Aku selalu mencari jawabannya! Membayangkan sesuatu terjadi ketika aku mulai memejamkan mata. Mengapa detik jam dinding terus berbunyi? Dikala hening, bunyi itu seakan mengancam jiwaku. Yang sewaktu-waktu berubah menjadi sebuah kesunyian yang nyata. Membawaku pada hal yang menakutkan.
Entah cerita apa yang ada dibaliknya. Aku terus memikirkannya. Setiap malam dan seterusnya. Aku mulai berpikir mungkin bunyi yang sama ini juga membayangi pikiran kalian. Aku terus memikirkannya, terus dan terus memikirkannya.
Ibuku bercerita, jam dinding memang seperti itu. Detiknya selalu menimbulkan suara. Ibuku bilang, “saat detik jam dinding berbunyi, maka hal yang menakutkan bisa saja terjadi.”
Dan saat hening. “Kau bisa merasakan bulu kudukmu berdiri,” aku selalu mencerna kata-katanya. Saat yang terdengar hanya detik jam, maka setelahnya kau akan mendengar suara-suara lain. “Suara di dunia lain.” katanya.
Ibuku bilang. Saat kau mulai merasakan bulu kudukmu berdiri, maka ada seseorang di sampingmu “Ia tak terlihat,” katanya lagi.
Aku terus mencoba memejamkan mataku. Berharap aku hanya bermimpi. Namun naas! Yang kudapati, Seseorang menutup wajahku. Tangan-tangannya terasa kasar. Aku terus diam tak bicara, yang kudengar hanya bunyi detik jam dinding.
Aku mencoba untuk memejamkan mata sampai menghitung domba tetap saja tidak terlelap. Malam sudah semakin larut aku tetap belum bisa tidur.
Ketika mataku mulai mengantuk tiba-tiba ada yang menarik selimutku. Tanpa membuka mata aku tarik kembali selimutku.
Aku pun cuek dan melanjutkan tidurku. Takut ditarik lagi, aku tidur sambil memegang erat selimutku. Seperti yang kuduga, selimutku ditarik lagi. Aku pun balas menarik selimutku dan terbangun. Untuk mencari tahu siapa yang melakukan hal itu. Tetapi aku langsung terkejut sesosok perempuan bermuka pucat, berambut panjang dan memakai baju putih itu lagi. Aku pun berteriak sangat kencang hingga kusadari sosok tersebut sudah menghilang sendirinya.
Kujatuhkan diriku di atas kasur empuk seraya memejamkan mata beberapa saat, nafasku tersengal-sengal. Aku sangat bersyukur sosok itu sudah pergi tapi perasan ini masih cemas.
Malam yang kelam, mencekam. Sungguh cukup menguji adrenalinku. Keringat dingin pun sukses membasahi sekujur tubuhku. Kembali terngiangi beban masalahku tadi siang. Mengantarku pergi ke alam mimpi, dan ia berhasil.
Aku baru saja mulai menapaki jejak-jejak petualangan dalam mimpiku ketika jeritan keras yang berasal dari ruang tamu kudengar, aku langsung terbangun, jantungku berdebar tak menentu, kesadaranku belum benar-benar terkendali, mataku masih memandang samar-samar. Dengan langkah gontai aku menuju ruang tamu yang entah kenapa mati lampu, kupaksa retinaku agar terbiasa secepat mungkin dengan keadaan sekitarku. Klik! Lampu menyala dan hal pertama yang menjadi titik fokus pandangku adalah keadaan ruang tamu amburadul bagai kapal pecah, sofa terkoyak sana sini, dua buah lampu hias pecah berserakan di lantai, dan yang paling mengerikan yaitu darah berceceran di semua tempat, dinding yang dicat putih, kini bercampur darah. Aku mematung, otakku tak bisa berkompromi dengan apa yang kulihat, aku gemetar hebat.
Aku kumpulkan sisa-sisa keberanianku untuk mencari sumber daripada ceceran darah itu. Aku melangkah perlahan dan pelan, ada bekas pijakan di samping sofa menuju ke dapur. Kuputuskan untuk mengikuti jejak itu, makin mendekati dapur, darah yang menjadi jejak pijakan itu semakin mengental dan banyak. Bau amis mulai menusuk hidung hingga perutku mual rasanya. Keringat membasahi area pelipis dan dahiku bercampur dengan kecemasan tentang hal apa yang sedang terjadi menimpa rumah ini.
Di pintu dapur, aku mulai berjalan sepelan mungkin ke arah gudang yang terletak hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri, pintunya sengaja dibikin mirip dengan pintu lemari untuk mengecoh siapa saja yang baru datang di rumah kami. Aku benar-benar takut kali ini. Aku mengintip dari celah pintu yang tidak terlalu besar.
Tiba-tiba ada sesuatu yang berjalan memasuki dapur, suaranya terdengar sengau dan berat. 'Praakk!!' Bunyi keranjang yang jatuh karena tersenggol olehku, matilah aku. Jangan sampai makhluk itu menemukanku, keringat bercucuran deras ke seluruh tubuhku. Mataku fokus mengawasi celah yang tadi menjadi tempaku mengintip dan ada siluet yang bergerak maju ke arah gudang, ke arahku. Tuhan, tolong aku! Butiran hangat perlahan membasahi pipiku lagi dan lagi, hingga pintu itu benar-benar dibuka yang menimbulkan bunyi memilukan.
Kini di hadapanku berdiri makhluk bertubuh tegap dengan tonjolan tak beraturan di sekujur tubuhnya, mata merah menyala, taring tajam, cakar panjang penuh darah, dan bau tubuhnya sangat menyengat. Jejak-jejak darah masih ada di wajahnya yang bersisik. 'Aaaaaaaaaaaa!!!!' Aku menjerit sekeras-kerasnya ketika tangan makhluk itu menyentuh pipiku, kulitnya begitu kasar. Namun tiba-tiba dilepas, aku mendengar namaku dipanggil.
Kupaksa mataku agar terbuka, kulihat Ibuku tengah memandangku prihatin. Matanya meneduhkanku, “Kamu demam sayang, jadi mimpi yang aneh-aneh.” ucap beliau lembut. Kemudian memelukku, aku tersenyum, nyaman. Kutepis semua rasa kekhawatiranku.
"Kapan Ibu pulang?" tanyaku seraya melihat keadaan di sekitar. Aku melihat jendela kamarku sudah terbuka, diluar matahari sudah naik kepermukaan.
"Belum lama ini, perasaan kami tidak enak tentangmu. Jadi kami memutuskan untuk segera pulang." jelas Ibu.
"Kamu baik-baik saja kan La?" tanya Ayahku.
"Aku baik Yah, tapi..." aku menggantung perkataanku.
"Tapi apa?"
"Semalam aku mendapat gangguan lagi dari sosok penunggu rumah ini." kataku.
Ayahku langsung menunjukan wajah tidak percaya itu lagi, dia selalu begitu mengelak jika aku menceritakan hal mistis yang selama ini sudah aku alami.
"Sudalah Nak, semua itu hanya halusinasimu saja. Kamu terlalu banyak membaca cerita-cerita horror. Kami kan sudah menyarankamu untuk menginap dulu di rumah Tiara malam tadi, kenapa kamu tidak melakukannya?" katanya.
"Tapi Yah, aku benar melihatnya.." kataku mencoba meyakinkannya.
"Sudah Ayah mau istirahat, lelah karena perjalanan." potongnya seraya pergi keluar kamarku.
"Jangan terlalu dipikirkan ya Nak, kamu akan baik-baik saja." kata Ibuku mencoba menenangkan.
"Iya Bu."
***“Tanpa kusadari, sesungguhnya dia memperhatikanku.” Berpindah-pindah tempat sesungguhnya menjadi hal yang sangat memuakkan bagiku.
Semilir angin perlahan terasa menyapu tubuhku. Hingga akhirnya mataku menangkap sesosok bayangan. Aku tak begitu jelas melihatnya.
"Siapa dia?” Pikirku.
Lalu kulihat seorang wanita seusiaku berjalan, di sebuah tempat, mungkin gudang atau entahlah, tapi itu terletak di dekat lapangan basket. Dia menatap ke arahku. Gadis dengan rambut panjang, memakai seragam SMA, tapi dia terlihat begitu pucat. “Apa mungkin dia sekolah disini juga? Tapi aku belum pernah melihatnya selama ini.” aku masih menatapnya.
“Hei Laila, ayo cepat!” suara Tiara sesaat mengalihkan pandanganku.
“Ra? Kamu mengenalnya tidak, Itu ada.” belum sempat melanjutkan kata-kataku, wanita itu sudah menghilang.
“Kenapa? Ayo cepat waktu istirahat kita singkat, nanti masih banyak kegiatan!” ucapnya kemudian.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang, sementara mataku masih sibuk menatap ke semua sisi mencari sosok gadis yang tadi kulihat.
Hari ini ada pelajaran olahraga, semua murid sekelas denganku diminta berkumpul di lapangan basket, untuk melanjutkan kegiatan yang di intruksikan oleh guruku. Karena di bagian depan sudah penuh, akhirnya aku berbaris di barisan paling belakang dengan beberapa siswa lainnya, hanya saja jarak kami sedikit berjauhan.
“Masih semangat?” itulah kata-kata awal yang selalu diucapkan oleh guru olahragaku, padahal seharusnya dia tahu kami sudah sangat lelah karena pelajaran yang lain, tapi dia masih menanyakan hal seperti itu.
“Laila.” terdengar suara yang seolah berbisik memanggilku.
Aku menoleh mencari asal suara itu, tapi kuperhatikan kebanyakan orang sedang sibuk memperhatikan guruku mempraktikkan cara bermain basket dengan benar, dan sebagian sibuk dengan percakapan mereka masing-masing.
“Laila.” kembali kudengar suara itu seolah berbisik di telingaku.
Mataku terus mencari asal suara itu, hingga akhirnya kutemukan sosok wanita yang tadi kulihat. Ia berdiri di bawah sebuah pohon yang ada di sana. Tapi, kuperhatikan tak ada satu orang pun yang menatapnya. Bahkan, guruku pun tak menegurnya karena berkeliaran, padahal saat ini sedang ada kegiatan belajar.
Aku hanya terdiam mencoba kembali fokus memperhatikan sekitarku. “Kau, jangan pernah menatap matanya!” ucap seorang pria yang berdiri di sebelahku.
Aku tahu siapa dia namanya Damar. Tapi, aku tak begitu mengenalinya, walaupun kami teman sekelas. Yang kutahu Damar orangnya sangat cuek dan tidak pernah begaul dengan teman yang lain. Ia sangat jarang berbicara, pria yang suka menyendiri. Kurasa dia tidak punya teman di sekolah ini.
Napasku mulai tak karuan ketika Damar mengatakan hal itu, angin terasa begitu embusannya membuat dedauan di sekitarku bergerak. "Kamu bisa melihatnya juga?" tanyaku.
Damar tak menjawab pertanyaanku itu, ia langsung memalingkan wajahnya lagi dariku. Pria yang sangat menyebalkan menurutku, padahal dia yang mengajakku berbicara duluan tadi. Ketika aku memalingkan pandanganku kepada sosok wanita tadi, ia sudah menghilang lagi.
Malam itu aku melihat seorang remaja laki-laki sedang asyik bermain-main dengan sepedanya. Siangnya aku melihatnya sedang melukis di taman kota. Sorenya aku melihatnya sedang memotret lukisan alam di hutan kota. Ya, akhir-akhir ini aku melihatnya.Sebenarnya hanya setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu aku melihatnya di luar sekolah. Karena hari-hari itu hari dimana aku les bahasa inggris. Setiap aku berangkat menuju tempat lesku aku selalu melewati tempat ia bermain-main menekuni hobinya, yaitu di depan sebuah perumahan, taman kota, dan hutan kota. Awalnya aku menganggap ini hal biasa, tapi tidak ketika aku terus memperhatikannya. Di mana beda waktu aku melihat, beda tempat juga dia berada.Siapa sebenarnya dikau sebenarnya laki-laki misterius ini? Sebenarnya dirinya yang memasuki alam hidupku atau diriku yang memasuki alam hidupnya.“Laila!” panggilan Ibuku menghamburkan susunan lamunanku yang sudah tersusun rata.“Ia,
Bagi mereka, hal ghaib bukanlah hal penting untuk di perdebatkan.Tapi bagiku, hal ghaib adalah bagian dari diriku. Entah sejak kapan aku mengakuinya, tapi mereka ada. Bahkan di setiap langkah yang ku lalui, mereka selalu ada dan mengikutiku.Dalam hening dan senyap serta gemericik air yang membasahi bumi. Di tengah suasana dingin yang memeluk, aku merasa gelisah. Perasaanku tak menentu, ada sesuatu hal yang terjadi tapi aku tidak tahu itu apa.Aku menutup mataku, berharap rasa gelisah ini menghilang seiring dengan kantuk yang mulai menguasai. Namun aku salah, nyatanya dalam tidur yang nyaman itu aku terganggu.Aku berjalan di satu tempat, tempat yang aku kenal. Salah satu dari mereka datang, merasuk ke alam bawah sadar yang tidak bisa ku kendalikan dengan mudah. Membawaku ke sebuah lubang hitam yang pekat, rasa
Entah mengapa, dirumah yang sebesar ini aku merasa sangat-sangat hampa.“Apa karena sepi? atau apa karena sunyi? atau mungkin karena aku masih belum terbiasa dengan suasana rumah ini?”, gumamku dalam hati.Di rumah ini ada enam ruangan utama, yaitu satu ruang tamu, dua kamar tidur yang ditempati oleh oomku yang terkadang datamg ke rumah ini, satu kamar tidur lagi yang ditempati oleh kami sekeluarga dan satu lagi kamar tidur kosong. Kamar tidur disini begitu besar, hingga kami berempat pun masih terasa lapang.Di halaman belakang ini terdapat satu pohon beringin yang sangat besar, disamping pohon beringin itu juga terdapat satu ayunan yang jika dilihat pada malam hari menjadi sangat menyeramkan, ayunannya seperti bergoyang-goyang dengan sendirinya karena pada malam pertamaku disana aku mendengar suara ayunan tersebut. Diseberang pohon beringin tersebut, juga terdapat kolam ikan buatan yang berukuran tidak terlalu besar leng
Sehari setelah kasus kejadian tamu yang tak diundang itu selesai, Ayahku pada akhirnya memaafkan apa yang bang Jarwo perbuat dan tidak ingin memperpanjang masalah lagi, karena Ayah pun sama-sama mengerti bagaimana kondisi bang Jarwo tersebut.Apalagi bang Jarwo itu sudah cukup dekat dengan kami sewaktu kami masih tinggal di pinggiran kota, ya walaupun aku dan bang Jarwo sering bertengkar untuk masalah-masalah sepele. Karena seperti yang aku bilang tadi, bang Jarwo walau umur dan postur badannya besar namun pikirannya masih lah seperti anak-anak karena penyakit “step” nya tersebut. Bang Jarwo adalah sepupu laki-laki dari adik Ayahku, dia sering membuat masalah di lingkungan rumahnya bahkan orangtua nya saja sudah angkat tangan melihat perilakunya.Kerjanya di rumah hanya lah tidur-tiduran saja seharian, di suruh sekolah tidak mau, di suruh kerja di bengkel nya sendiri pun juga tidak mau. Tapi, siapa sangka dia sangat ahli dalam urusan pekerjaan bengkel
Ke esokan harinya bang Jarwo pun pamit untuk pulang ke rumahnya yang berada di pinggiran kota, tidak jauh dari rumah lama kami. Dan aku pun kembali kepada aktifitasku biasanya yaitu sekolah, pulang, namun pada kali ini aku sangat mengurangi jatahku untuk bermain di halaman belakang sejak kejadian waktu itu. Rasanya rumah ini sungguh terasa asing bagiku sekarang, atau karena aku saja yang terlalu panaroid ya? memang, aku bisa dikatakan sebagai anak yang paling penakut di keluarga ini. Nonton film horror saja, bisa tidak tidur semalaman.Jadi, aku lebih menyibukkan diriku untuk melukis di kanvas pada waktu itu. Ketika aku melukis ini, memang pikiranku akan hal-hal yang membuatku takut sedikit terlupakan. Namun itu hanya bersifat sementara, karena ketika malam telah tiba semua pikiran-pikiran liarku mengenai ruangan yang terkunci itu kembali meluap. Gelisah tak tentu arah, mencoba untuk tidur pun aku tidak bisa karena pikiranku yang selalu mengingat akan hal-hal yang menak
Hari ini aku bertekat untuk menceritakan kejadian semalam kepada orang tuaku. Namun tekatku terpaksa harus aku buang jauh-jauh ketika aku mendengarkan sebuah cerita dari teman kelasku ketika mereka bercerita mengenai hantu. Ketika aku sedang ber-istirahat di kelas aku melihat segerombolan anak kelas itu mulai membuat geng mereka sendiri dan memulai percakapan mereka seperti biasanya. Mereka memang sudah biasa membuat geng untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting itu, seperti menggosipkan guru-guru tertentu, membicarakan gadis yang mereka suka, atau sekedar membicarakan apa yang mereka tonton semalam. Aku yang memang terkenal sebagai anak yang pendiam tidak terlalu menghiraukan mereka, aku duduk di pojokkan belakang sembari memainkan kertas lipat yang aku buat secara acak dan terkadang aku juga mencuri-curi apa yang mereka bicarakan. Ya, itu pun jika ada hal yang membuatku tertarik. "Oi, kemarin aku sama si Alber kan pergi main kerumah si Faja
Aku pun sedikit bingung dengan apa yang Khalil jelaskan, tingkat spiritual? apa itu? aku sama sekali tidak mengerti sedikitpun. “Singkatnya, tingkat spiritual itu adalah tingkat kepekaan kita terhadap sesuatu La, mungkin bisa diibaratkan seperti itu.” lalu Khalil menambahkan penjelasannya kembali, “Dan lagi, jika pancaran aura orang tersebut banyak jahatnya, hantu yang datang untuk menampakkan diri kepadanya bisa-bisa mencelakai dia La. Jadi, hantu itu menampakkan dirinya kepada orang-orang tertentu saja. Kalau tingkat spiritualmu rendah, tapi pancaran auramu jahat maka hantu bisa menampakkan dirinya dan bisa mencelakai kamu. Tapi kalau pancaran auramu biasa-biasa saja, ya paling cuma ditakut-takuti saja La.” Aku pun sudah mulai paham mengenai apa yang Khalil sampaikan, tapi aku masih belum mendapatkan jawaban dari Khalil mengenai kenapa ketika bang Jarwo masih ada dirumah itu, mereka tidak menampakkan dirinya? “Tapi lil, aku masih belum mengerti kenapa ketika sepupuku itu m
Malam itu aku pun dibawa oleh keluargaku ke tempat tukang pijat yang tempatnya tidak jauh berada di belakang gang sekolahku. Sesampainya di sana aku pun menunggu antrian giliranku, malam itu jarum jam sudah menunjukkan ke angka setengah sepuluh namun orang yang mengantri untuk dipijit pun masih cukup ramai. Aku pun duduk bersama orang-orang yang mengantri itu sembari menahan rasa sakit yang tak tertahan ini. Kakiku pada saat itu rasanya benar-benar panas sekaligus sangat sakit untuk digerakkan, ditambah lagi bengkaknya yang semakin menjadi-jadi, membuatku semakin cemas. Belum sampai antrianku dipanggil, tiba-tiba orang yang duduk disampingku menanyakan mengenai kakiku itu, “Nak.. kenapa kakinya kok bisa sebengkak itu?” tanya kakek yang sudah ber-umur ini. “Ini kek.. digigit sama lebah barusan..” jawabku sembari menahan rasa sakit yang menyengat ini. “Pasti lebah jadi-jadian ya nak?” ucap kakek itu, mendengar perkataannya aku hanya bisa terdiam