Menara tiga bintang penuh sesak oleh pemuda. Hari ini adalah jadwal pertandingan antar pendekar yang diadakan setiap satu tahun sekali.
Lanting Beruga baru saja mendatarkan dirinya, tapi langsung mendapatkan ejekan dan caci maki dari pendekar muda yang lain.
"Bagaimana kau mau bertarung, sementara tubuhmu memiliki perjuangan?"
"Berkacalah Lanting Beruga, pertandingan kali ini bukan hanya antara pemuda di desa kita saja, banyak peserta dari desa lain, bahkan katanya akan ada perwakilan dari sekte Pedang Perak!"
Sekte Pedang Perak adalah perguruan yang menguasai Kota Ranting Hijau. Mereka jarang menurunkan murid untuk mengikuti pertandingan antar pendekar muda, karena satu alasan. Mereka pasti menang.
Namun hadiah yang ditawarkan musim ini cukup menggiurkan, sebuah kitab yang mempelajari 3 dasar keinginan pedang.
Satu dasar keinginan pedang saja setara 1000 koin emas, uang yang begitu banyak, cukup untuk hidup 10 tahun tanpa bekerja.
"Kau hanya akan mempermalukan desa kita! Sadar dirilah!"
Mendapat cacian itu, Lanting Beruga hanya tersenyum ketir, kutipan teman-temannya tidak sepenuhnya salah. Tubuhnya memang cacat.
"Kembalilah ke gubuk reotmu!" salah satu pendekar muda lain mengadu, lalu tertawa kecil.
"Benar juga, merengeklah bersama orang tua bertangan buntung itu, hahaha!"
"Seno Geni, namamu saja membuat kami jijik!"
Mendengar kata-kata itu, Lanting Beruga berbalik arah, melayangkan kepalan tinjauan tepat ke wajah pemuda berambut ikal. Tidak ada orang yang menghina kakeknya.
Pukulan itu mendarat tepat di wajah, tapi selang beberapa saat kemudian, Lanting Beruga berteriak keras. Tubuh pemuda berambut ikal terasa begitu keras, dua jari tangan Lanting Beruga hampir saja patah.
"Lemah sekali!" ucap pemuda itu, lalu melayangkan kepalan yang membuat tubuh Lanting Beruga terlentang dengan darah keluar dari bagian hidungnya.
"Kau tidak mungkin menang, manusia cacat!" Lantas mereka semua pergi meninggalkan Lanting Beruga itu sendiri.
Menyeka darah yang dari lubang hidungnya, lalu berusaha berdiri dengan susah payah, Lanting Beruga akhirnya melangkah menuju jalan pulang.
Tidak jauh dari jalanan itu, berdiri seorang gadis berbibir tipis dengan pakaian hijau muda. Lila Sari.
Gadis itu merupakan sahabat kecil Lanting Beruga, tapi menjelang remaja, Lila Sari mulai menjauh dari pemuda itu.Di era ini, tenaga dalam menguasai hampir seluruh dataran dunia. Bocah berusia 10 tahun saja sudah mulai memahami konsep energi tersebut, lalu bagaimana mungkin Lanting Beruga yang telah berusia 15 tahun tetap tidak mengerti.
Lila Sari tidak mungkin bersahabat dengan Lanting Beruga, pemuda itu tidak memiliki masa depan.
Lanting Beruga cukup sadar diri, jadi dia membuang muka dari Lila Sari, dan terus melangkah pulang.
"Lanting!" Serua wanita tua dari dalam gubuk reot, "apa yang terjadi dengan hidungmu!"
Wanita itu tak lain adalah neneknya sendiri, Wulandari. Si nenek yang begitu cerewet tapi sangat menyayanginya.
Buru-buru Wulandari mengambil pakaian usang dari dalam lipatan, menyeka darah yang tersisa di hidung Lanting Beruga.
Ah, Lanting Beruga sudah menyeka darah ini, dan semoga baik-baik saja agar neneknya tidak khawatir, tapi usaha ternyata gagal.
"Pemuda mana yang menghajar dirimu?!" ucap Wulandari, "aku akan memukul kepalanya, bahkan menghajar ke dua orang tuanya!"
"Nenek, jangan membuat malu diriku!" ucap Lanting Beruga, "ini hanya luka kecil, lagipula tidak ada yang mengalahkan diriku!"
Wulandari menyipitkan mata, cucu di selalukan memang selalu demikian, memperhatikan-pura kuat dan menahan udara ketika sakit.
Namun Wulandari pernah menjadi seorang pendekar, -tidak terlalu hebat seperti suaminya, tapi dia begitu paham mana luka karena pukulan atau luka biasa saja?
"Dimana kakek?" tanya Lanting Beruga.
"Kakekmu sedang mengurus domba," ucap Wulandari.
Lanting Beruga menemui kakeknya di belakang gubuk.
Seorang pria tua bertangan buntung sedang duduk di atas potongan kayu seraya menghitung puluhan domba yang ada di depan dirinya.
Ini adalah padang rumput yang cukup luas.
Banyak orang yang ingin membeli padang rumput itu, tapi Seno Geni bersikukuh untuk tidak menjualnya.
Angin laut tanpa halangan bertiup kencang di padang rumput ini, bahkan akan terdengar suara ombak menderu menghantam cadas penghalang.
"Apa kau kehilangan domba lagi, Kakek?" Lanting Beruga, kehadirannya membuat Seno Geni terkejut bukan kepalang.
Butuh tiga tarikan nafas agar pak tua terlihat tenang, tapi setelah melihat wajah cucunya, Seno Geni tertawa kecil. "Aku menghitung domba-domba ini, tapi otakku mulai tumpul. Kadang kala kembali 20 kadang kala 25, eh kadang cuman 15!"
"Itu karena Kakek sudah rabun!" Lanting Beruga bergurau kecil.
Domba-domba ini bukan milik Seno Geni, ini hanya domba Pemimpin Desa yang diurus oleh Seno Geni. Dari upah pengurusan piaraan inilah, mereka bertiga bisa makan.
Tidak jauh dari mereka berdua, ada makam cukup besar. Nisan makam itu berbentuk seperti kuku yang dibuat dari batu.
Kata Seno Geni, itu adalah makam sahabatnya, Srigala hitam yang setia. Telah meninggal ketika usia Lanting Beruga baru menginjak umur dua tahun.
Di sebelah makam itu, ada pula makam yang terlihat begitu bersih, bunga-bunga merah kuning masih basah di atas permukaan tanah.
Itu adalah makam ibu Lanting Beruga, meninggal ketika melahirkan dirinya.
Benar-benar ironi sekali nasip ini, Seno Geni kehilangan sahabat dan menantunya dalam satu bulan bersamaan.
Lalu bulan berikutnya, putra semata wayang malah pergi entah kemana.
"Kakek, aku akan mengikuti pertandingan antar pendekar muda di menara tiga bintang, katanya hadiah yang didapatkan cukup besar, 3 dasar keinginan pedang!"
Mendengar hal itu, wajah Seno Geni menjadi tegang. Lanting Beruga tidak pernah bertarung sebelumnya, lalu bagaimana dia bisa mengikuti pertandingan itu?
Dari bayi merah, Lanting Beruga memiliki hampir semua yang bisa dikatakan sangat langka. Dia tidak bisa membangkitkan tenaga di dalamnya.
Ketika dunia ini didukung dengan Tenaga Dalam, pemuda ini malah tidak memilikinya sama sekali.
"Lanting!" seru lagi suara dari belakang mereka, "Aku tidak akan mengizinkan cucu kesayanganku mengikuti pertandingan itu!"
Seno Geni saja ingin berkata, tapi Wulandari memotong ucapannya. "Lanting, kau tahu dunia persilatan itu begitu keras, terluka, pukulan adalah hal yang wajar!"
"Nenek, bagaimana aku bisa tahu dunia persilatan begitu keras, sementara aku belum memiliki!" timpal Lanting Beruga.
"Aku tahu dunia persilatan seperti apa, Kakekmu yang dijuluki sebagai dewa pedang terbaik di eranya, kini menderita."
Wulandari percaya pendekar akansakan dihari tuannya. Seno Geni adalah contoh nyata. Dia dijuluki sebagai dewa pedang terbaik, pemiliki kekuatan dewa matahari, memiliki strategi perang yang mumpuni.
Tapi sekarang, lihatlah! menghitung domba saja Seno Geni sudah tidak bisa.
Jadi sudah keputusan Wulandari, bahwa Lanting Beruga tidak akan terjun ke dunia persilatan. dia cacat.
"Tapi Nenek aku ingin menjadi Dewa Pedang-"
"Omong kosong! Jangan membantah Nenek! atau kau lebih baik pergi-"
Lanting Beruga tidak perlu mendengar lagi apa yang akan diucapkan Neneknya, dia segera berdiri dan pergi begitu saja.
Di sisi lain, Wulandari langsung menutup mulutnya. Dia memang suka marah, tapi kali ini sedikit kelewatan.
"Istriku!" Seno Geni menepuk pelan pundak Wulandari, "sepertinya kau terlalu berlebihan kepada cucu kita, kau ingin mengusir dirinya? bagaiman jika dia benar-benar pergi?"
Mendengar hal itu, Wulandari benar-benar terperanjat, dia tidak sadar dengan ucapannya. ketika mengungkapkan Lanting Beruga, sesuatu dari langit telah berdiri di hadapan pemuda itu.
"Lanting larilah!" teriak Seno Geni.
Mohon dukungan untuk memberikan vote, jika menyukai novel ini.
Lanting Beruga jelas mendengar peringatan Kakeknya, dia tentu ingin berlari sekuat tenaga tapi rasa takut ini membuat tubuh pemuda kecil itu menjadi kaku.Begitu deras keringat dingin membasahi pipinya, bersamaan warna bibir yang mulai membiru.Dia tidak pernah percaya mengenai hantu di dunia ini, tapi sosok mahluk yang ada di depan dirinya malah lebih menakutkan daripada hantu.Ya, ada mahluk menakutkan tepat berdiri di hadapan Lanting Beruga. Seluruh tubuh di selimuti dengan api membara, yang mirip seperti bulu-bulu merah mengerikan.Dia punya tanduk seperti rusa, tapi dengan kumis panjang, hampir satu depa panjangnya. Jika kumis itu bisa dipotong, barang kali bisa mejadi sebuah cambuk yang sangat sakti.Mendapati wajah ketakutan Lanting Beruga, gigi tajam seperti belati mengintip dari balik bibir hitam mahluk tersebut."Larilah! Lanting!" seru Seno Geni.Ya, larilah jika tidak ingin ada hal buruk terjadi, tapi Lanting Tidak bisa be
Lima hari lamanya, Lanting Beruga berada dalam ke adaan setengah mati dan setengah hidup. Dia bernafas, tapi jantungnya begitu lemah. Satu-satunya yang menjadi harapan sepasang kakek dan neneknya karena tubuh Lanting Beruga tidak pernah dingin.Seno Geni paham betul kenapa demikian, itu karena Roh Api. Jika bukan lantas alasan apa lagi yang masuk akal?"Apakah cucu kita akan selamat!?" meratap Wulandari di samping Lanting Beruga, sesekali dia mengelap peluh yang keluar membasahi tubuh cucu kesayangannya tersebut, tapi hanya sesaat saja peluh itu kembali bercucuran, seperti demam panas yang begitu parah.Seno Geni belum menjawab, tapi dia yakin Lanting Beruga akan selamat. Ada persamaan antara Lanting Beruga dan dirinya ketika muda.Suhu tubuh Seno Geni juga meningkat drastis, tapi perbedaan antara dia dan cucunya terletak dari sumber panas."Berkah matahari lahir bersamaan dengan diriku, tapi yang ada di dalam tubuh Lanting Beruga adalah beda," gum
Wulandari bukan pendekar pedang baik di masanya, tapi dia juga bukan orang yang begitu lemah. Wanita tua itu dulunya mewarisi kekuatan pedang hijau dari Negeri Sembilan.Jadi sedikit banyak dia juga tahu dasar-dasar dalam teknik pedang."Ini dinamakan Jurus Air Memotong Batu," ucap Wulandari, dia mulai memperagakan jurus daras dari sebuah teknik pedang, selang beberapa lama ada pekik tertahan dari mulutnya, "Aduh duh duh ...punggungku! punggungku terkilir,"Lanting Beruga menggelengkan kepala pelan, tampaknya neneknya terlalu bersemangat dalam melatihnya, sampai-sampai lupa jika dirinya sudah tua.Lagipula, Wulandari sudah 50 tahun ini tidak pernah menggunakan pedang ataupun jenis kemampuan yang lain. Dia menjalani hari tua yang normal."Nenek, duduklah dan minumlah sebentar!" ucap Lanting Beruga, memapah neneknya duduk di atas jalinan bambu, kemudian menuangkan secawan air, "Minumlah dengan pelan!"Jurus Air Memotong Batu adalah satu-satunya juru
Lanting Beruga tiba di Menara Tiga Bintang. Lantai pertama sudah penuh sesak oleh pemuda yang akan mengikuti pertandingan antar pemuda.Tumpah ruah sekali pendekar muda hari ini. Lanting Beruga tidak pernah melihat pemuda berkumpul dalam satu waktu kecuali hari ini."Lihatlah, bukankah dia si cacat itu?""Wajah tebal, dia tidak malu datang ke tempat ini dan mengikuti pertandingan.""Jika aku jadi dia, mungkin sekarang sudah bersembunyi di lubang semut."Lanting Beruga hanya diam, banyak perkataan itu ada benarnya. Lagipula dia memang tidak memiliki tenaga dalam.Pemuda itu berdiri di sudut ruangan tersebut, dia menatap ke sisi lain, gadis cantik yang dikerumuni oleh banyak pemuda dan para gadis, Lila Sari.Gadis itu hanya menatap sesaat ke arah Lanting Beruga, kemudian berpaling seketika. Sepertinya teman kecilnya itu tidak mungkin menjalin ikatan lagi dengan Lanting Beruga.Tidak beberapa lama, semua orang itu dikejutkan oleh
Yang berkata barusan adalah Sunta Wira, pemuda itu berdiri di belakang Coyo Wigoro dengan dua tangan mendekap di depan dadanya.Mungkin saja saat ini Coyo Wigoro akan marah, seperti yang sering dia lakukan kepada beberapa pemuda saat4 berkata kasar kepada dirinya.Namun yang berkata barusan adalah Sunta Wira, pemuda terbaik di Desa Ranting Hijau. Nyali Coyo Wigoro menjadi ciut dalam seketika."Kau tidak ingin bertarung?" tanya Sunta Wira. "Kalau begitu jangan melakukan apapun sampai pertandingan ini dilaksanakan!""Aku mengerti!" ucap Coyo Wigoro lalu pergi meninggalkan perkumpulan itu bersama dengan teman-temannya.Lila Sari membuang muka dari wajah Lanting Beruga, dan membuntuti Coyo Wigoro dengan cukup mesra.Setelah kepergian mereka, Sunta Wira menatap Langting Beruga tanpa ekspresi. Pemuda itu tidak mengatakan apapun, lalu pergi begitu saja meninggalkan Lanting Beruga."Terima kasih ..." ucap Lanting Beruga, tapi Sunta Wira
Para bandit ini telah berada di level lima beberapa yang lain berada di level empat, mereka semua sangat kuat. Lanting Beruga atau pemuda yang setingkat dirinya, tidak mungkin bisa berhadapan dengan bandit, meski hanya melawan satu saja.Pemuda itu berdiri sambil menahan lehernya yang terasa sakit. Kepalan tinju para bandit ini mendarat tepat di kerongkongannya.Si bos bandit, sekali lagi menyeringaikan bibirnya, terlihat tidak ramah. "Sayang sekali, kau telah melihat wajah kami, jadi kau harus mati!"Lanting Beruga hanya terdiam, dia menarik pedang yang baru saja dibelinya, mengarahkan pedang itu kepada lawan-lawannya."Bunuh anak ini, kita harus cepat!" ucap pimpinan bandit tersebut.Seorang pria di belakang pimpinan berjalan ke depan, dari semua orang mungkin dia yang paling lemah, tapi tetap saja memiliki kekuatan yang bukan tandingan Lanting Beruga.Pria itu menarik sebilah golok yang tergantung di samping pinggangnya, memainkan golok itu den
Ada banyak pertanyaan di kepala pemuda itu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk mencari jawabannya. Sekarang waktunya bertarung.Dari 6 orang bandit itu, 3 di antaranya telah dikalahkan oleh Lanting Beruga, tapi yang tersisa sekarang adalah yang paling kuat.Dua orang ini berada di puncak pendekar level empat, kekuatan mereka jelas berbeda dengan tiga orang yang baru saja kalah tadi."Sepertinya kami terlalu meremehkan dirimu!" ucap dua orang itu, mereka mulai mengayunkan goloknya.Lanting Beruga menyambut serangan itu dengan kesulitan, meski dia sebelumnya mendapatkan kekuatan dari Roh Api, tapi sepertinya kekuatan itu tidak muncul setiap saat. Mungkin hanya pada waktu genting saja, atau pula! entahlah.Si bandit hampir saja membunuh pemuda itu dalam serangan berikutnya, Lanting Beruga mengalami luka di bagian pipi.Jika dia gagal menghindari serangan tadi, tentu bukan pipinya yang akan mengalami luka, melainkan batang lehernya
Intan Ayu, Lanting Beruga menyimpan nama itu dalam-dalam, dia akan mengingat nama gadis dingin yang menolong dirinya.Lanting Beruga masih berdiam diri, ketika pandangannya terpaku pada sosok Intan Ayu yang pergi menjauh. Lalu hilang di telan hutan rimba."Ilmu pedang yang sangat hebat," ucap Lanting Beruga, "meskipun kau bilang tidak akan bertemu denganku, tapi aku yakin kita akan berjumpa lagi."Beberapa saat kemudian, pasukan pendekar yang dikirim oleh pimpinan desa tiba di dekat Lanting Beruga. Sontak saja wajah mereka menjadi tegang, karena melihat ada banyak mayat bergeletakan di sekitar pemuda itu."Apa kau yang membunuh mereka semua?" Salah seorang bertanya kepada Lanting Beruga."Iya-," tapi Lanting Beruga segera tersadar, jika para pemuda desa ini tidak mungkin percaya dia telah mengalahkan sebagain dari perampok, jadi dia segera berkata, "maksudku, bukan aku yang mengalahkan mereka, aku telah melihat mereka seperti ini sewaktu aku tiba d