Share

Kusembunyikan Identitas dari Mertua
Kusembunyikan Identitas dari Mertua
Author: Perarenita

Lidah Mertuaku

Author: Perarenita
last update Last Updated: 2024-12-16 14:46:34

"Hasan! Mana istri kamu? Jam segini kok belum bangun!" teriak Bu Wati.

Wanita paruh baya itu baru saja bangun dari tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul 7.30 pagi, tetapi kedua matanya tidak menangkap sosok perempuan yang hampir satu minggu ini sudah menjadi menantunya. Bu Wati berjalan ke dapur sambil mengikat rambut pendeknya, tetapi saat sampai di dapur kedua matanya terbelalak melihat Rosa, sang menantu, tengah berdiri di depan kompor sambil mengaduk sayur yang ada di dalam kuali.

"Kenapa Bu, bangun tidur kok teriak-teriak?" tanya Rosa seraya berbalik badan dan tersenyum menatap Ibu Mertuanya.

Sontak Bu Wati jadi salah tingkah dibuatnya, ia kira menantunya itu masih molor tapi ternyata sudah berkutak di dapur. "Nggak," jawabnya acuh lalu masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah dapur.

Rumah ini terbilang cukup dan sangat sederhana bagi Bu Wati dan keluarganya, tetapi tidak untuk Rosa, wanita itu sangat sengsara tinggal di rumah kecil bersama ipar dan para keponakan serta mertua yang masih lengkap. Namun, tidak ada yang bisa diperbuat olehnya selain menerima dan belajar hidup sederhana.

"Rosa," panggil Hasan yang sudah rapi dengan seragam Securitynya.

"Iya, Mas? Kenapa?"

"Aku pergi dulu."

"Nggak sarapan dulu? Ini sayurnya sebentar lagi masak, lo."

"Tapi ini sudah siang, kenapa kamu tidak bangunkan aku?"

"Yaaa ... aku kira kamu kelelahan, jadi aku tidak mau mengganggu tidurmu."

"Tapi aku harus kerja, Sa."

"Yaelah, kerja di ka--"

Rosa menggantung ucapannya sebab Bu Wati telah keluar dari kamar mandi menatap sinis Hasan yang sudah rapi dengan seragam kerjanya. Bu Wati menatap sekilas putra bungsunya itu lalu pergi ke meja makan yang di sana sudah ada beberapa lauk hasil masakan Rosa. 

"Kalo kerja tu yang semangat, San! Bangun pagi sebelum ayam berkokok. Ini matahari sudah tinggi baru mau berangkat, rezekymu dipatok ayam baru tahu rasa!" omel Bu Wati seraya duduk di meja dan mencubit sepotong ayam goreng buatan Rosa.

Hasan tak menjawab, lelaki itu hanya diam saja tanpa mengidahkan ucapan orang tuanya. "Aku pergi dulu, habis ini mandi dan jangan capek-capek ya," ujar Hasan lalu mencium kening istrinya tanpa perduli ada Bu Wati yang menatap ilfil kearahnya.

"Sarapan dulu, Mas," ulang Rosa.

"Nanti sarapan di tempat kerja saja."

"Ya sudah kalau begitu tunggu dulu sebentar," ucap Rosa lalu pergi ke bagian rak piring dan mengambil wadah nasi untuk dibawa kerja suaminya.

"Hasan-Hasan, jadi lelaki kok klemar-klemer! Contoh Kakakmu itu, kerja getol gaji besar, enak hidupnya."

'Hidup enak kok masih numpang sama Ibu,' ucap Hasan. Namun, sayangnya kata itu hanya mampu ia ungkapkan di dalam hati.

Tak ada keberanian bagi Hasan untuk menjawab apa lagi membalas omelan Ibunya. Lelaki itu hanya mampu diam dan mendengarkan, sebab ia tahu dan sadar bahwasannya dirinya belum mampu untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Apalagi dengan pekerjaannya yang hanya seorang Security, tentu hal itu berbanding jauh dengan kedua Kakaknya yang seorang Manajer disebuah perusahaan ternama yang ada di Kota Palembang ini.

"Eh ... eh ... enak saja," kata Bu Wati seraya menepis tangan Rosa yang mengambil satu potong paha ayam goreng yang ada di hadapannya, "ayam-ayam ini bukan untuk Hasan, tidak ada bagian untuk kalian!" ucapnya, lalu mengambil paksa ayam yang ada di tangan menantunya.

"Inget ya! Kalian itu tidak ada apa-apanya di bandingkan Farid dan Rohim yang sudah bekerja keras! Ayam-ayam ini khusus, hanya untuk pegawai kantoran, bukan untuk seorang Security macam suami kamu!" omel Bu Wati.

Rosa menatap bingung ke arah Bu Wati sebab dari pagi yang berbelanja dan mengolah ayam ini adalah dirinya, bahkan uang yang digunakan untuk membeli ayam itu adalah uang pemberian suaminya, bukan uang dari Farid atau pun Rohim anak kebanggaannya.

"Kenapa lihat saya begitu? Kamu tidak suka suami kamu diperlakukan tidak adil? Ya itu salahnya sendiri, jadi anak kok tidak becus, tidak pernah kasih uang keorang tua dan tidak ada keinginan untuk membahagiakan orang tua padahal saya sudah capek-capek membesarkannya!" omel Bu Wati tanpa perduli bagaimana perasaan putra bungsunya itu.

"Sayang, aku pergi dulu," ucap Hasan, tanpa mengidahkan omelan Ibunya.

Lelaki itu langsung pergi meninggalkan Ibu dan juga istrinya yang masih memegang kotak nasi. Sayangnya kotak nasi itu tidak boleh diisi dengan lauk enak yang sudah di masak oleh istrinya. Hasan pergi dengan perasaan hancur, tetapi ini bukan yang pertama untuk lelaki itu. Bagi Hasan, omelan Sang Bunda adalah penyemangat di pagi hari.

"Bu ... dia anakmu, kenapa tega bicara seperti itu?" ucap Rosa yang tak mengerti apa isi kepala Ibu dari suaminya ini.

"Heh! Perawan Tua! Sudah beruntung saya nikahkan kamu sama anak saya! Coba kalau tidak, sampai sekarang kamu pasti belum menikah! Mana ada lelaki yang mau nikah sama Perawan Tua seperti kamu!" hardik Bu Wati, seraya menatap sinis wajah menantunya.

Rosa tak menyangka, wanita yang baru satu minggu ini di kenalnya, ternyata memiliki mulut yang sangat luar biasa. Hinaan dan cacian terus terlontar dari mulutnya, padahal hari masih pagi dan cuaca begitu cerah. Hatinya terasa panas bila didengarkan, tetapi wanita yang berusia tiga puluh lima tahun itu tak mau ambil pusing, sebab ia rasa mungkin saja ini baru permulaan dan mereka belum mengenal satu sama lain.

'Lihat dan tunggu saja, kamu akan tahu siapa Perawan Tua yang selalu kamu hina ini, Bu.'

"Kenapa malah bengong? Mana kopi susu untuk saya?" 

"Kopi susu tidak ada, Bu. Adanya teh."  

"Ya beli di warung kalau tidak ada! Gitu aja kok repot!" 

"Saya masih masak. Orang di rumah ini ada banyak bukan hanya saya. Menantu Ibu ada dua dan mereka belum pada bangun. Kenapa Ibu hanya mengomel pada saya?" ungkap Rosa yang mulai tersulut emosi. 

Glontang-glontang. 

Suara sutil dan kuali bertabrakan. Sengaja Rosa mengaduk masakannya dengan menimbulkan kebisingan, sebagai tanda bahwa dia sedang memasak bersamaan dengan rasa kesal yang membuncah. Selama tiga puluh lima tahun wanita itu hidup dengan kedamaian, tanpa ada yang mengomel apa lagi menghina dirinya. Namun, setelah melepas masa lajang, Rosa seperti mendapat rasa baru dalam hidupnya. Bagaimana tidak, dirinya memiliki Ibu Mertua yang suka mengomel. 

"Heh! Perawan Tua! Bisa masak tidak? berisik sekali?" 

Rosa hanya diam, tak ada niat untuk menjawab. Meladeni ucapan wanita tua itu sama saja membuang-buang energinya. Namun, apa itu Rosa bila dirinya terus di hina akan tetap diam? Wanita tangguh itu tak akan gentar hanya karena sebuah hinaan. 

"Pagi, Ibu ...," ucap Tiara, kakak ipar tertua Rosa, "kenapa Ibuku yang cantik ini kok pagi-pagi sudah pasang wajah cemberut?" lanjutnya. 

"Ini lo, nggak suami, nggak istri mereka sama saja! Sama-sama lelet, klemar-klemer!" 

Degh! 

***

Related chapters

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Golongan Orang Waras, Bukan?

    "Udah, Bu. Jangan terlalu dikerasin, kasihan Rosa. Lagian, dia juga baru menjadi seorang istri, jadi wajar dong belum ada pengalaman dalam hal apapun, termasuk menjadi seperti yang Ibu inginkan," ucap Tiara begitu lancar. Wanita yang usianya tak jauh beda dengan Rosa itu berdiri di depan Bu Wati, menampilkan senyuman padahal iler masih berjajar di wajahnya. Tiara baru saja bangun. Semenjak ada Rosa di rumah itu, Tiara semakin merasa leluasa, sebab tak harus melakukan pekerjaan ini itu karena ada adik ipar yang akan melakukan semuanya. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya. Hanya Rosa yang berkutak sendirian di dapur tanpa ada yang membantu. "Udah ya, Bu. Jangan cemberut lagi," bisiknya seraya berlalu dari hadapan Ibu Mertuanya. Tiara pergi ke kamar mandi berniat untuk mencuci wajah, atau sekedar berkumur sebab dirinya baru bangun tidur, tetapi saat melihat ayam goreng yang ada di atas meja, perutnya seketika menjadi lapar. Warna yang keemasan dan bentuknya yang krispi, membuat

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   STRUK

    "Eh, jawab!" seru Tiara, ia penasaran dengan jawaban adik iparnya itu. Pasalnya, Rosa hanya diam saja sejak ditanya tentang statusnya."Apa jangan-jangan kamu itu seorang janda bukan perawan tua? tapi ya sudahlah, untuk apa diselali, apapun statusmu dulu itu tidak ngaruh bagiku, toh sekarang kamu sudah menikah. Mau perawan tua atau seorang janda, yang pasti kamu sudah melepas masa lajangmu. Iya, 'kan, Rosa?" "Iya, Kak." "Nah, gitu ... kalau diajak ngomong ya nyahut, jangan diem aja." "Pertanyaan, kamu tidak berbobot untuk apa ku sahuti?" ujar Rosa, lalu pergi dari sana, tak lupa ia membawa bekal yang sudah dipersiapkan untuk suaminya. "Astaga, anak itu!" gerutu Tiara seraya menunjuk Rosa yang hampir menghilang dari pandangannya. "Enak banget jawabnya, pertanyaan kamu tidak berbobot untuk apa kusahuti, eh kamu pikir kamu siapa! Berani-beraninya bicara kasar padaku! Aku ini kakak iparmu, bisa-bisanya kamu berlaku sok begitu!" Tiara terus meracau merasa tak terima bila ucapannya dij

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tentang Uang

    "Biarin struk, toh niatku beli motor bukan untuk pamer, meski ada sih sedikit rasa jengkel." "Yaudah, Neng. Orang macam Bu Wati memang pantas dipojokkan dengan pembuktian. Kalo cuma balas ucapannya nggak bakalan mempan, orang itu pikirannya sempit, mana mau kalah sama orang," ucap si abang tukang ojek. "Emangnya kamu kenal banget sama mertuaku, Bang?" "Ya ... nggak kenal banget sih, Neng. Cuma, dari wajahnya saja sudah ketara kalau dia itu orangnya nyebelin. Lagian, bukan rahasia lagi siapa Bu Wati. Semua orang juga tahu, dialah si pembuat onar di kampung ini." "Oooo," sahut Rosa. Setelah berkendara beberapa menit tak jauh dari dealer yang tadi, akhirnya Rosa benar-benar sampai pada tempat yang sangat diinginkan olehnya. "Nah, ini dealer motor baru, Neng," kata si abang tukang ojek. Rosa pun membuka helm yang masih menyangkut di kepalanya lalu turun dari motor supra x milik si tokeng ojek itu. Dia pun masuk ke dealer sedangkan lelaki tadi hanya menunggu di depan. Mata Rosa k

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tentang Rosa

    "Maksud kamu?" Hasan tak mengerti, mengapa istrinya bicara seperti itu. Lelaki itu tak pernah ambil pusing, dan memikirkan setiap kata kasar yang keluar dari mulut ibundanya. "Sekarang gini deh, Mas. Ibu bilang,--" "Udahlah, Sa. Nggak usah diperpanjang. Terserah ibu mau bilang apa. Dari aku kecil, hingga aku setua ini, ibu tidak pernah berkata lembut padaku. Toh, sudah diizinkan tinggal bersamanya saja aku sudah bersyukur, Sa." "Kenapa, Mas? Kenapa kamu diam saja saat ibumu bicara kasar?" "Ya, aku harus bagaimana? Apa aku harus marah balik, dan mengumpatnya? atau aku harus membanting semua perabotan agar ibu berhenti mengomel? Percuma, Sa ...." Rosa pun terdiam, sejenak ia berpikir apa suaminya ini anak pungut, sehingga diperlakukan begitu beda oleh ibunya sendiri. "Mas," panggil Rosa, sekilas ia melihat manik mata lelaki yang ada di hadapannya ini begitu banyak menyimpan kesedihan. Dengan berat hati Hasan mengangkat wajahnya, dan balik memandang wanita yang sudah resmi menjad

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Bagaimana Reaksi Mereka?

    Dan benar saja, firasatnya itu sangat tepat. Andai Bu Wati tahu siapa Rosa sebenarnya, mungkin sikapnya akan lembut, dan meratukan Rosa, seperti dia meratukan Tiara. "Tadi ke sini naik apa?" tanya Hasan, memecahkan keheningan, dan kecanggungan yang sempat tercipta. Sikap lancangnya tadi, membuat keduanya sama-sama menahan malu, tetapi saling menikmati. Andai saat ini mereka berada di dalam kamar, mungkin aksi malam pertama yang sempat tertunda akan terlaksana. "Motor," jawab Rosa pelan. "Motor?" Hasan mengulangi ucapan istrinya. "Iya motor, Mas." "Motor bapak?" "Bukan.""Lalu?" "Ya, motorku, Mas. Mau make motor bapak, tapi nggak dikasih izin sama ibu, jadi ya aku beli motor sendirilah. Dari pada minjem-minjem nggak dipinjemin." "Apa!" Hasan terbelalak mendengar penuturan istrinya. "Kamu anggap beli motor kayak beli kopi di warung, Sa?" ucapnya seakan tak percaya atas pengakuan istrinya. "Kenapa? Kamu nggak percaya, Mas?" "Ya nggak percaya, Sa. Aku kasih uang ke kamu aja c

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Perdebatan yang Menyenangkan

    Di sepanjang jalan, Rosa bersenandung ria membayangkan wajah tegang ibu mertuanya. Terutama, iparnya yang terlalu banyak bicara itu. Rosa sudah tak sabar, dengan kecepatan penuh ia menarik pedal gas melalui jalanan Kota Palembang. Tak sampai 20 menit, akhirnya dirinya sampai di kediaman sang mertua.Di depan rumah, terlihat ayah mertua tengah duduk sendirian. Tidak ada teman apalagi kopi yang menemaninya. Rosa membuka helm, lalu menghampiri lelaki tua yang tak banyak bicara itu. "Assalamualaikum, Pak," sapa Rosa sopan. Di antara banyaknya penghuni rumah ini, hanya ayah mertua, dan sang suami yang tak banyak bicara. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan Bu Wati, serta dua anak dan menantunya yang gemar sekali bicara. "Waalaikumsalam. Dari mana, Nak?" tanya lelaki tua itu. Rosa pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ayah mertuanya. "Dari antar nasi untuk Mas Hasan, Pak," jawab Rosa seadanya. "Oooo." Setelah pembicaraan itu, mereka sama-sama ta

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kedok yang Terbongkar

    "Ma-maksud kamu?" Bu Wati menjadi gugup mendengar penawaran dari menantu yang di anggapnya perawan tua itu. "Ibu butuh u*ng, 'kan untuk acara pengajian? Saya tanya, Ibu butuh berapa?" jelas Rosa.Tiara yang masih berdiri di sana, merasa dirinya akan tersaingi oleh Rosa, bila sampai Rosa memberikan u*ng pada sang Ibu. Tidak, bagi Tiara, tidak ada yang boleh memberikan Ibu ua*g, selain dirinya. Karena hanya dirinya yang patut untuk di sanjung. "Tidak, perlu. Aku akan menutupi kekurangannya," sanggah Tiara cepat, "Ibu pesan saja catering sebanyak mungkin, nanti sisanya biar aku yang bayar," ucapnya lantang, namun tak seemosi tadi. Bu Wati yang sudah sakit hati akan sikap Tiara tadi, kini berpihak pada Rosa yang sudah menawarkan bantuan tanpa perlu di minta. Untuk sementara, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat, sebab Rosa memberi keuntungan baginya. "Kamu tadi bilang, lebih baik ke salon dari pada pesen catering. Ya sudah, pergi saja ke salon. Ibu tidak butuh u*ng dari kamu

    Last Updated : 2024-12-25
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Hari Sial Tidak Ada di Kalender

    "APA!" belum hilang rasa yang membuncah di hati, kini rasa iri telah timbul menyelimuti. "Tidak, mungkin, Pak! Apa tadi dia keluar untuk membeli motor? tapi itu tidak mungkin, beli motor tidak semudah membeli cabe di warung. Mana mungkin secepat itu prosesnya, dan motor langsung bisa di bawa pulang. Bapak pasti mengada-ada, 'kan? Ini pasti motor tetangga," omel Tiara. Pak Bowo, lelaki tua yang hampir berusia 66 tahun itu, masuk ke dalam rumah tanpa menanggapi ucapan menantunya. Ia biarkan Tiara gelabakan karena rasa penasarannya. Bergegas wanita berusia 35 tahun itu mengambil ponselnya, dan membuka google untuk melihat ha*ga dari kuda besi yang ada di hadapannya ini. "Berapa harga motor Honda ADV 160 CBS 2024," tulisnya di kolom pencarian. Sontak kedua mata Tiara terbelalak melihat tampilan harga yang tertera di layar ponselnya. "Ha*ga Honda ADV 160 adalah antara R* 36,2 ju*a hingga R* 39,4 j*ta." "Wow! Ini sih gilak!" umpatnya pada ponsel. Mendadak rasa perih di pipi akibat t

    Last Updated : 2024-12-26

Latest chapter

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Lalu, bagaimana dengan Tiara?

    Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Siapa Dia?

    lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Takkan kubiarkan mulut busuk kalian terus menghinaku!

    Semakin lama orang yang masuk dari pintu belakang itu semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya terlihat juga batang hidungnya. "Mbak Nanik! Ngapain masuk dari pintu belakang? Kayak maling aja!" seru Farid yang tadi sedikit panik. Ia kira mengira ada penyusup yang ingin membobol rumahnya, meski di saat siang hari begini. "Mana ada maling cantik," sahut wanita itu sambil celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Mana ibumu? Tadi saya nggak salah lihat, 'kan? Hasan keluar dari mobil mewah? " tanyanya pelan sambil berbisik. Jiwa kepo bin julidnya itu masih saja bertebaran. Farid yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sebab berita yang dibawa Hasan tadi sangat memukul mentalnya pun berlalu begitu saja tanpa mengidahkan seribu pertanyaan dari Mbak Nanik. "Eh, tunggu, Farid. Saya tanya, ibumu mana?" ulang Mbak Nanik lagi. Namun, Farid hanya diam dan tangannya terus memutar roda lalu masuk ke kamarnya. "Ihh, dasar! Sudah cacat masih saja belagu." Wanita itu pun berja

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Hak Asuh

    Pak Lurah menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Bu Wati yang terlihat semakin tua karena masalah yang tiada habisnya. "Baiklah, Nak Farid. Kalau begitu, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, hidup ini masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan untuk memperbaiki semuanya," katanya pelan.Pak Lurah melangkah pergi, diikuti oleh Bu Wati yang menunduk lesu. Setelah menutup pintu, Bu Wati menghela napas panjang, matanya berair menatap lantai. "Ya Allah, sampai kapan ini semua akan selesai?" gumamnya.Farid yang masih duduk di kursi roda memandangi pemandangan di luar jendela. Sebuah kenangan menyelinap masuk ke dalam pikirannya, tentang hari-hari penuh tawa bersama Chika, dan istrinya yang kini mendekam di penjara. Sebuah foto dengan senyum bahagia yang tergantung di dinding seakan mengolok-oloknya."Kalau aku tidak begini ... apa mereka masih akan ada di sini?" bisiknya dengan suara serak.Namun, sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara langkah kaki Bu Wati terde

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Belas Kasihan

    "Bu ...," suara Farid terdengar lirih. Bu Wati tak sadar bila di mata pria itu terdapat genangan air yang siap membasahi wajahnya yang terlihat tampan, tapi itu dulu, jauh sebelum hidupnya dilanda musibah. "Apa! Mau apa lagi kamu? Kerjaanmu tiap hari nyusahin ibu saja! kalo nggak berak, kencing, berak, kencing, itu-itu aja tiap hari!" omel bu Wati seraya membersihkan tempat tidur Farid yang terkena kotorannya tadi. Pria itu tak jadi berkata, ucapan ibunya sungguh menusuk hati, seperti cakaran kucing pada luka yang belum kering. "Kalau tau nasibmu bakal begini, tak sudi ibu melahirkan kamu!" Degh! Hati Farid semakin mencelos mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya itu. Dulu, sewaktu berjaya, dirinyalah yang selalu disanjung-sanjung dan jadi kebanggaan sang bunda. Namun, kata bangga dan penuh pujian itu, kini tak lagi ia terdengar. Sekarang, setiap hari hanya caci dan maki yang selalu ia dapatkan. "Maaf, Bu," lirihnya pelan, bahkan semut saja tak dapat men

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kabar Pria Yang Kemaluannya Hampir Putus

    Hasan sedang berdiri di depan pintu, rapi dengan kemeja biru muda yang digosok sempurna. Tas kerjanya tergantung di bahu, dan ia sedang memakai jam tangan ketika Rosa tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Mas, nggak usah ke kantor, dong," rengek Rosa, suaranya lembut namun manja. Hasan tertawa kecil, lalu menolehkan kepala untuk melihat istrinya. "Sayang, aku kan harus kerja. Kalau nggak, nanti semua kacau." Rosa melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan menghadap Hasan. Tangannya menyilang di depan dada, ekspresinya cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. "Kerja dari rumah aja, Mas. Perusahaan ini punya Papah juga. Kalau ada apa-apa, kan bisa telpon-telponan." Hasan menggeleng sambil tersenyum. "Rosa, aku bos, iya. Tapi tetap harus kelihatan di kantor. Kalau nggak, nanti anak buahku bilang aku cuma duduk-duduk dan numpang nama mertuaku." Rosa menatap suaminya dengan mata bulat besar, berusaha mengeluarkan jurus andalan: tatapan penuh permohonan. "Tapi aku

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kebiasaan Unik

    Rosa tertawa kecil lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak energi. "Thanks, Mas. Tapi jangan lupa kasih kecapnya yang banyak, ya. Sama kerupuknya yang kriuk banget."Hasan mengangkat kedua alisnya. "Siap, Bu. Ada tambahan lagi? Es teh manis, mungkin?"Rosa mengangguk. "Iya, es teh manis juga, Mas. Tapi teh nya jangan terlalu manis. Dan kalau bisa, pakai jeruk nipis."Hasan pura-pura menghela napas panjang. "Wah, istriku ini ternyata pelanggan yang perfeksionis. Tapi oke, siap dilaksanakan."Rosa tersenyum lega sambil kembali menyandarkan tubuhnya ke bantal. Hasan pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan bubur ayam yang diminta istrinya. Selama di dapur, ia mencari cara sederhana untuk membuat bubur ayam dengan bahan yang tersedia. Meski tidak ahli, Hasan mencoba sebisa mungkin memenuhi keinginan Rosa.Sementara itu, Rosa kembali merenung di kamar. Ia tersenyum kecil, memikirkan betapa beruntungnya ia memiliki suami seperti Hasan yang begitu pengertian. Meski sederhana, perhatian Hasa

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Jadi Chef Dadakan

    Hasan menghela napas panjang, lalu menarik Rosa kembali ke dalam rumah. "Mungkin kamu masih terpengaruh mimpi buruk tadi, Sayang. Sudahlah, kita masuk. Besok pagi pasti semuanya terasa lebih baik."Meski Rosa mengangguk, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa ganjil yang melingkupinya. Ia melirik ke arah pintu sekali lagi sebelum akhirnya masuk, bertanya-tanya apakah malam ini benar-benar sudah selesai.***Rosa menatap langit-langit kamar setelah Hasan membawanya masuk. Rasa gelisah masih menghantui pikirannya. Mimpi buruk tadi terlalu nyata, seakan-akan ia benar-benar mengalami setiap detiknya. Namun, Hasan berusaha menenangkannya."Rosa, coba tarik napas dalam-dalam," ujar Hasan sambil mengusap lembut punggung istrinya. "Apa pun yang tadi kamu rasakan, itu cuma efek mimpi. Kita di sini aman, semuanya baik-baik saja."Rosa mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Hasan benar. Tapi rasa berat di dadanya masih ada. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, memandangi Hasan yang

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Seperti Sedang Diawasi

    Tok... Tok... Tok...Hasan membuka pintu kamar perlahan, napasnya tertahan. Apa pun yang ada di balik pintu ini, ia harus siap. Ternyata, saat pintu terbuka, berdiri seorang wanita yang ia kenal baik—Bi Sumi, asisten rumah tangga mereka. Wajah Bi Sumi pucat, matanya merah dan basah seperti habis menangis. Ia terlihat gelisah, menggenggam erat tas kecil di tangannya."Bi Sumi?" Hasan memecah keheningan. "Ada apa malam-malam begini?"Bi Sumi mengangguk pelan sambil menunduk. "Maaf, Pak Hasan, saya mengganggu malam-malam begini. Tapi saya baru saja mendapat kabar dari kampung... Ibu saya meninggal dunia." Suaranya bergetar, hampir terisak. "Saya harus pulang malam ini juga. Maaf kalau ini mendadak."Hasan terkejut. Wajahnya berubah dari tegang menjadi penuh simpati. "Astaghfirullah... Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Bi, saya turut berduka cita. Tentu, Bi, silakan pulang. Saya akan bantu pesan kendaraan."Mendengar suara Hasan yang penuh empati, Rosa yang penasaran dengan apa yang ter

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status