya itu duduk di samping istrinya. Bayu dan Ranti beranjak dan mengulurkan tangan mereka, mencium takzim tangan laki-laki itu dengan hormat. "Bapak terserah mereka saja, Bu. Mana yang baik saja untuk mereka." Kalimat itu jelas lebih menenangkan Ranti."Ya ... tidak bisa seperti itu, Pak. Jadi orang tua itu harus adil. Kalau satu anak setelah menikah langsung memisahkan diri dengan kita, anak lain juga seperti itu. Jangan sampai kesannya, kita ini pilih kasih. Mau menantu dari daerah mana pun, sama bagi Ibu."Ada hati yang tergores saat kalimat itu diucapkan. Bayu bukannya tak tahu apa yang dirasakan Ranti saat ini. Terlihat wanita pilihannya itu menunduk. Tak berani bertatap muka dengan ibunya. Bukan tak mungkin, netranya sudah mengembun saat ini." Iya, Bu. Bayu dan Ranti paham. Kami hanya tinggal sementara saja di sini. Mudah-mudahan cepet ketemu yang cocoknya. Besok juga kami langsung survei ke lokasi. Kebetulan Bayu sudah punya beberapa alternatif, tinggal menunggu persetujuan Ranti saja."Ranti sama sekali tak mengangkat wajahnya. Netranya menekuri ubin lantai yang mereka injak saat ini. Sepahit inikah rasanya hidup di perantauan bersama suami? Apakah semua menantu akan merasakan yang dialaminya saat ini? Rumah mertua, semoga tak menjadi neraka baginya."Ran ... jangan terlalu cerewet memilih rumah kontrakannya. Susah kalau mau mencari kontrakan sesuai selera kita. Lagi pula, Bayu juga masih merintis karirnya. Tak ada uang banyak untuk menyewa rumah yang bagus. Uangnya sudah habis untuk biaya pernikahan kalian kemarin."Bak belati yang menggores dinding hatinya, Ranti tak menyangka kejutan dari mertuanya sungguh luar biasa. Perih, walau luka itu tak berdarah."Ya sudah, Bu. Anak dan menantunya juga baru sampai. Kalian istirahatlah dulu. Capek tentunya di perjalanan. Ranti, anggap rumah sendiri ya!" Ucapan laki-laki itu mengakhiri ceramah panjang dari sang istri. Gumaman tak jelas masih terdengar lirih dari bibir wanita yang sepertinya belum menyampaikan seluruh isi hatinya itu"Kami belum makan. Tadi dari bandara langsung ke rumah. Ada makanan nggak, Bu?"Wanita yang disapa ibu itu akhirnya mengangkat tubuhnya. Berjalan, melangkah menuju dapur."Tak ada, sudah dihabiskan Nina dan Ririn tadi. Kalau kalian mau makan, beli saja sebaiknya, Yu."Bayu menelan ludahnya. Padahal niatnya mempersunting Ranti sama sekali tak mendapat bantahan dari ibunya itu. Tapi mengapa semuanya berubah setelah pernikahan ini terjadi."Kita salat dulu, Dek. Habis itu kita keluar. Cari makan di warung ya! Kamu pasti lapar, Abang juga. Sekalian kita beli bahan masakan untuk nanti malam di pasar."Ranti mengangkat wajahnya dan mengangguk, pertanda setuju. Bayu dapat melihat dengan jelas, ada luka di mata itu. Netra istrinya mengembun. Mencoba menahan rasa yang sama sekali tak diharapkan saat kakinya melangkah memasuki rumah mertua, dua sosoknya telah menghadirkan Bayu di dunia."Jangan diambil hati. Ibu memang mulutnya seperti itu. Tapi hatinya insyaaAllah baik, Dek."Ranti memilih tak menanggapi ucapan suaminya. Hanya senyum getir yang mengulas dari bibirnya. Entah kejutan apalagi yang akan ditemuinya nanti. Di sini, di rumah mertuanya ini.Azan Subuh sayup terdengar. Ranti menarik selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke arah leher. Dinginnya udara pagi benar-benar terasa menusuk tulang. "Dek, bangun dulu. Subuh bareng yuk!" Terdengar panggilan Bayu sambil menggoyang-goyangkan ujung kakinya. Sontak saja membuat Ranti terpaksa harus membuka matanya."Luar biasa capeknya, Bang. Tulangku remuk semua rasanya."Ranti mengucek matanya. Menyibak selimut yang menutupi tubuhnya seraya meluruskan kedua tangannya ke samping kiri dan kanan serempak. "Nanti habis salat, tidur saja lagi."Tampak Bayu sudah siap dengan baju koko dan sarungnya. Air wudhu membasahi wajah laki-laki itu. "Abang sudah wudhu ya? Nggak salat ke masjid?" tanya Ranti seraya bangun dari tempat tidur. Mendudukkan tubuhnya di sisi kasur seraya memandang suaminya. "Sudah. Abang salat di rumah saja. Masjidnya agak jauh. Lagipula udaranya dingin banget. Dari tadi Abang bangunkan. Adek tidurnya pu
Ranti tertegun dalam diamnya. Lidahnya terasa kelu seketika. Netranya mengembun. Sekuat tenaga Ranti mencoba menahan genangan air yang siap meleleh dari pelupuk matanya.Pernikahan yang selama ini menjadi dambaan ternyata tak seindah khayalan. Tak cukup cinta antar dua insan, ada keluarga besar kedua belah pihak yang ikut disatukan."Maaf, Bu. Ranti tak paham dengan kebiasaan di rumah ini. Nanti Ranti akan coba menyesuaikan diri."Akhirnya kalimat itu yang terucap dari bibir Ranti. Bukan karena rasa bersalah, namun lebih pada alasan agar tak memperpanjang masalah. Ranti merasa tak ada yang salah dengan dirinya. Pergi mengikuti ajakan Bayu bukan karena tak ingin mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah ini, Ranti siap untuk mengerjakan pekerjaan apapun."Kalau tak paham itu bertanya, jangan diam saja. Pas orang ribut baru mengaku tak paham."Ririn, adik bungsu Bayu tiba-tiba muncul di belakang Ranti sembari memegang sapu plastik di tangannya.
Ranti menjatuhkan pilihannya pada rumah ini. Rumah kecil bercat biru muda dengan suasana perumahan yang belum terlalu ramai. Harga kontrakan yang ditawarkan pun tak terlalu mahal untuk ukuran pasangan suami istri yang baru akan memulai babak baru kehidupan.Pemilik rumah, Pak Imam hanya meminta Ranti dan Bayu untuk merawat dan menjaga rumah itu dengan sebaik-baiknya, layaknya rumah sendiri. Pak Imam memang hanya menjadikan rumah tersebut sebagai investasi jangka panjang. Sebagai seorang pegawai dengan jabatan kepala bidang di kantor Bayu, harga cicilan rumah itu tentulah tak membebani beliau dan istrinya. Apalagi mengingat istri Pak Imam sendiri merupakan salah seorang pegawai dengan jabatan yang sama, meski di kantor yang berbeda."Alhamdulillah, Pak Imam baik ya, Bang. Tahu kalau kita lagi tak punya banyak uang saat ini," ujar Ranti setelah sosok pemilik rumah menghilang dengan kendaraan roda empatnya.Ranti dan Bayu baru saja melakukan akad kontrak atas rumah yan
Ranti dan Bayu baru saja menyelesaikan rutinitas tiga rakaat di penghujung senja yang semakin menggelap. Wujud ketaatan pada Sang Pencipta. Tak lupa memanjatkan doa agar segalanya dipermudah. "Nanti kita pamitan dulu sama Bapak dan Ibu, ya! Mau makan di rumah dulu sebelum berangkat?" tanya Bayu saat Ranti mengulurkan tangan, mencium takzim tangan kanannya. Masih di atas hamparan sajadah, keduanya duduk berhadapan."Makan nasi bungkus saja, Bang. Kita beli nasi di warung, makannya di rumah kita saja nanti."Bukan tanpa alasan Ranti menolak makan malam di rumah mertuanya. Tak ingin menjadi sesalan sat ada ucapan yang menyinggungnya nanti. Bukan Ranti berburuk sangka, tapi hanya ingin menyelamatkan telinga dan hatinya atas sesuatu yang bisa terjadi nanti.Berbekal pengalamannya tadi pagi, bukan tak mungkin akan ada ucapan pedas saat nasi putih hendak masuk ke mulutnya nanti. Seharian tak ada di rumah, membantu pekerjaan rumah pun tak dilakukannya. T
"Bang, kelihatannya di sini agak susah cari angkot ya?" tanya Ranti seraya tangannya sibuk mengelap kaca jendela dengan cairan pembersih dan kertas koran.Rumah yang sejak awal pembangunan belum pernah ditempati membuat debu dan bekas tetesan cat agak lengket di kaca. Bayu sendiri sedang mencabuti rumput-rumput liar di halaman depan rumah. Tak ada cangkul, tangan saja yang dikerahkan."Namanya juga perumahan, Dek. Nggak mungkinlah angkot masuk untuk mencari penumpang. Kalau mau pergi kemana-mana naik ojek online saja."Hari pertama di rumah kontrakan membuat Bayu dan Ranti memilih untuk fokus membersihkan bagian luar rumah. Bagian dalam rumah telah mereka bersihkan kemarin. Tinggal nantinya mencari perlengkapan rumah tangga yang dirasa tak ada dan memang betul-betul diperlukan.Sebagai pasangan suami istri yang baru menapaki kehidupan baru, mereka tahu jika tak mungkin menyediakan fasilitas rumah yang langsung lengkap saat ini. Dengan kondisi hany
"Kak Dinda??" Bayu menatap wanita yang sedang berdiri di belakang mereka. Wanita yang menjadi kakak iparnya karena menikah dengan kakak sulungnya, Bang Ilham.Ranti menegakkan tubuhnya dan menyodorkan tangan sebagai bentuk penghormatan pada wanita itu. Acuh tak acuh, wanita itu menyambutnya."Kakak belanja juga?" tanya Ranti seraya tersenyum. Ranti hanya mengenal sosok Dinda saat pertemuan pertama mereka. Saat akad dan resepsi pernikahannya dan Bayu. Tak banyak sapa yang terucap di antara mereka kala itu mengingat Ranti sedang fokus menjalani segala prosesi acara pernikahan mereka.Wajah Dinda tampak datar, tak ada senyum menghiasi wajah perempuan yang mengenakan kerudung coklat itu. Bahkan sekadar untuk membalas senyuman yang dilemparkan Ranti. Tatapannya menelisik pada kantung plastik yang ada di tangan Bayu."Ya iyalah, namanya juga di pasar. Kalau bukan belanja mau ngapain? Nongkrong gitu?"Jelas, Ranti menjadi tak enak hati. Niat ingin beramah-tamah ternyata tak mendapat balasan
Untuk ikan, sayuran, dan bahan dapur digantung di bagian depan motor Bayu yang memang memiliki cantolan. Tinggallah si cobek yang sekarang duduk manis di pangkuan Ranti. Jelas, Ranti agak sedikit kesusahan membawa peralatan dapur dari bahan batu itu dengan posisi duduk menyamping di motor"Rumah Bang Ilham memang tak jauh dari sini, Dek. Hanya arah beda arah. Nanti kapan-kapan Abang ajak ya ke sana!" ujar Bayu seraya mulai menjalankan motornya. " Iya, Bang." Terdengar jawaban dari Ranti yang duduk di boncengan Bayu. Bayu tak dapat melihat ekspresi istrinya saat mengiyakan ajakannya itu.Entah apa yang dirasakan Ranti saat ini setelah mendengar semua perkataan Kak Dinda tadi. Untung saja, Bayu sempat memotong ucapan wanita itu. Jika tidak, rentetan kalimat tak jelas akan semakin panjang mengalir dari bibirnya.Selama ini Bayu memang tak terlalu akrab dengan kedua kakak iparnya, baik istri Bang Ilham, kakak sulungnya maupun istri Bang Anwar, kakak keduanya. Entah mengapa, selain karena
"Dian ...????" ucap Bayu dengan nada terkejut.Wanita yang ada di hadapan Bayu tampak menunjukkan ekspresi yang sama juga."Bang Bayu ...."Bayu dan wanita itu tampak sama-sama tak menyangka akan sosok yang ada di hadapan mereka. "Abang yang tinggal di rumah ini?" tanya wanita yang dipanggil dengan nama Dian oleh Bayu tadi.Ranti yang sempat mendengar percakapan di ruang depan bergegas mengakhiri suapan nasi dari piring ke mulutnya. Dengan cepat, Ranti mencuci tangan dan mengelapnya dengan selembar serbet bersih. Langkah kaki diayunkannya menuju sumber suara.Dua sosok saling berhadapan menjadi pandangan netra Ranti saat mendekati pintu depan. Jelas sekali, keterkejutan tampak dari wajah suaminya dan wanita yang ada di hadapannya itu. Siapakah wanita itu? Apakah Bayu mengenalnya hingga raut wajah suaminya terlihat seperti seakan tak percaya dengan sosok yang ditemuinya itu?"Eh, iya. Sejak kemarin. Bersama istriku," ujar Bayu sembari menggaruk tengkuknya yang Ranti yakin sebenarnya ta