"Air putih saja. Dek, makan bareng yuk! Habis makan ini Abang lanjutkan bersihkan ilalangnya. Terus kita ke pasar. Beli stok bahan makanan untuk beberapa hari. Jadi nanti Adek tak repot mau belanja, tinggal masak saja," ujar Bayu sembari meraih satu piring nasi goreng yang sudah disiapkan Ranti.Tak ada meja makan yang mereka miliki. Satu meja plastik kecil mereka beli untuk meletakkan piring saat mereka makan. Persis di lesehan, makan sembari duduk melantai. Bayu mengucapkan syukur dalam hatinya, Ranti bukan tergolong wanita yang cerewet. Tak masalah dengan kondisi seadanya saat ini.Ranti menuruti ajakan suaminya itu. Duduk di dekat Bayu sembari meraih piring nasi goreng yang tersisa. "Bagaimana nasi gorengnya, Bang? Enak? Maaf kalau tak enak ya," ucap Ranti seraya menikmati nasi goreng di piringnya. Baginya sendiri, rasa nasi goreng ini sudah pas. Namun entah bagi Bayu. Ini kali pertama Ranti memasak goreng untuk suaminya itu."Pas, Dek. Cocok kalau buat jualan," jawab Bayu sembari
Ranti mengeluarkan roti yang baru saja matang dari oven gas kecil yang dibelinya kemarin. Beruntung saat semasa gadis dirinya bukanlah tipe pemboros. Mulai mencari uang tambahan sejak kuliah semester ketujuh membuat Ranti tahu memaknai setiap hasil tetes keringatnya. Ranti memutuskan untuk mengambil sebagian sisa tabungan yang jumlahnya masih terbilang cukup lumayan. Memang tidak sebanyak dulu, sebagian tabungannya Ranti gunakan untuk ikut membiayai resepsi pernikahannya dan Bayu. Ranti tak mau menyusahkan kedua orang tuanya. Walau tak mewah, resepsi pernikahan itu biarlah menjadi tanggungan dirinya dan Bayu.Berbagai pekerjaan sampingan dilakukan Ranti semasa kuliah. Menjual baju secara online, mengajar les secara privat anak-anak SD yang kebanyakan merupakan keponakan teman-teman kuliahnya, sampai berani menerima pesanan berbagai roti dan kue saat menjelang wisuda. Bukan hanya bermodal tekad dan semangat saja, Ranti bahkan memberanikan ikut kursus membuat kue dan aneka roti untuk me
Ranti berdiri di rumah yang berada persis di sebelah kanan rumah kontrakan mereka. Rumah yang berwarna kuning muda, sama seperti warna cat umumnya rumah di daerah ini. Sepertinya, warna ini menjadi warna asli cat semua rumah di perumahan ini dari pihak pengembang. Hanya beberapa rumah saja yang sudah mengganti warna catnya dengan warna yang lain.Rumah sederhana dengan beberapa pot tanaman hias di depan rumah. Ranti terbersit untuk melakukan hal yang sama di rumah mereka nantinya. Ternyata, keberadaan tanaman hias itu membuat rumah lebih nyaman untuk dipandang."Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam rumah.Tak lama, keluar seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Ranti, menggendong seorang anak kecil berusia sekitar satu tahun."Maaf, Kak. Perkenalkan, saya Ranti. Tetangga baru yang mengontrak di sebelah rumah Kakak," ujar Ranti seraya mengarahkan telunjuk kanannya ke arah rumah yang mereka tempati.Wanita di hadapan Ranti mengembangkan senyumnya. Anak kecil yang berjenis k
Aroma khas pindang menguar saat Ranti mematikan api kompor. Tangannya lincah menuangkan isi panci berkuah itu ke dalam sebuah mangkok putih berukuran agak besar. Bersamaan dengan itu terdengar suara deru motor memasuki halaman rumah.Ranti memang sengaja memasak agak siang. Setelah mengantarkan roti kepada para tetangga tadi, Ranti mencoba membuka media sosial di gawainya. Mencari lowongan pekerjaan yang mungkin saja ada di kota ini. Berpangku tangan saja tak nyaman rasanya bagi Ranti. Apalagi sendirian saja di rumah setiap hari saat suaminya bekerja. Paling tidak sampai Yang Maha Kuasa menitipkan amanah bagi dirinya dan Bayu.Jam sebelas siang tadi baru Ranti mulai menyiapkan bumbu pindang. Berbagai bahan mulai dari lengkuas, kunyit sampai bawang putih dan bawang merah. Tak perlu menghaluskan bumbu, cukup diiris saja. Setelah ditumis hingga matang dan harum, Ranti menambahkan air secukupnya. Saat air mendidih, aroma pindang mulai tercium dan potongan ikan dapat dimasukkan. Tak ketingg
Ranti tiba-tiba menyampaikan apa yang ada di pikirannya pada Bayu yang sedang berbaring di atas karpet berwarna biru muda sebagai alas lantai pada kamar itu. Sontak saja, Bayu cukup terkejut dengan usulan istrinya."Nanti Adek kelelahan. Kalau untuk kehidupan kita sehari-hari, Abang insya Allah bisa mencukupinya, Dek."Bayu merasa beban untuk menafkahi Ranti ada di pundaknya. Tanggung jawabnya sebagai suami.Ranti mendekati Bayu, lantas duduk di dekat laki-laki itu."Bang, hidup kita perjalanannya masih panjang. Abang tak ingin punya rumah sendiri? Abang tak ingin anak-anak kita berpendidikan tinggi nantinya? Ini peluang usaha, Bang. Semoga Allah mudahkan. Kita coba dulu dan lihat hasilnya. Lagi pula, lowongan pekerjaan lainnya belum Adek temukan."Ranti mencoba menyampaikan niatnya pada Bayu. Ranti sangat ingat perkataan mertuanya saat itu bahwa Bayu memiliki tanggung jawab yang akan tetap melekat walaupun mereka sudah menikah. Ranti sangat paham arti kata tanggung jawab yang dimaksud
"Tergantung ... siapa yang akan hadir saat kami butuhkan."Ranti tadinya tak ingin meladeni adik iparnya itu. Bukan sifatnya untuk saling sindir, mencaci ataupun mengurusi kehidupan orang lain. Namun sepertinya gadis di hadapan Ranti ini perlu dikasih pelajaran sekali-sekali."Apa maksud Kakak? Apa tetangga lebih penting dan berarti bagi Kakak dan Abang dibandingkan keluarga sendiri?" Nada bicara Nina sedikit lebih tinggi. Namun Ranti tak terpancing.Ranti menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Menghadapi Nina tak perlu dengan ikut menaikkan nada suara. Terlalu menguras energinya."Bagaimana kalau pertanyaan itu Kakak balik sekarang, apakah kalian menganggap Kakak dan Bang Bayu penting?"Tegas kalimat itu Ranti ucapkan, namun dengan nada datar. "Kakak memang pandai memutarbalikkan fakta. Kalau Kakak tak kami anggap penting, tak mungkin kami pergi ke daerah Kakak untuk menghadiri resepsi kemarin," ujar Nina dengan nada yang semakin meninggi."Jangan membuat Kakak tertawa, Nina. Semen
Jika benar ada kisah yang terjalin antara Bayu dan Dian di masa lalu, sejauh ini Ranti tak melihat keduanya menunjukkan tanda-tanda itu. Tak ada komunikasi yang terjalin antara suaminya dan wanita yang tinggal di depan rumah mereka itu. Hanya satu hal yang membuat Ranti tak nyaman, ulah Dian yang sering tanpa sengaja kepergok mengintip ke arah rumah mereka. Atau ada kemungkinan yang lain seperti yang disampaikan Bayu kemarin. Dian menaruh hati diam-diam pada Bayu dan masih menyimpan rasa itu hingga sekarang. Tapi bukankah Dian sudah berstatus sebagai istri orang? Walaupun sampai hari ini, Ranti tak pernah melihat sosok suami wanita itu.Bahkan Ranti menduga kemungkinan yang lebih buruk lagi. Nina, adik iparnya itu yang hendak menjodohkan Bayu dengan Dian, sahabatnya. Dian serius menanggapi niat Nina karena wanita itu memang menyimpan rasa untuk kakak sahabatnya, namun tak demikian halnya dengan Bayu. Tiba-tiba Ranti merasakan kepalanya berputar saat memikirkan berbagai kemungkinan ya
"Tolong jujur ... apakah benar Abang pernah menjalin hubungan dengan Dian di masa dulu?"Ranti menatap tajam pada suaminya itu. Bayu sontak terkejut mendengar pertanyaan Ranti itu. Padahal, kemarin Bayu merasa sudah menjelaskan segalanya. Tak ada yang dia sembunyikan, karena memang tak ada yang harus ditutupi. Lantas mengapa Ranti bertanya lagi tentang hal yang sama? Mengapa Ranti seolah tak mempercayai perkataannya kemarin?"Kenapa Adek bertanya lagi? Kan sudah Abang jelaskan kemarin. Tak ada apa-apa antara Abang dan Dian. Abang bersumpah. Adek tak percaya?"Bayu menatap Ranti dengan bingung. Bukan sifat Ranti seperti ini. Bayu sangat mengenal karakter dan pola pemikiran Ranti. Waktu panjang yang mereka lalui cukup memberikan kesempatan bagi Bayu untuk memahami Ranti. "Ada yang bilang sesuatu ke Adek tentang Dian?" tanya Bayu sambil meraih jemari istrinya itu.Ranti diam, tak menjawab. Antara rasa bingung dan penasaran atas apa yang telah didengarnya. Kalau memang Bayu merasa tak ad