"Tergantung ... siapa yang akan hadir saat kami butuhkan."Ranti tadinya tak ingin meladeni adik iparnya itu. Bukan sifatnya untuk saling sindir, mencaci ataupun mengurusi kehidupan orang lain. Namun sepertinya gadis di hadapan Ranti ini perlu dikasih pelajaran sekali-sekali."Apa maksud Kakak? Apa tetangga lebih penting dan berarti bagi Kakak dan Abang dibandingkan keluarga sendiri?" Nada bicara Nina sedikit lebih tinggi. Namun Ranti tak terpancing.Ranti menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Menghadapi Nina tak perlu dengan ikut menaikkan nada suara. Terlalu menguras energinya."Bagaimana kalau pertanyaan itu Kakak balik sekarang, apakah kalian menganggap Kakak dan Bang Bayu penting?"Tegas kalimat itu Ranti ucapkan, namun dengan nada datar. "Kakak memang pandai memutarbalikkan fakta. Kalau Kakak tak kami anggap penting, tak mungkin kami pergi ke daerah Kakak untuk menghadiri resepsi kemarin," ujar Nina dengan nada yang semakin meninggi."Jangan membuat Kakak tertawa, Nina. Semen
Jika benar ada kisah yang terjalin antara Bayu dan Dian di masa lalu, sejauh ini Ranti tak melihat keduanya menunjukkan tanda-tanda itu. Tak ada komunikasi yang terjalin antara suaminya dan wanita yang tinggal di depan rumah mereka itu. Hanya satu hal yang membuat Ranti tak nyaman, ulah Dian yang sering tanpa sengaja kepergok mengintip ke arah rumah mereka. Atau ada kemungkinan yang lain seperti yang disampaikan Bayu kemarin. Dian menaruh hati diam-diam pada Bayu dan masih menyimpan rasa itu hingga sekarang. Tapi bukankah Dian sudah berstatus sebagai istri orang? Walaupun sampai hari ini, Ranti tak pernah melihat sosok suami wanita itu.Bahkan Ranti menduga kemungkinan yang lebih buruk lagi. Nina, adik iparnya itu yang hendak menjodohkan Bayu dengan Dian, sahabatnya. Dian serius menanggapi niat Nina karena wanita itu memang menyimpan rasa untuk kakak sahabatnya, namun tak demikian halnya dengan Bayu. Tiba-tiba Ranti merasakan kepalanya berputar saat memikirkan berbagai kemungkinan ya
"Tolong jujur ... apakah benar Abang pernah menjalin hubungan dengan Dian di masa dulu?"Ranti menatap tajam pada suaminya itu. Bayu sontak terkejut mendengar pertanyaan Ranti itu. Padahal, kemarin Bayu merasa sudah menjelaskan segalanya. Tak ada yang dia sembunyikan, karena memang tak ada yang harus ditutupi. Lantas mengapa Ranti bertanya lagi tentang hal yang sama? Mengapa Ranti seolah tak mempercayai perkataannya kemarin?"Kenapa Adek bertanya lagi? Kan sudah Abang jelaskan kemarin. Tak ada apa-apa antara Abang dan Dian. Abang bersumpah. Adek tak percaya?"Bayu menatap Ranti dengan bingung. Bukan sifat Ranti seperti ini. Bayu sangat mengenal karakter dan pola pemikiran Ranti. Waktu panjang yang mereka lalui cukup memberikan kesempatan bagi Bayu untuk memahami Ranti. "Ada yang bilang sesuatu ke Adek tentang Dian?" tanya Bayu sambil meraih jemari istrinya itu.Ranti diam, tak menjawab. Antara rasa bingung dan penasaran atas apa yang telah didengarnya. Kalau memang Bayu merasa tak ad
"Abang kan gajian tanggal 1. Biasanya Abang kasih Ibu 1,5 juta. Yah ... separuh gaji Abanglah. Sisanya gaji Abang untuk keperluan sendiri. Bensin, pakaian, makan. Nanti kan di pertengahan bulan Abang dapat tunjangan tambahan penghasilan. Nah, Abang hanya belikan perlengkapan rumah yang Abang rasa habis saja. Sabun, beras atau lainnya. Nah, sisa tunjangan tambahan penghasilan itulah yang Abang tabung."Ranti mengerutkan bibirnya pertanda sedang memikirkan sesuatu."Lantas sekarang, Abang mau kasih Ibu berapa tiap bulannya?" Tampak Bayu berpikir. Mencoba meraba nominal yang sesuai untuk ibunya."Abang pikir lima ratus ribu saja pas Abang gajian. Nanti kalau ada tambahan honor kegiatan kantor, Abang tambahkan untuk Ibu."Ranti menghela napas panjang. Hati kecilnya merasa hal ini akan menjadi salah satu masalah ke depannya."Tak masalah bagi Ibu nantinya? Kan biasanya Abang memberi jumlah yang cukup besar pada beliau," ujar Ranti perlahan.Uang merupakan hal yang sensitif. Tak cuma antar
Ranti merasakan kebahagiaan tersendiri saat melihat deretan roti beraneka bentuk dan rasa di tampah plastik. Roti dengan isian pisang, keju, coklat dan abon ayam di tangan Ranti menjadi aneka bentuk yang tampak menarik. Aroma harum menguar sejak roti mulai dikeluarkan dari oven pemanggang. Rasa lelahnya terbayar seketika.Ranti melihat penunjuk waktu di gawainya, jam sepuluh lebih lima belas menit. Sepertinya jam dinding merupakan salah satu perlengkapan rumah tangga yang harus dibeli di bulan ini.Sekarang waktunya menyiapkan masakan siang. Tak ada menu khusus yang dipesan Bayu hari ini. Artinya, Ranti bebas memasak apapun hari ini. Melangkah ke arah tempat cucian piring, Ranti memastikan ayam beku yang sudah dikeluarkannya tadi pagi sudah berubah kondisinya. Tongseng ayam menjadi pilihan Ranti sebagai menu hari ini. Selanjutnya capcai sebagai sayuran dengan bahan wortel, kubis, dan jagung muda sebagai tambahannya. Untunglah, Bayu bukan tipe suami yang cerewet untuk masalah perut.
Ranti memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Tak ada salahnya lebih mengenal sosok Dian lebih dalam. Bisa jadi, praduganya salah."Masuk saja dulu kalau begitu, Dian. Kakak memang lagi menyiapkan roti pesanan. Buatnya sih berlebih memang sebenarnya. Dian mau beli?" tanya Ranti sembari membuka pintu lebih lebar agar memudahkan pergerakan Dian masuk ke dalamnya.Dian tanpa rasa canggung masuk saat dipersilahkan Ranti. Matanya takjub saat melihat boks karton yang menampakkan roti di dalamnya melalui tutup plastik mika sebagai tutupnya. "Kakak dapat orderan sebanyak ini? Sudah berapa lama menerima oderannya, Kak?" Dian mengambil salah satu boks. Wajahnya sumringah."Kemasannya juga bagus, Kak. Tampilannya jadi elegan. Tiap boks berisi berapa roti?" tanya Dian tanpa rasa malu.Ranti saja merasa terkejut dengan sikap Dian. Wanita ini tergolong tipe yang mudah mengakrabkan diri dengan orang lain. Jika memang Dian masih menyimpan rasa untuk Bayu, tak mungkin sikapnya akan seperti ini. Pasti Di
"Dek, jadi perginya sore ini ke rumah Bapak?" tanya Bayu saat melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Tampak Ranti sedang merapikan kotak kardus yang berisikan bahan-bahan usaha rotinya itu."Abang ... bukannya mengucapkan salam kalau masuk rumah itu," ujar Ranti sembari meletakkan kardus dan melangkah menyambut kedatangan suaminya itu."Abang sudah ucapkan salam. Dasar Adek saja tak mendengar. Oh iya, ini uang rotinya dari Bu Rini. Terima kasih katanya, atas bonus roti yang diberikan. Kapan buat roti lagi? Bu Dina, kepala seksi keuangan juga mau pesan katanya. Tergoda saat mencicipi roti yang diberikan Bu Rini tadi," ujar Bayu sembari membuka kaos kakinya lalu menyerahkan selembar helaian biru dan selembar helaian uang berwarna merah muda pada Ranti."Alhamdulillah, besok buat lagi Bang. Soalnya ada pesanan 30 buah roti yang masuk untuk besok. Abang tanyakan saja pada Bu Dina nanti, mau rasa apa saja. Biar dicatat jadinya."Ranti tersenyum bahagia saat mendengar kabar yang dibawa Bayu. S
"Iya. Tapi Ibu salat dulu. Tolong kamu selesaikan cucian piring itu dulu. Setelah Ibu selesai, baru kamu salat," tukas Bu Ratna sembari mengarahkan pandangannya pada tumpukan cucian piring yang menumpuk.Ranti menyunggingkan senyumnya. Walaupun dirinya sedikit heran, mengapa sampai ada tumpukan cucian piring sebanyak itu? Padahal di rumah ini tak banyak ada anak kecil lagi. Lagi pula mereka sudah dewasa semua, bukan hal sulit untuk langsung mencuci piring yang mereka gunakan masing-masing setelah makan.Entahlah, Ranti tak mau pusing memikirkan hal yang tak penting. Baginya, yang terpenting saat ini menyelesaikan tugas dari ibu mertuanya dengan cepat agar waktu salatnya tak ketinggalan. Ranti mulai menyingsingkan lengan tunik yang dikenakannya saat Bu Ratna melangkah meninggalkan dapur dan mulai mengambil wudhu di kamar mandi.Ada lebih dari lima piring makan yang kotor. Ada juga beberapa gelas di sana. Sebuah wajan penggorengan yang masih menyisakan bekas minyak tak ketinggalan. Rant