Ranti mencoba memastikan sosok yang dilihatnya itu agar tak salah menebak. Perlahan namun pasti, roda dua sepeda motor itu mendekat ke arah rumahnya. Tak lama kemudian, putaran roda kendaraan itu tepat berhenti di depan rumahnya. Kedua sosok itu makin nyata adanya."Bapak? Ibu?"Akhirnya Ranti dapat memperjelas keberadaan kedua sosok itu. Sang ibu mertua turun dari jok sepeda motor, sedangkan suaminya tetap duduk di jok dengan mesin sepeda motor yang masih hidup."Masuk ke sini saja, Pak. Takutnya mengganggu kalau ada mobil yang mau lewat," ujar Ranti sembari mengarahkan telunjuknya ke satu arah. Lokasi yang lebih baik dengan posisi di bawah pohon mangga yang cukup rimbun. Sepertinya sejak awal membeli rumah ini, Pak Imam langsung menanam pohon mangga itu sebagai salah satu penanda.Pak Rahmat segera mengubah arah sepeda motornya ke tempat yang ditunjukkan Ranti. Mematikan mesin sepeda motor dan membuka helmnya. Tampak Pak Rahmat cukup terkejut melihat sosok kedua besannya itu di rumah
Ada perasaan tak nyaman di hati Ranti saat mendengar ucapan mertuanya itu. Bagaimana tidak, ada sosok ibu kandungnya yang ikut mendengarkan semuanya. Mendengar sendirian saja ucapan itu sudah membuat hati Ranti meringis, apalagi sekarang ada wanita lain di sampingnya."Saya titip Ranti ya, Bu Ratna. Dia anak perempuan kami satu-satunya. Maklum saja, kami jauh jika harus sering-sering ke sini," ujar Bu Dewi sembari menatap wajah Ranti. Dirinya sudah banyak mengecap asam garam kehidupan, sangat tahu dan paham perasaan anaknya itu sekarang."Tentu, Bu Dewi. Saya pun sudah menganggap Ranti seperti anak sendiri. Tapi ya itu ... kadang pola berpikir kita selaku orang tua berbeda dengan mereka. Apalagi ada kebiasaan kita yang tak sama, Bu Dewi. Maklum saja. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang."Ucapan ibu mertuanya itu jelas membuat sembilu luka di hati Ranti. Selama ini Ranti tak menganggap ada perbedaan kebiasaan yang mencolok antara dirinya dengan orang-orang di sini. Lantas
Selesai menunaikan salat Zuhur, Ranti dengan cekatan langsung menyiapkan piring dan mangkuk berisi lauk yang sudah dimasaknya tadi pagi. Kebetulan kemarin Bayu sempat membeli semangka. Ranti mengiris semangka itu agar dapat disajikan sebagai pencuci mulut setelah makan nanti.Bu Dewi ikut membantu Ranti dengan menyiapkan gelas dan teko plastik yang berisi air putih. Tak lupa beliau menyiapkan mangkuk besar plastik untuk mengisi nasi dan beberapa sendok. Sementara Bu Ratna terlihat duduk memainkan gawainya. Entah apa yang sedang dilakukan wanita itu. Ranti menebak ibu mertuanya itu sedang berkirim pesan dari cara beliau menggerakkan jemarinya di layar pipih itu."Maaf, Bu. Lauknya hanya ini saja. Tak menyangka kalau Bapak dan Ibu pun akan ke sini tadi," ujar Ranti sembari menata kembali susunan mangkuk dan piring yang ada di atas karpet. Kali ini mereka tak lagi duduk di ruang tamu. Ranti menyajikan aneka lauk untuk makan siang di karpet yang berada di ruang tengah."Maksudnya ... kedat
Jantung Ranti bergemuruh seketika saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Pantaskah kalimat seperti itu diucapkan di depan semua orang seperti ini? Walau hanya keluarga terdekat, tetap saja bagi Ranti ucapan ibu mertuanya itu sangat tak wajar. Jika memang tak enak, mengapa wanita itu makan dengan lahap? Tak kelihatan tanda-tanda jika ibu mertuanya itu tak berselera dengan caranya memasak cumi hari ini. Aneh sekali bagi Ranti melihat kejanggalan yang terjadi di depan matanya itu. Ucapan dan perbuatan ibu mertuanya sungguh tak selaras."Maaf ... jika masakan cumi cabai hijaunya tak sesuai selera Bu Ratna dan Pak Rahmat. Pantas saja, Bu Ratna tak nafsu makan siang ini."Kalimat yang diucapkan Bu Dewi sangat lembut, tenang tanpa ada nada amarah sama sekali. Namun efek yang yang ditimbulkan kalimat itu luar biasa. Wajah Bu Ratna memerah seketika. Ranti tahu jika wanita itu merasa malu atas perkataan yang disampaikan ibunya.Hati Ranti cukup bahagia. Ibunya berhasil membuat kalimat telak y
Tiga hari bersama ibu dan ayahnya membuat suasana hati Ranti lebih baik. Bu Dewi ikut membantu pembuatan roti anaknya selama tiga hari itu, walaupun hanya sebatas pada pengemasan saja. Berbanding terbalik dengan anaknya, Bu Dewi sama sekali tak pernah berurusan dengan pembuatan roti. Bersama ayahnya, Ranti lebih punya lebih banyak waktu untuk mencari lokasi kios yang dapat disewakan. Mencari lokasi yang strategis dengan harga yang murah terbilang cukup sulit. Akhirnya setelah berunding dengan Bayu, Ranti memutuskan untuk menyewa salah satu kios kosong yang terletak di jalan Semabung. Lokasi yang cukup ramai dengan lalu-lalang kendaraan karena merupakan jalan akses ke perkantoran provinsi. Pembayaran pun tak harus setahun langsung. Setelah negosiasi, pemilik kios setuju jika pembayaran sewa dibayarkan per tiga bulan.Malam menjelang kepulangan kedua orang tuanya itu ke Palembang, sebuah amplop disodorkan putih cukup tebal disodorkan oleh ayah Ranti kepada putrinya."Ambillah sebagai ta
Ranti pun lantas menceritakan rencananya untuk mencari pegawai yang akan membantu usaha rotinya jika sudah menempati kios nanti. Dengan kondisi kehamilannya, Ranti ingin bisa lebih membagi waktu antara usaha dan dirinya sendiri. Apalagi jika nanti kehamilannya semakin membesar, tentu geraknya tak lagi seleluasa saat sekarang. Belum nanti jika sudah melahirkan, kesibukannya akan semakin bertambah. Jelas, tak mungkin semua akan tetap dilakukannya sendiri.Tentu saja rencana itu disetujui kedua orang tuanya. Yang terpenting bagi mereka, putrinya bisa menjaga kehamilannya dengan baik. Untuk menghentikan usaha roti yang sedang berkembang saat ini tentu jelas tak mungkin. Tak mudah memulai suatu usaha. Mendapatkan pelanggan tak semudah membalikkan telapak tangan.Kepulangan orang tuanya meninggalkan perasaan sedih di hati Ranti. Namun, pesan sang selalu teringat di hatinya. Teruslah berbuat baik kepada semua orang karena kita tak akan pernah tahu kebaikan mana yang akan kembali pada kita nan
Ranti seakan tak percaya dengan keberadaan dua wanita yang singgah ke kiosnya ini. Bertemu dalam hitungan jari, namun Ranti dapat menebak sifat keduanya. Saat melihat sikap mereka yang sepertinya enggan untuk mengakrabkan diri dengannya, Ranti memilih mengikuti saja permainan mereka."Kak Dinda? Kak Nia?" Apa tujuan kedua wanita, istri abang iparnya ini menginjakkan kaki ke kios rotinya? Bukankah ssaat mencicipi roti yang dibawakan Ranti dulu mereka bilang roti buatannya biasa-biasa saja?Ranti ingat sekali semua ucapan kedua wanita itu dulu. Saat itu Bayu mengajaknya berkunjung ke rumah kedua abang suaminya itu. Kurang lebih saat usaha rotinya berjalan sekitar dua minggu. Ranti menjadikan roti buatannya sebagai buah tangan untuk keluarga iparnya itu.Pertama saat mereka ke rumah Ilham, Abang sulung Bayu. Sama seperti mereka, Ilham pun belum memiliki rumah sendiri. Masih mengontrak di salah satu rumah KPR tipe 36 yang terletak di daerah Pangkalan Baru, tak terlalu jauh dari rumah mert
Benar saja. Wajah Dinda dan Nia seketika memerah. Entah karena menahan malu atau karena menahan amarah atas sindiran Ranti. Ranti memilih tak peduli, seperti mereka yang tak pernah peduli dengan perasaannya selama ini.Dinda mendekat ke arah meja tempat Ranti berada. Mencoba melemparkan senyum kecil untuk menenangkan suasana hati Ranti."Begini, Ran. Kamu kan sedang hamil besar. Tentunya tak mudah untuk menjalankan usaha roti ini sendirian. Apalagi jika nanti kamu melahirkan. Jangan sampai usaha rotimu terbengkalai. Sayang. Kebetulan, aku dan Nia kan tidak bekerja. Tak ada kegiatan selain mengurus rumah dan anak-anak. Kami bersedia membantu kamu. Tenang saja, anggap kami ini sebagai pegawai kepercayaanmu. Kami akan memberikan laporan yang jelas kepadamu setiap harinya," ujar Dinda perlahan. Pandangan Ranti berpindah pada Nia. Wanita itu sama santainya dengan Dinda. Manggut-manggut seolah membenarkan ucapan Dinda.Ranti ingin tertawa di dalam hati saat mendengar pengakuan jujur itu. E