"Hasan! Mana istri kamu? Jam segini kok belum bangun!" teriak Bu Wati.Wanita paruh baya itu baru saja bangun dari tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul 7.30 pagi, tetapi kedua matanya tidak menangkap sosok perempuan yang hampir satu minggu ini sudah menjadi menantunya. Bu Wati berjalan ke dapur sambil mengikat rambut pendeknya, tetapi saat sampai di dapur kedua matanya terbelalak melihat Rosa, sang menantu, tengah berdiri di depan kompor sambil mengaduk sayur yang ada di dalam kuali."Kenapa Bu, bangun tidur kok teriak-teriak?" tanya Rosa seraya berbalik badan dan tersenyum menatap Ibu Mertuanya.Sontak Bu Wati jadi salah tingkah dibuatnya, ia kira menantunya itu masih molor tapi ternyata sudah berkutak di dapur. "Nggak," jawabnya acuh lalu masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah dapur.Rumah ini terbilang cukup dan sangat sederhana bagi Bu Wati dan keluarganya, tetapi tidak untuk Rosa, wanita itu sangat sengsara tinggal di rumah kecil bersama ipar dan para keponakan serta mertua ya
"Udah, Bu. Jangan terlalu dikerasin, kasihan Rosa. Lagian, dia juga baru menjadi seorang istri, jadi wajar dong belum ada pengalaman dalam hal apapun, termasuk menjadi seperti yang Ibu inginkan," ucap Tiara begitu lancar. Wanita yang usianya tak jauh beda dengan Rosa itu berdiri di depan Bu Wati, menampilkan senyuman padahal iler masih berjajar di wajahnya. Tiara baru saja bangun. Semenjak ada Rosa di rumah itu, Tiara semakin merasa leluasa, sebab tak harus melakukan pekerjaan ini itu karena ada adik ipar yang akan melakukan semuanya. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya. Hanya Rosa yang berkutak sendirian di dapur tanpa ada yang membantu. "Udah ya, Bu. Jangan cemberut lagi," bisiknya seraya berlalu dari hadapan Ibu Mertuanya. Tiara pergi ke kamar mandi berniat untuk mencuci wajah, atau sekedar berkumur sebab dirinya baru bangun tidur, tetapi saat melihat ayam goreng yang ada di atas meja, perutnya seketika menjadi lapar. Warna yang keemasan dan bentuknya yang krispi, membuat
"Eh, jawab!" seru Tiara, ia penasaran dengan jawaban adik iparnya itu. Pasalnya, Rosa hanya diam saja sejak ditanya tentang statusnya."Apa jangan-jangan kamu itu seorang janda bukan perawan tua? tapi ya sudahlah, untuk apa diselali, apapun statusmu dulu itu tidak ngaruh bagiku, toh sekarang kamu sudah menikah. Mau perawan tua atau seorang janda, yang pasti kamu sudah melepas masa lajangmu. Iya, 'kan, Rosa?" "Iya, Kak." "Nah, gitu ... kalau diajak ngomong ya nyahut, jangan diem aja." "Pertanyaan, kamu tidak berbobot untuk apa ku sahuti?" ujar Rosa, lalu pergi dari sana, tak lupa ia membawa bekal yang sudah dipersiapkan untuk suaminya. "Astaga, anak itu!" gerutu Tiara seraya menunjuk Rosa yang hampir menghilang dari pandangannya. "Enak banget jawabnya, pertanyaan kamu tidak berbobot untuk apa kusahuti, eh kamu pikir kamu siapa! Berani-beraninya bicara kasar padaku! Aku ini kakak iparmu, bisa-bisanya kamu berlaku sok begitu!" Tiara terus meracau merasa tak terima bila ucapannya dij
"Biarin struk, toh niatku beli motor bukan untuk pamer, meski ada sih sedikit rasa jengkel." "Yaudah, Neng. Orang macam Bu Wati memang pantas dipojokkan dengan pembuktian. Kalo cuma balas ucapannya nggak bakalan mempan, orang itu pikirannya sempit, mana mau kalah sama orang," ucap si abang tukang ojek. "Emangnya kamu kenal banget sama mertuaku, Bang?" "Ya ... nggak kenal banget sih, Neng. Cuma, dari wajahnya saja sudah ketara kalau dia itu orangnya nyebelin. Lagian, bukan rahasia lagi siapa Bu Wati. Semua orang juga tahu, dialah si pembuat onar di kampung ini." "Oooo," sahut Rosa. Setelah berkendara beberapa menit tak jauh dari dealer yang tadi, akhirnya Rosa benar-benar sampai pada tempat yang sangat diinginkan olehnya. "Nah, ini dealer motor baru, Neng," kata si abang tukang ojek. Rosa pun membuka helm yang masih menyangkut di kepalanya lalu turun dari motor supra x milik si tokeng ojek itu. Dia pun masuk ke dealer sedangkan lelaki tadi hanya menunggu di depan. Mata Rosa k
"Maksud kamu?" Hasan tak mengerti, mengapa istrinya bicara seperti itu. Lelaki itu tak pernah ambil pusing, dan memikirkan setiap kata kasar yang keluar dari mulut ibundanya. "Sekarang gini deh, Mas. Ibu bilang,--" "Udahlah, Sa. Nggak usah diperpanjang. Terserah ibu mau bilang apa. Dari aku kecil, hingga aku setua ini, ibu tidak pernah berkata lembut padaku. Toh, sudah diizinkan tinggal bersamanya saja aku sudah bersyukur, Sa." "Kenapa, Mas? Kenapa kamu diam saja saat ibumu bicara kasar?" "Ya, aku harus bagaimana? Apa aku harus marah balik, dan mengumpatnya? atau aku harus membanting semua perabotan agar ibu berhenti mengomel? Percuma, Sa ...." Rosa pun terdiam, sejenak ia berpikir apa suaminya ini anak pungut, sehingga diperlakukan begitu beda oleh ibunya sendiri. "Mas," panggil Rosa, sekilas ia melihat manik mata lelaki yang ada di hadapannya ini begitu banyak menyimpan kesedihan. Dengan berat hati Hasan mengangkat wajahnya, dan balik memandang wanita yang sudah resmi menjad
Dan benar saja, firasatnya itu sangat tepat. Andai Bu Wati tahu siapa Rosa sebenarnya, mungkin sikapnya akan lembut, dan meratukan Rosa, seperti dia meratukan Tiara. "Tadi ke sini naik apa?" tanya Hasan, memecahkan keheningan, dan kecanggungan yang sempat tercipta. Sikap lancangnya tadi, membuat keduanya sama-sama menahan malu, tetapi saling menikmati. Andai saat ini mereka berada di dalam kamar, mungkin aksi malam pertama yang sempat tertunda akan terlaksana. "Motor," jawab Rosa pelan. "Motor?" Hasan mengulangi ucapan istrinya. "Iya motor, Mas." "Motor bapak?" "Bukan.""Lalu?" "Ya, motorku, Mas. Mau make motor bapak, tapi nggak dikasih izin sama ibu, jadi ya aku beli motor sendirilah. Dari pada minjem-minjem nggak dipinjemin." "Apa!" Hasan terbelalak mendengar penuturan istrinya. "Kamu anggap beli motor kayak beli kopi di warung, Sa?" ucapnya seakan tak percaya atas pengakuan istrinya. "Kenapa? Kamu nggak percaya, Mas?" "Ya nggak percaya, Sa. Aku kasih uang ke kamu aja c
Di sepanjang jalan, Rosa bersenandung ria membayangkan wajah tegang ibu mertuanya. Terutama, iparnya yang terlalu banyak bicara itu. Rosa sudah tak sabar, dengan kecepatan penuh ia menarik pedal gas melalui jalanan Kota Palembang. Tak sampai 20 menit, akhirnya dirinya sampai di kediaman sang mertua.Di depan rumah, terlihat ayah mertua tengah duduk sendirian. Tidak ada teman apalagi kopi yang menemaninya. Rosa membuka helm, lalu menghampiri lelaki tua yang tak banyak bicara itu. "Assalamualaikum, Pak," sapa Rosa sopan. Di antara banyaknya penghuni rumah ini, hanya ayah mertua, dan sang suami yang tak banyak bicara. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan Bu Wati, serta dua anak dan menantunya yang gemar sekali bicara. "Waalaikumsalam. Dari mana, Nak?" tanya lelaki tua itu. Rosa pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ayah mertuanya. "Dari antar nasi untuk Mas Hasan, Pak," jawab Rosa seadanya. "Oooo." Setelah pembicaraan itu, mereka sama-sama ta
"Ma-maksud kamu?" Bu Wati menjadi gugup mendengar penawaran dari menantu yang di anggapnya perawan tua itu. "Ibu butuh u*ng, 'kan untuk acara pengajian? Saya tanya, Ibu butuh berapa?" jelas Rosa.Tiara yang masih berdiri di sana, merasa dirinya akan tersaingi oleh Rosa, bila sampai Rosa memberikan u*ng pada sang Ibu. Tidak, bagi Tiara, tidak ada yang boleh memberikan Ibu ua*g, selain dirinya. Karena hanya dirinya yang patut untuk di sanjung. "Tidak, perlu. Aku akan menutupi kekurangannya," sanggah Tiara cepat, "Ibu pesan saja catering sebanyak mungkin, nanti sisanya biar aku yang bayar," ucapnya lantang, namun tak seemosi tadi. Bu Wati yang sudah sakit hati akan sikap Tiara tadi, kini berpihak pada Rosa yang sudah menawarkan bantuan tanpa perlu di minta. Untuk sementara, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat, sebab Rosa memberi keuntungan baginya. "Kamu tadi bilang, lebih baik ke salon dari pada pesen catering. Ya sudah, pergi saja ke salon. Ibu tidak butuh u*ng dari kamu
"APA!" belum hilang rasa yang membuncah di hati, kini rasa iri telah timbul menyelimuti. "Tidak, mungkin, Pak! Apa tadi dia keluar untuk membeli motor? tapi itu tidak mungkin, beli motor tidak semudah membeli cabe di warung. Mana mungkin secepat itu prosesnya, dan motor langsung bisa di bawa pulang. Bapak pasti mengada-ada, 'kan? Ini pasti motor tetangga," omel Tiara. Pak Bowo, lelaki tua yang hampir berusia 66 tahun itu, masuk ke dalam rumah tanpa menanggapi ucapan menantunya. Ia biarkan Tiara gelabakan karena rasa penasarannya. Bergegas wanita berusia 35 tahun itu mengambil ponselnya, dan membuka google untuk melihat ha*ga dari kuda besi yang ada di hadapannya ini. "Berapa harga motor Honda ADV 160 CBS 2024," tulisnya di kolom pencarian. Sontak kedua mata Tiara terbelalak melihat tampilan harga yang tertera di layar ponselnya. "Ha*ga Honda ADV 160 adalah antara R* 36,2 ju*a hingga R* 39,4 j*ta." "Wow! Ini sih gilak!" umpatnya pada ponsel. Mendadak rasa perih di pipi akibat t
"Ma-maksud kamu?" Bu Wati menjadi gugup mendengar penawaran dari menantu yang di anggapnya perawan tua itu. "Ibu butuh u*ng, 'kan untuk acara pengajian? Saya tanya, Ibu butuh berapa?" jelas Rosa.Tiara yang masih berdiri di sana, merasa dirinya akan tersaingi oleh Rosa, bila sampai Rosa memberikan u*ng pada sang Ibu. Tidak, bagi Tiara, tidak ada yang boleh memberikan Ibu ua*g, selain dirinya. Karena hanya dirinya yang patut untuk di sanjung. "Tidak, perlu. Aku akan menutupi kekurangannya," sanggah Tiara cepat, "Ibu pesan saja catering sebanyak mungkin, nanti sisanya biar aku yang bayar," ucapnya lantang, namun tak seemosi tadi. Bu Wati yang sudah sakit hati akan sikap Tiara tadi, kini berpihak pada Rosa yang sudah menawarkan bantuan tanpa perlu di minta. Untuk sementara, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat, sebab Rosa memberi keuntungan baginya. "Kamu tadi bilang, lebih baik ke salon dari pada pesen catering. Ya sudah, pergi saja ke salon. Ibu tidak butuh u*ng dari kamu
Di sepanjang jalan, Rosa bersenandung ria membayangkan wajah tegang ibu mertuanya. Terutama, iparnya yang terlalu banyak bicara itu. Rosa sudah tak sabar, dengan kecepatan penuh ia menarik pedal gas melalui jalanan Kota Palembang. Tak sampai 20 menit, akhirnya dirinya sampai di kediaman sang mertua.Di depan rumah, terlihat ayah mertua tengah duduk sendirian. Tidak ada teman apalagi kopi yang menemaninya. Rosa membuka helm, lalu menghampiri lelaki tua yang tak banyak bicara itu. "Assalamualaikum, Pak," sapa Rosa sopan. Di antara banyaknya penghuni rumah ini, hanya ayah mertua, dan sang suami yang tak banyak bicara. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan Bu Wati, serta dua anak dan menantunya yang gemar sekali bicara. "Waalaikumsalam. Dari mana, Nak?" tanya lelaki tua itu. Rosa pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ayah mertuanya. "Dari antar nasi untuk Mas Hasan, Pak," jawab Rosa seadanya. "Oooo." Setelah pembicaraan itu, mereka sama-sama ta
Dan benar saja, firasatnya itu sangat tepat. Andai Bu Wati tahu siapa Rosa sebenarnya, mungkin sikapnya akan lembut, dan meratukan Rosa, seperti dia meratukan Tiara. "Tadi ke sini naik apa?" tanya Hasan, memecahkan keheningan, dan kecanggungan yang sempat tercipta. Sikap lancangnya tadi, membuat keduanya sama-sama menahan malu, tetapi saling menikmati. Andai saat ini mereka berada di dalam kamar, mungkin aksi malam pertama yang sempat tertunda akan terlaksana. "Motor," jawab Rosa pelan. "Motor?" Hasan mengulangi ucapan istrinya. "Iya motor, Mas." "Motor bapak?" "Bukan.""Lalu?" "Ya, motorku, Mas. Mau make motor bapak, tapi nggak dikasih izin sama ibu, jadi ya aku beli motor sendirilah. Dari pada minjem-minjem nggak dipinjemin." "Apa!" Hasan terbelalak mendengar penuturan istrinya. "Kamu anggap beli motor kayak beli kopi di warung, Sa?" ucapnya seakan tak percaya atas pengakuan istrinya. "Kenapa? Kamu nggak percaya, Mas?" "Ya nggak percaya, Sa. Aku kasih uang ke kamu aja c
"Maksud kamu?" Hasan tak mengerti, mengapa istrinya bicara seperti itu. Lelaki itu tak pernah ambil pusing, dan memikirkan setiap kata kasar yang keluar dari mulut ibundanya. "Sekarang gini deh, Mas. Ibu bilang,--" "Udahlah, Sa. Nggak usah diperpanjang. Terserah ibu mau bilang apa. Dari aku kecil, hingga aku setua ini, ibu tidak pernah berkata lembut padaku. Toh, sudah diizinkan tinggal bersamanya saja aku sudah bersyukur, Sa." "Kenapa, Mas? Kenapa kamu diam saja saat ibumu bicara kasar?" "Ya, aku harus bagaimana? Apa aku harus marah balik, dan mengumpatnya? atau aku harus membanting semua perabotan agar ibu berhenti mengomel? Percuma, Sa ...." Rosa pun terdiam, sejenak ia berpikir apa suaminya ini anak pungut, sehingga diperlakukan begitu beda oleh ibunya sendiri. "Mas," panggil Rosa, sekilas ia melihat manik mata lelaki yang ada di hadapannya ini begitu banyak menyimpan kesedihan. Dengan berat hati Hasan mengangkat wajahnya, dan balik memandang wanita yang sudah resmi menjad
"Biarin struk, toh niatku beli motor bukan untuk pamer, meski ada sih sedikit rasa jengkel." "Yaudah, Neng. Orang macam Bu Wati memang pantas dipojokkan dengan pembuktian. Kalo cuma balas ucapannya nggak bakalan mempan, orang itu pikirannya sempit, mana mau kalah sama orang," ucap si abang tukang ojek. "Emangnya kamu kenal banget sama mertuaku, Bang?" "Ya ... nggak kenal banget sih, Neng. Cuma, dari wajahnya saja sudah ketara kalau dia itu orangnya nyebelin. Lagian, bukan rahasia lagi siapa Bu Wati. Semua orang juga tahu, dialah si pembuat onar di kampung ini." "Oooo," sahut Rosa. Setelah berkendara beberapa menit tak jauh dari dealer yang tadi, akhirnya Rosa benar-benar sampai pada tempat yang sangat diinginkan olehnya. "Nah, ini dealer motor baru, Neng," kata si abang tukang ojek. Rosa pun membuka helm yang masih menyangkut di kepalanya lalu turun dari motor supra x milik si tokeng ojek itu. Dia pun masuk ke dealer sedangkan lelaki tadi hanya menunggu di depan. Mata Rosa k
"Eh, jawab!" seru Tiara, ia penasaran dengan jawaban adik iparnya itu. Pasalnya, Rosa hanya diam saja sejak ditanya tentang statusnya."Apa jangan-jangan kamu itu seorang janda bukan perawan tua? tapi ya sudahlah, untuk apa diselali, apapun statusmu dulu itu tidak ngaruh bagiku, toh sekarang kamu sudah menikah. Mau perawan tua atau seorang janda, yang pasti kamu sudah melepas masa lajangmu. Iya, 'kan, Rosa?" "Iya, Kak." "Nah, gitu ... kalau diajak ngomong ya nyahut, jangan diem aja." "Pertanyaan, kamu tidak berbobot untuk apa ku sahuti?" ujar Rosa, lalu pergi dari sana, tak lupa ia membawa bekal yang sudah dipersiapkan untuk suaminya. "Astaga, anak itu!" gerutu Tiara seraya menunjuk Rosa yang hampir menghilang dari pandangannya. "Enak banget jawabnya, pertanyaan kamu tidak berbobot untuk apa kusahuti, eh kamu pikir kamu siapa! Berani-beraninya bicara kasar padaku! Aku ini kakak iparmu, bisa-bisanya kamu berlaku sok begitu!" Tiara terus meracau merasa tak terima bila ucapannya dij
"Udah, Bu. Jangan terlalu dikerasin, kasihan Rosa. Lagian, dia juga baru menjadi seorang istri, jadi wajar dong belum ada pengalaman dalam hal apapun, termasuk menjadi seperti yang Ibu inginkan," ucap Tiara begitu lancar. Wanita yang usianya tak jauh beda dengan Rosa itu berdiri di depan Bu Wati, menampilkan senyuman padahal iler masih berjajar di wajahnya. Tiara baru saja bangun. Semenjak ada Rosa di rumah itu, Tiara semakin merasa leluasa, sebab tak harus melakukan pekerjaan ini itu karena ada adik ipar yang akan melakukan semuanya. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya. Hanya Rosa yang berkutak sendirian di dapur tanpa ada yang membantu. "Udah ya, Bu. Jangan cemberut lagi," bisiknya seraya berlalu dari hadapan Ibu Mertuanya. Tiara pergi ke kamar mandi berniat untuk mencuci wajah, atau sekedar berkumur sebab dirinya baru bangun tidur, tetapi saat melihat ayam goreng yang ada di atas meja, perutnya seketika menjadi lapar. Warna yang keemasan dan bentuknya yang krispi, membuat
"Hasan! Mana istri kamu? Jam segini kok belum bangun!" teriak Bu Wati.Wanita paruh baya itu baru saja bangun dari tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul 7.30 pagi, tetapi kedua matanya tidak menangkap sosok perempuan yang hampir satu minggu ini sudah menjadi menantunya. Bu Wati berjalan ke dapur sambil mengikat rambut pendeknya, tetapi saat sampai di dapur kedua matanya terbelalak melihat Rosa, sang menantu, tengah berdiri di depan kompor sambil mengaduk sayur yang ada di dalam kuali."Kenapa Bu, bangun tidur kok teriak-teriak?" tanya Rosa seraya berbalik badan dan tersenyum menatap Ibu Mertuanya.Sontak Bu Wati jadi salah tingkah dibuatnya, ia kira menantunya itu masih molor tapi ternyata sudah berkutak di dapur. "Nggak," jawabnya acuh lalu masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah dapur.Rumah ini terbilang cukup dan sangat sederhana bagi Bu Wati dan keluarganya, tetapi tidak untuk Rosa, wanita itu sangat sengsara tinggal di rumah kecil bersama ipar dan para keponakan serta mertua ya