Lima hari lamanya, Lanting Beruga berada dalam ke adaan setengah mati dan setengah hidup. Dia bernafas, tapi jantungnya begitu lemah. Satu-satunya yang menjadi harapan sepasang kakek dan neneknya karena tubuh Lanting Beruga tidak pernah dingin.
Seno Geni paham betul kenapa demikian, itu karena Roh Api. Jika bukan lantas alasan apa lagi yang masuk akal?
"Apakah cucu kita akan selamat!?" meratap Wulandari di samping Lanting Beruga, sesekali dia mengelap peluh yang keluar membasahi tubuh cucu kesayangannya tersebut, tapi hanya sesaat saja peluh itu kembali bercucuran, seperti demam panas yang begitu parah.
Seno Geni belum menjawab, tapi dia yakin Lanting Beruga akan selamat. Ada persamaan antara Lanting Beruga dan dirinya ketika muda.
Suhu tubuh Seno Geni juga meningkat drastis, tapi perbedaan antara dia dan cucunya terletak dari sumber panas.
"Berkah matahari lahir bersamaan dengan diriku, tapi yang ada di dalam tubuh Lanting Beruga adalah beda," gumam Seno Geni. "Roh Api, adalah kekuatan yang lebih kasar dan sedikit brutal daripada Berkah Matahari."
"Aku khawatir cucu kita tidak bisa mengendalikan kekuatan tersebut," ucap Wulandari.
Mereka berdua telah menjaga Lanting Beruga selama 15 tahun ini, dan bertekad menjauhkan pemuda kecil itu dari dunia persilatan.
Namun rupanya, jalan hidup Lanting Beruga sudah ditentukan, Seno Geni tidak bisa melakukan apapun lagi untuk saat ini.
Tapi di dalam dunia yang kini dikuasai oleh para pendekar, setiap datang kekuatan baru, maka akan pula datang kekuatan tandingannya. Itu sudah pasti.
Seperti gelap dan terang, seperti dua sisi koin yang berlawanan, keduanya tidak bisa dipisahkan.
"Cucu kita mungkin akan jadi titik dari bencana yang akan datang sesaat lagi," ucap Seno Geni dengan penuh keyakinan.
Wulandari tidak peduli dengan hal semacam itu, dia pernah melihat perang dunia persilatan pertama, dan menyaksikan pembantaian besar-besaran.
Namun satu-satunya yang diinginkan oleh Wulandari adalah, Lanting Beruga selamat dari ujian ini.
"Cucuku, jika memang kami telah menghalangi jalanmu, mencegah dirimu untuk meniti takdirmu, dan melawan kehendak dari langit, maka hari ini Nenek ikhlas kau memilih jalan pendekar." Ratapan pilu terdengar pelan dan lirih dari mulut Wulandari di telinga Lanting Beruga.
Wanita tua itu terisak, air matanya jatuh berderai sampai menetes pula mengenai helaian rambut Lanting Beruga.
Namun rupanya, perkataan itu disambut baik oleh Lanting Beruga. Suhu tubuhnya mulai mendingin, peluhnya mulai hilang dan beberapa saat kemudian, matanya mulai bergerak.
Ini adalah gerakan pertama dari mata Lanting Beruga setelah 5 hari lamanya tidak sadarkan diri.
Dan beberapa saat kemudian, lalu beberapa saat lagi, Lanting Beruga berhasil membuka matanya. Mula-mula ada cahaya kuning redup di mata pemuda itu, membuat silau Wulandari dan Seno Geni.
Tapi hanya beberapa saat kemudian, mata itu menjadi seperti sedia kala, mata normal Lanting Beruga, cucu kesayangan Seno Geni sang legenda.
"Kakek ...Nenek ...." ucap Lanting Beruga, "Aku bermimpi buruk ..."
Bukan main harunya Wulandari dan Seno Geni, mendengar ucapan itu. Mereka langsung saja memeluk Lanting Beruga dengan erat, begitu sayang dan cinta kasihnya dua orang tua itu kepada cucu semata wayang mereka.
Lanting Beruga menceritakan mengenai mimpin buruknya.
Seno Geni menggaruk dagunya beberapa kali sambil mendengar cerita pemuda itu. Dan pada akhirnya dia bisa menyimpulkan satu hal, Lanting Beruga memiliki kesempatan untuk mengendalikan kekuatan itu.
Karena hal itu, Seno Geni mengizinkan Lanting Beruga berlatih dengan gigih. Tidak ada yang mustahil di dunia ini jika kita berlatih dan berusaha keras.
Wulandari sebelumnya memang tidak mengizinkan, tapi demi kebaikan Lanting Beruga dan mungkin memang itu yang harus pemuda itu lakukan -menjadi pendekar-, Wulandari harus berlapang dada membiarkan Lanting Beruga berlatih keras.
Keesokan harinya, tubuh Lanting Beruga telah kembali pulih sepenuhnya. Bahkan terasa dua kali lebih kuat.
Dia bangun pagi-pagi sekali, mandi dan menyiapkan sarapan untuk kakek dan neneknya. Meski seumur hidupnya tidak pernah memakan hewan, karena Seno Geni tidak menyukai daging-dagingan, tapi masakan sayur mayur Lanting Beruga cukup enak.
Setelah matahari mulai naik setinggi tombak, Lanting Beruga membuat sebuah pedang dari bilah bambu.
Tidak ada pedang di dalam gubuk ini, mereka tidak punya uang untuk membelinya, tapi Lanting Beruga tidak kehilangan akal. Dia bisa menciptakan banyak pedang dengan bambu-bambu yang tumbuh subur di belakang gubuknya.
Satu dua tiga, pemuda itu mulai menebas ke depan. Dia mengumpulkan banyak bambu yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk seperti alat latihan.
Ini adalah latihan pertama pemuda itu, dan tentu saja dia tidak tahu apakah gerakan ini benar atau salah. Dia hanya menebas ke depan, mengulangi gerakan itu sampai puluhan kali.
"Aku tidak pernah menyesal kehilangan ilmu kanuraganku selama ini, tapi melihat cucuku berlatih tanpa gerakan pasti membuat aku ingin memaki diri ini, " gumam Seno Geni kepada Wulandari.
"Bukankah kau dulu juga tidak pernah berlatih sampai kau bertemu dengan Ki Alam Sakti, ketika usiamu sudah cukup dewasa?" tanya Wulandari sambil meletakan rebusan ubi di samping Seno Geni. "Dia berlatih lebih muda dari dirimu dahulu, aku yakin dia bisa menjadi seperti Kakeknya, bahkan melebihi kakeknya sendiri."
Seno Geni terkekeh kecil, mengenang masa mudanya dahulu yang begitu angkuh dan keras kepala, sampai pribadinya melunak ketika bertemu degan gurunya sendiri.
Dan dia yakin, Lanting Beruga kelak akan menemukan gurunya sendiri.
Ah andai saja Seno Geni masih memiliki ilmu kanuragannya, hari ini dia akan menurunkan semua ilmu pedang yang dia kuasai kepada Lanting Beruga.
Lanting Beruga berhenti ketika dia sudah berlatih selama setengah hari. Dia memandangi telapak tangannya yang mulai melepuh.
"Semua orang mengalami hal yang sama ketika mereka mulai berlatih," ucap Wulandari sambil menghantarkan sekendi air untuk pemuda itu. "Dulu Kakekmu juga sepertimu!"
Lanting Beruga hanya tersenyum kecil, tentu saja dia tidak mempermasalahkan hal ini. Dia baru saja memulai jalannya, bagaimana mungkin sudah menyerah?
Lagipula menjadi pendekar memang penuh dengan darah, Lanting Beruga tidak mungkin kalah hanya dengan telapak tangan yang melepuh.
Ketika Wulandari mendapati pedang bambu milik Lanting Beruga, dia menemukan gagang pedang berwarna sedikit hitam.
Di sentuhnya gagang pedang itu, dan terasa sedikit panas. Sepertinya, roh api di dalam tubuh pemuda itu sedikit keluar dari dalam tubuh.
Ya, jika di dunia persilatan segala kekuatan berasal dari Tenga Dalam, maka kekuatan Lanting Beruga akan berasal dari Roh Api yang ada di dalam tubuhnya.
Namun tentu saja, Lanting Beruga tidak lantas menjadi kuat karena roh api itu. Dia juga harus berlatih sebagaimana berlatihnya para pendekar yang memiliki tenaga dalam.
"Nenek akan ajarkan dirimu satu jurus dasar," ucap Wulandari, "Apa kau mau?"
Lanting Beruga membuka matanya lebar-lebar, tidak percaya jika Neneknya mau memberinya sedikit ilmu pedang.
Wulandari bukan pendekar pedang baik di masanya, tapi dia juga bukan orang yang begitu lemah. Wanita tua itu dulunya mewarisi kekuatan pedang hijau dari Negeri Sembilan.Jadi sedikit banyak dia juga tahu dasar-dasar dalam teknik pedang."Ini dinamakan Jurus Air Memotong Batu," ucap Wulandari, dia mulai memperagakan jurus daras dari sebuah teknik pedang, selang beberapa lama ada pekik tertahan dari mulutnya, "Aduh duh duh ...punggungku! punggungku terkilir,"Lanting Beruga menggelengkan kepala pelan, tampaknya neneknya terlalu bersemangat dalam melatihnya, sampai-sampai lupa jika dirinya sudah tua.Lagipula, Wulandari sudah 50 tahun ini tidak pernah menggunakan pedang ataupun jenis kemampuan yang lain. Dia menjalani hari tua yang normal."Nenek, duduklah dan minumlah sebentar!" ucap Lanting Beruga, memapah neneknya duduk di atas jalinan bambu, kemudian menuangkan secawan air, "Minumlah dengan pelan!"Jurus Air Memotong Batu adalah satu-satunya juru
Lanting Beruga tiba di Menara Tiga Bintang. Lantai pertama sudah penuh sesak oleh pemuda yang akan mengikuti pertandingan antar pemuda.Tumpah ruah sekali pendekar muda hari ini. Lanting Beruga tidak pernah melihat pemuda berkumpul dalam satu waktu kecuali hari ini."Lihatlah, bukankah dia si cacat itu?""Wajah tebal, dia tidak malu datang ke tempat ini dan mengikuti pertandingan.""Jika aku jadi dia, mungkin sekarang sudah bersembunyi di lubang semut."Lanting Beruga hanya diam, banyak perkataan itu ada benarnya. Lagipula dia memang tidak memiliki tenaga dalam.Pemuda itu berdiri di sudut ruangan tersebut, dia menatap ke sisi lain, gadis cantik yang dikerumuni oleh banyak pemuda dan para gadis, Lila Sari.Gadis itu hanya menatap sesaat ke arah Lanting Beruga, kemudian berpaling seketika. Sepertinya teman kecilnya itu tidak mungkin menjalin ikatan lagi dengan Lanting Beruga.Tidak beberapa lama, semua orang itu dikejutkan oleh
Yang berkata barusan adalah Sunta Wira, pemuda itu berdiri di belakang Coyo Wigoro dengan dua tangan mendekap di depan dadanya.Mungkin saja saat ini Coyo Wigoro akan marah, seperti yang sering dia lakukan kepada beberapa pemuda saat4 berkata kasar kepada dirinya.Namun yang berkata barusan adalah Sunta Wira, pemuda terbaik di Desa Ranting Hijau. Nyali Coyo Wigoro menjadi ciut dalam seketika."Kau tidak ingin bertarung?" tanya Sunta Wira. "Kalau begitu jangan melakukan apapun sampai pertandingan ini dilaksanakan!""Aku mengerti!" ucap Coyo Wigoro lalu pergi meninggalkan perkumpulan itu bersama dengan teman-temannya.Lila Sari membuang muka dari wajah Lanting Beruga, dan membuntuti Coyo Wigoro dengan cukup mesra.Setelah kepergian mereka, Sunta Wira menatap Langting Beruga tanpa ekspresi. Pemuda itu tidak mengatakan apapun, lalu pergi begitu saja meninggalkan Lanting Beruga."Terima kasih ..." ucap Lanting Beruga, tapi Sunta Wira
Para bandit ini telah berada di level lima beberapa yang lain berada di level empat, mereka semua sangat kuat. Lanting Beruga atau pemuda yang setingkat dirinya, tidak mungkin bisa berhadapan dengan bandit, meski hanya melawan satu saja.Pemuda itu berdiri sambil menahan lehernya yang terasa sakit. Kepalan tinju para bandit ini mendarat tepat di kerongkongannya.Si bos bandit, sekali lagi menyeringaikan bibirnya, terlihat tidak ramah. "Sayang sekali, kau telah melihat wajah kami, jadi kau harus mati!"Lanting Beruga hanya terdiam, dia menarik pedang yang baru saja dibelinya, mengarahkan pedang itu kepada lawan-lawannya."Bunuh anak ini, kita harus cepat!" ucap pimpinan bandit tersebut.Seorang pria di belakang pimpinan berjalan ke depan, dari semua orang mungkin dia yang paling lemah, tapi tetap saja memiliki kekuatan yang bukan tandingan Lanting Beruga.Pria itu menarik sebilah golok yang tergantung di samping pinggangnya, memainkan golok itu den
Ada banyak pertanyaan di kepala pemuda itu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk mencari jawabannya. Sekarang waktunya bertarung.Dari 6 orang bandit itu, 3 di antaranya telah dikalahkan oleh Lanting Beruga, tapi yang tersisa sekarang adalah yang paling kuat.Dua orang ini berada di puncak pendekar level empat, kekuatan mereka jelas berbeda dengan tiga orang yang baru saja kalah tadi."Sepertinya kami terlalu meremehkan dirimu!" ucap dua orang itu, mereka mulai mengayunkan goloknya.Lanting Beruga menyambut serangan itu dengan kesulitan, meski dia sebelumnya mendapatkan kekuatan dari Roh Api, tapi sepertinya kekuatan itu tidak muncul setiap saat. Mungkin hanya pada waktu genting saja, atau pula! entahlah.Si bandit hampir saja membunuh pemuda itu dalam serangan berikutnya, Lanting Beruga mengalami luka di bagian pipi.Jika dia gagal menghindari serangan tadi, tentu bukan pipinya yang akan mengalami luka, melainkan batang lehernya
Intan Ayu, Lanting Beruga menyimpan nama itu dalam-dalam, dia akan mengingat nama gadis dingin yang menolong dirinya.Lanting Beruga masih berdiam diri, ketika pandangannya terpaku pada sosok Intan Ayu yang pergi menjauh. Lalu hilang di telan hutan rimba."Ilmu pedang yang sangat hebat," ucap Lanting Beruga, "meskipun kau bilang tidak akan bertemu denganku, tapi aku yakin kita akan berjumpa lagi."Beberapa saat kemudian, pasukan pendekar yang dikirim oleh pimpinan desa tiba di dekat Lanting Beruga. Sontak saja wajah mereka menjadi tegang, karena melihat ada banyak mayat bergeletakan di sekitar pemuda itu."Apa kau yang membunuh mereka semua?" Salah seorang bertanya kepada Lanting Beruga."Iya-," tapi Lanting Beruga segera tersadar, jika para pemuda desa ini tidak mungkin percaya dia telah mengalahkan sebagain dari perampok, jadi dia segera berkata, "maksudku, bukan aku yang mengalahkan mereka, aku telah melihat mereka seperti ini sewaktu aku tiba d
Tidak mudah mendapatkan sumber daya pelatihan seperti yang diberikan oleh Pimpinan desa kepada Lanting Beruga.Meski sumber daya pelatihan untuk meningkatkan kekuatan pisik jauh lebih murah daripada meningkatkan tenaga dalam, tapi tetap saja harganya begitu mahal. Hanya orang kaya yang bisa mendapatkan sumber daya pelatihan dengan cukup banyak.Ketika malam hari, Lanting Beruga membuka kotak kecil yang baru saja diserahkan oleh Seno Geni."Kakek, benda apa ini?" tanya Lanting Beruga.Pemuda itu tidak tahu menahu mengenai sumber daya pelatihan ataupun semacamnya. Dia hanya punya satu keyakinan, yaitu menjadi pendekar hebat bisa dicapai dengan berlatih sangat keras.Pemahaman itu tentu saja tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Berlatih keras memang penting, tapi sumber daya pelatihan juga tidak kalah lebih penting.Banyak pendekar kaya raya rela menghabiskan uang mereka hanya untuk mendapatkan sumber daya pelatihan y
Wulandari tidak tahu apapun, dia mendengar teriakan suaminya dari dalam bilik, terdengar sangat khawatir, jadi wanita tua itu bergegas mengambil satu tong kecil air dari dapur."Berikan air itu cepat!" ucap Seno Geni.Wulandari hampir saja jatuh pingsan karena melihat tubuh Lanting Beruga yang mirip seperti udang panggang. Wajahnya merah, dan muncul urat-urat yang bercahaya seperti magma. Entah apa yang terjadi, tapi Lanting Beruga terlihat begitu kesakitan.Seno Geni menyiram tubuh Lanting Beruga, berharap warna merah di tubuh cucunya segera padam, seperti padamnya api yang disiram oleh air, tapi dugaan Seno Geni salah. Air yang jatuh di tubuh Lanting Beruga menguap dengan cepat, lalu lenyap."Ambilkan air sebanyaknya!" ucap Seno Geni.Wulandari yang sudah tua berusaha berlari secepat yang dia bisa, mengambil banyak tong air kecil, menyiram tubuh Lanting Beruga beberapa kali, tapi tetap saja warna merah di tubuh pemuda itu tidak kunjun