"Bang, kelihatannya di sini agak susah cari angkot ya?" tanya Ranti seraya tangannya sibuk mengelap kaca jendela dengan cairan pembersih dan kertas koran.
Rumah yang sejak awal pembangunan belum pernah ditempati membuat debu dan bekas tetesan cat agak lengket di kaca. Bayu sendiri sedang mencabuti rumput-rumput liar di halaman depan rumah. Tak ada cangkul, tangan saja yang dikerahkan."Namanya juga perumahan, Dek. Nggak mungkinlah angkot masuk untuk mencari penumpang. Kalau mau pergi kemana-mana naik ojek online saja."Hari pertama di rumah kontrakan membuat Bayu dan Ranti memilih untuk fokus membersihkan bagian luar rumah. Bagian dalam rumah telah mereka bersihkan kemarin. Tinggal nantinya mencari perlengkapan rumah tangga yang dirasa tak ada dan memang betul-betul diperlukan.Sebagai pasangan suami istri yang baru menapaki kehidupan baru, mereka tahu jika tak mungkin menyediakan fasilitas rumah yang langsung lengkap saat ini. Dengan kondisi hanya Bayu yang bekerja, Ranti paham bahwa gaji suaminya adalah penopang kehidupan sehari-hari mereka. Apalagi Ranti tahu, Bayu akan tetap mampu membantu kehidupan keluarganya juga, sama saat seperti sebelum menikah.Ucapan ibu mertuanya semalam sangat membekas di ingatan Ranti. Ranti bukan tak paham maksud setiap kalimat yang diucapkan wanita yang telah melahirkan suaminya itu. Selamanya Bayu akan tetap harus ikut bertanggung jawab atas keluarganya, walau Ranti tak tahu seberapa besar bentuk tanggung jawab itu."Bang, aku masih punya sisa tabungan saat bekerja dulu. Bagaimana kalau kita gunakan untuk membeli motor? Yang bekas saja tak apa-apa, asalkan kondisinya masih cukup bagus. Soalnya susah Bang, kalau tak ada motor mau kemana-mana."Bayu menghentikan gerakan tangannya. Separuh halaman telah bersih, tak ada rumput dan gulma. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya, menghadap ke arah Ranti."Tapi itu uangmu, Dek. Pake ojek online saja dulu sementara. Nanti kalau Abang ada rezeki, kita cari motor kreditan. Kalau memang Adek mau belanja, tunggu Abang pulang kerja saja. Abang antarkan nanti."Ranti menghentikan gerakan tangan pada kaca jendela yang masih berdebu. "Nggak apa-apa, Bang. Namanya juga kita baru memulai hidup. Tak perlu kita hitung-hitungan. Aku ikhlas. Lagi pula nantinya aku juga yang terbantu."Bayu menggaruk kepalanya yang tak gatal, ada rasa sungkan menggunakan uang istrinya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bagaimana pun, Ranti adalah tanggung jawabnya sejak akad itu terucap."Abang tak perlu sungkan atau malu. Kita kan sudah sepakat. Sama-sama berjuang, sama-sama bahu-membahu."Ranti bukannya tak tahu apa yang ada di benak Bayu. Selama mereka berhubungan dekat, tak pernah Bayu akan membiarkan Ranti membayar makanan yang mereka makan. Berkali-kali Ranti menawarkan diri, mengingat status mereka yang sama-sama mahasiswa kala itu. Tegas Bayu menolak, itu merupakan harga diri baginya.Ranti menatap Bayu yang masih terdiam. Pandangan suaminya itu lurus ke depan. Hati Bayu berkecamuk, apakah kali ini dia harus menurunkan egonya? "Ya sudah. Karena hal ini mungkin mendesak bagimu, Dek. Abang anggap pinjaman, suatu saat insya Allah jika ada rezeki akan Abang ganti. Kamu adalah tanggung jawab Abang. Abang yang harus berusaha mencukupi kebutuhanmu. Maaf ya ... Abang belum bisa menjalankan itu saat ini. Bantu Abang dengan doa, semoga rezeki kita lebih lancar mengalirnya."Ranti tersenyum. Semoga sifat Bayu tak akan pernah berubah, walau apa pun yang akan terjadi pada rumah tangga mereka ke depannya nanti."Tak ada hutang antara suami dan istri, Bang. Kalau begitu, kita belanja sayur dan ikan dulu, Bang. Aku langsung masak setelah itu. Nanti habis Zuhur kita cari motornya ya! Mumpung hari ini besok masih libur, bisa tunjukkan aku jalan-jalan yang ada di sini kalau mau belanja nantinya. Abang lusa sudah mulai masuk kerja kan?"Ranti kembali menggerakkan tangannya secara cepat. Mengelap jendela yang menempel di dinding kamar yang masih terlihat debunya."Kalau capek, mending beli nasi bungkus saja, Dek. Besok saja pagi-pagi Abang antarkan belanja ke pasar terdekat daerah sini.""Kita harus berhemat, Bang. Jangan terlalu sering membeli nasi bungkus di warung. Lauk seadanya tak apa, yang penting sehat." Ranti tertawa kecil saat mendengar ucapan suaminya."Istri Abang memang pintar, tak salah pilihan Abang."Terdengar gelak tawa dari pasangan suami istri itu seraya cepat menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing.Tak lama kemudian, Bayu dan Ranti sudah pergi ke pasar yang terdekat dengan perumahan yang mereka tempati. Walau sudah cukup siang, pasar yang dikenal masyarakat di daerah itu dengan nama pasar Bambu itu masih lumayan ramai. Kawasan itu dulu kabarnya merupakan hutan bambu yang lebat. Namun sekarang, tak ada lagi tersisa serumpun bambu pun di kawasan pasar itu.Berbagai sayuran dan ikan masih tersedia di meja-meja yang berjejer di bagian dalam pasar. Tak banyak lagi jenisnya karena memang sejak pagi pasar telah diserbu pembeli."Abang mau ikan apa?" tanya Ranti seraya melihat-lihat beberapa jenis ikan di salah satu meja.Bayu tampak menolehkan kepalanya. Netranya tampak memindai pilihan ikan yang ada."Ikan ini saja, Dek. Digoreng saja nanti.""Ini ikan apa, Bang? Baru lihat seperti ini," ujar Ranti sembari mengernyitkan dahinya. Daerah asalnya lebih akrab dengan aneka jenis ikan tawar. Jika pun ada ikan laut, tak beragam jenisnya seperti di sini."Ini namanya ikan cantik manis, Dek," jawab Bayu seraya mengangkat salah satu ikan dengan tangan telunjuk dan jempol kanannya yang disatukan. Bentuk ikan yang lebar dan pipih memang agak berbeda dari jenis ikan lainnya."Bang, nanti kita sekalian beli kulkas ya! Biar tak repot tiap hari belanja. Cukup beli sekaligus untuk stok tiga atau empat hari," ujar Ranti seraya menolehkan wajahnya pada Bayu.Giliran Bayu yang mengernyitkan dahinya."Memang uangnya cukup? Nanti tabunganmu habis, Dek."Bagaimana pun Bayu merasa tak enak hati jika harus menguras tabungan Ranti untuk membeli peralatan rumah tangga mereka. Tanggung jawab sebagai kepala keluarga ada di pundaknya. Ranti menggamit lengan Bayu. "Insyaallah cukup, Bang. Sebenarnya pada saat sebelum kita berangkat ke sini, Bunda dan Ayah menyelipkan amplop ke dalam tas. Untuk bekal hidup kita katanya. Uang dari amplop para tamu. Aku juga baru ingat semalam. Pas aku buka amplopnya ... lumayan, Bang. Lima juta rupiah," bisik Ranti perlahan ke telinga Bayu.Sontak saja Bayu terkejut. Tak menyangka, mertuanya sudah memikirkan kehidupan mereka. Ada rasa malu menyelinap di dalam hatinya, mengingat bagaimana ucapan-ucapan sedikit pedas dilontarkan ibunya pada Ranti. Padahal kedua orang tuanya tak sedikit pun memikirkan bekal mereka untuk memulai kehidupan baru."Ya Allah ... kenapa kamu tak bilang, Dek? Abang harus mengucapkan terima kasih pada Ayah dan Bunda."Ranti tersenyum. Jujur, ia saja tak menyangka akan mendapat bekal sebanyak itu dari kedua orang tuanya. Apalagi Ranti tahu, kedua orang tuanya telah membantu biaya resepsi pernikahan mereka, walau Ranti dan Bayu sudah menyanggupi membiayai resepsi pernikahan mereka sendiri meskipun tak mewah."Nanti saja Abang telpon. Sekalian kita kabari kalau kita sudah pindah ke kontrakan. Sekarang belanja dulu, tak usah Abang banyak pikiran. Rasa tak nyaman. Nanti keburu siang."Bayu menganggukkan kepalanya. Setelah membayar ikan dengan harga yang sudah disepakati tadinya, mereka bergegas menuju arah sayuran. Beruntung, penjual ikan langsung membersihkan kotoran di perut ikan-ikan yang mereka beli. Jadi nantinya tinggal dicuci dan dibumbui saja, ikan-ikan itu bisa langsung digoreng. Seikat kangkung menjadi pilihan pasangan suami istri itu berikutnya."Besok kita ke pasar lagi ya, Bang! Belanja untuk stok beberapa hari kalau hari ini sudah ada kulkasnya."Bayu tak menjawab, hanya ada isyarat lengkungan huruf O dari pertemuan jari jempol dan telunjuk kanannya pertanda menyetujui permintaan istrinya."Beli cabe, bawang, tomat, bumbu dapur, dan cobek sekalian, Dek. Biar bisa buat sambal. Makan ikan goreng tanpa sambal tak sah rasanya."Ranti hanya meneruskan langkahnya ke arah penjual barang-barang yang disebutkan Bayu. Laki-laki itu memilih berjalan di belakang istrinya."Duh ... yang lagi belanja. Enak ya kalau habis nikah itu langsung tinggal terpisah. Tak perlu repot-repot belanja dapur di rumah mertua."Bayu dan Ranti yang sedang memilih cobek sambil berjongkok terkesiap saat mendengar mendengar ucapan yang mengejutkan itu. Serempak keduanya menoleh ke arah sumber suara. Tak ayal, mata keduanya seketika membelalak saat menyadari kehadiran sosok yang sedang berdiri dengan beberapa kantung plastik di belakang mereka."Kak Dinda??" Bayu menatap wanita yang sedang berdiri di belakang mereka. Wanita yang menjadi kakak iparnya karena menikah dengan kakak sulungnya, Bang Ilham.Ranti menegakkan tubuhnya dan menyodorkan tangan sebagai bentuk penghormatan pada wanita itu. Acuh tak acuh, wanita itu menyambutnya."Kakak belanja juga?" tanya Ranti seraya tersenyum. Ranti hanya mengenal sosok Dinda saat pertemuan pertama mereka. Saat akad dan resepsi pernikahannya dan Bayu. Tak banyak sapa yang terucap di antara mereka kala itu mengingat Ranti sedang fokus menjalani segala prosesi acara pernikahan mereka.Wajah Dinda tampak datar, tak ada senyum menghiasi wajah perempuan yang mengenakan kerudung coklat itu. Bahkan sekadar untuk membalas senyuman yang dilemparkan Ranti. Tatapannya menelisik pada kantung plastik yang ada di tangan Bayu."Ya iyalah, namanya juga di pasar. Kalau bukan belanja mau ngapain? Nongkrong gitu?"Jelas, Ranti menjadi tak enak hati. Niat ingin beramah-tamah ternyata tak mendapat balasan
Untuk ikan, sayuran, dan bahan dapur digantung di bagian depan motor Bayu yang memang memiliki cantolan. Tinggallah si cobek yang sekarang duduk manis di pangkuan Ranti. Jelas, Ranti agak sedikit kesusahan membawa peralatan dapur dari bahan batu itu dengan posisi duduk menyamping di motor"Rumah Bang Ilham memang tak jauh dari sini, Dek. Hanya arah beda arah. Nanti kapan-kapan Abang ajak ya ke sana!" ujar Bayu seraya mulai menjalankan motornya. " Iya, Bang." Terdengar jawaban dari Ranti yang duduk di boncengan Bayu. Bayu tak dapat melihat ekspresi istrinya saat mengiyakan ajakannya itu.Entah apa yang dirasakan Ranti saat ini setelah mendengar semua perkataan Kak Dinda tadi. Untung saja, Bayu sempat memotong ucapan wanita itu. Jika tidak, rentetan kalimat tak jelas akan semakin panjang mengalir dari bibirnya.Selama ini Bayu memang tak terlalu akrab dengan kedua kakak iparnya, baik istri Bang Ilham, kakak sulungnya maupun istri Bang Anwar, kakak keduanya. Entah mengapa, selain karena
"Dian ...????" ucap Bayu dengan nada terkejut.Wanita yang ada di hadapan Bayu tampak menunjukkan ekspresi yang sama juga."Bang Bayu ...."Bayu dan wanita itu tampak sama-sama tak menyangka akan sosok yang ada di hadapan mereka. "Abang yang tinggal di rumah ini?" tanya wanita yang dipanggil dengan nama Dian oleh Bayu tadi.Ranti yang sempat mendengar percakapan di ruang depan bergegas mengakhiri suapan nasi dari piring ke mulutnya. Dengan cepat, Ranti mencuci tangan dan mengelapnya dengan selembar serbet bersih. Langkah kaki diayunkannya menuju sumber suara.Dua sosok saling berhadapan menjadi pandangan netra Ranti saat mendekati pintu depan. Jelas sekali, keterkejutan tampak dari wajah suaminya dan wanita yang ada di hadapannya itu. Siapakah wanita itu? Apakah Bayu mengenalnya hingga raut wajah suaminya terlihat seperti seakan tak percaya dengan sosok yang ditemuinya itu?"Eh, iya. Sejak kemarin. Bersama istriku," ujar Bayu sembari menggaruk tengkuknya yang Ranti yakin sebenarnya ta
Tak ada kursi di rumah yang mereka tempati. Dan memang belum ada dana lebih untuk membeli itu. Sehelai karpet berbahan bulu rasfur dipilih Ranti sebagai pengganti kursi.Ranti menurut. Diikutinya langkah Bayu yang sudah lebih dulu berjalan dan langsung mendudukkan tubuhnya pada karpet bewarna coklat muda itu.Cemburu itu jelas dirasakan Ranti saat ini. Mengapa suaminya dan wanita tadi saling mengenal dan terkesan begitu akrab. Tak mungkin jika tak ada apa-apa di antara mereka. Ranti cukup merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya saat melihat dan mendengar percakapan keduanya tadi."Mau dengar cerita Abang? Tapi jangan dipotong ya! Apalagi sampai emosi nantinya."Bayu menatap wajah Ranti. Netra keduanya saling beradu. Ranti hanya diam, sementara Bayu akhirnya menarik napas dalam-dalam.Mencoba memahami perasaan istrinya ini, Bayu tak akan marah ataupun emosi. Istrinya tak salah. Pun dirinya juga tak merasa bersalah dengan semua yang serba kebetulan ini. Siapa yang akan menduganya?"Dia
Lima belas menit melajukan kendaraan, akhirnya Bayu membelokkan sepeda motornya pada sebuah gerai ATM yang terletak di depan sebuah minimarket besar. Ranti turun dari motor dan masuk ke gerai ATM tersebut. Sementara Bayu tetap duduk di sepeda motornya. Tak lama kemudian, Ranti sudah keluar dari dalam gerai tersebut dan melangkah menuju sepeda motor yang diduduki Bayu."Bisa mengambil uangnya, Dek?" tanya Bayu pada istrinya itu."Ya bisa, Bang. Memangnya kenapa?" tanya Ranti dengan nada heran atas pertanyaan yang diajukan Bayu itu."Soalnya kadang-kadang uangnya sering kosong di sini, Dek. Ya sudah, ayo kita jalan lagi. Tadi ambilnya berapa memangnya?"Bayu menyerahkan helm kepada Ranti dan mulai menghidupkan mesin sepeda motornya."Ambil sepuluh juta, Bang. Nanti beli motornya yang harga delapan jutaan saja ya! Sisanya untuk beli kulkas," ujar Ranti sembari mendudukkan tubuhnya di belakang Bayu."Memangnya ada kulkas harga dua jutaan, Dek?"Kali ini Bayu yang menolehkan wajahnya pada R
"Baru satu, Yu. Mau masuk TK tahun depan. Eh ... jadi gimana, mau cari motor ya disini?"Irvan melemparkan pertanyaan pada sahabat lamanya itu."Iya, Van. Buat Ranti. Susah mau kemana-mana kalau tidak ada kendaraan sendiri," jawab Bayu sembari kembali memindai motor yang hampir dihidupkan mesinnya tadi."Aku bantu, deh! Ada dana berapa? Aku kasih murah buat pengantin baru. Hitung-hitung hadiah deh!" Irvan tertawa kecil saat melemparkan candanya."Serius nih, Van! Dana delapan juta deh! Cariin yang bagus!Irvan memindai beberapa motor yang berjejer rapi itu. Sesekali dahinya mengernyit pertanda berpikir motor yang cocok dengan dana yang dimiliki sahabatnya itu."Yang warna merah itu mau nggak, Yu? Itu mesinnya aku jamin bagus. Pemakaian sebelumnya belum terlalu lama. Yang punya dulu ibu-ibu kantoran. Pastinya pemakaiannya tak sembarangan," ujar Irvan sembari mengarahkan telunjuknya pada salah satu motor yang tak jauh dari posisi mereka berdiri saat ini."Yang merek *ea* itu? Pemakaian b
Hati Ranti berkecamuk saat kembali mengeja untaian kata bermakna pahit yang jelas tujuannya itu. Dirinya dan Bayu menjadi objek sasaran anak panah dari busur yang telah dilepaskan adik iparnya itu. Ada nada sindiran yang jelas tersirat dalam deretan kalimat itu. Ada juga peringatan agar tak melupakan sesuatu yang disebut sebagai tanggung jawab. Hanya saja, Ranti tetap menyimpan tanya dalam pikirannya. Pertama, terkait pembelian sepeda motor. Tak ada orang yang tahu jika dirinya dan Bayu baru saja membeli sepeda motor, walau kondisinya tak baru. Ranti bukannya tak ingin membeli sepeda motor yang masih dalam kondisi baru, hanya keuangan mereka tak memungkinkan. Untuk mengambil dengan sistem cicilan, Ranti menghindarinya. Lebih baik membeli yang bekas dengan sistem tunai daripada harus berhutang untuk mendapatkan barang yang sama dengan kondisi yang baru.Nina bahkan mendapatkan foto sepeda motornya dengan sangat jelas. Darimana adik ipar nyinyirnya itu mendapatkannya?Seingat Ranti, Irv
Sepertinya Bayu tak tahu tentang balasan status yang dituliskan Ranti pada aplikasi berlogo hijau di gawai suaminya itu. Ranti pun tak menyinggungnya sama sekali. Mencoba seolah-olah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Nina, adik ipar julidnya itu.Saat Bayu tidur, Ranti yang terbangun karena merasa ingin buang air kecil sempat memeriksa update status di gawai Bayu. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk melihat status Nina, ipar yang memang sepertinya ingin mencari masalah dengan dirinya.Hanya emoticon marah yang disematkan Nina di sana selang lima belas menit setelah status yang dituliskan Ranti diunggah. Ranti mencoba untuk tak menanggapinya lagi. Meladeni orang seperti Nina tak akan berkesudahan. Hanya akan menghabiskan energinya saja. Yang terpenting bagi Ranti sekarang, mencoba mencari penyebab ketidaksukaan gadis itu pada dirinya."Bang ... bangun dulu. Sudah Azan Subuh."Ranti terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang dari masjid yang letaknya di perkampungan tak jauh dari