Ranti mulai mengiris bawang, cabai hijau dan tomat kecil. Kemudian menumis bumbu-bumbu tersebut hingga harum dan mulai memasukkan irisan cumi yang telah dipotongnya kecil-kecil. Sembari menunggu cumi cabai hijaunya matang, Ranti mulai mengiris jagung muda dan wortel. Bawang merah dan bawang putih diirisnya. Ada udang kupas kecil juga untuk tambahan.Tiga puluh menit kemudian, masakannya siap. Berikutnya kembali bergelut dengan roti. Membentuk adonan roti yang telah diistirahatkan menjadi aneka bentuk dan isian. Saat roti mulai masuk ke oven, Ranti mulai membersihkan rumah. Gerakannya hari ini lebih cepat mengingat ada waktu yang harus dikejar.Setelah membersihkan rumah, Ranti mulai mencuci beras untuk dimasak. Memasukkan beras ke dalam penanak nasi elektrik dan mulai mengolesi roti yang sudah matang dengan margarin. Jam sepuluh tepat saat semua roti matang. Ranti tak langsung memasukkannya ke dalam plastik pembungkus mengingat kondisinya masih panas. Memutuskan mandi terlebih dahulu
Ranti mencoba memastikan sosok yang dilihatnya itu agar tak salah menebak. Perlahan namun pasti, roda dua sepeda motor itu mendekat ke arah rumahnya. Tak lama kemudian, putaran roda kendaraan itu tepat berhenti di depan rumahnya. Kedua sosok itu makin nyata adanya."Bapak? Ibu?"Akhirnya Ranti dapat memperjelas keberadaan kedua sosok itu. Sang ibu mertua turun dari jok sepeda motor, sedangkan suaminya tetap duduk di jok dengan mesin sepeda motor yang masih hidup."Masuk ke sini saja, Pak. Takutnya mengganggu kalau ada mobil yang mau lewat," ujar Ranti sembari mengarahkan telunjuknya ke satu arah. Lokasi yang lebih baik dengan posisi di bawah pohon mangga yang cukup rimbun. Sepertinya sejak awal membeli rumah ini, Pak Imam langsung menanam pohon mangga itu sebagai salah satu penanda.Pak Rahmat segera mengubah arah sepeda motornya ke tempat yang ditunjukkan Ranti. Mematikan mesin sepeda motor dan membuka helmnya. Tampak Pak Rahmat cukup terkejut melihat sosok kedua besannya itu di rumah
Ada perasaan tak nyaman di hati Ranti saat mendengar ucapan mertuanya itu. Bagaimana tidak, ada sosok ibu kandungnya yang ikut mendengarkan semuanya. Mendengar sendirian saja ucapan itu sudah membuat hati Ranti meringis, apalagi sekarang ada wanita lain di sampingnya."Saya titip Ranti ya, Bu Ratna. Dia anak perempuan kami satu-satunya. Maklum saja, kami jauh jika harus sering-sering ke sini," ujar Bu Dewi sembari menatap wajah Ranti. Dirinya sudah banyak mengecap asam garam kehidupan, sangat tahu dan paham perasaan anaknya itu sekarang."Tentu, Bu Dewi. Saya pun sudah menganggap Ranti seperti anak sendiri. Tapi ya itu ... kadang pola berpikir kita selaku orang tua berbeda dengan mereka. Apalagi ada kebiasaan kita yang tak sama, Bu Dewi. Maklum saja. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang."Ucapan ibu mertuanya itu jelas membuat sembilu luka di hati Ranti. Selama ini Ranti tak menganggap ada perbedaan kebiasaan yang mencolok antara dirinya dengan orang-orang di sini. Lantas
Selesai menunaikan salat Zuhur, Ranti dengan cekatan langsung menyiapkan piring dan mangkuk berisi lauk yang sudah dimasaknya tadi pagi. Kebetulan kemarin Bayu sempat membeli semangka. Ranti mengiris semangka itu agar dapat disajikan sebagai pencuci mulut setelah makan nanti.Bu Dewi ikut membantu Ranti dengan menyiapkan gelas dan teko plastik yang berisi air putih. Tak lupa beliau menyiapkan mangkuk besar plastik untuk mengisi nasi dan beberapa sendok. Sementara Bu Ratna terlihat duduk memainkan gawainya. Entah apa yang sedang dilakukan wanita itu. Ranti menebak ibu mertuanya itu sedang berkirim pesan dari cara beliau menggerakkan jemarinya di layar pipih itu."Maaf, Bu. Lauknya hanya ini saja. Tak menyangka kalau Bapak dan Ibu pun akan ke sini tadi," ujar Ranti sembari menata kembali susunan mangkuk dan piring yang ada di atas karpet. Kali ini mereka tak lagi duduk di ruang tamu. Ranti menyajikan aneka lauk untuk makan siang di karpet yang berada di ruang tengah."Maksudnya ... kedat
Jantung Ranti bergemuruh seketika saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Pantaskah kalimat seperti itu diucapkan di depan semua orang seperti ini? Walau hanya keluarga terdekat, tetap saja bagi Ranti ucapan ibu mertuanya itu sangat tak wajar. Jika memang tak enak, mengapa wanita itu makan dengan lahap? Tak kelihatan tanda-tanda jika ibu mertuanya itu tak berselera dengan caranya memasak cumi hari ini. Aneh sekali bagi Ranti melihat kejanggalan yang terjadi di depan matanya itu. Ucapan dan perbuatan ibu mertuanya sungguh tak selaras."Maaf ... jika masakan cumi cabai hijaunya tak sesuai selera Bu Ratna dan Pak Rahmat. Pantas saja, Bu Ratna tak nafsu makan siang ini."Kalimat yang diucapkan Bu Dewi sangat lembut, tenang tanpa ada nada amarah sama sekali. Namun efek yang yang ditimbulkan kalimat itu luar biasa. Wajah Bu Ratna memerah seketika. Ranti tahu jika wanita itu merasa malu atas perkataan yang disampaikan ibunya.Hati Ranti cukup bahagia. Ibunya berhasil membuat kalimat telak y
Tiga hari bersama ibu dan ayahnya membuat suasana hati Ranti lebih baik. Bu Dewi ikut membantu pembuatan roti anaknya selama tiga hari itu, walaupun hanya sebatas pada pengemasan saja. Berbanding terbalik dengan anaknya, Bu Dewi sama sekali tak pernah berurusan dengan pembuatan roti. Bersama ayahnya, Ranti lebih punya lebih banyak waktu untuk mencari lokasi kios yang dapat disewakan. Mencari lokasi yang strategis dengan harga yang murah terbilang cukup sulit. Akhirnya setelah berunding dengan Bayu, Ranti memutuskan untuk menyewa salah satu kios kosong yang terletak di jalan Semabung. Lokasi yang cukup ramai dengan lalu-lalang kendaraan karena merupakan jalan akses ke perkantoran provinsi. Pembayaran pun tak harus setahun langsung. Setelah negosiasi, pemilik kios setuju jika pembayaran sewa dibayarkan per tiga bulan.Malam menjelang kepulangan kedua orang tuanya itu ke Palembang, sebuah amplop disodorkan putih cukup tebal disodorkan oleh ayah Ranti kepada putrinya."Ambillah sebagai ta
Ranti pun lantas menceritakan rencananya untuk mencari pegawai yang akan membantu usaha rotinya jika sudah menempati kios nanti. Dengan kondisi kehamilannya, Ranti ingin bisa lebih membagi waktu antara usaha dan dirinya sendiri. Apalagi jika nanti kehamilannya semakin membesar, tentu geraknya tak lagi seleluasa saat sekarang. Belum nanti jika sudah melahirkan, kesibukannya akan semakin bertambah. Jelas, tak mungkin semua akan tetap dilakukannya sendiri.Tentu saja rencana itu disetujui kedua orang tuanya. Yang terpenting bagi mereka, putrinya bisa menjaga kehamilannya dengan baik. Untuk menghentikan usaha roti yang sedang berkembang saat ini tentu jelas tak mungkin. Tak mudah memulai suatu usaha. Mendapatkan pelanggan tak semudah membalikkan telapak tangan.Kepulangan orang tuanya meninggalkan perasaan sedih di hati Ranti. Namun, pesan sang selalu teringat di hatinya. Teruslah berbuat baik kepada semua orang karena kita tak akan pernah tahu kebaikan mana yang akan kembali pada kita nan
Ranti seakan tak percaya dengan keberadaan dua wanita yang singgah ke kiosnya ini. Bertemu dalam hitungan jari, namun Ranti dapat menebak sifat keduanya. Saat melihat sikap mereka yang sepertinya enggan untuk mengakrabkan diri dengannya, Ranti memilih mengikuti saja permainan mereka."Kak Dinda? Kak Nia?" Apa tujuan kedua wanita, istri abang iparnya ini menginjakkan kaki ke kios rotinya? Bukankah ssaat mencicipi roti yang dibawakan Ranti dulu mereka bilang roti buatannya biasa-biasa saja?Ranti ingat sekali semua ucapan kedua wanita itu dulu. Saat itu Bayu mengajaknya berkunjung ke rumah kedua abang suaminya itu. Kurang lebih saat usaha rotinya berjalan sekitar dua minggu. Ranti menjadikan roti buatannya sebagai buah tangan untuk keluarga iparnya itu.Pertama saat mereka ke rumah Ilham, Abang sulung Bayu. Sama seperti mereka, Ilham pun belum memiliki rumah sendiri. Masih mengontrak di salah satu rumah KPR tipe 36 yang terletak di daerah Pangkalan Baru, tak terlalu jauh dari rumah mert
"Abang tak lagi sering memberikan kami uang.""Bukankah jatah bulanan Ibu tetap kami berikan? Bahkan saat Bang Bayu di penjara pun, Kakak tetap memberikan Ibu uang kan? Padahal saat itu Bang Bayu tak lagi memiliki gaji sama sekali. Uang itu murni dari Kakak.""Tapi Abang dulu sering memberikan tambahan uang buatku dan Ibu di luar jatah bulanan itu."Ranti mengerti penyebab semua kebencian ibu mertuanya itu sekarang."Saat itu Bang Bayu masih bekerja kan?" tanya Ranti dengan nada sehalus mungkin."Kakak pasti telah mengguna-gunai Abang hingga tak lagi peduli ke kami. Padahal sekarang ekonomi Abnag jauh lebih baik daripada saat menjadi pegawai negeri dulu. Usaha Abang maju pesat. Tapi mengapa Abang tak royal lagi pada kami? Abang seakan tak berdaya karena cengkeraman tangan Kakak."Jelas sudah semuanya. Fitnah keji itu jelas-jelas membuat luka hati Ranti kembali menganga. Luka yang pernah ada semakin terasa perih karena mendapat siraman air garam di atasn
Sontak saja Bayu dan Bu Ratna merasa terkejut atas ucapan Ranti itu. Walaupun diucapkan dengan perlahan sehingga tak ada tamu atau pun anggota keluarga lain yang mendengar, tetap saja Bayu merasa terperanjat. Bingung sekaligus terkejut mengapa sang istri berkata seperti itu. Bu Ratna sendiri memilih diam. Tak mampu entah tak mau membalas ucapan menantunya. Wajah sang ibu mertua tak menunjukkan ekspresi apa pun saat menerima piring yang disodorkan Ranti. Namun bagi Ranti semua itu tak ada maknanya lagi.Selanjutnya tiba acara utama. Bayu memberikan sambutannya. Ranti tak henti melepaskan senyum bahagianya. Kebahagiaan hari ini mungkin tak akan terulang lagi ke depannya. "Terima kasih atas kehadiran semua yang sudah hadir di sini sore ini. Tak dapat kami lukiskan perasaan bahagia kami hari ini. Kalian telah membersamai kami selama ini. Bahkan pada saat kami, terutama saya mengalami masa-masa terburuk dalam kehidupan ini. Ucapan tulus ini kami sampaikan. Ta
Ranti melihat aneka masakan yang tersaji. Ayam goreng mentega, sate ayam, selada, kari telur, aneka lalapan, dan tak ketinggalan sambal tomat khas buatan emak Agung. Makanan setengah berat pun sudah tersaji. Bunga menambahkan es kelapa muda sebagai penghilang dahaga.Mengedarkan pandangannya pada keluarga dan pegawai yang sudah hadir. Sebagian sedang menunaikan salat Asar di ruang musala keluarga. Ranti belum melihat sosok tamu istimewanya sore ini. Semoga mereka akan hadir agar semuanya dapat diselesaikan.Masih ingat dengan semua yang dilihatnya dua hari yang lalu, Ranti berusaha sekuat tenaga menahan genangan bulir bening yang siap tumpah dari ujung kedua netranya. Tak ingin menunda lagi, semuanya harus diputuskan sekarang. Berpuluh purnama telah terlalui, kenyataan itu masih tetap sama. Bahkan mungkin sampai ratusan purnama berlalu pun, dirinya tak akan mampu merubah kenyataan itu."Dek, mau dimulai acaranya sekarang?" tanya Bayu yang tiba-tiba muncul
Ranti cepat merangkul ibunya. Seolah-olah ibunya meninggalkan pesan terakhir untuk dirinya. Bulir bening membasahi pipi mereka berdua."Sudah, jangan menangis. Ibu tahu, kamu wanita yang kuat, Ran. Wanita yang tegar. Terus seperti ini ke depannya. Hidup ini ujian, bukan hidup jika tak ada cobaan. Ibu percaya, kamu mampu melewati apa pun yang akan terjadi nanti. Ingat, Ibu akan selalu mendukungmu!"Ranti kembali terisak saat mendengarkan pesan ibunya itu. Dirinya kuat karena ada ibunya. Lantas bagaimana jika sosok yang memeluknya sekarang tak ada lagi suatu saat nanti?"Sudah, hapus air matamu! Sebentar lagi mau menjemput Faiz dan Farah kan?"Bu Dewi mengurai pelukannya. Mengelap air mata yabg membasahi pipi putri tercintanya.Ranti menganggukkan kepalanya. Tak ada lagi panggilan si kembar semenjak kelahiran Faiz dan Farah karena yang kembar tak hanya mereka.Bu Dewi beranjak dari duduknya, meninggalkan Ranti yang sedang merapikan
"Ibu tak punya beban lagi jika suatu saat dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menyusul ayah kalian. Anak-anak kami sudah bahagia dengan kekuarganya masing-masing. Walaupun sampai saat ini Ryan dan Bunga belum memberikan Ibu cucu, tak apa. Enam cucu Ibu darimu dan Bayu rasanya sudah cukup memberi kebahagiaan bagi Ibu di usia yang sudah sepuh ini."Sampai saat ini memang Ryan dan Bunga belum mampu menghadirkan cucu untuk ibu mereka. Tak kurang kasih sayang Bu Dewi tetap pada menantunya itu. Tak menyalahkan apalagi menghujat sang menantu atas amanah yang belum mereka dapatkan. Semuanya takdir. Jika janin itu belum hadir di rahim Bunga, artinya Allah belum berkehendak menghadirkan cucu dari anak dan menantunya itu. Allah belum mengizinkan dirinya mendapat cucu dari sang putra bungsu. Bukankah semua yang terjadi di bumi ini atas izin-Nya? Bahkan langit mendung pun tak akan jadi hujan jika Allah belum berkehendak. Sehelai daun hanya akan luruh dari tangkainya jika Allah men
Melalui berpuluh purnama, sikap ibu mertua Ranti tak pernah berubah. Selalu hanya menimbulkan masalah jika sosoknya tiba-tiba muncul di rumah anak dan menantunya. Ranti memilih tak lagi peduli dengan semua sikap yang ditunjukkan wanita itu padanya ataupun anak-anak mereka.Empat kali melahirkan dengan kondisi kehamilan ketiga dan keempat sepasang bayi kembar, Ranti tak pernah merasakan kehadiran sosok ibu mertua membersamai saat harus bertarung nyawa melahirkan cucunya. Untunglah, saat persalinan keempat ada sosok suami yang menungguinya. Menguatkan Ranti untuk terus berjuang menghadirkan anak mereka ke dunia.Tangis haru sempat dirasakan Ranti saat mengingat momen persalinan ketiganya. Tanpa kehadiran sang suami kala itu membuat dirinya bertekad harus kuat berjuang sendiri. Alif sudah duduk di kelas sekolah menengah saat ini. Sedangkan Fayza, Hanun, dan Hanif duduk di bangku sekolah dasar. Ranti memilih sekolah Islam dengan sistem full day untuk keempat
"Bu Ayu, Bu Rina, bawa anak-anak ke kamar mereka."Ranti tak ingin keempat bocah itu merekam peristiwa yang mungkin tak bisa ditebaknya nanti. Setelah keempat anaknya pergi, Ranti menyiapkan diri terhadap hal buruk yang akan terjadi."Ibu, silahkan duduk! Bang Bayu sedang makan di dapur, sebentar lagi selesai."Ranti pun mendudukkan tubuhnya di sofa panjang yang menghadap ke layar kaca. Bu Ratna tak menyambut ajakan menantunya itu."Tak perlu basa-basi. Ibu langsung pada tujuan saja." Wajah ibu mertua Ranti itu merah seperti menahan amarah. Ranti sendiri bingung, apalagi yang menjadi sumber kemarahan wanita yang ada di hadapannya ini. Seharusnya dirinya yang mungkin seringkali harus menahan amarah atas sikap keluarga mertuanya itu. Bukan sebaliknya."Kalian baru pulang umroh kan? Hebat sekali kalian berangkat umroh dengan ibumu, sedangkan aku, ibu dari suamimu tak kalian ajak. Kalian benar-benar kurang ajar. Bayu semakin jadi an
Pekik girang bocah menyambut kedatangan mereka saat memasuki rumah. Hanun bahkan tak mau lepas dari gendongan Ranti lagi. Sedangkan Hanif memilih terus berada di punggung ayahnya. Wajah-wajah yang tadinya kelihatan lelah tak tampak lagi saat mereka melihat senyum bahagia keempat bocah itu."Alif sukses ya menjaga adik-adik?" tanya Ranti sembari tersenyum melihat putra sulungnya itu."Siapa dulu, Bunda. Aliffff."Putra sulung Ranti itu tampak bangga saat disebut sukses menjaga adik-adiknya. Senyum bahagia senantiasa terkembang di bibirnya yang memiliki pola senyuman khas ayahnya. Kulit Alif memang mewarisi Ranti, tapi tidak dengan bentuk wajahnya. "Bu Ranti, Bu Dewi, Pak Bayu, makan dulu. Kami sudah siapkan menu istimewa hari ini."Ucapan Bu Ayu itu membuat Ranti menolehkan kepalanya pada wanita yang telah menjaga anak-anaknya selama mereka pergi. Bu Ayu bersedia tak pulang setiap hari dan menginap di rumah itu bersama Bu Rina. Bunga dan
Hari ini Ranti, Bayu, dan Bu Dewi tiba kembali di tanah air setelah selesai menunaikan ibadah umroh mereka. Rangkaian ibadah yang mampu membuat mereka semakin mendekatkan diri pada-Nya. Tangis bahagia tak mampu Bu Dewi tahan saat melihat Ka'bah di depan matanya. Melangitkan doa dan pinta di tempat yang paling diidamkan oleh umat muslim sedunia."Semua aman?" tanya Ranti kepada adiknya yang menjemput mereka di bandara. Berpisah dengan rombongan yang masing-masing dijemput keluarga mereka."Aman, Kak. Tenang saja."Ryan memilih fokus pada kemudi. Menjalankan kendaraan dengan perlahan karena posisi antrian di pintu keluar yang mengular."Ibu berdoa di sana untuk jodohmu. Disegerakan mumpung Ibu masih ada."Kali ini Bu Dewi yang berbicara. Wanita itu memang sempat memohon satu pinta yang khusus di sana. Usianya sudah menua. Tak ingin putra bungsunya tak ada yang mengurus jika dirinya sudah tiada."Apaan sih, Bu! Namanya jodoh ... kal