Malam itu aku melihat seorang remaja laki-laki sedang asyik bermain-main dengan sepedanya. Siangnya aku melihatnya sedang melukis di taman kota. Sorenya aku melihatnya sedang memotret lukisan alam di hutan kota. Ya, akhir-akhir ini aku melihatnya.
Sebenarnya hanya setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu aku melihatnya di luar sekolah. Karena hari-hari itu hari dimana aku les bahasa inggris. Setiap aku berangkat menuju tempat lesku aku selalu melewati tempat ia bermain-main menekuni hobinya, yaitu di depan sebuah perumahan, taman kota, dan hutan kota. Awalnya aku menganggap ini hal biasa, tapi tidak ketika aku terus memperhatikannya. Di mana beda waktu aku melihat, beda tempat juga dia berada.
Siapa sebenarnya dikau sebenarnya laki-laki misterius ini? Sebenarnya dirinya yang memasuki alam hidupku atau diriku yang memasuki alam hidupnya.
“Laila!” panggilan Ibuku menghamburkan susunan lamunanku yang sudah tersusun rata.
“Ia, apa Bu?” balasku.
“Sayang, anak teman Ibu ada yang mau dikirim ke luar negeri loh. Tau nggak kenapa?”
"Memang kenapa Bu?”
“Dia pinter banget ngegambar. Apa pun dia bisa. Tapi yang kali ini dia dikirim karena mau ikut lomba bikin poster internasional.”
“Terus Bu, apa hubungannya sama aku. Ibu mau aku ikut lomba poster internasional itu maksudnya?” kataku mengernyitkan dahi.
“Ya, enggak lah sayang. Kebetulan kan kamu juga mempunyai bakat menggambar yang cukup besar. Ibu mau kamu ketemu Damar anak temen Ibu, mungkin kamu bisa belajar banyak dari dia?”
"Damar bu?" tersentak aku mendengar nama itu.
"Iya kenapa? Kamu mengenalnya?" tanya Ibu.
“Ahh, Ibu ada-ada aja. Di sekolahku memang ada anak yang namanya Damar, tapi yang satu ini orangnya sangat cuek dan menyebalkan.” kataku sambil mengerutu.
"Benarkah? Siapa tahu itu memang benar dia."
"Aku rasa tidak mungkin Bu." kataku tegas.
***Memangnya Damar itu sehebat apa sih? Kalau Damar yang kukenal di sekolah bisa melihat makhluk gaib juga sama sepertiku. Aku terus memikirkannya, tapi itu semua nggak penting. Yang penting sekarang anak laki-laki misterius itu. Setelah beribu-ribu pemikiranku, mungkin lebih baik aku mengikuti kemana pun anak itu pergi. Hari pertama yaitu Selasa di awal bulan November. Aku menyuruh Ayah untuk tidak mengantarku ke tempat les. Hari ini dia sedang bermain meloncat-loncatkan sepedanya di depan sebuah rumah mewah. Aku terkejut ternyata lelaki itu Damar, aku dapat melihatnya dari jarak yang cukup dekat. Rambut hitamnya yang sedikit panjang, kulitnya yang putih, hidungnya yang lumayan mancung, poros mata tajamnya, serta gaya berpakaian santai yang sangat unik. Sangat menggambarkan seorang cowok yang sangat cool..!! Aku memperhatikannya sungkan untuk menyapanya. Melihatnya bermain sepeda, menggambar sebuah pohon, dan memotret bunga-bunga di pohon. Semua yang dilakukannya sangat berhubungan dengan seni. Ini cowok yang kucari-cari, sama denganku pecinta seni sejati. Tapi hatiku mendadak ciut ketika mencoba menyapa dan bertanya tentangnya. Nanti aku malah di cuekin lagi olehnya.
Di sore hari yang dingin, dimana saatnya aku melihatnya membawa kamera. Ia hilang begitu saja. Ini sangat aneh, tidak seperti biasanya. Tiba-tiba sebuah tangan panas menyentuh pundaku dari belakang, lalu berkata dengan angkuhnya “Sebenarnyaa apa sih maumu?"
"Mau kenalan?” tanyanya sambil marah. Tenyata itu Damar.
“Eh..eh…enggak kok…” aku tersentak seraya mundur beberapa langkah kebelakang.
“Please ya jangan ikuti aku lagi! Aku bosen tahu gak kamu ikutin terus, rasanya gak nyaman. Emang nama kamu siapa?"
"Kamu tidak tahu namaku? Padahalkan kita teman sekelas." kataku gugup.
"Teman?" dia menghentikan perkataannya seraya mengernyitkan dahi. "Aku tidak perlu mengingat nama orang-orang di sekolahkan. Itu tidak penting." lanjutnya dengan angkuh.
“Laila..… Namaku Laila.” Lalu Damar pergi meningalkanku,
“Heii, bisa kamu jelaskan apa yang kamu lihat waktu itu di sekolah?” Dia hanya memalingkan wajahnya dan berlari sambil membawa kamera kesayangannya. Ini adalah kejutan yang sangat luar biasa. Dia mau menyapaku, tapi juga menyebalkan karena masih belum mau menjawab pertanyaanku yang membuatku semakin penasaran dengannya.
Keesokan harinya kucoba untuk menghampirinya, tapi di sekolah ia seperti menghindariku. Di perumahan, taman dan hutan kota juga tak kutemukan. Dimana dia? Daripada menunggunya sampai keriting, mendingan aku pulang. Saat akan memasuki rumah, kulihat ada banyak sekali pasang sepatu di halaman. Memangnya siapa yang datang? Paling-paling mereka teman-teman Ibu dan Ayahku.
Kucoba mengintip pintu masuk rumahku. “Sayang!” seru mama. “Ini loh Damar yang Ibu ceritain.”
Apa? Damar? Dia kan anak laki-laki misterius itu. Haahh… aku nggak percaya. Baru saja kemarin sore dia marah-marah. Mendadak aku jadi patung. Tiba-tiba Damar mengulurkan tangannya, ya terpaksa aku menerimanya. Dan kami berkenalan. Aku juga menyalami Ibunya Damar, dia orang yang sangat cantik dan kelihatan pintar. Kelihatannya Damar mirip Ibunya!!
Aku masih enggak percaya! Makannya tadi waktu aku coba mencari dia nggak ketemu. Gimana mau ketemu? Sekarang dia ada di rumahku!
Malam itu, Damar mengajakku berbicara di halaman luar. “Maaf ya, buat yang kemarin.” Serunya. “Aku yang seharusnya minta maaf, karena ngikutin kamu terus. Aku Cuma penasaran aja sama kamu. Abis kamu gak pernah ngubah jadwal kegiatan sehari-harimu. Setiap hari kamu melakukan hal yang sama. Kamu itu cowok unik, satu-satunya cowok yang bisa buat aku ngorbanin waktu lesku. Padahal les bahasa Inggris itu juga hobiku loh.." Belum sempat aku selesai berbicara, dia sudah memotong.
“Bukan kamu yang ngikutin aku, tapi aku yang ngikutin kamu." Ternyata dugaanku selama ini salah, aku terheran dengan pernyataannya.
"Sejak kapan kamu ngikutin aku dan untuk apa?" tanyaku dengan penasaran.
"Ketika itu aku tidak sengaja melihatmu berlari keluar dari kamar mandi sekolah. Aku pun penasaran apa yang menyebabkanmu ketakutan seperti waktu itu. Dan aku mengeceknya sendiri, sosok itu aku melihatnya, melewatiku tapi langsung menghilang ketika aku coba mendekatinya. Dan beberapa hari ini aku juga memperharikanmu ketika melihat sosok itu di kantin dan lapangan sekolah." jelas Damar.
"Jadi benar ya, kamu bisa melihatnya juga." lirih aku.
Damar mengangguk pelan, "Sebenarnya kamu ada masalah apa dengan makhluk-makhluk itu?" tanya Damar.
"Sebenarnya aku tidak tahu, mengapa mereka selalu menggangguku?"
"Tidak mungkin, jika tidak ada masalah. Tidak mungkin mereka mengganggumu?"
"Aku sungguh-sungguh, semenjak aku pindah ke rumah ini. Aku bisa melihat sosok itu." kataku dengan tegas.
"Hem..." Dari tempatnya duduk Damar mulai memperhatikan keadaan sekitar rumahku.
"Ada apa?" tanyaku.
"Sepertinya ada yang salah dari rumah ini? Atau mungkin orang tuamu yang pernah berurusan dengan para makhluk gaib ini." Damar mengira-ngira seperti layaknya seorang yang memiliki kemampuan di masa lampau saja.
Sebenarnya aku tidak suka dengan percakapan seperti ini, bahkan sangat muak dengan hal mistis yang selama ini aku alami. Tapi rasanya, jika seumur hidup aku harus diganggu hal seperti ini sungguh aku tidak akan suka.
"Rumah ini peninggalan Kakek dan Nenekku, aku sudah berulang kali menceritakan hal ini pads orang tuaku. Tapi, mereka tidak percaya dengan yang kukatakan. Bahkan seperti acuh dengan hal ini." jelasku.
"Kamu harus mencari tahu, apa masalahnya? Kalau tidak kamu bisa diganggu terus oleh mereka." katanya.
"Bagaimana caranya? Aku tidak tahu."
"Hem..." Damar berpikir.
Tak lama sebelum Damar memberikan solusi untukku Ibunya memanggil karena hari sudah semakin malam dan mereka ingin pulang. "Damar! Ayo kita pulang Nak,"
"Iya Bu," sahut Damar.
"Bagaimana kau sudah tahu caranya?" tanyaku.
"Sebaiknya kita lanjutkan nanti, aku akan coba membantumu." katanya.
Kami pun beranjak menghampiri Ibu kami yang sedang menunggu di depan pintu.
"Kami, pulang dulu ya Bu. Terimakasih atas undangannya." ucap Ibunya pada tuan rumah.
"Iya Bu, sama-sama. Saya tidak nyangka kalau anak kita sudah saling kenal. Satu sekolah lagi, Damar! Lain kali kamu main ke rumah tante lagi ya. Kamu kan jadi bisa ngajarin Laila melukis." kata ibuku.
"Oh Iya Tante itu Pasti kok," balas Damar.
"Mari Bu," Mereka pun pergi. Damar sesekali melirikku seakan khawatir.
Bagi mereka, hal ghaib bukanlah hal penting untuk di perdebatkan.Tapi bagiku, hal ghaib adalah bagian dari diriku. Entah sejak kapan aku mengakuinya, tapi mereka ada. Bahkan di setiap langkah yang ku lalui, mereka selalu ada dan mengikutiku.Dalam hening dan senyap serta gemericik air yang membasahi bumi. Di tengah suasana dingin yang memeluk, aku merasa gelisah. Perasaanku tak menentu, ada sesuatu hal yang terjadi tapi aku tidak tahu itu apa.Aku menutup mataku, berharap rasa gelisah ini menghilang seiring dengan kantuk yang mulai menguasai. Namun aku salah, nyatanya dalam tidur yang nyaman itu aku terganggu.Aku berjalan di satu tempat, tempat yang aku kenal. Salah satu dari mereka datang, merasuk ke alam bawah sadar yang tidak bisa ku kendalikan dengan mudah. Membawaku ke sebuah lubang hitam yang pekat, rasa
Entah mengapa, dirumah yang sebesar ini aku merasa sangat-sangat hampa.“Apa karena sepi? atau apa karena sunyi? atau mungkin karena aku masih belum terbiasa dengan suasana rumah ini?”, gumamku dalam hati.Di rumah ini ada enam ruangan utama, yaitu satu ruang tamu, dua kamar tidur yang ditempati oleh oomku yang terkadang datamg ke rumah ini, satu kamar tidur lagi yang ditempati oleh kami sekeluarga dan satu lagi kamar tidur kosong. Kamar tidur disini begitu besar, hingga kami berempat pun masih terasa lapang.Di halaman belakang ini terdapat satu pohon beringin yang sangat besar, disamping pohon beringin itu juga terdapat satu ayunan yang jika dilihat pada malam hari menjadi sangat menyeramkan, ayunannya seperti bergoyang-goyang dengan sendirinya karena pada malam pertamaku disana aku mendengar suara ayunan tersebut. Diseberang pohon beringin tersebut, juga terdapat kolam ikan buatan yang berukuran tidak terlalu besar leng
Sehari setelah kasus kejadian tamu yang tak diundang itu selesai, Ayahku pada akhirnya memaafkan apa yang bang Jarwo perbuat dan tidak ingin memperpanjang masalah lagi, karena Ayah pun sama-sama mengerti bagaimana kondisi bang Jarwo tersebut.Apalagi bang Jarwo itu sudah cukup dekat dengan kami sewaktu kami masih tinggal di pinggiran kota, ya walaupun aku dan bang Jarwo sering bertengkar untuk masalah-masalah sepele. Karena seperti yang aku bilang tadi, bang Jarwo walau umur dan postur badannya besar namun pikirannya masih lah seperti anak-anak karena penyakit “step” nya tersebut. Bang Jarwo adalah sepupu laki-laki dari adik Ayahku, dia sering membuat masalah di lingkungan rumahnya bahkan orangtua nya saja sudah angkat tangan melihat perilakunya.Kerjanya di rumah hanya lah tidur-tiduran saja seharian, di suruh sekolah tidak mau, di suruh kerja di bengkel nya sendiri pun juga tidak mau. Tapi, siapa sangka dia sangat ahli dalam urusan pekerjaan bengkel
Ke esokan harinya bang Jarwo pun pamit untuk pulang ke rumahnya yang berada di pinggiran kota, tidak jauh dari rumah lama kami. Dan aku pun kembali kepada aktifitasku biasanya yaitu sekolah, pulang, namun pada kali ini aku sangat mengurangi jatahku untuk bermain di halaman belakang sejak kejadian waktu itu. Rasanya rumah ini sungguh terasa asing bagiku sekarang, atau karena aku saja yang terlalu panaroid ya? memang, aku bisa dikatakan sebagai anak yang paling penakut di keluarga ini. Nonton film horror saja, bisa tidak tidur semalaman.Jadi, aku lebih menyibukkan diriku untuk melukis di kanvas pada waktu itu. Ketika aku melukis ini, memang pikiranku akan hal-hal yang membuatku takut sedikit terlupakan. Namun itu hanya bersifat sementara, karena ketika malam telah tiba semua pikiran-pikiran liarku mengenai ruangan yang terkunci itu kembali meluap. Gelisah tak tentu arah, mencoba untuk tidur pun aku tidak bisa karena pikiranku yang selalu mengingat akan hal-hal yang menak
Hari ini aku bertekat untuk menceritakan kejadian semalam kepada orang tuaku. Namun tekatku terpaksa harus aku buang jauh-jauh ketika aku mendengarkan sebuah cerita dari teman kelasku ketika mereka bercerita mengenai hantu. Ketika aku sedang ber-istirahat di kelas aku melihat segerombolan anak kelas itu mulai membuat geng mereka sendiri dan memulai percakapan mereka seperti biasanya. Mereka memang sudah biasa membuat geng untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting itu, seperti menggosipkan guru-guru tertentu, membicarakan gadis yang mereka suka, atau sekedar membicarakan apa yang mereka tonton semalam. Aku yang memang terkenal sebagai anak yang pendiam tidak terlalu menghiraukan mereka, aku duduk di pojokkan belakang sembari memainkan kertas lipat yang aku buat secara acak dan terkadang aku juga mencuri-curi apa yang mereka bicarakan. Ya, itu pun jika ada hal yang membuatku tertarik. "Oi, kemarin aku sama si Alber kan pergi main kerumah si Faja
Aku pun sedikit bingung dengan apa yang Khalil jelaskan, tingkat spiritual? apa itu? aku sama sekali tidak mengerti sedikitpun. “Singkatnya, tingkat spiritual itu adalah tingkat kepekaan kita terhadap sesuatu La, mungkin bisa diibaratkan seperti itu.” lalu Khalil menambahkan penjelasannya kembali, “Dan lagi, jika pancaran aura orang tersebut banyak jahatnya, hantu yang datang untuk menampakkan diri kepadanya bisa-bisa mencelakai dia La. Jadi, hantu itu menampakkan dirinya kepada orang-orang tertentu saja. Kalau tingkat spiritualmu rendah, tapi pancaran auramu jahat maka hantu bisa menampakkan dirinya dan bisa mencelakai kamu. Tapi kalau pancaran auramu biasa-biasa saja, ya paling cuma ditakut-takuti saja La.” Aku pun sudah mulai paham mengenai apa yang Khalil sampaikan, tapi aku masih belum mendapatkan jawaban dari Khalil mengenai kenapa ketika bang Jarwo masih ada dirumah itu, mereka tidak menampakkan dirinya? “Tapi lil, aku masih belum mengerti kenapa ketika sepupuku itu m
Malam itu aku pun dibawa oleh keluargaku ke tempat tukang pijat yang tempatnya tidak jauh berada di belakang gang sekolahku. Sesampainya di sana aku pun menunggu antrian giliranku, malam itu jarum jam sudah menunjukkan ke angka setengah sepuluh namun orang yang mengantri untuk dipijit pun masih cukup ramai. Aku pun duduk bersama orang-orang yang mengantri itu sembari menahan rasa sakit yang tak tertahan ini. Kakiku pada saat itu rasanya benar-benar panas sekaligus sangat sakit untuk digerakkan, ditambah lagi bengkaknya yang semakin menjadi-jadi, membuatku semakin cemas. Belum sampai antrianku dipanggil, tiba-tiba orang yang duduk disampingku menanyakan mengenai kakiku itu, “Nak.. kenapa kakinya kok bisa sebengkak itu?” tanya kakek yang sudah ber-umur ini. “Ini kek.. digigit sama lebah barusan..” jawabku sembari menahan rasa sakit yang menyengat ini. “Pasti lebah jadi-jadian ya nak?” ucap kakek itu, mendengar perkataannya aku hanya bisa terdiam
Sesampainya di sekolah, aku pun langsung berjalan menuju ke kelas dengan cepatnya sembari melihat ke arah kanan dan ke kiri, “mana Khalil? belum datang ya kayaknya..” tanyaku dalam hati. Melihat Khalil yang ternyata belum datang, aku pun mengambil posisi dudukku sembari menunggu kedatangan Khalil tersebut. Menit demi menit pun berlalu sampai bel sekolah pun berbunyi yang pertanda bahwa mata pelajaran pertama akan segera dimulai. “Lah, gak biasanya Khalil terlambat seperti ini..” risauku. Lalu aku pun berbisik kepada sahabatku yang duduk disampingku, “eh Ra, tumben Khalil telat ya?” tanyaku. “Telat? gak lah La, dia kan udah beberapa hari ini gak hadir..” aku pun terkejut mendengar pernyataan dari anak kelasku itu. “Waktu kamu gak sekolah, dia juga udah gak sekolah hari itu La..” tambahnya lagi. “Kira-kira kenapa ya si Khalil gak sekolah?” tanyaku guna memastikan bahwa Khalil baik-baik saja. “Guru sih bilang sakitnya kamb