Hati Ranti berkecamuk saat kembali mengeja untaian kata bermakna pahit yang jelas tujuannya itu. Dirinya dan Bayu menjadi objek sasaran anak panah dari busur yang telah dilepaskan adik iparnya itu. Ada nada sindiran yang jelas tersirat dalam deretan kalimat itu. Ada juga peringatan agar tak melupakan sesuatu yang disebut sebagai tanggung jawab. Hanya saja, Ranti tetap menyimpan tanya dalam pikirannya. Pertama, terkait pembelian sepeda motor. Tak ada orang yang tahu jika dirinya dan Bayu baru saja membeli sepeda motor, walau kondisinya tak baru. Ranti bukannya tak ingin membeli sepeda motor yang masih dalam kondisi baru, hanya keuangan mereka tak memungkinkan. Untuk mengambil dengan sistem cicilan, Ranti menghindarinya. Lebih baik membeli yang bekas dengan sistem tunai daripada harus berhutang untuk mendapatkan barang yang sama dengan kondisi yang baru.Nina bahkan mendapatkan foto sepeda motornya dengan sangat jelas. Darimana adik ipar nyinyirnya itu mendapatkannya?Seingat Ranti, Irv
Sepertinya Bayu tak tahu tentang balasan status yang dituliskan Ranti pada aplikasi berlogo hijau di gawai suaminya itu. Ranti pun tak menyinggungnya sama sekali. Mencoba seolah-olah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Nina, adik ipar julidnya itu.Saat Bayu tidur, Ranti yang terbangun karena merasa ingin buang air kecil sempat memeriksa update status di gawai Bayu. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk melihat status Nina, ipar yang memang sepertinya ingin mencari masalah dengan dirinya.Hanya emoticon marah yang disematkan Nina di sana selang lima belas menit setelah status yang dituliskan Ranti diunggah. Ranti mencoba untuk tak menanggapinya lagi. Meladeni orang seperti Nina tak akan berkesudahan. Hanya akan menghabiskan energinya saja. Yang terpenting bagi Ranti sekarang, mencoba mencari penyebab ketidaksukaan gadis itu pada dirinya."Bang ... bangun dulu. Sudah Azan Subuh."Ranti terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang dari masjid yang letaknya di perkampungan tak jauh dari
"Air putih saja. Dek, makan bareng yuk! Habis makan ini Abang lanjutkan bersihkan ilalangnya. Terus kita ke pasar. Beli stok bahan makanan untuk beberapa hari. Jadi nanti Adek tak repot mau belanja, tinggal masak saja," ujar Bayu sembari meraih satu piring nasi goreng yang sudah disiapkan Ranti.Tak ada meja makan yang mereka miliki. Satu meja plastik kecil mereka beli untuk meletakkan piring saat mereka makan. Persis di lesehan, makan sembari duduk melantai. Bayu mengucapkan syukur dalam hatinya, Ranti bukan tergolong wanita yang cerewet. Tak masalah dengan kondisi seadanya saat ini.Ranti menuruti ajakan suaminya itu. Duduk di dekat Bayu sembari meraih piring nasi goreng yang tersisa. "Bagaimana nasi gorengnya, Bang? Enak? Maaf kalau tak enak ya," ucap Ranti seraya menikmati nasi goreng di piringnya. Baginya sendiri, rasa nasi goreng ini sudah pas. Namun entah bagi Bayu. Ini kali pertama Ranti memasak goreng untuk suaminya itu."Pas, Dek. Cocok kalau buat jualan," jawab Bayu sembari
Ranti mengeluarkan roti yang baru saja matang dari oven gas kecil yang dibelinya kemarin. Beruntung saat semasa gadis dirinya bukanlah tipe pemboros. Mulai mencari uang tambahan sejak kuliah semester ketujuh membuat Ranti tahu memaknai setiap hasil tetes keringatnya. Ranti memutuskan untuk mengambil sebagian sisa tabungan yang jumlahnya masih terbilang cukup lumayan. Memang tidak sebanyak dulu, sebagian tabungannya Ranti gunakan untuk ikut membiayai resepsi pernikahannya dan Bayu. Ranti tak mau menyusahkan kedua orang tuanya. Walau tak mewah, resepsi pernikahan itu biarlah menjadi tanggungan dirinya dan Bayu.Berbagai pekerjaan sampingan dilakukan Ranti semasa kuliah. Menjual baju secara online, mengajar les secara privat anak-anak SD yang kebanyakan merupakan keponakan teman-teman kuliahnya, sampai berani menerima pesanan berbagai roti dan kue saat menjelang wisuda. Bukan hanya bermodal tekad dan semangat saja, Ranti bahkan memberanikan ikut kursus membuat kue dan aneka roti untuk me
Ranti berdiri di rumah yang berada persis di sebelah kanan rumah kontrakan mereka. Rumah yang berwarna kuning muda, sama seperti warna cat umumnya rumah di daerah ini. Sepertinya, warna ini menjadi warna asli cat semua rumah di perumahan ini dari pihak pengembang. Hanya beberapa rumah saja yang sudah mengganti warna catnya dengan warna yang lain.Rumah sederhana dengan beberapa pot tanaman hias di depan rumah. Ranti terbersit untuk melakukan hal yang sama di rumah mereka nantinya. Ternyata, keberadaan tanaman hias itu membuat rumah lebih nyaman untuk dipandang."Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam rumah.Tak lama, keluar seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Ranti, menggendong seorang anak kecil berusia sekitar satu tahun."Maaf, Kak. Perkenalkan, saya Ranti. Tetangga baru yang mengontrak di sebelah rumah Kakak," ujar Ranti seraya mengarahkan telunjuk kanannya ke arah rumah yang mereka tempati.Wanita di hadapan Ranti mengembangkan senyumnya. Anak kecil yang berjenis k
Aroma khas pindang menguar saat Ranti mematikan api kompor. Tangannya lincah menuangkan isi panci berkuah itu ke dalam sebuah mangkok putih berukuran agak besar. Bersamaan dengan itu terdengar suara deru motor memasuki halaman rumah.Ranti memang sengaja memasak agak siang. Setelah mengantarkan roti kepada para tetangga tadi, Ranti mencoba membuka media sosial di gawainya. Mencari lowongan pekerjaan yang mungkin saja ada di kota ini. Berpangku tangan saja tak nyaman rasanya bagi Ranti. Apalagi sendirian saja di rumah setiap hari saat suaminya bekerja. Paling tidak sampai Yang Maha Kuasa menitipkan amanah bagi dirinya dan Bayu.Jam sebelas siang tadi baru Ranti mulai menyiapkan bumbu pindang. Berbagai bahan mulai dari lengkuas, kunyit sampai bawang putih dan bawang merah. Tak perlu menghaluskan bumbu, cukup diiris saja. Setelah ditumis hingga matang dan harum, Ranti menambahkan air secukupnya. Saat air mendidih, aroma pindang mulai tercium dan potongan ikan dapat dimasukkan. Tak ketingg
Ranti tiba-tiba menyampaikan apa yang ada di pikirannya pada Bayu yang sedang berbaring di atas karpet berwarna biru muda sebagai alas lantai pada kamar itu. Sontak saja, Bayu cukup terkejut dengan usulan istrinya."Nanti Adek kelelahan. Kalau untuk kehidupan kita sehari-hari, Abang insya Allah bisa mencukupinya, Dek."Bayu merasa beban untuk menafkahi Ranti ada di pundaknya. Tanggung jawabnya sebagai suami.Ranti mendekati Bayu, lantas duduk di dekat laki-laki itu."Bang, hidup kita perjalanannya masih panjang. Abang tak ingin punya rumah sendiri? Abang tak ingin anak-anak kita berpendidikan tinggi nantinya? Ini peluang usaha, Bang. Semoga Allah mudahkan. Kita coba dulu dan lihat hasilnya. Lagi pula, lowongan pekerjaan lainnya belum Adek temukan."Ranti mencoba menyampaikan niatnya pada Bayu. Ranti sangat ingat perkataan mertuanya saat itu bahwa Bayu memiliki tanggung jawab yang akan tetap melekat walaupun mereka sudah menikah. Ranti sangat paham arti kata tanggung jawab yang dimaksud
"Tergantung ... siapa yang akan hadir saat kami butuhkan."Ranti tadinya tak ingin meladeni adik iparnya itu. Bukan sifatnya untuk saling sindir, mencaci ataupun mengurusi kehidupan orang lain. Namun sepertinya gadis di hadapan Ranti ini perlu dikasih pelajaran sekali-sekali."Apa maksud Kakak? Apa tetangga lebih penting dan berarti bagi Kakak dan Abang dibandingkan keluarga sendiri?" Nada bicara Nina sedikit lebih tinggi. Namun Ranti tak terpancing.Ranti menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Menghadapi Nina tak perlu dengan ikut menaikkan nada suara. Terlalu menguras energinya."Bagaimana kalau pertanyaan itu Kakak balik sekarang, apakah kalian menganggap Kakak dan Bang Bayu penting?"Tegas kalimat itu Ranti ucapkan, namun dengan nada datar. "Kakak memang pandai memutarbalikkan fakta. Kalau Kakak tak kami anggap penting, tak mungkin kami pergi ke daerah Kakak untuk menghadiri resepsi kemarin," ujar Nina dengan nada yang semakin meninggi."Jangan membuat Kakak tertawa, Nina. Semen