“Tek, Tek, Tek.” jam dindingku berdetak waktu menunjukkan pukul jam 23.45 Wib. Sudah larut malam, tapi mataku masih terjaga, belum ingin tidur, hening, hanya suara tokek saja yang menemani, dua tiga kali suara jangkrik ikut terdengar, sedangkan cicak sedang sibuk mengejar nyamuk di atas sana.
Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur. Aku meraih ponselku yang tergeletak di meja dekat tempat tidurku, membuka salah satu media sosial, mendapati permintaan pertemanan dari seseorang tak dikenal, dengan nama dan profil yang cukup misterius, aku mengabaikannya, membuka layar beranda beberapa temanku memposting foto dan status.
“Good night, mimpi indah.”
Salah satu temanku memposting status, tertera jam posting pukul 21.30 Wib, aku iseng mengecek siapa saja yang masih online, aku mendapati hanya aku saja yang online, padahal biasanya mereka bisa online sampai subuh tapi tidak dengan malam ini. Aku menghembuskan nafas, keluar dari media sosialku, mematikan data, kembali menaruh ponselku di meja. Tiba-tiba saja aku bertanya sendiri hari apa sekarang,“Tanggal 21 selasa, eh Rabu aku ke rumah Tiara, berarti sekarang hari Kamis, malam Jumat?” seketika saja badanku menegang, suara lolongan anjing tiba-tiba saja terdengar nyaring, aku semakin mengeratkan pelukanku kepada guling yang berada di dekatku.
“Bagus, kenapa harus malam Jumat, mana aku sendirian lagi di rumah, kan jadi takut.” batinku cemas.
"Krek!” bunyi suara pintu dibuka, aku terperanjat kaget, semakin ketakutan jangan-jangan ada maling atau malah setan? pikiranku semakin macam-macam.
Sial, aku tiba-tiba saja ingin buang air kecil, sebisa mungkin aku berusaha menahannya, aku jadi menyesal karena tidak ikut, ini semua gara-gara ujian mid semester, kalau tidak pasti aku memilih ikut daripada di rumah sendirian.Lima menit berselang, aku benar-benar sudah tidak tahan, aku beranjak turun dari ranjang melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 00.05 Wib, sudah jam dua belas malam, Jam keramat. Masa bodo aku membuka pintu kamarku berlari menuju ke kamar mandi, namun langkahku terhenti melihat seseorang duduk di kursi sedang membaca koran, itu ayahku.
"Lho, ayah sama ibu udah pulang?” Tanyaku pada ayah yang sedang duduk, ayahku hanya mengangguk, kembali membaca koran, aku kembali berjalan menuju ke kamar mandi yang letaknya dekat dengan dapur.
“Ibu lagi ngapain? Kapan pulangnya?” Tiba-tiba saja aku menemukan ibuku di dapur, sedang masak mungkin.
“Lagi manasin sayur, barusan. kamu kok belum tidur?” Tanya ibuku masih sibuk mengaduk-aduk panci di kompor.
“Iya ini bangun mau buang air kecil.” jawabku masuk ke dalam kamar mandi.
Lima menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, ibu sudah tidak ada lagi di dapur, aku berjalan menuju ke kamarku, kulihat ayah juga tidak ada di sofa, mungkin mereka sudah masuk ke kamar dan tidur.
Aku langsung masuk ke kamarku, naik ke ranjang, suara kokok ayam terdengar bersahutan aku sedikit lega, kata orang dulu kalau ada ayam berkokok malam-malam begini artinya dia melihat malaikat, lain halnya kalau anjing yang menggonggong. Aku menutup mataku perlahan, membaca doa tidur di dalam hati, tidur.
Suara ayam berkokok terdengar nyaring di telingaku, aku mengucek mataku, melihat jam, baru pukul 7 pagi, aku masuk sekolah jam 7.30 Wib, aku segera bergegas turun dari ranjangku mengambil handuk dan bergegas mandi, ‘tapi aneh keadaan rumah seperti kosong, ibu dan ayah kemana?’ Batinku. Aku segera mandi dan membersihkan tubuhku. Masuk ke kamar berganti baju, memasukkan buku, ponsel dan mengambil uang saku di laci lemariku.
Melangkah ke luar rumah, keadaan di luar sepi, tidak ada mobil, mungkin ayah dan ibuku sedang pergi, aku berjalan mendekati sepedaku, mengayuhnya kencang menuju ke sekolah. Lima menit kemudian aku sampai, keadaan sekolah sudah ramai.
“La, baru sampai?” Sapa seseorang di belakangku, aku menoleh ke arah suara mendapati bahwa Tiara teman sekolahku berjalan mendekatiku.
“Iya, masuk kelas yuk!” ajakku pada Tiara.Setibanya di kelas, aku langsung duduk di kursiku, membuka ponselku dan menyalakan data, beberapa pesan terlihat masuk, aku membuka satu persatu.
“Laila, ibu sama ayah pulangnya besok gak jadi hari ini, kamu gapapa kan sendirian di rumah? Kalo takut nginep di rumah Tiara aja.” pesan itu seketika langsung membuat wajahku pucat pasi, aku terdiam mematung, ponselku terlepas dari genggaman, Tiara yang duduk di seberang kursiku, tersentak kaget. Mendapatiku yang ketakutan setengah mati.
"Laila kamu kenapa?” Tiara mengguncangkan bahuku, lidahku terasa kelu. Masih tidak dapat berpikir jernih.
“Tiara, aku gapapa kok cuma sedang capek saja.” hanya kata-kata itu yang terucap. Tiara hanya bergidik dengan bingung kemudian memberikan air minumnya untukku.
10 menit berlalu aku baru bisa merasa sedikit tenang, pelan-pelan menceritakan kejadian itu pada Tiara. Jadi kalau yang semalam itu bukan ibu dan ayah.
Pertanyaan retoris, mereka siapa?Tiara pun merasa kebingungan mendengar ceritaku, namun dia masih memberi masukan yang positif padaku. "Mungkin kamu bener kecapean La karena belajar untuk ujian mid semester."
"Mungkin," kataku singkat.
Lonceng sekolah berbunyi panjang tepat pukul 14.30 WIB. Jam berjalan terasa begitu cepat. Ratusan manusia berseragam putih abu-abu tampak berhamburan ke luar kelas.
Ada yang ke kantin untuk membeli makanan, ada yang ke lapangan untuk bermain sepak bola ataupun basket, dan ada juga yang ke taman untuk menikmati bekal ataupun sekedar berjalan-jalan.Aku merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas. “Ra, mau ke kantin?” tawarku kepada Tiara.
Tiara yang baru saja selesai mencatat materi pelajaran di papan tulis menoleh. Ia mengangguk, lalu merapikan buku-bukunya. “Ayo, La!” katanya dengan wajah ceria.
Sepanjang perjalanan ke kantin, kami asyik bercanda dan bercerita tentang apapun.
Bertepatan dengan hari Sabtu, Pemandangan tak biasa terihat di sudut kantin yang sudah ditinggal sang pemilik, karena dagangan sudah terlanjur habis. Tapi mataku tiba-tiba langsung tertuju pada sesosok wanita yang berdiri seraya menundukan kepalanya di sana."Kenapa La?" tanya Tiara yang membuatku tersadar dari lamunan. Tiara pun melihat ke arah tempat dimana sosok wanita itu tadi berdiri. Tapi dia merasa kebingungan karena tiada apapun di sana.
"Hem.. Tidak apa," ucapku.
"Kamu mau beli makanan apa?" tanyanya.
"Aku ikut kamu aja Ra,"
Setelah membeli makanan, kami memutuskan pergi dari kantin. Kami berjalan melewati lapangan, melihat anak-anak bermain basket, juga melewati taman untuk melihat pemandangan hamparan bunga. Baru kemudian, kami kembali ke kelas dan memakan makanan, sembari bercanda dan bercerita. Setelah makan, kami membereskan sampah dan membuangnya ke tempat sampah.
“Eh, aduh, Ra. Aku kebelet. Aku ke toilet, ya,” pamitku segera berdiri dari tempat dudukku.
"Bentar lagi Bu Dahlia masuk, loh, La." Tiara memberitahu. Bu Ratna adalah guru Bahasa Indonesia yang mengajar di kelasku dan Tiara setelah waktu istirahat hari ini.
"Nanti aku bilang kalo habis dari kamar mandi," ucapku lalu langsung melesat ke kamar mandi.
Untung saja kamar mandi dalam kondisi sepi, jadi aku tidak perlu mengantre lama. Aku memasuki sebuah bilik kamar mandi yang paling kanan dan segera menyelesaikan urusanku.
Ketika hendak keluar, aku mendengar seseorang memasuki bilik di sebelah kananku. Kemudian, aku mendengar suara isakan pelan dari sana.
Aku terdiam. Siapa? Mengapa ia menangis? Ada apa dengannya?
Aku ingin keluar, tapi pengguna bilik sebelahku pasti mengetahui bahwa ada orang lain di dalam kamar mandi. Jika terus di dalam, aku bisa ketinggalan pelajaran Bu Dahlia. Apa yang harus kulakukan?
Selama pelajaran aku tidak fokus, aku selalu memikirkan apa yang terjadi tadi. Aku membolak-balik buku Bahasa Indonesia dengan gusar.Bel pulang sekolah baru saja berbunyi dengan nyaring. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk pulang. Aku segera merapikan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas."Ayo, Ra," Aku mengajak Tiara. Ia mengangguk sambil memasukkan barang-barangnya. Setelah beberapa lama, Tiara sudah selesai merapikan barangnya, kami pun beranjak keluar kelas untuk pulang.Selalu begini, setiap pulang sekolah, aku harus melewati sebuah lorong yang gelap sendirian di ujung jalan Kota tempat tingalku. Aku sebenarnya tidak suka lewat lorong tersebut, tapi apa boleh buat, langit sudah memerah dan matahari sedikit lagi akan menghilang, aku harus cepat sampai di rumah.“Hati-hati, ya Laila!” ucap Tiara yang jalannya berbeda denganku sambil memberi lambaian tangan lembut. Aku tersenyum. “Iya.”"Ugh, gelap sekali
Aku selalu mencari jawabannya! Membayangkan sesuatu terjadi ketika aku mulai memejamkan mata. Mengapa detik jam dinding terus berbunyi? Dikala hening, bunyi itu seakan mengancam jiwaku. Yang sewaktu-waktu berubah menjadi sebuah kesunyian yang nyata. Membawaku pada hal yang menakutkan.Entah cerita apa yang ada dibaliknya. Aku terus memikirkannya. Setiap malam dan seterusnya. Aku mulai berpikir mungkin bunyi yang sama ini juga membayangi pikiran kalian. Aku terus memikirkannya, terus dan terus memikirkannya.Ibuku bercerita, jam dinding memang seperti itu. Detiknya selalu menimbulkan suara. Ibuku bilang, “saat detik jam dinding berbunyi, maka hal yang menakutkan bisa saja terjadi.”Dan saat hening. “Kau bisa merasakan bulu kudukmu berdiri,” aku selalu mencerna kata-katanya. Saat yang terdengar hanya detik jam, maka setelahnya kau akan mendengar suara-suara lain. “Suara di dunia lain.” katanya.Ibuku bilang. Saat kau mula
Malam itu aku melihat seorang remaja laki-laki sedang asyik bermain-main dengan sepedanya. Siangnya aku melihatnya sedang melukis di taman kota. Sorenya aku melihatnya sedang memotret lukisan alam di hutan kota. Ya, akhir-akhir ini aku melihatnya.Sebenarnya hanya setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu aku melihatnya di luar sekolah. Karena hari-hari itu hari dimana aku les bahasa inggris. Setiap aku berangkat menuju tempat lesku aku selalu melewati tempat ia bermain-main menekuni hobinya, yaitu di depan sebuah perumahan, taman kota, dan hutan kota. Awalnya aku menganggap ini hal biasa, tapi tidak ketika aku terus memperhatikannya. Di mana beda waktu aku melihat, beda tempat juga dia berada.Siapa sebenarnya dikau sebenarnya laki-laki misterius ini? Sebenarnya dirinya yang memasuki alam hidupku atau diriku yang memasuki alam hidupnya.“Laila!” panggilan Ibuku menghamburkan susunan lamunanku yang sudah tersusun rata.“Ia,
Bagi mereka, hal ghaib bukanlah hal penting untuk di perdebatkan.Tapi bagiku, hal ghaib adalah bagian dari diriku. Entah sejak kapan aku mengakuinya, tapi mereka ada. Bahkan di setiap langkah yang ku lalui, mereka selalu ada dan mengikutiku.Dalam hening dan senyap serta gemericik air yang membasahi bumi. Di tengah suasana dingin yang memeluk, aku merasa gelisah. Perasaanku tak menentu, ada sesuatu hal yang terjadi tapi aku tidak tahu itu apa.Aku menutup mataku, berharap rasa gelisah ini menghilang seiring dengan kantuk yang mulai menguasai. Namun aku salah, nyatanya dalam tidur yang nyaman itu aku terganggu.Aku berjalan di satu tempat, tempat yang aku kenal. Salah satu dari mereka datang, merasuk ke alam bawah sadar yang tidak bisa ku kendalikan dengan mudah. Membawaku ke sebuah lubang hitam yang pekat, rasa
Entah mengapa, dirumah yang sebesar ini aku merasa sangat-sangat hampa.“Apa karena sepi? atau apa karena sunyi? atau mungkin karena aku masih belum terbiasa dengan suasana rumah ini?”, gumamku dalam hati.Di rumah ini ada enam ruangan utama, yaitu satu ruang tamu, dua kamar tidur yang ditempati oleh oomku yang terkadang datamg ke rumah ini, satu kamar tidur lagi yang ditempati oleh kami sekeluarga dan satu lagi kamar tidur kosong. Kamar tidur disini begitu besar, hingga kami berempat pun masih terasa lapang.Di halaman belakang ini terdapat satu pohon beringin yang sangat besar, disamping pohon beringin itu juga terdapat satu ayunan yang jika dilihat pada malam hari menjadi sangat menyeramkan, ayunannya seperti bergoyang-goyang dengan sendirinya karena pada malam pertamaku disana aku mendengar suara ayunan tersebut. Diseberang pohon beringin tersebut, juga terdapat kolam ikan buatan yang berukuran tidak terlalu besar leng
Sehari setelah kasus kejadian tamu yang tak diundang itu selesai, Ayahku pada akhirnya memaafkan apa yang bang Jarwo perbuat dan tidak ingin memperpanjang masalah lagi, karena Ayah pun sama-sama mengerti bagaimana kondisi bang Jarwo tersebut.Apalagi bang Jarwo itu sudah cukup dekat dengan kami sewaktu kami masih tinggal di pinggiran kota, ya walaupun aku dan bang Jarwo sering bertengkar untuk masalah-masalah sepele. Karena seperti yang aku bilang tadi, bang Jarwo walau umur dan postur badannya besar namun pikirannya masih lah seperti anak-anak karena penyakit “step” nya tersebut. Bang Jarwo adalah sepupu laki-laki dari adik Ayahku, dia sering membuat masalah di lingkungan rumahnya bahkan orangtua nya saja sudah angkat tangan melihat perilakunya.Kerjanya di rumah hanya lah tidur-tiduran saja seharian, di suruh sekolah tidak mau, di suruh kerja di bengkel nya sendiri pun juga tidak mau. Tapi, siapa sangka dia sangat ahli dalam urusan pekerjaan bengkel
Ke esokan harinya bang Jarwo pun pamit untuk pulang ke rumahnya yang berada di pinggiran kota, tidak jauh dari rumah lama kami. Dan aku pun kembali kepada aktifitasku biasanya yaitu sekolah, pulang, namun pada kali ini aku sangat mengurangi jatahku untuk bermain di halaman belakang sejak kejadian waktu itu. Rasanya rumah ini sungguh terasa asing bagiku sekarang, atau karena aku saja yang terlalu panaroid ya? memang, aku bisa dikatakan sebagai anak yang paling penakut di keluarga ini. Nonton film horror saja, bisa tidak tidur semalaman.Jadi, aku lebih menyibukkan diriku untuk melukis di kanvas pada waktu itu. Ketika aku melukis ini, memang pikiranku akan hal-hal yang membuatku takut sedikit terlupakan. Namun itu hanya bersifat sementara, karena ketika malam telah tiba semua pikiran-pikiran liarku mengenai ruangan yang terkunci itu kembali meluap. Gelisah tak tentu arah, mencoba untuk tidur pun aku tidak bisa karena pikiranku yang selalu mengingat akan hal-hal yang menak
Hari ini aku bertekat untuk menceritakan kejadian semalam kepada orang tuaku. Namun tekatku terpaksa harus aku buang jauh-jauh ketika aku mendengarkan sebuah cerita dari teman kelasku ketika mereka bercerita mengenai hantu. Ketika aku sedang ber-istirahat di kelas aku melihat segerombolan anak kelas itu mulai membuat geng mereka sendiri dan memulai percakapan mereka seperti biasanya. Mereka memang sudah biasa membuat geng untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting itu, seperti menggosipkan guru-guru tertentu, membicarakan gadis yang mereka suka, atau sekedar membicarakan apa yang mereka tonton semalam. Aku yang memang terkenal sebagai anak yang pendiam tidak terlalu menghiraukan mereka, aku duduk di pojokkan belakang sembari memainkan kertas lipat yang aku buat secara acak dan terkadang aku juga mencuri-curi apa yang mereka bicarakan. Ya, itu pun jika ada hal yang membuatku tertarik. "Oi, kemarin aku sama si Alber kan pergi main kerumah si Faja
Di balas dengan amarah oleh Yasi, " Aku menemukan Embun saat diperintah Ken alias Igo mencari penolongnya Ago. Saat aku di depan rumah Ago aku mendapati Embun yang pingsan dengan luka kecil di kepalanya. Tetangga Ago bilang karena benturan saat Embun jatuh. Saat tetangga Ago membawa Embun ke rumah sakit, aku pergi mengabari Igo. Dan di rumah sakit kami diberitahu Embun tewas dengan alasan gegar Otak oleh pihak rumah sakit. Kami yang ingin menjenguknya dengan rasa tepukul harus membawa jasadnya untuk dikuburkan... ... Kami juga mendengar penjelasan tetangga Ago bahwa Ago menyumbangkan tubuhnya sebagai penelitian di rumah sakit itu, Igo meminta mengambil jasad Ago. Karena saat itu Igo bekerja di kepolisian, kami diizinkan... ...Ketika kami bawa tubuh Ago dan Embun, mereka sama-sama mempunyai berat badan yang ringan. Aku memeriksa keadaan tubuh Embun dan ternyata penuh jahitan. Kami yakini organ tubuh Embun diambil. Igo mendatangi rumah sakit dengan amarah, tapi pihak r
Sebelum di bawa ke markas polisi, Igo meminta untuk menjenguk seseorang yang penting dalam hidupnya. Mengira Igo akan menunjukan Bos yang memerintahkan membunuh, Polisi lalu menyetujuinya. Indi juga di bawa sebagai saksi. Mobil polisi yang membawa Igk dan Indi berhenti dipemakaman. Polisi kaget. Tapi karena sudah terlanjur. Lalu membiarkan Igo melihat orang penting baginya. Igo berjalan duluan dengan tangan diborgol. Indi meminta izin berada di samping Igo pada polisi, "Dia sudah diborgol dan anda mengawasinya. Tidak apa jika saya ada didekatnya. Saya ingin menanyakan beberapa hal kenapa dia tega menyakiti saya."Kedua polisi berdiskusi dan memperbolehkan Indi dengan alasan memudahkan mereka menggali informasi dari Igo. Indi lalu berjalan di samping Igo. Mereka dikawal dua polisi bersenjata di belakang. Mereka lalu mendatangi dua makam yang saling berdampingan. Indi kaget melihat nama pada papan nisan, dia lalu mendekati Igo dan bertanya pelan ke Igo, "Ago
Sebelum di bawa ke markas polisi, Igo meminta untuk menjenguk seseorang yang penting dalam hidupnya. Mengira Igo akan menunjukan Bos yang memerintahkan membunuh, Polisi lalu menyetujuinya. Indi juga di bawa sebagai saksi. Mobil polisi yang membawa Igk dan Indi berhenti dipemakaman. Polisi kaget. Tapi karena sudah terlanjur. Lalu membiarkan Igo melihat orang penting baginya. Igo berjalan duluan dengan tangan diborgol. Indi meminta izin berada di samping Igo pada polisi, "Dia sudah diborgol dan anda mengawasinya. Tidak apa jika saya ada didekatnya. Saya ingin menanyakan beberapa hal kenapa dia tega menyakiti saya."Kedua polisi berdiskusi dan memperbolehkan Indi dengan alasan memudahkan mereka menggali informasi dari Igo. Indi lalu berjalan di samping Igo. Mereka dikawal dua polisi bersenjata di belakang. Mereka lalu mendatangi dua makam yang saling berdampingan. Indi kaget melihat nama pada papan nisan, dia lalu mendekati Igo dan bertanya pelan ke Igo, "Ago
Senyuman Indi hilang seketika, saat menyadari Igo fokus mengawasi ruangan yang terdapat Aliya di sana. Saat Indi ingin marah, Igo bicara yang membuat Indi ketakutan, "Aku ingin memasak untuk Aliya jadi aku membutuhkanmu!" Sambil melihat tubuh Indi.Hal itu membuat Indi jatuh dari kursi karena kaget. Sambil ngesot menjauhi Igo yang mendekatinya, Indu bicara, "Kamu ingin memasak tubuhku untuk kamu hidangkan ke Aliya! Kejam." Ucapnya sambil menangis.Igo mengulurkan tangannya ke arah Indi yang duduk terpojok, "Kamu kebanyakan baca Creepy horror di grup facebook atau di buku, jadi berpikiran ngeri mulu!"Mendengar itu Indi tercengang. Sambil menyambut tangan Igo dan berdiri, Indi bertanya, "Kamu tahu dari mana, aku member grup itu?"Igo kembali ke tempat duduknya dan menjawab, "Aku satu grup denganmu. Saat kamu mengomentari cerita di sana dan melihat fotomu, aku tertarik dan mencari tahu semua tentangmu!"Takut dirasakan Indi karena telah dimata-matai tapi dia
Saat Igo menyeret tubuh ketiga pria yang tergeletak, Indi dengan wajah cemas mencegahnya. Indi memegang tangan Igo yang terluka karena digunakan untuk melindungi wajah saat dipukuli tadi, "Bagaimana bisa kamu membunuh mereka tanpa senjata apapun?"Igo melihat ke arah Indi, "Saat mereka memukuliku, aku menggunakan jariku untuk mematahkan tulang rusuk mereka hingga menusuk paru-parunya."Mendengar itu, Indi melepaskan tangan Igo. Lalu Igo membuang tubuh ketiga pria satu persatu ke jurang samping jalan.Hal itu kemudian dikomentari Indi kembali, "Kamu membuat kematian mereka seakan-akan karena kecelakaan?"Igo menghampiri Indi yang terlihat berkeringat karena takut, "Mulut mereka tercium bau Alkohol. Anggap saja mereka berjalan dalam keadaan mabuk sehingga terjatuh ke jurang. Artinya mereka yang mencelakai diri mereka sendiri!"Indi gemetar, "Aku akan menganggapnya begitu. Tapi kamu memang cowok baik karena telah menyelamatkanku dengan mengalahkan pria jahat itu.
Suasana kamar yang terang tiba-tiba gelap saat siang hari membuat Aliya dan Indi cemas. Mereka secara bersamaan melihat ke arah Igo. Terlihat Igo sudah terbangun dan tubuhnya menghalangi cahaya matahari di Jendela. Aliya segera berdiri dan bergegas pergi ke luar untuk pulang. Melihat itu, Igo berusaha beranjak dari tempat tidur untuk mengejar Aliya. Tapi dia justru ambruk dan terjatuh di lantai. Dengan sigap Indi menghampiri Igo, "Kamu belum pulih Igo!" Ucap Indi sambil membantu Igo berdiri.Igo sambil memegangi kepalanya yang pusing bicara, "Aku membutuhkan Aliya!"Tentu itu membuat Indi kesal, "Jadi kamu tidak membutuhkanku lagi?"Igo menjawabnya, "Aku tidak butuh kamu!"Seketika ucapan Igo membuat Indi benar-benar terpukul. Indi tetap membantu Igo hingga duduk di kasur kembali. Melihat ada yang aneh pada Indi, Igo mengomentarinya, "Kenapa kamu sesegukan kayak gitu? Abis nangis ya!"Indi senang Igo memperhatikannya dan kembali tersenyum, "Iya, aku me
Setelah melihat foto korban yang tewas, perasaan Indi lega karena bukan Igo, tapi dia mulai cemas yang tewas adalah pelaku pencuri Hpnya dan sekarang Hp yang dicuri berada di Igo. Indi mengira kematian pencuri itu ada hubungannya dengan Igo. Dengan perasaan takut Indi bicara kepada yang telah menunjukan foto itu, "Terima kasih infonya pak!"Kemudian memerintahkan supir taksi yang dia tumpangi, "Lanjutkan jalan pak!"Indi ingin cepat sampai di rumahnya, tidak ingin Igo yang berbahaya mencegatnya di tengah perjalanan.Saat sampai di depan rumah Indi terkejut melihat Igo yang lagi bersama Aliya. Bukannya takut, Indi justru cemburu. Dia menghampiri Igo dan Aliya, "Kenapa kalian pamer hubungan kalian di rumahku!" Ucap Indi sambil menangis.Igo menjawabnya, "Aku bawa Aliya untuk mengobati luka di tanganmu!"Indi yang kesal membalasnya, "Tidak perlu! Lukaku sudah aku basuh dengan air mataku yang harus keluar gara-gara melihat kalian berdua." Ucapannya mencoba men
Indi lalu diantar ke kampus oleh Raka. Dalam perjalanan dia curhat, "Pemuda yang ku maksud namanya Igo. Dia dulu pernah ngejar-ngejar aku. Puncaknya dia menyalamatkanku dari kematian. Berkali-kali. Membuatku mulai menyukainya. Tapi semenjak itu, dia juga tidak menyukaiku. Kemungkinan dia pergi karena tahu ada kamu yang mengantarku ke kampus. Sekarang dia pasti kembali ke tempat Aliya. Itu membuatku marah." Raka menanggapinya, "Meskipun kamu kecewa. Bukan berarti harus menyakiti dirimu sendiri."Justru Indi yang kesal diperhatikan, "Itu urusanku. Seterah aku." Sesampainya di kampus. Indi langsung menemui Lin. Bukan bicarain tentang nasibnya di kampus tapi justru tentang pekerjaan untuk Igo, "Aku bawa surat lamaran kerja Igo!"Lin tentu kaget melihat keadaan sahabatnya, "Kenapa tanganmu terluka dan kenapa pakaianmu kotor?"Indi menjawabnya dengan senyuman, "Kamu tidak usah pedulikan aku!" Lin terlihat kesal, "Ini pasti gara-gara Igo!"Tiba-tiba pons
Melihat Indi duduk lemas sambil menangis di hadapan meja makan, ibu Igo bertanya, "Masakanmu enak, kenapa menangis?"Indi menjawab dengan nada lemah seperti tidak bersemangat, "Cuma sakit mata kok, tante. Saya pamit pulang."Ketika Indi berdiri dan ingin pergi, ayah Igo berdiri di hadapannya, "Kamu menginap di sini lagikan, entar malam!"Sambil memaksakan tersenyum, Indi menjawab, "Sepertinya tidak om. Makasih udah izinin saya menginap." Kemudian Indi melewati ayah Igo. Di dalam perjalanan, Indi membaca kembali surat dari Aga, "Aku lagi ke rumah Aliya. Jadi gak bisa antar kamu. Pulanglah sendiri."Indi meremas suratnya dengan kesal, "Jika kamu suka Aliya. Kenapa tidak biarkan aku mati saja waktu itu. Igo!!!" Teriak Indi. Tiba-tiba dia menabrak sesuatu. Membuat langkahnya terhenti. Terlihat kerumunan warga di depannya. Dengan emosi, Indi marah-marah, "Sudah cukup Aliya menghalangiku mendapatkan Igo. Sekarang jalanku pulang juga dihalangi. Grrr," Wa