"Abang kan gajian tanggal 1. Biasanya Abang kasih Ibu 1,5 juta. Yah ... separuh gaji Abanglah. Sisanya gaji Abang untuk keperluan sendiri. Bensin, pakaian, makan. Nanti kan di pertengahan bulan Abang dapat tunjangan tambahan penghasilan. Nah, Abang hanya belikan perlengkapan rumah yang Abang rasa habis saja. Sabun, beras atau lainnya. Nah, sisa tunjangan tambahan penghasilan itulah yang Abang tabung."Ranti mengerutkan bibirnya pertanda sedang memikirkan sesuatu."Lantas sekarang, Abang mau kasih Ibu berapa tiap bulannya?" Tampak Bayu berpikir. Mencoba meraba nominal yang sesuai untuk ibunya."Abang pikir lima ratus ribu saja pas Abang gajian. Nanti kalau ada tambahan honor kegiatan kantor, Abang tambahkan untuk Ibu."Ranti menghela napas panjang. Hati kecilnya merasa hal ini akan menjadi salah satu masalah ke depannya."Tak masalah bagi Ibu nantinya? Kan biasanya Abang memberi jumlah yang cukup besar pada beliau," ujar Ranti perlahan.Uang merupakan hal yang sensitif. Tak cuma antar
Ranti merasakan kebahagiaan tersendiri saat melihat deretan roti beraneka bentuk dan rasa di tampah plastik. Roti dengan isian pisang, keju, coklat dan abon ayam di tangan Ranti menjadi aneka bentuk yang tampak menarik. Aroma harum menguar sejak roti mulai dikeluarkan dari oven pemanggang. Rasa lelahnya terbayar seketika.Ranti melihat penunjuk waktu di gawainya, jam sepuluh lebih lima belas menit. Sepertinya jam dinding merupakan salah satu perlengkapan rumah tangga yang harus dibeli di bulan ini.Sekarang waktunya menyiapkan masakan siang. Tak ada menu khusus yang dipesan Bayu hari ini. Artinya, Ranti bebas memasak apapun hari ini. Melangkah ke arah tempat cucian piring, Ranti memastikan ayam beku yang sudah dikeluarkannya tadi pagi sudah berubah kondisinya. Tongseng ayam menjadi pilihan Ranti sebagai menu hari ini. Selanjutnya capcai sebagai sayuran dengan bahan wortel, kubis, dan jagung muda sebagai tambahannya. Untunglah, Bayu bukan tipe suami yang cerewet untuk masalah perut.
Ranti memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Tak ada salahnya lebih mengenal sosok Dian lebih dalam. Bisa jadi, praduganya salah."Masuk saja dulu kalau begitu, Dian. Kakak memang lagi menyiapkan roti pesanan. Buatnya sih berlebih memang sebenarnya. Dian mau beli?" tanya Ranti sembari membuka pintu lebih lebar agar memudahkan pergerakan Dian masuk ke dalamnya.Dian tanpa rasa canggung masuk saat dipersilahkan Ranti. Matanya takjub saat melihat boks karton yang menampakkan roti di dalamnya melalui tutup plastik mika sebagai tutupnya. "Kakak dapat orderan sebanyak ini? Sudah berapa lama menerima oderannya, Kak?" Dian mengambil salah satu boks. Wajahnya sumringah."Kemasannya juga bagus, Kak. Tampilannya jadi elegan. Tiap boks berisi berapa roti?" tanya Dian tanpa rasa malu.Ranti saja merasa terkejut dengan sikap Dian. Wanita ini tergolong tipe yang mudah mengakrabkan diri dengan orang lain. Jika memang Dian masih menyimpan rasa untuk Bayu, tak mungkin sikapnya akan seperti ini. Pasti Di
"Dek, jadi perginya sore ini ke rumah Bapak?" tanya Bayu saat melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Tampak Ranti sedang merapikan kotak kardus yang berisikan bahan-bahan usaha rotinya itu."Abang ... bukannya mengucapkan salam kalau masuk rumah itu," ujar Ranti sembari meletakkan kardus dan melangkah menyambut kedatangan suaminya itu."Abang sudah ucapkan salam. Dasar Adek saja tak mendengar. Oh iya, ini uang rotinya dari Bu Rini. Terima kasih katanya, atas bonus roti yang diberikan. Kapan buat roti lagi? Bu Dina, kepala seksi keuangan juga mau pesan katanya. Tergoda saat mencicipi roti yang diberikan Bu Rini tadi," ujar Bayu sembari membuka kaos kakinya lalu menyerahkan selembar helaian biru dan selembar helaian uang berwarna merah muda pada Ranti."Alhamdulillah, besok buat lagi Bang. Soalnya ada pesanan 30 buah roti yang masuk untuk besok. Abang tanyakan saja pada Bu Dina nanti, mau rasa apa saja. Biar dicatat jadinya."Ranti tersenyum bahagia saat mendengar kabar yang dibawa Bayu. S
"Iya. Tapi Ibu salat dulu. Tolong kamu selesaikan cucian piring itu dulu. Setelah Ibu selesai, baru kamu salat," tukas Bu Ratna sembari mengarahkan pandangannya pada tumpukan cucian piring yang menumpuk.Ranti menyunggingkan senyumnya. Walaupun dirinya sedikit heran, mengapa sampai ada tumpukan cucian piring sebanyak itu? Padahal di rumah ini tak banyak ada anak kecil lagi. Lagi pula mereka sudah dewasa semua, bukan hal sulit untuk langsung mencuci piring yang mereka gunakan masing-masing setelah makan.Entahlah, Ranti tak mau pusing memikirkan hal yang tak penting. Baginya, yang terpenting saat ini menyelesaikan tugas dari ibu mertuanya dengan cepat agar waktu salatnya tak ketinggalan. Ranti mulai menyingsingkan lengan tunik yang dikenakannya saat Bu Ratna melangkah meninggalkan dapur dan mulai mengambil wudhu di kamar mandi.Ada lebih dari lima piring makan yang kotor. Ada juga beberapa gelas di sana. Sebuah wajan penggorengan yang masih menyisakan bekas minyak tak ketinggalan. Rant
"Yang menyuruh kalian mengontrak siapa? Rumah ini cukup besar untuk kalian tempati. Kalian saja yang lebih memilih untuk membayar rumah orang daripada tetap tinggal di sini," tukas Bu Ratna dengan tegas.Jantung Ranti bergemuruh seketika saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Apakah ini salah satu alasan yang membuat wanita ini tak bisa menerima kehadirannya? Benar kata pepatah, kejamnya dunia tak sekejam mulut mertua. Hati Ranti mulai menerka penyebab ibu mertuanya ini tak menyukainya. Mungkin di benak beliau, Ranti yang bersikeras tak ingin seatap dengannya. Padahal Ranti tak pernah meminta pisah rumah dengan mertuanya itu pada Bayu. Ranti mencoba menjadi bagian keluarga suaminya. Suaminya sendiri yang mengajak Ranti untuk hidup mandiri."Bu, bukankah sudah pernah Bayu sampaikan dulu, sebelum menikahi Ranti? Bayu mencoba belajar mandiri. Tak mungkin selamanya kami tinggal di rumah ini. Anak Ibu dan Bapak ada lima. Bagaimana nasib kami dan anak-anak kami kelak jika rumah Ibu dan Ba
"Sudahlah, Bu. Bayu sudah berkeluarga sekarang. Tak mungkinlah memberikan Ibu uang sebesar saat dia masih bujangan. Lagipula umur kita ini sudah tua. Kapan lagi akan melihat anak kita bahagia? Apa Ibu mau Bayu memberikan uang yang banyak pada Ibu, tapi hidupnya sengsara, menderita?"Pertanyaan Pak Rahmat tak mendapat jawaban dari istrinya. Pak Rahmat tahu sifat istrinya itu. Sulit dibantah secara langsung. "Ranti, Bayu, bagi Bapak ... kalian bahagia dengan rumah tangga kalian masing-masing sudah cukup. Tak perlu memikirkan uang untuk kami. Sampai saat ini insyaAllah Bapak masih sanggup, masih kuat untuk menafkahi Ibu dan kedua adikmu. Tak usah jadi pikiran kalian."Bayu tak menyangka bapaknya akan berkata seperti itu. Mengapa pola pikir bapak dan ibunya sungguh berbeda?"Nanti kapan-kapan Bapak dan Ibu akan ke rumah kalian. Maaf kalau sekarang belum sempat. Bapak lagi banyak kerjaan saat ini."Ranti memberanikan diri mengangkat wajahnya. Tersenyum menatap wajah bapak mertuanya itu."T
Sudah sebulan Ranti menggeluti usaha rotinya. Syukur dalam hati senantiasa Ranti panjatkan atas segala rezeki dari-Nya. Setiap hari selalu ada pesanan yang masuk. Minimal lima puluh buah roti setiap hari siap untuk diantarkan ke alamat pemesan. Untuk urusan pengantaran, untung saja Bayu masih siap selalu menjadi kurirnya.Perlahan namun pasti, Ranti yakin usaha yang digelutinya saat ini akan menghasilkan pundi-pundi uang untuk masa depan mereka yang lebih baik nantinya."Dek, ada teman yang mengusulkan kalau usaha roti Adek ini kita urus izin usahanya. Nanti di kemasan roti akan tercantum nomor izin dagangnya. Jadi usaha Adek ini legal, resmi. Terus nanti kita urus kehalalannya juga. Agar setiap orang yakin bahwa produk roti Adek ini halal. Jadi resmi dan halal, seperti itu kurang lebih," ujar Bayu saat mereka sedang menikmati makan malam setelah menunaikan salat Magrib tadi.Tak ada menu istimewa yang disajikan Ranti malam ini. Sama seperti siang tadi, hanya ada telur dadar, tempe gor
"Abang tak lagi sering memberikan kami uang.""Bukankah jatah bulanan Ibu tetap kami berikan? Bahkan saat Bang Bayu di penjara pun, Kakak tetap memberikan Ibu uang kan? Padahal saat itu Bang Bayu tak lagi memiliki gaji sama sekali. Uang itu murni dari Kakak.""Tapi Abang dulu sering memberikan tambahan uang buatku dan Ibu di luar jatah bulanan itu."Ranti mengerti penyebab semua kebencian ibu mertuanya itu sekarang."Saat itu Bang Bayu masih bekerja kan?" tanya Ranti dengan nada sehalus mungkin."Kakak pasti telah mengguna-gunai Abang hingga tak lagi peduli ke kami. Padahal sekarang ekonomi Abnag jauh lebih baik daripada saat menjadi pegawai negeri dulu. Usaha Abang maju pesat. Tapi mengapa Abang tak royal lagi pada kami? Abang seakan tak berdaya karena cengkeraman tangan Kakak."Jelas sudah semuanya. Fitnah keji itu jelas-jelas membuat luka hati Ranti kembali menganga. Luka yang pernah ada semakin terasa perih karena mendapat siraman air garam di atasn
Sontak saja Bayu dan Bu Ratna merasa terkejut atas ucapan Ranti itu. Walaupun diucapkan dengan perlahan sehingga tak ada tamu atau pun anggota keluarga lain yang mendengar, tetap saja Bayu merasa terperanjat. Bingung sekaligus terkejut mengapa sang istri berkata seperti itu. Bu Ratna sendiri memilih diam. Tak mampu entah tak mau membalas ucapan menantunya. Wajah sang ibu mertua tak menunjukkan ekspresi apa pun saat menerima piring yang disodorkan Ranti. Namun bagi Ranti semua itu tak ada maknanya lagi.Selanjutnya tiba acara utama. Bayu memberikan sambutannya. Ranti tak henti melepaskan senyum bahagianya. Kebahagiaan hari ini mungkin tak akan terulang lagi ke depannya. "Terima kasih atas kehadiran semua yang sudah hadir di sini sore ini. Tak dapat kami lukiskan perasaan bahagia kami hari ini. Kalian telah membersamai kami selama ini. Bahkan pada saat kami, terutama saya mengalami masa-masa terburuk dalam kehidupan ini. Ucapan tulus ini kami sampaikan. Ta
Ranti melihat aneka masakan yang tersaji. Ayam goreng mentega, sate ayam, selada, kari telur, aneka lalapan, dan tak ketinggalan sambal tomat khas buatan emak Agung. Makanan setengah berat pun sudah tersaji. Bunga menambahkan es kelapa muda sebagai penghilang dahaga.Mengedarkan pandangannya pada keluarga dan pegawai yang sudah hadir. Sebagian sedang menunaikan salat Asar di ruang musala keluarga. Ranti belum melihat sosok tamu istimewanya sore ini. Semoga mereka akan hadir agar semuanya dapat diselesaikan.Masih ingat dengan semua yang dilihatnya dua hari yang lalu, Ranti berusaha sekuat tenaga menahan genangan bulir bening yang siap tumpah dari ujung kedua netranya. Tak ingin menunda lagi, semuanya harus diputuskan sekarang. Berpuluh purnama telah terlalui, kenyataan itu masih tetap sama. Bahkan mungkin sampai ratusan purnama berlalu pun, dirinya tak akan mampu merubah kenyataan itu."Dek, mau dimulai acaranya sekarang?" tanya Bayu yang tiba-tiba muncul
Ranti cepat merangkul ibunya. Seolah-olah ibunya meninggalkan pesan terakhir untuk dirinya. Bulir bening membasahi pipi mereka berdua."Sudah, jangan menangis. Ibu tahu, kamu wanita yang kuat, Ran. Wanita yang tegar. Terus seperti ini ke depannya. Hidup ini ujian, bukan hidup jika tak ada cobaan. Ibu percaya, kamu mampu melewati apa pun yang akan terjadi nanti. Ingat, Ibu akan selalu mendukungmu!"Ranti kembali terisak saat mendengarkan pesan ibunya itu. Dirinya kuat karena ada ibunya. Lantas bagaimana jika sosok yang memeluknya sekarang tak ada lagi suatu saat nanti?"Sudah, hapus air matamu! Sebentar lagi mau menjemput Faiz dan Farah kan?"Bu Dewi mengurai pelukannya. Mengelap air mata yabg membasahi pipi putri tercintanya.Ranti menganggukkan kepalanya. Tak ada lagi panggilan si kembar semenjak kelahiran Faiz dan Farah karena yang kembar tak hanya mereka.Bu Dewi beranjak dari duduknya, meninggalkan Ranti yang sedang merapikan
"Ibu tak punya beban lagi jika suatu saat dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menyusul ayah kalian. Anak-anak kami sudah bahagia dengan kekuarganya masing-masing. Walaupun sampai saat ini Ryan dan Bunga belum memberikan Ibu cucu, tak apa. Enam cucu Ibu darimu dan Bayu rasanya sudah cukup memberi kebahagiaan bagi Ibu di usia yang sudah sepuh ini."Sampai saat ini memang Ryan dan Bunga belum mampu menghadirkan cucu untuk ibu mereka. Tak kurang kasih sayang Bu Dewi tetap pada menantunya itu. Tak menyalahkan apalagi menghujat sang menantu atas amanah yang belum mereka dapatkan. Semuanya takdir. Jika janin itu belum hadir di rahim Bunga, artinya Allah belum berkehendak menghadirkan cucu dari anak dan menantunya itu. Allah belum mengizinkan dirinya mendapat cucu dari sang putra bungsu. Bukankah semua yang terjadi di bumi ini atas izin-Nya? Bahkan langit mendung pun tak akan jadi hujan jika Allah belum berkehendak. Sehelai daun hanya akan luruh dari tangkainya jika Allah men
Melalui berpuluh purnama, sikap ibu mertua Ranti tak pernah berubah. Selalu hanya menimbulkan masalah jika sosoknya tiba-tiba muncul di rumah anak dan menantunya. Ranti memilih tak lagi peduli dengan semua sikap yang ditunjukkan wanita itu padanya ataupun anak-anak mereka.Empat kali melahirkan dengan kondisi kehamilan ketiga dan keempat sepasang bayi kembar, Ranti tak pernah merasakan kehadiran sosok ibu mertua membersamai saat harus bertarung nyawa melahirkan cucunya. Untunglah, saat persalinan keempat ada sosok suami yang menungguinya. Menguatkan Ranti untuk terus berjuang menghadirkan anak mereka ke dunia.Tangis haru sempat dirasakan Ranti saat mengingat momen persalinan ketiganya. Tanpa kehadiran sang suami kala itu membuat dirinya bertekad harus kuat berjuang sendiri. Alif sudah duduk di kelas sekolah menengah saat ini. Sedangkan Fayza, Hanun, dan Hanif duduk di bangku sekolah dasar. Ranti memilih sekolah Islam dengan sistem full day untuk keempat
"Bu Ayu, Bu Rina, bawa anak-anak ke kamar mereka."Ranti tak ingin keempat bocah itu merekam peristiwa yang mungkin tak bisa ditebaknya nanti. Setelah keempat anaknya pergi, Ranti menyiapkan diri terhadap hal buruk yang akan terjadi."Ibu, silahkan duduk! Bang Bayu sedang makan di dapur, sebentar lagi selesai."Ranti pun mendudukkan tubuhnya di sofa panjang yang menghadap ke layar kaca. Bu Ratna tak menyambut ajakan menantunya itu."Tak perlu basa-basi. Ibu langsung pada tujuan saja." Wajah ibu mertua Ranti itu merah seperti menahan amarah. Ranti sendiri bingung, apalagi yang menjadi sumber kemarahan wanita yang ada di hadapannya ini. Seharusnya dirinya yang mungkin seringkali harus menahan amarah atas sikap keluarga mertuanya itu. Bukan sebaliknya."Kalian baru pulang umroh kan? Hebat sekali kalian berangkat umroh dengan ibumu, sedangkan aku, ibu dari suamimu tak kalian ajak. Kalian benar-benar kurang ajar. Bayu semakin jadi an
Pekik girang bocah menyambut kedatangan mereka saat memasuki rumah. Hanun bahkan tak mau lepas dari gendongan Ranti lagi. Sedangkan Hanif memilih terus berada di punggung ayahnya. Wajah-wajah yang tadinya kelihatan lelah tak tampak lagi saat mereka melihat senyum bahagia keempat bocah itu."Alif sukses ya menjaga adik-adik?" tanya Ranti sembari tersenyum melihat putra sulungnya itu."Siapa dulu, Bunda. Aliffff."Putra sulung Ranti itu tampak bangga saat disebut sukses menjaga adik-adiknya. Senyum bahagia senantiasa terkembang di bibirnya yang memiliki pola senyuman khas ayahnya. Kulit Alif memang mewarisi Ranti, tapi tidak dengan bentuk wajahnya. "Bu Ranti, Bu Dewi, Pak Bayu, makan dulu. Kami sudah siapkan menu istimewa hari ini."Ucapan Bu Ayu itu membuat Ranti menolehkan kepalanya pada wanita yang telah menjaga anak-anaknya selama mereka pergi. Bu Ayu bersedia tak pulang setiap hari dan menginap di rumah itu bersama Bu Rina. Bunga dan
Hari ini Ranti, Bayu, dan Bu Dewi tiba kembali di tanah air setelah selesai menunaikan ibadah umroh mereka. Rangkaian ibadah yang mampu membuat mereka semakin mendekatkan diri pada-Nya. Tangis bahagia tak mampu Bu Dewi tahan saat melihat Ka'bah di depan matanya. Melangitkan doa dan pinta di tempat yang paling diidamkan oleh umat muslim sedunia."Semua aman?" tanya Ranti kepada adiknya yang menjemput mereka di bandara. Berpisah dengan rombongan yang masing-masing dijemput keluarga mereka."Aman, Kak. Tenang saja."Ryan memilih fokus pada kemudi. Menjalankan kendaraan dengan perlahan karena posisi antrian di pintu keluar yang mengular."Ibu berdoa di sana untuk jodohmu. Disegerakan mumpung Ibu masih ada."Kali ini Bu Dewi yang berbicara. Wanita itu memang sempat memohon satu pinta yang khusus di sana. Usianya sudah menua. Tak ingin putra bungsunya tak ada yang mengurus jika dirinya sudah tiada."Apaan sih, Bu! Namanya jodoh ... kal