Untuk ikan, sayuran, dan bahan dapur digantung di bagian depan motor Bayu yang memang memiliki cantolan. Tinggallah si cobek yang sekarang duduk manis di pangkuan Ranti. Jelas, Ranti agak sedikit kesusahan membawa peralatan dapur dari bahan batu itu dengan posisi duduk menyamping di motor"Rumah Bang Ilham memang tak jauh dari sini, Dek. Hanya arah beda arah. Nanti kapan-kapan Abang ajak ya ke sana!" ujar Bayu seraya mulai menjalankan motornya. " Iya, Bang." Terdengar jawaban dari Ranti yang duduk di boncengan Bayu. Bayu tak dapat melihat ekspresi istrinya saat mengiyakan ajakannya itu.Entah apa yang dirasakan Ranti saat ini setelah mendengar semua perkataan Kak Dinda tadi. Untung saja, Bayu sempat memotong ucapan wanita itu. Jika tidak, rentetan kalimat tak jelas akan semakin panjang mengalir dari bibirnya.Selama ini Bayu memang tak terlalu akrab dengan kedua kakak iparnya, baik istri Bang Ilham, kakak sulungnya maupun istri Bang Anwar, kakak keduanya. Entah mengapa, selain karena
"Dian ...????" ucap Bayu dengan nada terkejut.Wanita yang ada di hadapan Bayu tampak menunjukkan ekspresi yang sama juga."Bang Bayu ...."Bayu dan wanita itu tampak sama-sama tak menyangka akan sosok yang ada di hadapan mereka. "Abang yang tinggal di rumah ini?" tanya wanita yang dipanggil dengan nama Dian oleh Bayu tadi.Ranti yang sempat mendengar percakapan di ruang depan bergegas mengakhiri suapan nasi dari piring ke mulutnya. Dengan cepat, Ranti mencuci tangan dan mengelapnya dengan selembar serbet bersih. Langkah kaki diayunkannya menuju sumber suara.Dua sosok saling berhadapan menjadi pandangan netra Ranti saat mendekati pintu depan. Jelas sekali, keterkejutan tampak dari wajah suaminya dan wanita yang ada di hadapannya itu. Siapakah wanita itu? Apakah Bayu mengenalnya hingga raut wajah suaminya terlihat seperti seakan tak percaya dengan sosok yang ditemuinya itu?"Eh, iya. Sejak kemarin. Bersama istriku," ujar Bayu sembari menggaruk tengkuknya yang Ranti yakin sebenarnya ta
Tak ada kursi di rumah yang mereka tempati. Dan memang belum ada dana lebih untuk membeli itu. Sehelai karpet berbahan bulu rasfur dipilih Ranti sebagai pengganti kursi.Ranti menurut. Diikutinya langkah Bayu yang sudah lebih dulu berjalan dan langsung mendudukkan tubuhnya pada karpet bewarna coklat muda itu.Cemburu itu jelas dirasakan Ranti saat ini. Mengapa suaminya dan wanita tadi saling mengenal dan terkesan begitu akrab. Tak mungkin jika tak ada apa-apa di antara mereka. Ranti cukup merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya saat melihat dan mendengar percakapan keduanya tadi."Mau dengar cerita Abang? Tapi jangan dipotong ya! Apalagi sampai emosi nantinya."Bayu menatap wajah Ranti. Netra keduanya saling beradu. Ranti hanya diam, sementara Bayu akhirnya menarik napas dalam-dalam.Mencoba memahami perasaan istrinya ini, Bayu tak akan marah ataupun emosi. Istrinya tak salah. Pun dirinya juga tak merasa bersalah dengan semua yang serba kebetulan ini. Siapa yang akan menduganya?"Dia
Lima belas menit melajukan kendaraan, akhirnya Bayu membelokkan sepeda motornya pada sebuah gerai ATM yang terletak di depan sebuah minimarket besar. Ranti turun dari motor dan masuk ke gerai ATM tersebut. Sementara Bayu tetap duduk di sepeda motornya. Tak lama kemudian, Ranti sudah keluar dari dalam gerai tersebut dan melangkah menuju sepeda motor yang diduduki Bayu."Bisa mengambil uangnya, Dek?" tanya Bayu pada istrinya itu."Ya bisa, Bang. Memangnya kenapa?" tanya Ranti dengan nada heran atas pertanyaan yang diajukan Bayu itu."Soalnya kadang-kadang uangnya sering kosong di sini, Dek. Ya sudah, ayo kita jalan lagi. Tadi ambilnya berapa memangnya?"Bayu menyerahkan helm kepada Ranti dan mulai menghidupkan mesin sepeda motornya."Ambil sepuluh juta, Bang. Nanti beli motornya yang harga delapan jutaan saja ya! Sisanya untuk beli kulkas," ujar Ranti sembari mendudukkan tubuhnya di belakang Bayu."Memangnya ada kulkas harga dua jutaan, Dek?"Kali ini Bayu yang menolehkan wajahnya pada R
"Baru satu, Yu. Mau masuk TK tahun depan. Eh ... jadi gimana, mau cari motor ya disini?"Irvan melemparkan pertanyaan pada sahabat lamanya itu."Iya, Van. Buat Ranti. Susah mau kemana-mana kalau tidak ada kendaraan sendiri," jawab Bayu sembari kembali memindai motor yang hampir dihidupkan mesinnya tadi."Aku bantu, deh! Ada dana berapa? Aku kasih murah buat pengantin baru. Hitung-hitung hadiah deh!" Irvan tertawa kecil saat melemparkan candanya."Serius nih, Van! Dana delapan juta deh! Cariin yang bagus!Irvan memindai beberapa motor yang berjejer rapi itu. Sesekali dahinya mengernyit pertanda berpikir motor yang cocok dengan dana yang dimiliki sahabatnya itu."Yang warna merah itu mau nggak, Yu? Itu mesinnya aku jamin bagus. Pemakaian sebelumnya belum terlalu lama. Yang punya dulu ibu-ibu kantoran. Pastinya pemakaiannya tak sembarangan," ujar Irvan sembari mengarahkan telunjuknya pada salah satu motor yang tak jauh dari posisi mereka berdiri saat ini."Yang merek *ea* itu? Pemakaian b
Hati Ranti berkecamuk saat kembali mengeja untaian kata bermakna pahit yang jelas tujuannya itu. Dirinya dan Bayu menjadi objek sasaran anak panah dari busur yang telah dilepaskan adik iparnya itu. Ada nada sindiran yang jelas tersirat dalam deretan kalimat itu. Ada juga peringatan agar tak melupakan sesuatu yang disebut sebagai tanggung jawab. Hanya saja, Ranti tetap menyimpan tanya dalam pikirannya. Pertama, terkait pembelian sepeda motor. Tak ada orang yang tahu jika dirinya dan Bayu baru saja membeli sepeda motor, walau kondisinya tak baru. Ranti bukannya tak ingin membeli sepeda motor yang masih dalam kondisi baru, hanya keuangan mereka tak memungkinkan. Untuk mengambil dengan sistem cicilan, Ranti menghindarinya. Lebih baik membeli yang bekas dengan sistem tunai daripada harus berhutang untuk mendapatkan barang yang sama dengan kondisi yang baru.Nina bahkan mendapatkan foto sepeda motornya dengan sangat jelas. Darimana adik ipar nyinyirnya itu mendapatkannya?Seingat Ranti, Irv
Sepertinya Bayu tak tahu tentang balasan status yang dituliskan Ranti pada aplikasi berlogo hijau di gawai suaminya itu. Ranti pun tak menyinggungnya sama sekali. Mencoba seolah-olah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Nina, adik ipar julidnya itu.Saat Bayu tidur, Ranti yang terbangun karena merasa ingin buang air kecil sempat memeriksa update status di gawai Bayu. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk melihat status Nina, ipar yang memang sepertinya ingin mencari masalah dengan dirinya.Hanya emoticon marah yang disematkan Nina di sana selang lima belas menit setelah status yang dituliskan Ranti diunggah. Ranti mencoba untuk tak menanggapinya lagi. Meladeni orang seperti Nina tak akan berkesudahan. Hanya akan menghabiskan energinya saja. Yang terpenting bagi Ranti sekarang, mencoba mencari penyebab ketidaksukaan gadis itu pada dirinya."Bang ... bangun dulu. Sudah Azan Subuh."Ranti terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang dari masjid yang letaknya di perkampungan tak jauh dari
"Air putih saja. Dek, makan bareng yuk! Habis makan ini Abang lanjutkan bersihkan ilalangnya. Terus kita ke pasar. Beli stok bahan makanan untuk beberapa hari. Jadi nanti Adek tak repot mau belanja, tinggal masak saja," ujar Bayu sembari meraih satu piring nasi goreng yang sudah disiapkan Ranti.Tak ada meja makan yang mereka miliki. Satu meja plastik kecil mereka beli untuk meletakkan piring saat mereka makan. Persis di lesehan, makan sembari duduk melantai. Bayu mengucapkan syukur dalam hatinya, Ranti bukan tergolong wanita yang cerewet. Tak masalah dengan kondisi seadanya saat ini.Ranti menuruti ajakan suaminya itu. Duduk di dekat Bayu sembari meraih piring nasi goreng yang tersisa. "Bagaimana nasi gorengnya, Bang? Enak? Maaf kalau tak enak ya," ucap Ranti seraya menikmati nasi goreng di piringnya. Baginya sendiri, rasa nasi goreng ini sudah pas. Namun entah bagi Bayu. Ini kali pertama Ranti memasak goreng untuk suaminya itu."Pas, Dek. Cocok kalau buat jualan," jawab Bayu sembari