Lanting Beruga jelas mendengar peringatan Kakeknya, dia tentu ingin berlari sekuat tenaga tapi rasa takut ini membuat tubuh pemuda kecil itu menjadi kaku.
Begitu deras keringat dingin membasahi pipinya, bersamaan warna bibir yang mulai membiru.
Dia tidak pernah percaya mengenai hantu di dunia ini, tapi sosok mahluk yang ada di depan dirinya malah lebih menakutkan daripada hantu.
Ya, ada mahluk menakutkan tepat berdiri di hadapan Lanting Beruga. Seluruh tubuh di selimuti dengan api membara, yang mirip seperti bulu-bulu merah mengerikan.
Dia punya tanduk seperti rusa, tapi dengan kumis panjang, hampir satu depa panjangnya. Jika kumis itu bisa dipotong, barang kali bisa mejadi sebuah cambuk yang sangat sakti.
Mendapati wajah ketakutan Lanting Beruga, gigi tajam seperti belati mengintip dari balik bibir hitam mahluk tersebut.
"Larilah! Lanting!" seru Seno Geni.
Ya, larilah jika tidak ingin ada hal buruk terjadi, tapi Lanting Tidak bisa berlari. Tubuhnya terasa begitu berat lagi panas.
Mata merah mahluk itu menatap Seno Geni dan berkilat tajam, "Kita bertemu lagi, Geni!"
Baru saja setelah mengatakan hal itu, mahluk tersebut masuk ke dalam tubuh Lanting Beruga melewati rongga mulutnya.
Teriakan Lanting Berugapun tak terdengar. Namun jelas terasa sangat sakit.
Mata pemuda itu mendelik ke atas, rasa panas membakar rongga mulut sampai ke kerongkongannya.
Dia seolah sedang menelan bara api, yang kini membakar perutnya.
Cahaya kemerahan mulai menjalar di tubuh Lanting Beruga, seperti sebuah tungku yang terlalu panas, dan akan meledak.
Berusaha menatap Seno Geni dan Wulandari, Lanting Beruga memutar tubuh ke belakang.
Tidak ada air dari mata pemuda itu ketika seluruh mahluk itu telah berada di dalam tubuhnya. Bahkan rasa sakit tersebut diganti dengan senyum kecil di bibir Lanting Beruga, seakan dia mengatakan 'Selamat tinggal, Kakek dan Nenek.'
Dan tepat beberapa saat kemudian, pandangan pemuda itu menjadi pudar, dunia seakan terbalik dia merasakan tubuhnya seringan kapas.
Lanting Beruga berjalan mundur, dia tidak sadar kenapa berjalan mundur. Tapi di belakang pemuda itu ada cadas cukup tinggi yang menjadi penahan ombak laut.
Jika dia sampai jatuh, bahkan pendekar level tiga sekalipun mungkin tidak akan selamat.
"Lanting!" Seno Geni Kembali Berseru, dan dilanjutkan oleh teriakan keras Wulandari, "Jangan mundur cucuku, kau bisa saja ja-"
Ucapan Wulandari tidak berlanjut, ketika tubuh Lanting Beruga terjun bebas ke bawah. Wanita tua itu menutup mulutnya dengan mata terbelalak.
Tiada apapun yang dirasakan oleh Lanting Beruga, baik ketika dia jatuh atau pula ketika tubuhnya mendarat kasar di permukaan karang tajam dan keras.
Lalu semuanya menjadi begitu hening dan kelam. Lanting Beruga telah menutup mata, dengan tatapan kosong ke arah langit biru berteman Sang Surya.
Di atas cadas itu, Seno Geni dan Wulandari hanya beratap pilu. Mereka memperhatikan tubuh cucu kesayangannya di bawah sana, diterpa oleh ombak pantai yang menderu.
Hari itu juga, semua warga yang cukup memiliki hati datang menemui Seno Geni. Mereka berusaha keras menarik tubuh Lanting Beruga ke atas.
Tali tambang dijalin sedemikian rupa, membentuk semacam tangga. Lima orang turun untuk membantu.
Namun hal pertama yang dirasakan oleh lima pria itu ketika menyentuh tubuh Lanting Beruga adalah, seperti memegang bara api.
"Dia masih hidup?" tanya salah seorang dari mereka.
"Apa yang terjadi? tanganku seakan menyentuh kuali panas!"
"Aku juga merasakannya!"
Karena hal itu, lima orang itu terpaksa melepas baju yang mereka kenakan, lalu merendam baju itu ke dalam laut.
Dengan pakaian basah tersebut, mereka bisa menyentuh tubuh Lanting Beruga.
Beberapa saat telah berlalu, tubuh Lanting Beruga kini berada di dalam gubuk kakeknya. Wulandari hampir menghabiskan seluruh pakaian Lanting Beruga untuk menutupi tubuhnya tapi tidak berapa lama pakaian tersebut mulai hangus dan terbakar.
Sampai kemudian, tinggallah pakaian dari kulit domba basah yang masih menutupi tubuh Lanting Beruga.
"Seno Geni!" Pimpinan Desa mendekati Seno Geni. "Cucumu mungkin saja masih hidup, tapi kau juga tahu, desa kita tidak memiliki tabib handal untuk mengetahui kondisi tubuhnya dengan pasti."
Seno Geni juga berpikir demikian, umumnya tubuh akan dingin dan kaku ketika telah mati. Namun tubuh Lanting Beruga malah sebaliknya.
Sekarang yang dia takutkan mungkin saja telah terjadi. Dan ini berkaitan dengan masa lalunya.
Ini adalah ke dua kalinya Lanting Beruga didatangi oleh mahluk mengerikan itu. Pertama ketika dia baru saja lahir, dan kini ketika umurnya menginjak usia 15 tahun.
Tapi hari ini kedatangan mahluk itu membawa petaka.
Roh Api! adalah kekuatan yang hanya bisa dikendalikan oleh Seno Geni ketika dia masih menguasai berkah matahari.
Seno Geni menyangka Roh Api ikut lenyap bersama dengan lenyapnya ilmu kanuraganya, tapi dugaannya ternyata salah. Roh Api menjadi liar, dan memiliki tujuannya sendiri.
Di waktu yang bersamaan, Lanting Beruga kini berada di alam bawah sadarnya. Dunia yang dia injak begitu gelap, tak ada setitikpun cahaya yang nampak di matanya.
Namun sayu-sayu ada satu kunang-kunang bergerak di sekitar pemuda kecil itu. Ukurannya mungkin sebesar ibu jari tangannya sendiri.
Ah, ini adalah kunang-kunang paling besar yang pernah dilihat oleh Lanting Beruga.
Selang beberapa saat, tiba-tiba dari tubuh kunang-kunang itu, meledak cahaya terang yang menyilaukan matanya. Wujud kunang-kunang akhirnya nampak pula.
Sosok mahluk kecil melayang di depan Lanting Beruga, cahayanya begitu hangat. Itu adalah mahluk sama yang dilihat oleh Lanting Beruga barusan, bertanduk dan berkumis panjang. Tapi ini dengan ukuran kecilnya.
Dia terbang kian kemari, sesekali mengitari tubuh Lanting Beruga, dan sesekali hinggap di atas kepalanya.
"Ironi sekali!" terdengar suara bergemah di sekitar pemuda itu.
Lanting Beruga mencari sumber suaranya, tapi dia tidak menemukan dari mana datangnya suara tadi, sempai kemudian dia yakin bahwa itu adalah suara dari mahluk kecil ini.
"Aku gagal menguasai tubuhmu, aneh sekali!" terdengar lagi suara tersebut.
"Aku pikir bisa mengendalikan tubuhmu, tapi rupanya kekuatanku malah menyatu dengan dirimu. Kini aku terjebak di sini, aku gagal menjadi tuan!"
Lanting Beruga tidak tahu apa yang telah dikatakan oleh mahluk tersebut, tapi satu hal yang mengganjal pikiran pemuda itu. "Siapa namamu?"
"Seno Geni menamaiku Watu Kencana, aku adalah Roh Api," jawab mahluk itu, suaranya yang dalam dan bergema begitu terdengar berwibawa. "Dulu dengan berkah matahari, Kakekmu mengendalikanku, tapi kini dengan kecacatanmu, kau menyerap semua kekuatanku!"
Lanting Beruga hanya terdiam, kekuatan seperti apa yang telah dikatakan oleh mahluk ini. Apakah itu artinya dia bisa menguasai tenaga dalam? entahlah.
Lalu tubuh Lanting Beruga mulai senyap seperti sebelumnya, seakan melayang di angkasa.
"Lanting Beruga, aku hidup di dalam darahmu! ini akan jadi kutukanmu!"
Lima hari lamanya, Lanting Beruga berada dalam ke adaan setengah mati dan setengah hidup. Dia bernafas, tapi jantungnya begitu lemah. Satu-satunya yang menjadi harapan sepasang kakek dan neneknya karena tubuh Lanting Beruga tidak pernah dingin.Seno Geni paham betul kenapa demikian, itu karena Roh Api. Jika bukan lantas alasan apa lagi yang masuk akal?"Apakah cucu kita akan selamat!?" meratap Wulandari di samping Lanting Beruga, sesekali dia mengelap peluh yang keluar membasahi tubuh cucu kesayangannya tersebut, tapi hanya sesaat saja peluh itu kembali bercucuran, seperti demam panas yang begitu parah.Seno Geni belum menjawab, tapi dia yakin Lanting Beruga akan selamat. Ada persamaan antara Lanting Beruga dan dirinya ketika muda.Suhu tubuh Seno Geni juga meningkat drastis, tapi perbedaan antara dia dan cucunya terletak dari sumber panas."Berkah matahari lahir bersamaan dengan diriku, tapi yang ada di dalam tubuh Lanting Beruga adalah beda," gum
Wulandari bukan pendekar pedang baik di masanya, tapi dia juga bukan orang yang begitu lemah. Wanita tua itu dulunya mewarisi kekuatan pedang hijau dari Negeri Sembilan.Jadi sedikit banyak dia juga tahu dasar-dasar dalam teknik pedang."Ini dinamakan Jurus Air Memotong Batu," ucap Wulandari, dia mulai memperagakan jurus daras dari sebuah teknik pedang, selang beberapa lama ada pekik tertahan dari mulutnya, "Aduh duh duh ...punggungku! punggungku terkilir,"Lanting Beruga menggelengkan kepala pelan, tampaknya neneknya terlalu bersemangat dalam melatihnya, sampai-sampai lupa jika dirinya sudah tua.Lagipula, Wulandari sudah 50 tahun ini tidak pernah menggunakan pedang ataupun jenis kemampuan yang lain. Dia menjalani hari tua yang normal."Nenek, duduklah dan minumlah sebentar!" ucap Lanting Beruga, memapah neneknya duduk di atas jalinan bambu, kemudian menuangkan secawan air, "Minumlah dengan pelan!"Jurus Air Memotong Batu adalah satu-satunya juru
Lanting Beruga tiba di Menara Tiga Bintang. Lantai pertama sudah penuh sesak oleh pemuda yang akan mengikuti pertandingan antar pemuda.Tumpah ruah sekali pendekar muda hari ini. Lanting Beruga tidak pernah melihat pemuda berkumpul dalam satu waktu kecuali hari ini."Lihatlah, bukankah dia si cacat itu?""Wajah tebal, dia tidak malu datang ke tempat ini dan mengikuti pertandingan.""Jika aku jadi dia, mungkin sekarang sudah bersembunyi di lubang semut."Lanting Beruga hanya diam, banyak perkataan itu ada benarnya. Lagipula dia memang tidak memiliki tenaga dalam.Pemuda itu berdiri di sudut ruangan tersebut, dia menatap ke sisi lain, gadis cantik yang dikerumuni oleh banyak pemuda dan para gadis, Lila Sari.Gadis itu hanya menatap sesaat ke arah Lanting Beruga, kemudian berpaling seketika. Sepertinya teman kecilnya itu tidak mungkin menjalin ikatan lagi dengan Lanting Beruga.Tidak beberapa lama, semua orang itu dikejutkan oleh
Yang berkata barusan adalah Sunta Wira, pemuda itu berdiri di belakang Coyo Wigoro dengan dua tangan mendekap di depan dadanya.Mungkin saja saat ini Coyo Wigoro akan marah, seperti yang sering dia lakukan kepada beberapa pemuda saat4 berkata kasar kepada dirinya.Namun yang berkata barusan adalah Sunta Wira, pemuda terbaik di Desa Ranting Hijau. Nyali Coyo Wigoro menjadi ciut dalam seketika."Kau tidak ingin bertarung?" tanya Sunta Wira. "Kalau begitu jangan melakukan apapun sampai pertandingan ini dilaksanakan!""Aku mengerti!" ucap Coyo Wigoro lalu pergi meninggalkan perkumpulan itu bersama dengan teman-temannya.Lila Sari membuang muka dari wajah Lanting Beruga, dan membuntuti Coyo Wigoro dengan cukup mesra.Setelah kepergian mereka, Sunta Wira menatap Langting Beruga tanpa ekspresi. Pemuda itu tidak mengatakan apapun, lalu pergi begitu saja meninggalkan Lanting Beruga."Terima kasih ..." ucap Lanting Beruga, tapi Sunta Wira
Para bandit ini telah berada di level lima beberapa yang lain berada di level empat, mereka semua sangat kuat. Lanting Beruga atau pemuda yang setingkat dirinya, tidak mungkin bisa berhadapan dengan bandit, meski hanya melawan satu saja.Pemuda itu berdiri sambil menahan lehernya yang terasa sakit. Kepalan tinju para bandit ini mendarat tepat di kerongkongannya.Si bos bandit, sekali lagi menyeringaikan bibirnya, terlihat tidak ramah. "Sayang sekali, kau telah melihat wajah kami, jadi kau harus mati!"Lanting Beruga hanya terdiam, dia menarik pedang yang baru saja dibelinya, mengarahkan pedang itu kepada lawan-lawannya."Bunuh anak ini, kita harus cepat!" ucap pimpinan bandit tersebut.Seorang pria di belakang pimpinan berjalan ke depan, dari semua orang mungkin dia yang paling lemah, tapi tetap saja memiliki kekuatan yang bukan tandingan Lanting Beruga.Pria itu menarik sebilah golok yang tergantung di samping pinggangnya, memainkan golok itu den
Ada banyak pertanyaan di kepala pemuda itu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk mencari jawabannya. Sekarang waktunya bertarung.Dari 6 orang bandit itu, 3 di antaranya telah dikalahkan oleh Lanting Beruga, tapi yang tersisa sekarang adalah yang paling kuat.Dua orang ini berada di puncak pendekar level empat, kekuatan mereka jelas berbeda dengan tiga orang yang baru saja kalah tadi."Sepertinya kami terlalu meremehkan dirimu!" ucap dua orang itu, mereka mulai mengayunkan goloknya.Lanting Beruga menyambut serangan itu dengan kesulitan, meski dia sebelumnya mendapatkan kekuatan dari Roh Api, tapi sepertinya kekuatan itu tidak muncul setiap saat. Mungkin hanya pada waktu genting saja, atau pula! entahlah.Si bandit hampir saja membunuh pemuda itu dalam serangan berikutnya, Lanting Beruga mengalami luka di bagian pipi.Jika dia gagal menghindari serangan tadi, tentu bukan pipinya yang akan mengalami luka, melainkan batang lehernya
Intan Ayu, Lanting Beruga menyimpan nama itu dalam-dalam, dia akan mengingat nama gadis dingin yang menolong dirinya.Lanting Beruga masih berdiam diri, ketika pandangannya terpaku pada sosok Intan Ayu yang pergi menjauh. Lalu hilang di telan hutan rimba."Ilmu pedang yang sangat hebat," ucap Lanting Beruga, "meskipun kau bilang tidak akan bertemu denganku, tapi aku yakin kita akan berjumpa lagi."Beberapa saat kemudian, pasukan pendekar yang dikirim oleh pimpinan desa tiba di dekat Lanting Beruga. Sontak saja wajah mereka menjadi tegang, karena melihat ada banyak mayat bergeletakan di sekitar pemuda itu."Apa kau yang membunuh mereka semua?" Salah seorang bertanya kepada Lanting Beruga."Iya-," tapi Lanting Beruga segera tersadar, jika para pemuda desa ini tidak mungkin percaya dia telah mengalahkan sebagain dari perampok, jadi dia segera berkata, "maksudku, bukan aku yang mengalahkan mereka, aku telah melihat mereka seperti ini sewaktu aku tiba d
Tidak mudah mendapatkan sumber daya pelatihan seperti yang diberikan oleh Pimpinan desa kepada Lanting Beruga.Meski sumber daya pelatihan untuk meningkatkan kekuatan pisik jauh lebih murah daripada meningkatkan tenaga dalam, tapi tetap saja harganya begitu mahal. Hanya orang kaya yang bisa mendapatkan sumber daya pelatihan dengan cukup banyak.Ketika malam hari, Lanting Beruga membuka kotak kecil yang baru saja diserahkan oleh Seno Geni."Kakek, benda apa ini?" tanya Lanting Beruga.Pemuda itu tidak tahu menahu mengenai sumber daya pelatihan ataupun semacamnya. Dia hanya punya satu keyakinan, yaitu menjadi pendekar hebat bisa dicapai dengan berlatih sangat keras.Pemahaman itu tentu saja tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Berlatih keras memang penting, tapi sumber daya pelatihan juga tidak kalah lebih penting.Banyak pendekar kaya raya rela menghabiskan uang mereka hanya untuk mendapatkan sumber daya pelatihan y