"Yang menyuruh kalian mengontrak siapa? Rumah ini cukup besar untuk kalian tempati. Kalian saja yang lebih memilih untuk membayar rumah orang daripada tetap tinggal di sini," tukas Bu Ratna dengan tegas.Jantung Ranti bergemuruh seketika saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Apakah ini salah satu alasan yang membuat wanita ini tak bisa menerima kehadirannya? Benar kata pepatah, kejamnya dunia tak sekejam mulut mertua. Hati Ranti mulai menerka penyebab ibu mertuanya ini tak menyukainya. Mungkin di benak beliau, Ranti yang bersikeras tak ingin seatap dengannya. Padahal Ranti tak pernah meminta pisah rumah dengan mertuanya itu pada Bayu. Ranti mencoba menjadi bagian keluarga suaminya. Suaminya sendiri yang mengajak Ranti untuk hidup mandiri."Bu, bukankah sudah pernah Bayu sampaikan dulu, sebelum menikahi Ranti? Bayu mencoba belajar mandiri. Tak mungkin selamanya kami tinggal di rumah ini. Anak Ibu dan Bapak ada lima. Bagaimana nasib kami dan anak-anak kami kelak jika rumah Ibu dan Ba
"Sudahlah, Bu. Bayu sudah berkeluarga sekarang. Tak mungkinlah memberikan Ibu uang sebesar saat dia masih bujangan. Lagipula umur kita ini sudah tua. Kapan lagi akan melihat anak kita bahagia? Apa Ibu mau Bayu memberikan uang yang banyak pada Ibu, tapi hidupnya sengsara, menderita?"Pertanyaan Pak Rahmat tak mendapat jawaban dari istrinya. Pak Rahmat tahu sifat istrinya itu. Sulit dibantah secara langsung. "Ranti, Bayu, bagi Bapak ... kalian bahagia dengan rumah tangga kalian masing-masing sudah cukup. Tak perlu memikirkan uang untuk kami. Sampai saat ini insyaAllah Bapak masih sanggup, masih kuat untuk menafkahi Ibu dan kedua adikmu. Tak usah jadi pikiran kalian."Bayu tak menyangka bapaknya akan berkata seperti itu. Mengapa pola pikir bapak dan ibunya sungguh berbeda?"Nanti kapan-kapan Bapak dan Ibu akan ke rumah kalian. Maaf kalau sekarang belum sempat. Bapak lagi banyak kerjaan saat ini."Ranti memberanikan diri mengangkat wajahnya. Tersenyum menatap wajah bapak mertuanya itu."T
Sudah sebulan Ranti menggeluti usaha rotinya. Syukur dalam hati senantiasa Ranti panjatkan atas segala rezeki dari-Nya. Setiap hari selalu ada pesanan yang masuk. Minimal lima puluh buah roti setiap hari siap untuk diantarkan ke alamat pemesan. Untuk urusan pengantaran, untung saja Bayu masih siap selalu menjadi kurirnya.Perlahan namun pasti, Ranti yakin usaha yang digelutinya saat ini akan menghasilkan pundi-pundi uang untuk masa depan mereka yang lebih baik nantinya."Dek, ada teman yang mengusulkan kalau usaha roti Adek ini kita urus izin usahanya. Nanti di kemasan roti akan tercantum nomor izin dagangnya. Jadi usaha Adek ini legal, resmi. Terus nanti kita urus kehalalannya juga. Agar setiap orang yakin bahwa produk roti Adek ini halal. Jadi resmi dan halal, seperti itu kurang lebih," ujar Bayu saat mereka sedang menikmati makan malam setelah menunaikan salat Magrib tadi.Tak ada menu istimewa yang disajikan Ranti malam ini. Sama seperti siang tadi, hanya ada telur dadar, tempe gor
Ranti hendak mengatakan sesuatu, namun keraguan menyelimuti hatinya. Takut jika dugaannya salah. Ada rasa khawatir jika Bayu kecewa."Bang ...." ucap Ranti perlahan seraya menatap takut-takut pada suaminya. Bagaimanapun dirinya harus menyampaikan semua ini.Bayu mengernyitkan dahinya. Ada apa dengan Ranti? Wajah yang tadinya ceria dan bahagia, mengapa tiba-tiba berubah?"Adek ada masalah?" tanya Bayu perlahan. Diraihnya jemari Ranti perlahan. Digenggamnya dengan penuh kelembutan."Bang ... sebenarnya sudah satu minggu ini Adek telat datang bulan. Tapi tak ada rasa apa-apa di badan. Apa mungkin Adek hamil ya, Bang?"Tampak sekali rona malu yang berusaha disembunyikan Ranti pada Bayu. Bayu tertawa saat mendengar ucapan istrinya itu. Ada rasa bahagia yang membuncah jika apa yang dikatakan istrinya itu benar. Semoga benar, Ranti hamil anak pertama mereka."Kita langsung ke dokter saja sekarang kalau begitu, Dek. Biar yakin. Semoga Adek benar-benat hamil. Ya Allah ... semoga doa dan pinta k
Dengan cepat tangan Ranti menyentuh tombol hijau pada layar pipih itu."Assalamu'alaikum, Bu. Apa kabar? Ibu sehat? Ada apa menelpon pagi-pagi sekali?"Ranti langsung meluncurkan rentetan pertanyaan pada sosok yang berbicara dengannya di seberang sana.Bayu menatap istrinya dalam-dalam, mengernyitkan dahi seakan ingin menebak siapa sosok yang menjadi lawan bicara istrinya itu. Apakah itu ibu mertuanya? Tumben sekali wanita itu menelpon sepagi ini jika tak ada hal yang sangat penting.Entah apa yang dibicarakan lawan bicara istrinya itu, sampai akhirnya terdengar ucapan Ranti."Kenapa mendadak sekali, Bu? Harusnya Ibu dan Ayah jauh hari sudah memberi kabar."Benar dugaan Bayu. Ranti sedang berbicara dengan mertuanya. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi."Ya sudah kalau begitu. Nanti Ranti jemput di bandara ya. Kalaupun Bang Bayu sibuk, Ranti sendiri yang akan berangkat. Ayah dan Ibu hati-hati ya!"Tak ada lagi kalimat yang disampaikan Ranti setelah itu, selain ucapan salam untuk mengak
Ranti mulai mengiris bawang, cabai hijau dan tomat kecil. Kemudian menumis bumbu-bumbu tersebut hingga harum dan mulai memasukkan irisan cumi yang telah dipotongnya kecil-kecil. Sembari menunggu cumi cabai hijaunya matang, Ranti mulai mengiris jagung muda dan wortel. Bawang merah dan bawang putih diirisnya. Ada udang kupas kecil juga untuk tambahan.Tiga puluh menit kemudian, masakannya siap. Berikutnya kembali bergelut dengan roti. Membentuk adonan roti yang telah diistirahatkan menjadi aneka bentuk dan isian. Saat roti mulai masuk ke oven, Ranti mulai membersihkan rumah. Gerakannya hari ini lebih cepat mengingat ada waktu yang harus dikejar.Setelah membersihkan rumah, Ranti mulai mencuci beras untuk dimasak. Memasukkan beras ke dalam penanak nasi elektrik dan mulai mengolesi roti yang sudah matang dengan margarin. Jam sepuluh tepat saat semua roti matang. Ranti tak langsung memasukkannya ke dalam plastik pembungkus mengingat kondisinya masih panas. Memutuskan mandi terlebih dahulu
Ranti mencoba memastikan sosok yang dilihatnya itu agar tak salah menebak. Perlahan namun pasti, roda dua sepeda motor itu mendekat ke arah rumahnya. Tak lama kemudian, putaran roda kendaraan itu tepat berhenti di depan rumahnya. Kedua sosok itu makin nyata adanya."Bapak? Ibu?"Akhirnya Ranti dapat memperjelas keberadaan kedua sosok itu. Sang ibu mertua turun dari jok sepeda motor, sedangkan suaminya tetap duduk di jok dengan mesin sepeda motor yang masih hidup."Masuk ke sini saja, Pak. Takutnya mengganggu kalau ada mobil yang mau lewat," ujar Ranti sembari mengarahkan telunjuknya ke satu arah. Lokasi yang lebih baik dengan posisi di bawah pohon mangga yang cukup rimbun. Sepertinya sejak awal membeli rumah ini, Pak Imam langsung menanam pohon mangga itu sebagai salah satu penanda.Pak Rahmat segera mengubah arah sepeda motornya ke tempat yang ditunjukkan Ranti. Mematikan mesin sepeda motor dan membuka helmnya. Tampak Pak Rahmat cukup terkejut melihat sosok kedua besannya itu di rumah
Ada perasaan tak nyaman di hati Ranti saat mendengar ucapan mertuanya itu. Bagaimana tidak, ada sosok ibu kandungnya yang ikut mendengarkan semuanya. Mendengar sendirian saja ucapan itu sudah membuat hati Ranti meringis, apalagi sekarang ada wanita lain di sampingnya."Saya titip Ranti ya, Bu Ratna. Dia anak perempuan kami satu-satunya. Maklum saja, kami jauh jika harus sering-sering ke sini," ujar Bu Dewi sembari menatap wajah Ranti. Dirinya sudah banyak mengecap asam garam kehidupan, sangat tahu dan paham perasaan anaknya itu sekarang."Tentu, Bu Dewi. Saya pun sudah menganggap Ranti seperti anak sendiri. Tapi ya itu ... kadang pola berpikir kita selaku orang tua berbeda dengan mereka. Apalagi ada kebiasaan kita yang tak sama, Bu Dewi. Maklum saja. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang."Ucapan ibu mertuanya itu jelas membuat sembilu luka di hati Ranti. Selama ini Ranti tak menganggap ada perbedaan kebiasaan yang mencolok antara dirinya dengan orang-orang di sini. Lantas