Dan benar saja, firasatnya itu sangat tepat. Andai Bu Wati tahu siapa Rosa sebenarnya, mungkin sikapnya akan lembut, dan meratukan Rosa, seperti dia meratukan Tiara.
"Tadi ke sini naik apa?" tanya Hasan, memecahkan keheningan, dan kecanggungan yang sempat tercipta.
Sikap lancangnya tadi, membuat keduanya sama-sama menahan malu, tetapi saling menikmati. Andai saat ini mereka berada di dalam kamar, mungkin aksi malam pertama yang sempat tertunda akan terlaksana.
"Motor," jawab Rosa pelan.
"Motor?" Hasan mengulangi ucapan istrinya.
"Iya motor, Mas."
"Motor bapak?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Ya, motorku, Mas. Mau make motor bapak, tapi nggak dikasih izin sama ibu, jadi ya aku beli motor sendirilah. Dari pada minjem-minjem nggak dipinjemin."
"Apa!" Hasan terbelalak mendengar penuturan istrinya. "Kamu anggap beli motor kayak beli kopi di warung, Sa?" ucapnya seakan tak percaya atas pengakuan istrinya.
"Kenapa? Kamu nggak percaya, Mas?"
"Ya nggak percaya, Sa. Aku kasih uang ke kamu aja cuma satu juta mana cukup untuk beli motor, atau pun DP,---"
"Aku beli kes, Mas. Nggak pake DP, dan nggak pake uang kamu. Uang kamu cuma aku pake untuk keperluan dapur. Kamu lupa siapa istri kamu ini, Mas?"
Hasan pun terdiam. Benar, ucapan Rosa memang benar. Melihat kesederhanaan yang ada di dalam diri Rosa, membuat Hasan jadi melupakan asal-usul istrinya. Wanita yang selalu di balut dengan kemewahan ini ternyata bisa beradaptasi dengan dirinya yang penuh dengan kesederhanaan. Apalagi keluarganya, yang masih tinggal satu atap meski semua sudah berumah tangga.
"Maafkan aku, Sa," ucap Hasan tertahan. Perasaannya semakin tak karuan.
"Kenapa minta maaf, Mas?"
"Karena aku belum bisa memberikan kenyamanan untukmu, Sa."
"Tidak masalah, Mas. Begini saja aku sudah nyaman," kata Rosa sambil tersenyum, perlahan jemarinya menyentuh jemari kekar suaminya, mengelusnya, dan memberi kenyamanan untuk lelaki itu. Rosa tahu bahwa saat ini mungkin saja suaminya tengah dilanda rasa tak percaya diri. Namun, bagi Rosa bagaimana keadaannya saat ini ia sama sekali tidak menyesal atas keputusan papahnya.
"Pulang yuk, Mas. Motor kamu tinggal aja. Aku ingin jalan-jalan sama kamu," pinta Rosa pada suaminya.
"Kamu bercanda, Sa? Jam kerjaku masih panjang."
"Kenapa harus kerja terus, Mas? Kita bahkan belum honeymoon, loh. Aku ingin jalan-jalan. Semenjak kita menikah aku hanya diam di rumah. Hari ini aku sangat bosan, Mas. Aku ingin berkeliling Kota Palembang," rengek perempuan berwajah ayu itu.
"Iya ... tapi tidak sekarang, Sa."
"Kapan? Jawaban kamu sama terus, Mas. Kapan bisanya?"
"Tidak ada waktu cuti untuk karyawan sepertiku, Sa. Tapi kamu jangan khawatir, sebisanya akan aku usahakan agar kita bisa pergi jalan-jalan," ungkap Hasan, "tapi sore ya, Sayang," lanjutnya penuh harap.
Kini Rosa yang terdiam. Ada satu hal yang telah dilupakannya. 'Ah, bodohnya aku!' umpatnya dalam hati.
"Baiklah, Mas. Sore juga tidak pa-pa. Kalau begitu aku pulang dulu ya, Mas. Aku tunggu kamu di rumah saja," kata Rosa seraya mengambil tas yang berisi kotak nasi tadi.
Lelaki itu tak bisa berbuat apapun, ingin mencegah, dan membiarkan istrinya tetap disini menemaninya kerja seperti cerita yang ada di novel-novel, tapi itu tidak mungkin. Dirinya bukanlah CEO apa lagi pemilik perusahaan ini. Sangat lucu bila satu kantor tahu, seorang Security membawa istrinya ke pos jaga hanya untuk menemaninya bekerja. Di tambah, bila kedua saudaranya tahu, yang ada dirinya akan jadi bahan olokan.
"Ya, hati-hati," ucap Hasan pada akhirnya. "Oh ya, Sa," panggil Hasan sebelum istrinya keluar dari pos jaga ini.
"Kenapa, Mas?"
"Kalau sudah sampai rumah langsung masuk kamar ya," pinta Hasan.
Rosa tak bergeming, ia sedang mencerna perkataan suaminya.
"Ibu, kamu tahu sendiri bagaimana sikap ibu. Apalagi kamu beli motor baru, aku yakin ibu akan semakin kasar padamu," jelas Hasan, terlihat jelas di manik matanya rasa khawatir yang mendalam.
"Iya, Mas. Pulang ini aku langsung masuk kamar. Kamu tenang aja, ya."
"Satu lagi."
"Apa, Mas?"
"Bilang seadanya. Kalau motor itu belinya pakai uang kamu."
"Iya, Mas ...."
"Ya sudah, hati-hati di jalan. Nanti sore, jam lima bersiaplah, aku pulang kerja kita langsung pergi."
"Oke, siap, Pak!" sahut Rosa sambil tersenyum manja.
Wanita berperawakan tinggi, berkulit putih, dan berambut panjang itu segera pergi meninggalkan area perkantoran dimana suaminya bekerja mencari nafkah. Ia mengenakan helm, dan mulai menyalakan motor baru miliknya yang mungkin saja akan membuat heboh satu kampung. Ah tidak ... Rosa sudah tak sabar ingin melihat Ibu mertuanya kebakaran jenggot. Apalagi Tiara, kakak iparnya yang kampungan itu, pasti dialah yang akan menjadi orang terheboh pertama kali saat dirinya tiba di rumah nanti.
"Baiklah ... mari kita lihat bagaimana reaksi mereka saat tahu aku pulang bawa motor baru," ucap Rosa sambil tersenyum memperhatikan jalanan yang dilaluinya.
***
Di sepanjang jalan, Rosa bersenandung ria membayangkan wajah tegang ibu mertuanya. Terutama, iparnya yang terlalu banyak bicara itu. Rosa sudah tak sabar, dengan kecepatan penuh ia menarik pedal gas melalui jalanan Kota Palembang. Tak sampai 20 menit, akhirnya dirinya sampai di kediaman sang mertua.Di depan rumah, terlihat ayah mertua tengah duduk sendirian. Tidak ada teman apalagi kopi yang menemaninya. Rosa membuka helm, lalu menghampiri lelaki tua yang tak banyak bicara itu. "Assalamualaikum, Pak," sapa Rosa sopan. Di antara banyaknya penghuni rumah ini, hanya ayah mertua, dan sang suami yang tak banyak bicara. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan Bu Wati, serta dua anak dan menantunya yang gemar sekali bicara. "Waalaikumsalam. Dari mana, Nak?" tanya lelaki tua itu. Rosa pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ayah mertuanya. "Dari antar nasi untuk Mas Hasan, Pak," jawab Rosa seadanya. "Oooo." Setelah pembicaraan itu, mereka sama-sama ta
"Ma-maksud kamu?" Bu Wati menjadi gugup mendengar penawaran dari menantu yang di anggapnya perawan tua itu. "Ibu butuh u*ng, 'kan untuk acara pengajian? Saya tanya, Ibu butuh berapa?" jelas Rosa.Tiara yang masih berdiri di sana, merasa dirinya akan tersaingi oleh Rosa, bila sampai Rosa memberikan u*ng pada sang Ibu. Tidak, bagi Tiara, tidak ada yang boleh memberikan Ibu ua*g, selain dirinya. Karena hanya dirinya yang patut untuk di sanjung. "Tidak, perlu. Aku akan menutupi kekurangannya," sanggah Tiara cepat, "Ibu pesan saja catering sebanyak mungkin, nanti sisanya biar aku yang bayar," ucapnya lantang, namun tak seemosi tadi. Bu Wati yang sudah sakit hati akan sikap Tiara tadi, kini berpihak pada Rosa yang sudah menawarkan bantuan tanpa perlu di minta. Untuk sementara, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat, sebab Rosa memberi keuntungan baginya. "Kamu tadi bilang, lebih baik ke salon dari pada pesen catering. Ya sudah, pergi saja ke salon. Ibu tidak butuh u*ng dari kamu
"APA!" belum hilang rasa yang membuncah di hati, kini rasa iri telah timbul menyelimuti. "Tidak, mungkin, Pak! Apa tadi dia keluar untuk membeli motor? tapi itu tidak mungkin, beli motor tidak semudah membeli cabe di warung. Mana mungkin secepat itu prosesnya, dan motor langsung bisa di bawa pulang. Bapak pasti mengada-ada, 'kan? Ini pasti motor tetangga," omel Tiara. Pak Bowo, lelaki tua yang hampir berusia 66 tahun itu, masuk ke dalam rumah tanpa menanggapi ucapan menantunya. Ia biarkan Tiara gelabakan karena rasa penasarannya. Bergegas wanita berusia 35 tahun itu mengambil ponselnya, dan membuka google untuk melihat ha*ga dari kuda besi yang ada di hadapannya ini. "Berapa harga motor Honda ADV 160 CBS 2024," tulisnya di kolom pencarian. Sontak kedua mata Tiara terbelalak melihat tampilan harga yang tertera di layar ponselnya. "Ha*ga Honda ADV 160 adalah antara R* 36,2 ju*a hingga R* 39,4 j*ta." "Wow! Ini sih gilak!" umpatnya pada ponsel. Mendadak rasa perih di pipi akibat t
"Mbak ...." "Apa, Nanik!" sentak Tiara, wajahnya kesal memandang wanita paruh baya ini. "Jadi yang di katakan si Dodi, benar?" sidiknya. "Ya, benar. Orang saya sendiri yang mengantarnya ke sorum," jawab si tukang ojek itu dengan cepat. "Eh Nanik, kamu tahu tidak istrinya Hasan beli motor ini pake metode apa?" lanjutnya. "Pasti kr*dit, 'kan!" seru Nanik begitu yakin. "Salah." "Terus?" "Kontan!" "What!" kini Nanik yang di buat hampir keluar bola matanya, "berapa tadi, Mbak har*anya? 56 j*ti ya!" ucapnya seraya memandang Tiara yang hanya diam tak berkutik. "Edyan! si Hasan diam-diam ta*ir juga, ya," puji Dodi si tukang ojek. "Iya, nggak nyangka aku. Padahal kerjanya ya cuma jadi Security, jauh banget, 'kan sama kedua Kakaknya yang seorang Manajer ya, 'kan, Mbak?" timpal Nanik, sekaligus menyerempet Tiara yang tak kunjung bicara. "Makanya, Nanik. Kalau menilai seseorang itu jangan hanya sebelah mata," ungkap Dodi lagi. Lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek di kampung itu,
"Hehehe," cengir Bu Wati, "sudah Ibu bilang, 'kan. Pengajian kali ini Ibu mau beda dari yang lain. Ibu mau ....""Ya nggak gitu juga kali, Bu. Takutnya, terlalu banyak menu nanti nggak ke makan, 'kan sayang, Bu. Mubazir.""Ih, kamu nggak tahu aja, ibu-ibu kampung sini kalau pengajian. Mereka pada bawa anak, dan juga kalau makanan masih tersisa mereka bakal bawa pulang, jadi kamu tenang saja, menu sebanyak itu tidak akan mubazir. Semua pasti habis ludes tanpa sisa.""Ibu yakin?""Yakin, dong.""Ya sudah, Ibu buat list saja makanan apa yang Ibu mau. Saya akan buatkan semua itu sendiri.""What! Kamu yang akan buat? Sebanyak itu?" Bu Wati tak percaya dengan yang di katakan oleh menantunya barusan, pasalnya di pengajian-pengajian sebelumnya kedua menantunya yang lain tidak ada yang mau turun tangan, atau pun ikut pusing dalam mengadakan acara itu. Namun, sangat berbeda dengan kali ini, menantu barunya itu denga
"Kenapa, Bu?" Rosa sangat tertarik dengan perbincangan ini, sebab dia pun penasaran mengapa sikapnya begitu beda terhadap Hasan, padahal putra kandungnya. Ah, tapi apa jangan-jangan Hasan cuma anak pungut? "Karena Ibu sudah tidak ingin hamil lagi, tapi Tuhan berkata lain. Tuhan mengirimkan Hasan di saat perekonomian sulit. Itulah kenapa Ibu sangat membencinya. Di tambah, semenjak Farid menikah Hasan tidak pernah memberi uang belanja, tapi ternyata Ibu yang salah menilai. Semua karena mulut manis Tiara!" Oooo, dalam hati Rosa mengerti betapa sulit hidup dengan ekonomi terjepit. Karena dulu dia pun mengalami hal yang sama, hidupnya tidak langsung sukses, ada masa tersulit yang juga ia lalui tanpa seorang Ibu. "Tapi sekarang Ibu sudah tahu, 'kan siapa Mas Hasan, dan siapa Tiara?" ucap Rosa menimpali. "Iya ... Ibu menyesal telah bersikap kasar pada Hasan selama ini." "Tidak perlu di selali, Bu. Semua sudah berlalu. Mulai sekarang Ibu hanya perlu bersikap adil pada anak maupun menant
"Kenapa kamu yang malu, Dek?" "Ih, pake nanya segala! Semua gara-gara kamu, Mas! Di telfon berulang kali bukannya di angkat! Aku pikir motor itu kamu yang beli, dan sengaja nggak kasih kabar, karena mau bikin kejutan. Makanya ku bilang sama Nanik motor itu kejutan dari kamu!" "Nah terus? Apa masalahnya? Si Nanik pasti percaya, 'kan sama omongan kamu?" "Awalnya iya ... tapi si Doni tukang ojek kamvr*t itu datang. Sialnya dia yang mengantar Rosa ke Sorum ...," Tiara tak melanjutkan ucapannya, sebab dia pun malu bila mengingat kejadian tadi, 'ah, sial banget, sih! Kenapa juga harus ku naiki motor tadi! Bodoh, bodoh, bodoh!' umpatnya dalam hati merutuki kelakuan konyolnya tadi. "Udah kamu tenang aja, nanti kita juga beli motor seperti itu." "Iya, Mas, pasti! Jangan mau kalah sama si Hasan! Lagian, gaji Mas itu besar, kenapa juga beli motor saja tidak mampu!" "Kamu lupa, Dek? Semua gaji Mas kamu yang atur, jadi jangan salahkan Mas bila motor saja tidak kebeli, karena kamu yang tida
Hasan memarkirkan motornya di halaman rumah, di teras hanya ada sang ayah sendirian tengah memandikan burung perkutut kesayangannya, tidak ada bayang-bayang dari Farid, atau pun Rohim serta anggota keluarga yang lain. Sebenarnya pada kemana mereka pergi? Kenapa rumah terlihat sepi, tumben sekali. "Assalamualaikum, Pak," ucap Hasan seraya duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. "Waalaikumsalam," sahut Pak Bowo, tangannya masih asyik menyemprotkan air ke burung yang ada di dalam sangkar itu. "Kok sepi, pada kemana, Pak?" "Ndak tahu, Bapak." "Kalau Rosa?" "Tadi istrimu pergi ke pasar sama Ibu." "Kepasar? Sama Ibu?" Hasan mengulangi ucapan ayahnya untuk memastikan bahwa dirinya tak salah dengar. "Iya," jawab Pak Bowo singkat.Lelaki tua itu kerap kali bicara irit. Membuat lawan bicaranya jadi mati oleh rasa penasaran, "ndak salah apa, Pak? Ibu pergi sama Rosa?" ulang Hasan bertanya pada sang ayah. "Yo, ndak. Memangnya kenapa?" "Ibu, 'kan ndak suka sama Rosa, Pak." "Yo itu ke
Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te
lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari
Semakin lama orang yang masuk dari pintu belakang itu semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya terlihat juga batang hidungnya. "Mbak Nanik! Ngapain masuk dari pintu belakang? Kayak maling aja!" seru Farid yang tadi sedikit panik. Ia kira mengira ada penyusup yang ingin membobol rumahnya, meski di saat siang hari begini. "Mana ada maling cantik," sahut wanita itu sambil celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Mana ibumu? Tadi saya nggak salah lihat, 'kan? Hasan keluar dari mobil mewah? " tanyanya pelan sambil berbisik. Jiwa kepo bin julidnya itu masih saja bertebaran. Farid yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sebab berita yang dibawa Hasan tadi sangat memukul mentalnya pun berlalu begitu saja tanpa mengidahkan seribu pertanyaan dari Mbak Nanik. "Eh, tunggu, Farid. Saya tanya, ibumu mana?" ulang Mbak Nanik lagi. Namun, Farid hanya diam dan tangannya terus memutar roda lalu masuk ke kamarnya. "Ihh, dasar! Sudah cacat masih saja belagu." Wanita itu pun berja
Pak Lurah menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Bu Wati yang terlihat semakin tua karena masalah yang tiada habisnya. "Baiklah, Nak Farid. Kalau begitu, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, hidup ini masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan untuk memperbaiki semuanya," katanya pelan.Pak Lurah melangkah pergi, diikuti oleh Bu Wati yang menunduk lesu. Setelah menutup pintu, Bu Wati menghela napas panjang, matanya berair menatap lantai. "Ya Allah, sampai kapan ini semua akan selesai?" gumamnya.Farid yang masih duduk di kursi roda memandangi pemandangan di luar jendela. Sebuah kenangan menyelinap masuk ke dalam pikirannya, tentang hari-hari penuh tawa bersama Chika, dan istrinya yang kini mendekam di penjara. Sebuah foto dengan senyum bahagia yang tergantung di dinding seakan mengolok-oloknya."Kalau aku tidak begini ... apa mereka masih akan ada di sini?" bisiknya dengan suara serak.Namun, sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara langkah kaki Bu Wati terde
"Bu ...," suara Farid terdengar lirih. Bu Wati tak sadar bila di mata pria itu terdapat genangan air yang siap membasahi wajahnya yang terlihat tampan, tapi itu dulu, jauh sebelum hidupnya dilanda musibah. "Apa! Mau apa lagi kamu? Kerjaanmu tiap hari nyusahin ibu saja! kalo nggak berak, kencing, berak, kencing, itu-itu aja tiap hari!" omel bu Wati seraya membersihkan tempat tidur Farid yang terkena kotorannya tadi. Pria itu tak jadi berkata, ucapan ibunya sungguh menusuk hati, seperti cakaran kucing pada luka yang belum kering. "Kalau tau nasibmu bakal begini, tak sudi ibu melahirkan kamu!" Degh! Hati Farid semakin mencelos mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya itu. Dulu, sewaktu berjaya, dirinyalah yang selalu disanjung-sanjung dan jadi kebanggaan sang bunda. Namun, kata bangga dan penuh pujian itu, kini tak lagi ia terdengar. Sekarang, setiap hari hanya caci dan maki yang selalu ia dapatkan. "Maaf, Bu," lirihnya pelan, bahkan semut saja tak dapat men
Hasan sedang berdiri di depan pintu, rapi dengan kemeja biru muda yang digosok sempurna. Tas kerjanya tergantung di bahu, dan ia sedang memakai jam tangan ketika Rosa tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Mas, nggak usah ke kantor, dong," rengek Rosa, suaranya lembut namun manja. Hasan tertawa kecil, lalu menolehkan kepala untuk melihat istrinya. "Sayang, aku kan harus kerja. Kalau nggak, nanti semua kacau." Rosa melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan menghadap Hasan. Tangannya menyilang di depan dada, ekspresinya cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. "Kerja dari rumah aja, Mas. Perusahaan ini punya Papah juga. Kalau ada apa-apa, kan bisa telpon-telponan." Hasan menggeleng sambil tersenyum. "Rosa, aku bos, iya. Tapi tetap harus kelihatan di kantor. Kalau nggak, nanti anak buahku bilang aku cuma duduk-duduk dan numpang nama mertuaku." Rosa menatap suaminya dengan mata bulat besar, berusaha mengeluarkan jurus andalan: tatapan penuh permohonan. "Tapi aku
Rosa tertawa kecil lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak energi. "Thanks, Mas. Tapi jangan lupa kasih kecapnya yang banyak, ya. Sama kerupuknya yang kriuk banget."Hasan mengangkat kedua alisnya. "Siap, Bu. Ada tambahan lagi? Es teh manis, mungkin?"Rosa mengangguk. "Iya, es teh manis juga, Mas. Tapi teh nya jangan terlalu manis. Dan kalau bisa, pakai jeruk nipis."Hasan pura-pura menghela napas panjang. "Wah, istriku ini ternyata pelanggan yang perfeksionis. Tapi oke, siap dilaksanakan."Rosa tersenyum lega sambil kembali menyandarkan tubuhnya ke bantal. Hasan pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan bubur ayam yang diminta istrinya. Selama di dapur, ia mencari cara sederhana untuk membuat bubur ayam dengan bahan yang tersedia. Meski tidak ahli, Hasan mencoba sebisa mungkin memenuhi keinginan Rosa.Sementara itu, Rosa kembali merenung di kamar. Ia tersenyum kecil, memikirkan betapa beruntungnya ia memiliki suami seperti Hasan yang begitu pengertian. Meski sederhana, perhatian Hasa
Hasan menghela napas panjang, lalu menarik Rosa kembali ke dalam rumah. "Mungkin kamu masih terpengaruh mimpi buruk tadi, Sayang. Sudahlah, kita masuk. Besok pagi pasti semuanya terasa lebih baik."Meski Rosa mengangguk, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa ganjil yang melingkupinya. Ia melirik ke arah pintu sekali lagi sebelum akhirnya masuk, bertanya-tanya apakah malam ini benar-benar sudah selesai.***Rosa menatap langit-langit kamar setelah Hasan membawanya masuk. Rasa gelisah masih menghantui pikirannya. Mimpi buruk tadi terlalu nyata, seakan-akan ia benar-benar mengalami setiap detiknya. Namun, Hasan berusaha menenangkannya."Rosa, coba tarik napas dalam-dalam," ujar Hasan sambil mengusap lembut punggung istrinya. "Apa pun yang tadi kamu rasakan, itu cuma efek mimpi. Kita di sini aman, semuanya baik-baik saja."Rosa mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Hasan benar. Tapi rasa berat di dadanya masih ada. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, memandangi Hasan yang
Tok... Tok... Tok...Hasan membuka pintu kamar perlahan, napasnya tertahan. Apa pun yang ada di balik pintu ini, ia harus siap. Ternyata, saat pintu terbuka, berdiri seorang wanita yang ia kenal baik—Bi Sumi, asisten rumah tangga mereka. Wajah Bi Sumi pucat, matanya merah dan basah seperti habis menangis. Ia terlihat gelisah, menggenggam erat tas kecil di tangannya."Bi Sumi?" Hasan memecah keheningan. "Ada apa malam-malam begini?"Bi Sumi mengangguk pelan sambil menunduk. "Maaf, Pak Hasan, saya mengganggu malam-malam begini. Tapi saya baru saja mendapat kabar dari kampung... Ibu saya meninggal dunia." Suaranya bergetar, hampir terisak. "Saya harus pulang malam ini juga. Maaf kalau ini mendadak."Hasan terkejut. Wajahnya berubah dari tegang menjadi penuh simpati. "Astaghfirullah... Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Bi, saya turut berduka cita. Tentu, Bi, silakan pulang. Saya akan bantu pesan kendaraan."Mendengar suara Hasan yang penuh empati, Rosa yang penasaran dengan apa yang ter