"San?" panggil Bu Wati lagi. Hasan langsung berjalan menghampiri Ibunya yang sedang asyik menguliti kentang. "Kopi saja, Bu," jawab Hasan akhirnya. "Oke," sahut Bu Wati enteng, ia pun langsung berdiri bersiap untuk membuatkan kopi untuk Hasan, putra bungsunya. Sungguh luar biasa, perubahan Bu Wati begitu cepat. Tidak seperti kemarin yang bangun tidur sibuk meminta kopi susu, hari ini dialah yang akan membuatkan kopi untuk putranya. "Kamu Ros? Mau minum apa?" tanya Bu Wati pada Rosa yang kini tengah mencuci ikan-ikan itu."Tidak, Bu. Saya tidak biasa minum pagi," jawab Rosa. "Eumm, ya sudah." Bu Wati manggut-manggut memberi tanda bahwa dirinya telah mengerti. Hasan segera ke kamar mandi, tetapi sebelum itu dirinya melirik Rosa, memberi isyarat melalui mata, 'ada apa dengan Ibu?' Rosa yang mengerti akan kebingungan suaminya, hanya tersenyum membalas isyarat itu. *** Di luar, jauh dari kediaman Bu Wati, Bu
"Beliau Kes bayar dimuka," tambah wanita itu, "39 juta, tanpa kredit," ucapnya lagi.Bu Ambar semakin syok di buatnya, badannya linglung seakan tak mampu menopang tubuh. "Bu ... Ibu kenapa?" tanya pegawai sorum itu, dengan cepat ia menangkap Bu Ambar yang terlihat sempoyongan. "Aqua ... saya butuh aqua," lirihnya bahkan nyaris tak terdengar. Para pegawai sorum itu mendadak heboh, sebab Bu Ambar yang tiba-tiba terduduk lemas di lantai. Ada yang mengambil minum, ada juga yang mendekati Bu Ambar hanya untuk melihat keadaannya. "Minum dulu, Bu," ucap wanita itu. Dengan tangan bergetar Bu Ambar meraih gelas itu, dan meneguk isinya hingga habis tak bersisa. Glegek ...Glegek ...Glegek ... Ada juga yang mengoleskan minyak kayu putih ke bagian kening, dan menyuruh Bu Ambar untuk menghirup aromanya. "Ibu belum sarapan?" tanya pegawai sorum itu. Dia tak tahu saja bila penyebab pelanggannya tiba-tiba linglung seperti itu karena mendengar nama Rosa, menantu Bu Wati yang tak ia sukai. Mer
Tiara tercengang melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Di satu sisi ia sangat ingin menghampiri, dan menghajar perempuan yang sedang bersenda gurau bersama suaminya, tetapi di sisi lain, ada hal yang lebih mengejutkan lagi di banding perselingkuhan suaminya. "Bu," sapa Adinda perempuan yang tadi menelfon Rosa. Suasana yang tadinya riuh, mendadak hening, bahkan sepasang kekasih yang ada di pojok ruangan itu juga ikut terdiam, terutama Farid yang menyadari keberadaan Rosa. Namun, di lihatnya Rosa tengah fokus berbincang dengan Bu Ambar, dan beberapa karyawan Cafe ini. Farid rasa Rosa tak akan menyadari keberadaannya. Ia pun memperhatikan Rosa dari kejahuan, ada rasa penasaran juga, sebab sejak tadi Bu Ambar sibuk meminta untuk bertemu dengan si pemilik cafe, lalu setelah kedatangan Rosa mendadak semua menjadi diam, termasuk Bu Ambar, 'apakah Rosa Pemiliki Cafe ini?' monolog Farid dalam hati. "Heh! Kamu lagi, kamu lagi!" cecar Bu Ambar ketika Rosa menghampirinya. "Jadi maksudm
"Apa maksudmu?" tanya Farid penasaran.Belum sempat Rosa menjawab, perempuan yang duduk di sebelah iparnya itu langsung membuka suara, ''siapa dia, Bang?" tanya wanita yang entah siapa namanya. "'Em, dia ...."Byurrrrrrrr! Tiara yang masih mengenakan baju tidur serta wajah yang kusut sebab belum sempat cuci muka, datang membawa amarah yang membuncah di dada. "Kamu yang siapa!" bentak Tiara, wajahnya memerah menahan gejolak amarah. "Aww! Kurang ajar!" Wanita yang duduk bersama Farid itu tak terima di perlakukan seperti ini oleh wanita yang entah dari mana datangnya. "Tiara!" sontak kedua mata Farid terbelalak melihat istrinya juga ada disini. "Bagus! Bukannya kerja kamu ya, Mas malah enak-enakan sama perempuan jal*ng! Kamu lupa, ada anak istri yang menunggu kepulangan kamu! Eh, ini malah asyik berduaan!" cecar Tiara, "kamu juga! Kegatelan deketin suami orang! Apa tidak laku sampai suami orang kamu embat!" Tiara mendekat lalu menjambak rambut wanita itu. Sedang wanita itu semakin
Dengan perasaan cemas Rosa menerima panggilan dari suaminya, cemas sebab ia takut bila suaminya marah perihal kesepakatan yang mereka lakukan sebelum pernikahan. Namun, itu hanya perasaan nya saja, nyatanya, "halo, assalamualaikum, Mas," ucap Rosa kala panggilan telah tersambung. "Waalaikumsalam. Kamu di mana Ros?" "Em, aku ...." "Apa yang kamu katakan pada Papah?"Degh! Jantung Rosa semakin berdegup kencang. Apakah rasa khawatirnya ini akan jadi kenyataan? mengapa nada bicara suaminya tak seperti biasanya? ada apa dengannya? Rosa terus bertanya-tanya, "ada apa, Mas?" tanya Rosa yang tak ingin terus menduga-duga. "Jabatan aku naik, Ros! Pasti kamu pelakunya!" "Em,--" "Kenapa? Apa aku serendah itu di matamu?"Degh! Ada apa ini? Mengapa suaminya marah? Wanita itu sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang sudah resmi menjadi imamnya 8 hari yang lalu. "Mas," lirih Rosa. Hanya itu yang mampu di katakannya sekarang. "Jangan karena aku seorang Security, dan kamu anak da
"Papah di mana?" tanya Rosa. Pak Erik kerap kali berpergian menjelajah dunia demi memperluas bisnisnya. "Di Kantor Nuansa.""Ohhh, jadi Papah yang ngurus langsung kenaikan jabatan Mas Hasan?" "Iya." Pasalnya, lelaki yang telah merangkap jadi ayah sekaligus Ibu untuk Rosa itu tidak ada di Kota Palembang. Setelah Rosa menikah, Pak Erik kembali ke Jakarta, ke kota asal mereka. Sedangkan Kota Palembang, hanya cabang bisnis. Namun, meskipun cabang, perusahaan mereka di anggap yang terbesar di Kota Palembang ini. "Ya sudah, Ros kesana sekarang, Pah." Selain menemui sang ayah, Rosa juga ingin menjelaskan pada suaminya jika tidak ada niat terselubung dia memberikan jabatan itu. **"Abang bawa saja mobilnya, nanti kalo pulang jemput aku. Aku mau ikut Abang pulang kerumah, dan menemui keluarga Abang, termasuk istri Abang yang bar-bar itu," kata Siska setelah mobil merah itu sampai di tempat tujuan. "Sayang, kamu serius?" "Aku serius, Bang! Aku ingin hubungan kita ini segera di halalkan.
"Ma-ksud, Bapak?" Farid semakin tergugup kala melihat banyak pasang mata yang seakan menertawakannya. "Tidak usah pura-pura gagu, mana mulutmu yang lancar bicara bila menghina orang!" "Jadi, Bapak beneran Pak Erik? Erik Wanda Suroso, pemilik perusahaan ini? Itu artinya ... Rosa ...," Farid sungguh tak percaya bila orang yang tadi di rendahkannya adalah pemilik perusahaan di tempatnya bekerja. Si pemilik yang tak pernah muncul, dan menampakan wujud, hanya sebatas nama yang selama ini ia tahu. "Iya! Dan ternyata kamu hama yang ada di dalam perusahaan saya!" kata Pak Erik, ia pun beralih menatap menantunya yang kini tengah berdiri di sebelah putri semata wayangnya. "Hasan, kamu boleh memecatnya, tapi bila tidak tega, kamu bisa menurunkan jabatannya," kata Pak Erik pada menantu yang kini telah resmi menjadi pemimpin di perusahaan Nuansa itu. "Baik, Pah," jawab Hasan patuh. Sontak Farid langsung menggelengkan kepalanya, dan menatap penuh mohon pada adiknya agar tidak memecatnya, apal
"Papah ingin kalian tinggal di perumahan Grandvile, saja. Jaraknya juga tidak jauh dari rumah Bu Wati, jadi sesekali kalian bisa datang menjenguknya. Lagian, di rumah itu sudah ada banyak orang, apa kalian tidak risih?" ungkap Pak Erik yang sudah tak tahan lagi dengan isi kepalanya. Hasan hanya diam saja, keputusan ini ia serahkan pada istrinya. Dari awal dia juga ingin tinggal misah dari orang tua, tetapi mau bagaimana lagi? dia tak punya cukup uang untuk menyewa rumah, atau membeli perumahan elit. "Bagaimana, Mas?" Rosa malah balik bertanya pada Hasan yang sejak aksi ciu*annya kepergok oleh sang ayah hanya diam saja. "Aku nurut, Ros. Mana kamu nyaman, kita pergi." "Tapi ... bagaimana dengan Ibu?" "Ibu ...," pikiran Hasan menerawang jauh, benar kata istrinya, bagaimana dengan ibu? Apa bisa ibunya hidup damai tanpa dirinya, tapi ... selama ini sang ibu sangat membenci kehadirannya, dan baru kemarin sikapnya agak berubah. Apa harus dirinya pergi, dan tinggal jauh dari ibu? "Kal
Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te
lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari
Semakin lama orang yang masuk dari pintu belakang itu semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya terlihat juga batang hidungnya. "Mbak Nanik! Ngapain masuk dari pintu belakang? Kayak maling aja!" seru Farid yang tadi sedikit panik. Ia kira mengira ada penyusup yang ingin membobol rumahnya, meski di saat siang hari begini. "Mana ada maling cantik," sahut wanita itu sambil celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Mana ibumu? Tadi saya nggak salah lihat, 'kan? Hasan keluar dari mobil mewah? " tanyanya pelan sambil berbisik. Jiwa kepo bin julidnya itu masih saja bertebaran. Farid yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sebab berita yang dibawa Hasan tadi sangat memukul mentalnya pun berlalu begitu saja tanpa mengidahkan seribu pertanyaan dari Mbak Nanik. "Eh, tunggu, Farid. Saya tanya, ibumu mana?" ulang Mbak Nanik lagi. Namun, Farid hanya diam dan tangannya terus memutar roda lalu masuk ke kamarnya. "Ihh, dasar! Sudah cacat masih saja belagu." Wanita itu pun berja
Pak Lurah menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Bu Wati yang terlihat semakin tua karena masalah yang tiada habisnya. "Baiklah, Nak Farid. Kalau begitu, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, hidup ini masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan untuk memperbaiki semuanya," katanya pelan.Pak Lurah melangkah pergi, diikuti oleh Bu Wati yang menunduk lesu. Setelah menutup pintu, Bu Wati menghela napas panjang, matanya berair menatap lantai. "Ya Allah, sampai kapan ini semua akan selesai?" gumamnya.Farid yang masih duduk di kursi roda memandangi pemandangan di luar jendela. Sebuah kenangan menyelinap masuk ke dalam pikirannya, tentang hari-hari penuh tawa bersama Chika, dan istrinya yang kini mendekam di penjara. Sebuah foto dengan senyum bahagia yang tergantung di dinding seakan mengolok-oloknya."Kalau aku tidak begini ... apa mereka masih akan ada di sini?" bisiknya dengan suara serak.Namun, sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara langkah kaki Bu Wati terde
"Bu ...," suara Farid terdengar lirih. Bu Wati tak sadar bila di mata pria itu terdapat genangan air yang siap membasahi wajahnya yang terlihat tampan, tapi itu dulu, jauh sebelum hidupnya dilanda musibah. "Apa! Mau apa lagi kamu? Kerjaanmu tiap hari nyusahin ibu saja! kalo nggak berak, kencing, berak, kencing, itu-itu aja tiap hari!" omel bu Wati seraya membersihkan tempat tidur Farid yang terkena kotorannya tadi. Pria itu tak jadi berkata, ucapan ibunya sungguh menusuk hati, seperti cakaran kucing pada luka yang belum kering. "Kalau tau nasibmu bakal begini, tak sudi ibu melahirkan kamu!" Degh! Hati Farid semakin mencelos mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya itu. Dulu, sewaktu berjaya, dirinyalah yang selalu disanjung-sanjung dan jadi kebanggaan sang bunda. Namun, kata bangga dan penuh pujian itu, kini tak lagi ia terdengar. Sekarang, setiap hari hanya caci dan maki yang selalu ia dapatkan. "Maaf, Bu," lirihnya pelan, bahkan semut saja tak dapat men
Hasan sedang berdiri di depan pintu, rapi dengan kemeja biru muda yang digosok sempurna. Tas kerjanya tergantung di bahu, dan ia sedang memakai jam tangan ketika Rosa tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Mas, nggak usah ke kantor, dong," rengek Rosa, suaranya lembut namun manja. Hasan tertawa kecil, lalu menolehkan kepala untuk melihat istrinya. "Sayang, aku kan harus kerja. Kalau nggak, nanti semua kacau." Rosa melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan menghadap Hasan. Tangannya menyilang di depan dada, ekspresinya cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. "Kerja dari rumah aja, Mas. Perusahaan ini punya Papah juga. Kalau ada apa-apa, kan bisa telpon-telponan." Hasan menggeleng sambil tersenyum. "Rosa, aku bos, iya. Tapi tetap harus kelihatan di kantor. Kalau nggak, nanti anak buahku bilang aku cuma duduk-duduk dan numpang nama mertuaku." Rosa menatap suaminya dengan mata bulat besar, berusaha mengeluarkan jurus andalan: tatapan penuh permohonan. "Tapi aku
Rosa tertawa kecil lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak energi. "Thanks, Mas. Tapi jangan lupa kasih kecapnya yang banyak, ya. Sama kerupuknya yang kriuk banget."Hasan mengangkat kedua alisnya. "Siap, Bu. Ada tambahan lagi? Es teh manis, mungkin?"Rosa mengangguk. "Iya, es teh manis juga, Mas. Tapi teh nya jangan terlalu manis. Dan kalau bisa, pakai jeruk nipis."Hasan pura-pura menghela napas panjang. "Wah, istriku ini ternyata pelanggan yang perfeksionis. Tapi oke, siap dilaksanakan."Rosa tersenyum lega sambil kembali menyandarkan tubuhnya ke bantal. Hasan pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan bubur ayam yang diminta istrinya. Selama di dapur, ia mencari cara sederhana untuk membuat bubur ayam dengan bahan yang tersedia. Meski tidak ahli, Hasan mencoba sebisa mungkin memenuhi keinginan Rosa.Sementara itu, Rosa kembali merenung di kamar. Ia tersenyum kecil, memikirkan betapa beruntungnya ia memiliki suami seperti Hasan yang begitu pengertian. Meski sederhana, perhatian Hasa
Hasan menghela napas panjang, lalu menarik Rosa kembali ke dalam rumah. "Mungkin kamu masih terpengaruh mimpi buruk tadi, Sayang. Sudahlah, kita masuk. Besok pagi pasti semuanya terasa lebih baik."Meski Rosa mengangguk, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa ganjil yang melingkupinya. Ia melirik ke arah pintu sekali lagi sebelum akhirnya masuk, bertanya-tanya apakah malam ini benar-benar sudah selesai.***Rosa menatap langit-langit kamar setelah Hasan membawanya masuk. Rasa gelisah masih menghantui pikirannya. Mimpi buruk tadi terlalu nyata, seakan-akan ia benar-benar mengalami setiap detiknya. Namun, Hasan berusaha menenangkannya."Rosa, coba tarik napas dalam-dalam," ujar Hasan sambil mengusap lembut punggung istrinya. "Apa pun yang tadi kamu rasakan, itu cuma efek mimpi. Kita di sini aman, semuanya baik-baik saja."Rosa mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Hasan benar. Tapi rasa berat di dadanya masih ada. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, memandangi Hasan yang
Tok... Tok... Tok...Hasan membuka pintu kamar perlahan, napasnya tertahan. Apa pun yang ada di balik pintu ini, ia harus siap. Ternyata, saat pintu terbuka, berdiri seorang wanita yang ia kenal baik—Bi Sumi, asisten rumah tangga mereka. Wajah Bi Sumi pucat, matanya merah dan basah seperti habis menangis. Ia terlihat gelisah, menggenggam erat tas kecil di tangannya."Bi Sumi?" Hasan memecah keheningan. "Ada apa malam-malam begini?"Bi Sumi mengangguk pelan sambil menunduk. "Maaf, Pak Hasan, saya mengganggu malam-malam begini. Tapi saya baru saja mendapat kabar dari kampung... Ibu saya meninggal dunia." Suaranya bergetar, hampir terisak. "Saya harus pulang malam ini juga. Maaf kalau ini mendadak."Hasan terkejut. Wajahnya berubah dari tegang menjadi penuh simpati. "Astaghfirullah... Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Bi, saya turut berduka cita. Tentu, Bi, silakan pulang. Saya akan bantu pesan kendaraan."Mendengar suara Hasan yang penuh empati, Rosa yang penasaran dengan apa yang ter