Aroma khas pindang menguar saat Ranti mematikan api kompor. Tangannya lincah menuangkan isi panci berkuah itu ke dalam sebuah mangkok putih berukuran agak besar. Bersamaan dengan itu terdengar suara deru motor memasuki halaman rumah.Ranti memang sengaja memasak agak siang. Setelah mengantarkan roti kepada para tetangga tadi, Ranti mencoba membuka media sosial di gawainya. Mencari lowongan pekerjaan yang mungkin saja ada di kota ini. Berpangku tangan saja tak nyaman rasanya bagi Ranti. Apalagi sendirian saja di rumah setiap hari saat suaminya bekerja. Paling tidak sampai Yang Maha Kuasa menitipkan amanah bagi dirinya dan Bayu.Jam sebelas siang tadi baru Ranti mulai menyiapkan bumbu pindang. Berbagai bahan mulai dari lengkuas, kunyit sampai bawang putih dan bawang merah. Tak perlu menghaluskan bumbu, cukup diiris saja. Setelah ditumis hingga matang dan harum, Ranti menambahkan air secukupnya. Saat air mendidih, aroma pindang mulai tercium dan potongan ikan dapat dimasukkan. Tak ketingg
Ranti tiba-tiba menyampaikan apa yang ada di pikirannya pada Bayu yang sedang berbaring di atas karpet berwarna biru muda sebagai alas lantai pada kamar itu. Sontak saja, Bayu cukup terkejut dengan usulan istrinya."Nanti Adek kelelahan. Kalau untuk kehidupan kita sehari-hari, Abang insya Allah bisa mencukupinya, Dek."Bayu merasa beban untuk menafkahi Ranti ada di pundaknya. Tanggung jawabnya sebagai suami.Ranti mendekati Bayu, lantas duduk di dekat laki-laki itu."Bang, hidup kita perjalanannya masih panjang. Abang tak ingin punya rumah sendiri? Abang tak ingin anak-anak kita berpendidikan tinggi nantinya? Ini peluang usaha, Bang. Semoga Allah mudahkan. Kita coba dulu dan lihat hasilnya. Lagi pula, lowongan pekerjaan lainnya belum Adek temukan."Ranti mencoba menyampaikan niatnya pada Bayu. Ranti sangat ingat perkataan mertuanya saat itu bahwa Bayu memiliki tanggung jawab yang akan tetap melekat walaupun mereka sudah menikah. Ranti sangat paham arti kata tanggung jawab yang dimaksud
"Tergantung ... siapa yang akan hadir saat kami butuhkan."Ranti tadinya tak ingin meladeni adik iparnya itu. Bukan sifatnya untuk saling sindir, mencaci ataupun mengurusi kehidupan orang lain. Namun sepertinya gadis di hadapan Ranti ini perlu dikasih pelajaran sekali-sekali."Apa maksud Kakak? Apa tetangga lebih penting dan berarti bagi Kakak dan Abang dibandingkan keluarga sendiri?" Nada bicara Nina sedikit lebih tinggi. Namun Ranti tak terpancing.Ranti menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Menghadapi Nina tak perlu dengan ikut menaikkan nada suara. Terlalu menguras energinya."Bagaimana kalau pertanyaan itu Kakak balik sekarang, apakah kalian menganggap Kakak dan Bang Bayu penting?"Tegas kalimat itu Ranti ucapkan, namun dengan nada datar. "Kakak memang pandai memutarbalikkan fakta. Kalau Kakak tak kami anggap penting, tak mungkin kami pergi ke daerah Kakak untuk menghadiri resepsi kemarin," ujar Nina dengan nada yang semakin meninggi."Jangan membuat Kakak tertawa, Nina. Semen
Jika benar ada kisah yang terjalin antara Bayu dan Dian di masa lalu, sejauh ini Ranti tak melihat keduanya menunjukkan tanda-tanda itu. Tak ada komunikasi yang terjalin antara suaminya dan wanita yang tinggal di depan rumah mereka itu. Hanya satu hal yang membuat Ranti tak nyaman, ulah Dian yang sering tanpa sengaja kepergok mengintip ke arah rumah mereka. Atau ada kemungkinan yang lain seperti yang disampaikan Bayu kemarin. Dian menaruh hati diam-diam pada Bayu dan masih menyimpan rasa itu hingga sekarang. Tapi bukankah Dian sudah berstatus sebagai istri orang? Walaupun sampai hari ini, Ranti tak pernah melihat sosok suami wanita itu.Bahkan Ranti menduga kemungkinan yang lebih buruk lagi. Nina, adik iparnya itu yang hendak menjodohkan Bayu dengan Dian, sahabatnya. Dian serius menanggapi niat Nina karena wanita itu memang menyimpan rasa untuk kakak sahabatnya, namun tak demikian halnya dengan Bayu. Tiba-tiba Ranti merasakan kepalanya berputar saat memikirkan berbagai kemungkinan ya
"Tolong jujur ... apakah benar Abang pernah menjalin hubungan dengan Dian di masa dulu?"Ranti menatap tajam pada suaminya itu. Bayu sontak terkejut mendengar pertanyaan Ranti itu. Padahal, kemarin Bayu merasa sudah menjelaskan segalanya. Tak ada yang dia sembunyikan, karena memang tak ada yang harus ditutupi. Lantas mengapa Ranti bertanya lagi tentang hal yang sama? Mengapa Ranti seolah tak mempercayai perkataannya kemarin?"Kenapa Adek bertanya lagi? Kan sudah Abang jelaskan kemarin. Tak ada apa-apa antara Abang dan Dian. Abang bersumpah. Adek tak percaya?"Bayu menatap Ranti dengan bingung. Bukan sifat Ranti seperti ini. Bayu sangat mengenal karakter dan pola pemikiran Ranti. Waktu panjang yang mereka lalui cukup memberikan kesempatan bagi Bayu untuk memahami Ranti. "Ada yang bilang sesuatu ke Adek tentang Dian?" tanya Bayu sambil meraih jemari istrinya itu.Ranti diam, tak menjawab. Antara rasa bingung dan penasaran atas apa yang telah didengarnya. Kalau memang Bayu merasa tak ad
"Abang kan gajian tanggal 1. Biasanya Abang kasih Ibu 1,5 juta. Yah ... separuh gaji Abanglah. Sisanya gaji Abang untuk keperluan sendiri. Bensin, pakaian, makan. Nanti kan di pertengahan bulan Abang dapat tunjangan tambahan penghasilan. Nah, Abang hanya belikan perlengkapan rumah yang Abang rasa habis saja. Sabun, beras atau lainnya. Nah, sisa tunjangan tambahan penghasilan itulah yang Abang tabung."Ranti mengerutkan bibirnya pertanda sedang memikirkan sesuatu."Lantas sekarang, Abang mau kasih Ibu berapa tiap bulannya?" Tampak Bayu berpikir. Mencoba meraba nominal yang sesuai untuk ibunya."Abang pikir lima ratus ribu saja pas Abang gajian. Nanti kalau ada tambahan honor kegiatan kantor, Abang tambahkan untuk Ibu."Ranti menghela napas panjang. Hati kecilnya merasa hal ini akan menjadi salah satu masalah ke depannya."Tak masalah bagi Ibu nantinya? Kan biasanya Abang memberi jumlah yang cukup besar pada beliau," ujar Ranti perlahan.Uang merupakan hal yang sensitif. Tak cuma antar
Ranti merasakan kebahagiaan tersendiri saat melihat deretan roti beraneka bentuk dan rasa di tampah plastik. Roti dengan isian pisang, keju, coklat dan abon ayam di tangan Ranti menjadi aneka bentuk yang tampak menarik. Aroma harum menguar sejak roti mulai dikeluarkan dari oven pemanggang. Rasa lelahnya terbayar seketika.Ranti melihat penunjuk waktu di gawainya, jam sepuluh lebih lima belas menit. Sepertinya jam dinding merupakan salah satu perlengkapan rumah tangga yang harus dibeli di bulan ini.Sekarang waktunya menyiapkan masakan siang. Tak ada menu khusus yang dipesan Bayu hari ini. Artinya, Ranti bebas memasak apapun hari ini. Melangkah ke arah tempat cucian piring, Ranti memastikan ayam beku yang sudah dikeluarkannya tadi pagi sudah berubah kondisinya. Tongseng ayam menjadi pilihan Ranti sebagai menu hari ini. Selanjutnya capcai sebagai sayuran dengan bahan wortel, kubis, dan jagung muda sebagai tambahannya. Untunglah, Bayu bukan tipe suami yang cerewet untuk masalah perut.
Ranti memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Tak ada salahnya lebih mengenal sosok Dian lebih dalam. Bisa jadi, praduganya salah."Masuk saja dulu kalau begitu, Dian. Kakak memang lagi menyiapkan roti pesanan. Buatnya sih berlebih memang sebenarnya. Dian mau beli?" tanya Ranti sembari membuka pintu lebih lebar agar memudahkan pergerakan Dian masuk ke dalamnya.Dian tanpa rasa canggung masuk saat dipersilahkan Ranti. Matanya takjub saat melihat boks karton yang menampakkan roti di dalamnya melalui tutup plastik mika sebagai tutupnya. "Kakak dapat orderan sebanyak ini? Sudah berapa lama menerima oderannya, Kak?" Dian mengambil salah satu boks. Wajahnya sumringah."Kemasannya juga bagus, Kak. Tampilannya jadi elegan. Tiap boks berisi berapa roti?" tanya Dian tanpa rasa malu.Ranti saja merasa terkejut dengan sikap Dian. Wanita ini tergolong tipe yang mudah mengakrabkan diri dengan orang lain. Jika memang Dian masih menyimpan rasa untuk Bayu, tak mungkin sikapnya akan seperti ini. Pasti Di