Kepalaku pening. Aku terbangun dari dunia mimpi. Beberapa gelombang tidur masih menyangkut di pelipisku. Aku menyibaknya dengan empasan molekul air dan akhirnya kesadaranku kembali sepenuhnya.
Beberapa saat kemudian aku telah bersama secangkir cappuccino dan novel karya Paul Trembley. Anganku menelisik kecil ke dalam serabut kognisi. Bayangan itu seperti film klasik yang tidak mau menghilang. Rasanya sesak. Benar-benar sesak hingga aku tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Astaga, ini terulang lagi.
Semua bermula ketika aku mendapati sepasang pupil hitam memandangiku sepanjang waktu. Ketika aku duduk, berjalan, berlari, bersandar, atau terpejam, tatapan itu selalu mengikutiku. Awalnya aku tak menghiraukan sebab kupikir itu hanya semacam halusinasi karena aku terlampau letih.
Namun tidak. Pandangan aneh itu masih mengikutiku sampai sekarang. Sampai ketika aku mengetukkan jemariku ke keyboard untuk menulis catatan ini. Rasa takut dalam diriku telah mencuat sejak lama. Sejak sepasang mata itu sudah beberapa tahun ini melihatku melakukan apa pun. Kecurigaan tingkat tinggi dan trauma paranoid segera menyelubungiku. Aku bahkan hampir mendapatkan diriku overdosis oleh ketakutan.
Sungguh, aku tidak berlebihan. Ya, mungkin aku bercita-cita menjadi penulis dengan ribuan majas dan kias dalam karyaku. Namun kasus ini berbeda. Dalam benakku terus berputar musik berirama mencekik sampai aku harus beberapa kali menggunakan selang oksigen. Maksudku, segala kejanggalan itu benar-benar mengacaukan sistem organku.
Sudah berapa kali aku kehilangan daya sehat yang selama ini hampir tak pernah meninggalkanku. Aku memang tengah ada dalam situasi melelahkan dengan semua tugas sekolah dan kewajiban lain. Namun kupikir aku selalu sanggup melewati keletihan itu dengan mulus dan berhasil. Nyatanya kali ini tidak. Tubuhku sedikit demi sedikit terasa rapuh sebab pandangan hitam misterius tak kunjung melepaskanku.
Tentu saja aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku berusaha tidak memedulikan. Aku melakukan apa pun yang membuatku lupa. Aku berusaha menjadi sibuk dan tidak ingat sesuatu yang aneh mengikutiku.
Perkenalkan namaku Laila Cassandra, aku pernah bertanya pada orang tuaku apa arti nama yang kata mereka diberikan oleh Nenekku. Ibu dari Ayahku. Yang sosoknya tidak pernah aku temui selama ini, aku hanya bisa melihatnya dari foto yang terpajang di dinding ataupun sudut rumah yang kutinggali sekarang peninggalan Kakek dan Nenekku juga. Mereka bilang, "Laila artinya malam Nak?"
"Benarkah?" aku sempat terkejut mengetahui artinya, kenapa harus malam? batinku bertanya-tanya.
"Lalu bagaimana dengan arti nama belakangku?" tanyaku lagi.
"Cassandra?" Mereka hanya terdiam setelah itu, tidak menjawab rasa penasaranku. Mereka hanya bisa memandang satu sama lain.
Memang saat itu aku masih kecil ketika menanyakan hal itu. Tapi ketika aku beranjak dewasa tentu saja aku mencari tahu untuk menebus rasa penasaranku, aku mencarinya dari internet.
Aku dibuat terkejut lagi ketika mengetahui arti nama belakangku, seseorang dimasalalu yang pernah memakai nama Cassandra adalah seorang wanita yang pernah mendapatkan kutukan dihidupnya. Entahlah, sangat negatif menurutku tapi untungnya masih ada hal positif dari nama itu. Ini hanya sekedar nama, kebaikan akan ada pada diri manusia jika mau bergerak sesuai kemauannya.
***Malam menuju hari Jumat, 2 Januari, kemarin, aku benar-benar tidak bisa memejamkan mataku. Kesadaranku menggantung absurd di atas dahi. Sepasang mata itu masih menatapku di ujung lorong kamar. Ya, aku merasakannya. Seluruh uratku menegang dan napasku tersengal. Aku benar-benar ketakutan. Permukaan kulitku perih terimbas udara dingin yang dibawa hujan. Hingga subuh menjemput, mataku masih terbuka. Aku tidak tidur semalaman.
Aku sering mengalami insomnia. Namun ketidakmampuanku tidur waktu itu sangat-sangat menyeramkan. Serius, ini lebih horor daripada menonton Annabelle Movie.
Dua hari lalu aku menceritakannya pada ibuku. Ibu menanggapi. “Kau hanya kurang tidur.” Ibu bilang aku bisa tidur di kamarnya.
Namun aku tidak melakukannya. Aku merasa Ibu tidak percaya dan aku benci hal itu. Kemarin, aku mengungkapkan hal itu pada guru privatku. Kau tahu apa yang dia katakan?
“Banyak-banyak berdoa dan jaga pikiranmu tetap terisi. Di mana pun kau berada, ingatlah Allah.”
Yap. Aku sungguh lega bahwa kekhawatiranku bukan hanya khayalan. Aku sadar pandangan itu bukan sesuatu yang biasa. Setiap kali aku menyadari hal itu, jantungku berdegup dua kali lebih cepat dibanding sebelumnya. Yang sering kupikirkan akhir-akhir ini adalah bagaimana menghilangkan mata misterius itu. Aku tidak tenang dengan kehadirannya. Aku takut.
Aku tidak ingat kapan kali pertama dia muncul. Namun sekitar dua bulan lalu, dia sudah ada ketika aku mengikuti acara ekstrakurikuler yang mewajibkanku bermalam di sekolah. Dia tidak pergi sama sekali. Saat aku berusaha tidur di ruang kesehatan, dia tetap ada. Masih dengan sorotan mata tajam yang tak pernah bisa kuartikan. Pandangannya begitu menusuk.
Ruang tidur itu harus digelapkan dan aku hanya bersama cahaya lilin. Kau harus tahu betapa mata itu sangat dekat denganku. Napasku berat dan aku ingin berteriak, lalu berlari keluar memeluk siapa pun yang kutemui. Namun aku tidak bisa. Seluruh tubuhku terkunci seketika.
Aku ingat kecelakaan bulan lalu. Sebelum berangkat, mata itu memandangku menyeringai. Aku cuek saja dan tak ingin terlalu memikirkan. Setelah separuh perjalanan, aku sadar pandanganku tertutup. Gelap, lalu terang. Kemudian aku bangkit dari aspal keras yang membenturku. Perih sekali.
Waktu interview untuk seleksi panitia sebuah acara di sekolah, ruang kelas yang kumasuki gelap. Lampu tak dinyalakan. Aku tersenyum getir mengingat betapa takut aku ketika gelap. Aku melaluinya biasa saja. Namun kejadian itu berkesan sekali. Saat satu kali lampu menyala dan retinaku mampu menerima setiap pantulan cahaya dari benda. Mata itu ada di belakang seseorang yang istimewa bagiku.
Well, aku makin gugup bukan sebab wawancara. Bibir bawahku berdarah karena aku mengeratnya terlalu keras. Mata misterius itu. Aku tidak bisa menjelaskan. Aku ketakutan.
Perjalanan pulangku kacau karena aku menabrak bagian belakang mobil putih milik seorang bapak gendut berkaus putih. Dia memakiku habis-habisan dan akhirnya menahan KTP-ku. Setelah itu kejadian janggal terus terjadi berantai dan berjeda. Semua keanehan yang kualami seolah memberiku potongan puzzle dan mewajibkanku untuk menyusunnya. Apa aku pernah berbuat sesuatu pada sesuatu? Apa aku pernah menyakiti orang lain sampai hal itu terjadi? Apa seseorang membenciku dan tidak ingin aku ada atau menginginkan aku tidak ada?
Sore itu ketika angin diluar tidak teratur berhembus. Emosiku sedang tidak berada pada grafik konstan. Aku minum empat gelas cappuccino. Berbicara sendiri pada udara. Memukul bangku. Melempar ponsel dan menjejalkan telapak kaki dengan kasar. Aku menyesali kondisi itu jika aku mengingatnya. Kemudian pikiranku pergi.
Tidak seperti cerita Insidious. Aku hanya sibuk memikirkan hal-hal yang kutakuti. Perasaan suka, benci, cemburu, takut, menjelma menjadi awan kumulonimbus, lalu menghantamku dengan petir dan topan. Astaga, jangan bilang aku alay! Itu benar-benar terjadi.
Bayangan mata itu, dengan pupil hitam legam, dengan seribu isyarat misterius, menyejajari mataku dan menyentuh korneaku. Rasanya dingin. Kemudian aku tersadar.
Tulisanku mulai tidak berarah. Kepalaku berat. Tengkukku pegal dan perutku mual. Novel yang tadi kupegang, sekarang tergeletak di atas tempat tidur begitu saja. Cappuccino-ku telah dingin dan masih utuh, belum sedikit pun aku menyesap. Ponselku dalam setting silent. Rambutku tergerai menutupi satu mata. Kakiku terkulai melewati batas tempat tidur. Tirai jendela kamar terkibas oleh angin.
Tidak ada suara selain tuts keyboard yang kutekan saat ini. Kesunyian membuat mata misterius itu makin aneh dan menakutkan. Dia di sebelah kananku berjarak sekitar tiga meter. Tidak berkedip. Jaraknya tetap sama. Tetap menatapku, seperti menunggu aku menyapa. Namun, tak akan pernah kulakukan.
Selama ini aku hanya terus bertanya dalam hati. Menjerit dalam diam. Dia siapa? Kenapa mengikutiku? Aku tidak pernah tahu.
“Tek, Tek, Tek.” jam dindingku berdetak waktu menunjukkan pukul jam 23.45 Wib. Sudah larut malam, tapi mataku masih terjaga, belum ingin tidur, hening, hanya suara tokek saja yang menemani, dua tiga kali suara jangkrik ikut terdengar, sedangkan cicak sedang sibuk mengejar nyamuk di atas sana.Aku berusaha memejamkan mataku, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur. Aku meraih ponselku yang tergeletak di meja dekat tempat tidurku, membuka salah satu media sosial, mendapati permintaan pertemanan dari seseorang tak dikenal, dengan nama dan profil yang cukup misterius, aku mengabaikannya, membuka layar beranda beberapa temanku memposting foto dan status.“Good night, mimpi indah.”Salah satu temanku memposting status, tertera jam posting pukul 21.30 Wib, aku iseng mengecek siapa saja yang masih online, aku mendapati hanya aku saja yang online, padahal biasanya mereka bisa online sampai subuh tapi tidak dengan malam ini
Selama pelajaran aku tidak fokus, aku selalu memikirkan apa yang terjadi tadi. Aku membolak-balik buku Bahasa Indonesia dengan gusar.Bel pulang sekolah baru saja berbunyi dengan nyaring. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk pulang. Aku segera merapikan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas."Ayo, Ra," Aku mengajak Tiara. Ia mengangguk sambil memasukkan barang-barangnya. Setelah beberapa lama, Tiara sudah selesai merapikan barangnya, kami pun beranjak keluar kelas untuk pulang.Selalu begini, setiap pulang sekolah, aku harus melewati sebuah lorong yang gelap sendirian di ujung jalan Kota tempat tingalku. Aku sebenarnya tidak suka lewat lorong tersebut, tapi apa boleh buat, langit sudah memerah dan matahari sedikit lagi akan menghilang, aku harus cepat sampai di rumah.“Hati-hati, ya Laila!” ucap Tiara yang jalannya berbeda denganku sambil memberi lambaian tangan lembut. Aku tersenyum. “Iya.”"Ugh, gelap sekali
Aku selalu mencari jawabannya! Membayangkan sesuatu terjadi ketika aku mulai memejamkan mata. Mengapa detik jam dinding terus berbunyi? Dikala hening, bunyi itu seakan mengancam jiwaku. Yang sewaktu-waktu berubah menjadi sebuah kesunyian yang nyata. Membawaku pada hal yang menakutkan.Entah cerita apa yang ada dibaliknya. Aku terus memikirkannya. Setiap malam dan seterusnya. Aku mulai berpikir mungkin bunyi yang sama ini juga membayangi pikiran kalian. Aku terus memikirkannya, terus dan terus memikirkannya.Ibuku bercerita, jam dinding memang seperti itu. Detiknya selalu menimbulkan suara. Ibuku bilang, “saat detik jam dinding berbunyi, maka hal yang menakutkan bisa saja terjadi.”Dan saat hening. “Kau bisa merasakan bulu kudukmu berdiri,” aku selalu mencerna kata-katanya. Saat yang terdengar hanya detik jam, maka setelahnya kau akan mendengar suara-suara lain. “Suara di dunia lain.” katanya.Ibuku bilang. Saat kau mula
Malam itu aku melihat seorang remaja laki-laki sedang asyik bermain-main dengan sepedanya. Siangnya aku melihatnya sedang melukis di taman kota. Sorenya aku melihatnya sedang memotret lukisan alam di hutan kota. Ya, akhir-akhir ini aku melihatnya.Sebenarnya hanya setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu aku melihatnya di luar sekolah. Karena hari-hari itu hari dimana aku les bahasa inggris. Setiap aku berangkat menuju tempat lesku aku selalu melewati tempat ia bermain-main menekuni hobinya, yaitu di depan sebuah perumahan, taman kota, dan hutan kota. Awalnya aku menganggap ini hal biasa, tapi tidak ketika aku terus memperhatikannya. Di mana beda waktu aku melihat, beda tempat juga dia berada.Siapa sebenarnya dikau sebenarnya laki-laki misterius ini? Sebenarnya dirinya yang memasuki alam hidupku atau diriku yang memasuki alam hidupnya.“Laila!” panggilan Ibuku menghamburkan susunan lamunanku yang sudah tersusun rata.“Ia,
Bagi mereka, hal ghaib bukanlah hal penting untuk di perdebatkan.Tapi bagiku, hal ghaib adalah bagian dari diriku. Entah sejak kapan aku mengakuinya, tapi mereka ada. Bahkan di setiap langkah yang ku lalui, mereka selalu ada dan mengikutiku.Dalam hening dan senyap serta gemericik air yang membasahi bumi. Di tengah suasana dingin yang memeluk, aku merasa gelisah. Perasaanku tak menentu, ada sesuatu hal yang terjadi tapi aku tidak tahu itu apa.Aku menutup mataku, berharap rasa gelisah ini menghilang seiring dengan kantuk yang mulai menguasai. Namun aku salah, nyatanya dalam tidur yang nyaman itu aku terganggu.Aku berjalan di satu tempat, tempat yang aku kenal. Salah satu dari mereka datang, merasuk ke alam bawah sadar yang tidak bisa ku kendalikan dengan mudah. Membawaku ke sebuah lubang hitam yang pekat, rasa
Entah mengapa, dirumah yang sebesar ini aku merasa sangat-sangat hampa.“Apa karena sepi? atau apa karena sunyi? atau mungkin karena aku masih belum terbiasa dengan suasana rumah ini?”, gumamku dalam hati.Di rumah ini ada enam ruangan utama, yaitu satu ruang tamu, dua kamar tidur yang ditempati oleh oomku yang terkadang datamg ke rumah ini, satu kamar tidur lagi yang ditempati oleh kami sekeluarga dan satu lagi kamar tidur kosong. Kamar tidur disini begitu besar, hingga kami berempat pun masih terasa lapang.Di halaman belakang ini terdapat satu pohon beringin yang sangat besar, disamping pohon beringin itu juga terdapat satu ayunan yang jika dilihat pada malam hari menjadi sangat menyeramkan, ayunannya seperti bergoyang-goyang dengan sendirinya karena pada malam pertamaku disana aku mendengar suara ayunan tersebut. Diseberang pohon beringin tersebut, juga terdapat kolam ikan buatan yang berukuran tidak terlalu besar leng
Sehari setelah kasus kejadian tamu yang tak diundang itu selesai, Ayahku pada akhirnya memaafkan apa yang bang Jarwo perbuat dan tidak ingin memperpanjang masalah lagi, karena Ayah pun sama-sama mengerti bagaimana kondisi bang Jarwo tersebut.Apalagi bang Jarwo itu sudah cukup dekat dengan kami sewaktu kami masih tinggal di pinggiran kota, ya walaupun aku dan bang Jarwo sering bertengkar untuk masalah-masalah sepele. Karena seperti yang aku bilang tadi, bang Jarwo walau umur dan postur badannya besar namun pikirannya masih lah seperti anak-anak karena penyakit “step” nya tersebut. Bang Jarwo adalah sepupu laki-laki dari adik Ayahku, dia sering membuat masalah di lingkungan rumahnya bahkan orangtua nya saja sudah angkat tangan melihat perilakunya.Kerjanya di rumah hanya lah tidur-tiduran saja seharian, di suruh sekolah tidak mau, di suruh kerja di bengkel nya sendiri pun juga tidak mau. Tapi, siapa sangka dia sangat ahli dalam urusan pekerjaan bengkel
Ke esokan harinya bang Jarwo pun pamit untuk pulang ke rumahnya yang berada di pinggiran kota, tidak jauh dari rumah lama kami. Dan aku pun kembali kepada aktifitasku biasanya yaitu sekolah, pulang, namun pada kali ini aku sangat mengurangi jatahku untuk bermain di halaman belakang sejak kejadian waktu itu. Rasanya rumah ini sungguh terasa asing bagiku sekarang, atau karena aku saja yang terlalu panaroid ya? memang, aku bisa dikatakan sebagai anak yang paling penakut di keluarga ini. Nonton film horror saja, bisa tidak tidur semalaman.Jadi, aku lebih menyibukkan diriku untuk melukis di kanvas pada waktu itu. Ketika aku melukis ini, memang pikiranku akan hal-hal yang membuatku takut sedikit terlupakan. Namun itu hanya bersifat sementara, karena ketika malam telah tiba semua pikiran-pikiran liarku mengenai ruangan yang terkunci itu kembali meluap. Gelisah tak tentu arah, mencoba untuk tidur pun aku tidak bisa karena pikiranku yang selalu mengingat akan hal-hal yang menak