Ranti tertegun dalam diamnya. Lidahnya terasa kelu seketika. Netranya mengembun. Sekuat tenaga Ranti mencoba menahan genangan air yang siap meleleh dari pelupuk matanya.
Pernikahan yang selama ini menjadi dambaan ternyata tak seindah khayalan. Tak cukup cinta antar dua insan, ada keluarga besar kedua belah pihak yang ikut disatukan."Maaf, Bu. Ranti tak paham dengan kebiasaan di rumah ini. Nanti Ranti akan coba menyesuaikan diri."Akhirnya kalimat itu yang terucap dari bibir Ranti. Bukan karena rasa bersalah, namun lebih pada alasan agar tak memperpanjang masalah. Ranti merasa tak ada yang salah dengan dirinya. Pergi mengikuti ajakan Bayu bukan karena tak ingin mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah ini, Ranti siap untuk mengerjakan pekerjaan apapun."Kalau tak paham itu bertanya, jangan diam saja. Pas orang ribut baru mengaku tak paham."Ririn, adik bungsu Bayu tiba-tiba muncul di belakang Ranti sembari memegang sapu plastik di tangannya."Aku saja sudah selesai menyapu. Pagi-pagi itu untuk membersihkan rumah, Kak. Kalau mau jalan-jalan tak salah, setelah pekerjaan rumah beres."Entah dimana gadis itu belajar etika berbicara. Ranti merasa sangat tak pantas ucapan itu dilayangkan padanya, seorang ipar yang baru saja masuk dalam keluarga mereka.Ranti memilih diam kali ini. Bukan karena tak punya jawaban yang tepat untuk membungkam mulut keluarga Bayu, tapi karena Ranti tahu tak guna memberikan alasan untuk orang-orang yang memang tak menginginkan kehadirannya. Perih, hanya kata itu yang mampu diungkapkan Ranti."Dek, kenapa piringnya tak juga diambil? Bapak nungguin tuh di depan. Bu ... Bayu banyak membeli lakso, kesukaan Ibu."Ranti menghela napas panjang. Sesak yang dirasakannya harus dilepaskan, bukan untuk diungkapkan."Ranti kayaknya kurang betah di sini, Yu. Memang sih, rumah kita ini tak sebagus rumahnya dulu."Ranti mengernyitkan dahinya. Semakin tak paham dengan perangai mertuanya. Sedikit pun tak ada pembahasan tentang masalah itu dari tadi. Kenapa lantas beliau mengungkapkan hal yang mengada-ada seperti itu?"Sabar, Dek. Nanti siang kita juga akan mulai melihat kontrakan. Lagi pula, biar rumah ini tak besar tapi suasananya ramai. Kalau di kontrakan nanti kamu bakal kesepian, Dek."Ranti menolehkan wajahnya, menghadap suami yang diharapkan akan menjadi pelindungnya di tempat yang tak diharapkannya ini. Bukan karena tak ingin, tapi Ranti merasa tak perlu memaksa jika memang orang tak bisa menerima. "Nggak kok, Bang. Aku berusaha nyaman dimana pun berada, asalkan kita selalu bersama," ujar Ranti seraya mendekat pada suaminya itu.Bagi Ranti, tinggal di kontrakan sendiri akan lebih nyaman dibandingkan harus lebih lama dibandingkan harus lebih lama menahan perasaan. Tak mungkin Ranti mengungkapkan semua yang dirasakannya ini pada Bayu. Jelas, Bayu akan sulit mempercayai segala yang akan disampaikannya.Ranti tahu persis, suaminya itu sangat menyayangi keluarganya. Itulah salah satu alasan membuat Ranti tak ragu melabuhkan hati pada sang kekasih halalnya itu. Menurut Ranti, laki-laki yang menyayangi keluarga tentunya akan menjadi pengayom bagi anak-anak mereka nantinya. Namun saat ini hati Ranti menjadi gundah, saat menyadari bahwa tak semua keluarga itu sama."Bu, sarapan dulu. Mumpung kuah laksonya masih hangat," ujar Bayu seraya mulai mengisi piring kecil yang diambilnya dari rak dengan aneka pempek dari plastik."Dek, ambilkan piring satu lagi. Untuk wadah kue-kue ini."Ranti mengangguk dan berjalan ke arah rak piring."Lakso Ibu jangan kau habiskan, Yu. Ibu mau mencuri baju dulu." Kalimat Ibu memang datar, namun Ranti tahu ada sesuatu yang tersirat di balik ucapan itu."Biar Ranti saja yang mencuci bajunya, Bu." Cepat Ranti melangkah mendekati mertuanya setelah menyerahkan sebuah piring kepada Bayu.Wanita yang telah melahirkan suaminya itu sedang berdiri tegak di dekat sumur. Kedua tangannya sibuk memindahkan air dari ke bak semen di samping sumur ke dalam dua baskom besar berwarna hitam dengan menggunakan gayung.Letak sumur yang berada persis di belakang dapur membuat suara ibu mertuanya cukup jelas terdengar. Ranti sempat berpikir, mengapa tak menggunakan mesin cuci saja untuk aktivitas mencuci pakaian di rumah ini. Dengan kondisi bapak mertua yang masih aktif bekerja di kantor kecamatan, keluarga ini tergolong mempunyai kondisi ekonomi yang tak kekurangan. Apalagi menurut cerita Bayu, kedua orang tuanya mempunyai tambak ikan dan kebun sawit sebagai usaha sampingan. "Ibu sarapan saja, biar Ranti yang mencuci bajunya."Ibu mertuanya itu tak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya gayung yang dipegangnya saja dilepaskan dari tangan. Cukup sebagai isyarat bagi Ranti untuk mengambil alih pekerjaan."Kamu bisa mencuci pakai tangan, Ran? Ibu bukannya tak mampu membeli mesin cuci. Mencuci pakai mesin itu tak sebersih dengan tangan," ujar Ibu seakan menjawab pertanyaan yang sempat melintas di pikiran Ranti.Ranti mengisi baskom hitam kedua dengan air. Baskom pertama telah diisi penuh oleh mertuanya."Bisa, Bu."Hanya kalimat singkat itu yang dilontarkan Ranti. Derap langkah kaki mertuanya terdengar berjalan menuju dapur.Ranti mengisi baskom pertama dengan deterjen. Kemudian memasukkan satu per satu pakaian ke dalam baskom tersebut. Memastikan agar pakaian yang punya resiko luntur tak tercampur. Jangan sampai dirinya disalahkan lagi karena tak becus membedakan pakaian luntur dan tidak.Pakaian empat orang penghuni rumah itu telah berada sempurna dalam rendaman. Lumayan banyak. Ranti sengaja tak memasukkan pakaiannya dan Bayu. Nanti saja, setelah memastikan pekerjaan yang lain beres, baru Ranti akan mencuci pakaian kotor mereka. Lagi pula, mencuci pakaian dalam jumlah banyak sekaligus tentu akan menguras tenaganya. Perutnya sama sekali belum terisi.Perlahan Ranti menyikat pakaian-pakaian yang terendam. Sayup-sayup indera pendengarannya masih mampu menangkap perbincangan yang terjadi antara mertua dan suaminya. Tentunya dengan tambahan dua gadis, adik suaminya itu."Bang, istri Abang sepertinya perlu dinasihati, dikasih tahu tentang kebiasaan di rumah ini. Jangan mau seenaknya sendiri."Tak jelas siapa yang mengucapkan kalimat itu. Yang pasti, itu ucapan adik iparnya. Ranti mencoba menajamkan telinganya, memastikan tak ada kalimat pedas yang akan terlewatkan olehnya."Namanya juga pertama kali di tempat orang, Rin. Kakak iparmu itu tentunya perlu beradaptasi. Ada kebiasaan di rumah kita yang mungkin tak sama dengan selama ini terjadi di rumahnya."Bayu mencoba memberikan tanggapan, pembelaan untuk istrinya."Tapi Kak Dinda dulu langsung bisa memahami kebiasaan di rumah kita."Kali ini terdengar kembali ucapan dari pemilik suara yang berbeda. Ranti mencoba mengingat-ingat. Jika tak salah, Dinda adalah istri Bang Ilham, kakak sulung Bayu. Ranti memang belum terlalu mengenal anggota keluarga Bayu. Pertemuan mereka baru terjadi saat pernikahan kemarin."Kak Dinda kan sebelum menikah dengan Bang Ilham sudah sering main ke sini, Min. Kadang dari pagi sampai sore, tak pulang-pulang. Ya ... wajar saja jika pas menikah, dia sudah terbiasa di rumah ini."Benar saja, setelah Ririn mencoba menyudutkannya, kali ini Nina juga tak mau kalah. Namun setidaknya, Ranti masih bisa bernapas cukup lega. Bayu masih terus melakukan pembelaan padanya. Tak menyudutkan dirinya. Hal itu cukup sebagai pelipur duka bagi Ranti."Jangan terlalu membela istrimu seperti itu, Yu. Tadi saja pas ibu meninggalkannya di sumur, Ibu sempat mendengar Ranti menggerutu. Seperti tak ikhlas mencuci pakaian kami. Hanya saja, Ibubtak mau meladeninya."Ucapan yang satu ini benar-benar tak disangka Ranti. Ucapan pedih yang jelas terdengar dari mulut mertuanya itu benar-benar fitnah sejati.Tak ada gerutuan yang keluar dari bibirnya. Kenapa ibu mertuanya itu seolah-olah terus menjelek-jelekkannya? Jelas-jelas semua ini merupakan bukti, sang mertua tak suka akan hadirnya.Ranti menghela napas panjang. Keputusannya sudah bulat, apapun yang terjadi mereka harus keluar dari rumah ini. Tak peduli bagaimana nanti suasana di rumah kontrakan yang akan mereka cari. Ranti rasa tak ada lagi alasan untuk menunda lebih lama. Ranti tak ingin lebih banyak fitnah yang akan tercipta jika lebih lama tinggal di pondok indah mertuanya ini.Setetes air mata mengalir dari pelupuk matanya. Cukup sebagai pertanda jika dirinya lagi-lagi harus terluka.Ranti menjatuhkan pilihannya pada rumah ini. Rumah kecil bercat biru muda dengan suasana perumahan yang belum terlalu ramai. Harga kontrakan yang ditawarkan pun tak terlalu mahal untuk ukuran pasangan suami istri yang baru akan memulai babak baru kehidupan.Pemilik rumah, Pak Imam hanya meminta Ranti dan Bayu untuk merawat dan menjaga rumah itu dengan sebaik-baiknya, layaknya rumah sendiri. Pak Imam memang hanya menjadikan rumah tersebut sebagai investasi jangka panjang. Sebagai seorang pegawai dengan jabatan kepala bidang di kantor Bayu, harga cicilan rumah itu tentulah tak membebani beliau dan istrinya. Apalagi mengingat istri Pak Imam sendiri merupakan salah seorang pegawai dengan jabatan yang sama, meski di kantor yang berbeda."Alhamdulillah, Pak Imam baik ya, Bang. Tahu kalau kita lagi tak punya banyak uang saat ini," ujar Ranti setelah sosok pemilik rumah menghilang dengan kendaraan roda empatnya.Ranti dan Bayu baru saja melakukan akad kontrak atas rumah yan
Ranti dan Bayu baru saja menyelesaikan rutinitas tiga rakaat di penghujung senja yang semakin menggelap. Wujud ketaatan pada Sang Pencipta. Tak lupa memanjatkan doa agar segalanya dipermudah. "Nanti kita pamitan dulu sama Bapak dan Ibu, ya! Mau makan di rumah dulu sebelum berangkat?" tanya Bayu saat Ranti mengulurkan tangan, mencium takzim tangan kanannya. Masih di atas hamparan sajadah, keduanya duduk berhadapan."Makan nasi bungkus saja, Bang. Kita beli nasi di warung, makannya di rumah kita saja nanti."Bukan tanpa alasan Ranti menolak makan malam di rumah mertuanya. Tak ingin menjadi sesalan sat ada ucapan yang menyinggungnya nanti. Bukan Ranti berburuk sangka, tapi hanya ingin menyelamatkan telinga dan hatinya atas sesuatu yang bisa terjadi nanti.Berbekal pengalamannya tadi pagi, bukan tak mungkin akan ada ucapan pedas saat nasi putih hendak masuk ke mulutnya nanti. Seharian tak ada di rumah, membantu pekerjaan rumah pun tak dilakukannya. T
"Bang, kelihatannya di sini agak susah cari angkot ya?" tanya Ranti seraya tangannya sibuk mengelap kaca jendela dengan cairan pembersih dan kertas koran.Rumah yang sejak awal pembangunan belum pernah ditempati membuat debu dan bekas tetesan cat agak lengket di kaca. Bayu sendiri sedang mencabuti rumput-rumput liar di halaman depan rumah. Tak ada cangkul, tangan saja yang dikerahkan."Namanya juga perumahan, Dek. Nggak mungkinlah angkot masuk untuk mencari penumpang. Kalau mau pergi kemana-mana naik ojek online saja."Hari pertama di rumah kontrakan membuat Bayu dan Ranti memilih untuk fokus membersihkan bagian luar rumah. Bagian dalam rumah telah mereka bersihkan kemarin. Tinggal nantinya mencari perlengkapan rumah tangga yang dirasa tak ada dan memang betul-betul diperlukan.Sebagai pasangan suami istri yang baru menapaki kehidupan baru, mereka tahu jika tak mungkin menyediakan fasilitas rumah yang langsung lengkap saat ini. Dengan kondisi hany
"Kak Dinda??" Bayu menatap wanita yang sedang berdiri di belakang mereka. Wanita yang menjadi kakak iparnya karena menikah dengan kakak sulungnya, Bang Ilham.Ranti menegakkan tubuhnya dan menyodorkan tangan sebagai bentuk penghormatan pada wanita itu. Acuh tak acuh, wanita itu menyambutnya."Kakak belanja juga?" tanya Ranti seraya tersenyum. Ranti hanya mengenal sosok Dinda saat pertemuan pertama mereka. Saat akad dan resepsi pernikahannya dan Bayu. Tak banyak sapa yang terucap di antara mereka kala itu mengingat Ranti sedang fokus menjalani segala prosesi acara pernikahan mereka.Wajah Dinda tampak datar, tak ada senyum menghiasi wajah perempuan yang mengenakan kerudung coklat itu. Bahkan sekadar untuk membalas senyuman yang dilemparkan Ranti. Tatapannya menelisik pada kantung plastik yang ada di tangan Bayu."Ya iyalah, namanya juga di pasar. Kalau bukan belanja mau ngapain? Nongkrong gitu?"Jelas, Ranti menjadi tak enak hati. Niat ingin beramah-tamah ternyata tak mendapat balasan
Untuk ikan, sayuran, dan bahan dapur digantung di bagian depan motor Bayu yang memang memiliki cantolan. Tinggallah si cobek yang sekarang duduk manis di pangkuan Ranti. Jelas, Ranti agak sedikit kesusahan membawa peralatan dapur dari bahan batu itu dengan posisi duduk menyamping di motor"Rumah Bang Ilham memang tak jauh dari sini, Dek. Hanya arah beda arah. Nanti kapan-kapan Abang ajak ya ke sana!" ujar Bayu seraya mulai menjalankan motornya. " Iya, Bang." Terdengar jawaban dari Ranti yang duduk di boncengan Bayu. Bayu tak dapat melihat ekspresi istrinya saat mengiyakan ajakannya itu.Entah apa yang dirasakan Ranti saat ini setelah mendengar semua perkataan Kak Dinda tadi. Untung saja, Bayu sempat memotong ucapan wanita itu. Jika tidak, rentetan kalimat tak jelas akan semakin panjang mengalir dari bibirnya.Selama ini Bayu memang tak terlalu akrab dengan kedua kakak iparnya, baik istri Bang Ilham, kakak sulungnya maupun istri Bang Anwar, kakak keduanya. Entah mengapa, selain karena
"Dian ...????" ucap Bayu dengan nada terkejut.Wanita yang ada di hadapan Bayu tampak menunjukkan ekspresi yang sama juga."Bang Bayu ...."Bayu dan wanita itu tampak sama-sama tak menyangka akan sosok yang ada di hadapan mereka. "Abang yang tinggal di rumah ini?" tanya wanita yang dipanggil dengan nama Dian oleh Bayu tadi.Ranti yang sempat mendengar percakapan di ruang depan bergegas mengakhiri suapan nasi dari piring ke mulutnya. Dengan cepat, Ranti mencuci tangan dan mengelapnya dengan selembar serbet bersih. Langkah kaki diayunkannya menuju sumber suara.Dua sosok saling berhadapan menjadi pandangan netra Ranti saat mendekati pintu depan. Jelas sekali, keterkejutan tampak dari wajah suaminya dan wanita yang ada di hadapannya itu. Siapakah wanita itu? Apakah Bayu mengenalnya hingga raut wajah suaminya terlihat seperti seakan tak percaya dengan sosok yang ditemuinya itu?"Eh, iya. Sejak kemarin. Bersama istriku," ujar Bayu sembari menggaruk tengkuknya yang Ranti yakin sebenarnya ta
Tak ada kursi di rumah yang mereka tempati. Dan memang belum ada dana lebih untuk membeli itu. Sehelai karpet berbahan bulu rasfur dipilih Ranti sebagai pengganti kursi.Ranti menurut. Diikutinya langkah Bayu yang sudah lebih dulu berjalan dan langsung mendudukkan tubuhnya pada karpet bewarna coklat muda itu.Cemburu itu jelas dirasakan Ranti saat ini. Mengapa suaminya dan wanita tadi saling mengenal dan terkesan begitu akrab. Tak mungkin jika tak ada apa-apa di antara mereka. Ranti cukup merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya saat melihat dan mendengar percakapan keduanya tadi."Mau dengar cerita Abang? Tapi jangan dipotong ya! Apalagi sampai emosi nantinya."Bayu menatap wajah Ranti. Netra keduanya saling beradu. Ranti hanya diam, sementara Bayu akhirnya menarik napas dalam-dalam.Mencoba memahami perasaan istrinya ini, Bayu tak akan marah ataupun emosi. Istrinya tak salah. Pun dirinya juga tak merasa bersalah dengan semua yang serba kebetulan ini. Siapa yang akan menduganya?"Dia
Lima belas menit melajukan kendaraan, akhirnya Bayu membelokkan sepeda motornya pada sebuah gerai ATM yang terletak di depan sebuah minimarket besar. Ranti turun dari motor dan masuk ke gerai ATM tersebut. Sementara Bayu tetap duduk di sepeda motornya. Tak lama kemudian, Ranti sudah keluar dari dalam gerai tersebut dan melangkah menuju sepeda motor yang diduduki Bayu."Bisa mengambil uangnya, Dek?" tanya Bayu pada istrinya itu."Ya bisa, Bang. Memangnya kenapa?" tanya Ranti dengan nada heran atas pertanyaan yang diajukan Bayu itu."Soalnya kadang-kadang uangnya sering kosong di sini, Dek. Ya sudah, ayo kita jalan lagi. Tadi ambilnya berapa memangnya?"Bayu menyerahkan helm kepada Ranti dan mulai menghidupkan mesin sepeda motornya."Ambil sepuluh juta, Bang. Nanti beli motornya yang harga delapan jutaan saja ya! Sisanya untuk beli kulkas," ujar Ranti sembari mendudukkan tubuhnya di belakang Bayu."Memangnya ada kulkas harga dua jutaan, Dek?"Kali ini Bayu yang menolehkan wajahnya pada R