Bu Wati, Siska, maupun, Farid. Mereka duduk berjajar di sofa yang telah usang itu. Sofa yang di beli saat Pak Bowo masih jaya, kini usia sofa itu tak lagi muda, sama seperti pemiliknya yang sudah renta. "Kamu yakin mau jadi istri kedua Farid?" tanya Bu Wati langsung pada intinya. "Yakin, Bu. Kami sudah sepakat untuk menikah," jawab Siska cepat. Sedang Farid hanya diam saja, banyak pikiran yang berkecabang di kepalanya. Ia juga tak menyangka bila kedatangan Siska cukup di sambut baik oleh Ibunya. Ia fikir Siska akan di maki seperti yang ada di novel-novel karena sudah menjadi pelakor di dalam rumah tangga putranya, tapi ini ... mereka malah asyik berbincang seperti sudah saling mengenal satu sama lain. "Jadi kamu punya mobil, salon, dan juga rumah sendiri?" seru Bu Wati sedikit terkesan karena pembeberan dari Siska barusan. "Iya, Bu. Kalau Ibu pengen krimbat, atau pun smooting, Ibu datang saja ke salon saya. Untuk Ibu saya kasih gratis deh, nggak perlu bayar." "Ih, kamu serius?"
"Bu,--" "Jangan kamu pikir karena istrimu yang membiayai acara pengajian Ibu besok, kamu jadi seenaknya berulah! Tidak, Hasan! Aku ini Ibumu! Aku yang melahirkanmu! Tidak pantas kau membentakku hanya karena wanita ini!" cecar Bu Wati, tatapannya sinis memandang Hasan, dan juga Rosa yang berdiri di hadapannya. "Astagfirullah, Bu,--" Lagi ... Hasan mau menjelaskan, tetapi dengan cepat Bu Wati menyangkalnya. "Halah! Sudah, tidak usah mengomel! Sana cuci piring ajak istrimu! Ibu capek seharian masak nggak ada yang bantu!" 'Salah Ibu sendiri, udah tau cuma pengajian biasa, gaya banget pake nyuguhin banyak makanan, kayak mau lamaran aja, eh giliran acara lamaranku kemarin, makanannya bisa di hitung!' Rosa menggerutu dalam hati. Ia pun melenggang pergi begitu saja tanpa memperdulikan omelan sang mertua. Rosa melewati Farid, dan juga wanita bertubuh gempal yang tengah duduk di sofa usang itu, tetapi sebelum langkahnya berhasil melewati mereka, calon istri iparnya itu berdiri, dan meneg
Air mata itu keluar begitu saja tanpa permisi. Rasanya sakit, benar-benar sakit. Tiara melirik putri kecilnya yang tengah asyik beramin di atas kasur. Usianya baru dua tahun, bila perceraian terjadi ... alangkah malang nasib anak itu. "Tega kamu khianati aku, Mas! Sebelas tahun aku bersabar hidup miskin bersamamu! Sekarang kamu punya jabatan, jadi seenaknya mempermainkanku! Tunggu, Mas ... tunggu saja! Tidak akan ku biarkan dia memilikimu!" gumam Tiara, ia menghapus jejak air mata dari wajahnya, dan beranjak dari sana. Tidak, bukan untuk melabrak suami, dan calon madunya, tetapi Tiara ingin mengumpulkan sesuatu sebelum dirinya melakukan aksinya.Sedangkan di ruang tamu, "sttttt ... jangan bilang-bilang nanti ada yang dengar!" kata Farid seraya celingukan. Rumah ini begitu sepi, ia pun penasaran kemana sosok istri bawelnya. Mengapa dari tadi tak terlihat batang hidungnya, sedang pertengkaran sudah terjadi, biasanya Tiara maju paling depan. "Ya biarin, Bang. Toh, pada akhirnya kita b
"Bukan begitu, Sayang ...," kata Farid, entah mengapa dadanya brgitu sesak mendengar penuturan dari istrinya. "Lalu?" Tiara menatap lekat manik mata itu. Manik mata yang di kira suci, ternyata mampu menyimpan seribu kedustaan. "Sebelas ... sebelas tahun kita sudah bersama, Dek." "Hanya itu yang kamu ingat, Mas?" tanya Tiara. Farid tak mampu berkata, ia masih membaca situasi, sebenarnya kemana arah pembicaraan ini."Sebelas tahun kita bersama dalam ikrar suci pernikahan, lalu masa sebelum menikah? Bukankah kita lama berpacaran? Jadi berapa tahun kita sudah bersama, Mas?" "Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan, Dek. Langsung saja, jangan berbelit-belit begini!" kata Farid. Tiara pun tersenyum, dan semakin dalam menatap manik mata itu, "aku hanya bertanya, Mas. Mengapa kamu jadi marah begini?" kata Tiara yang tak mau kalah. "Sudahlah, aku lelah!" Farid mengakhiri obrolan ini, ia menarik selimut lalu memejamkan matanya, tanpa memperdulikan wanita yang ada di sebelahnya. "Kamu lel
Lalu disini, siapa yang salah? Farid kah? atau Tiara? Farid yang selingkuh karena bosan dengan istrinya, dan Tiara yang murka karena di selingkuhi suaminya. Keduanya sama-sama salah, semua bisa terjadi karena renggannya komunikasi. "Aku tidak pernah menyesal telah memotong barangmu, Mas! Yang membuatku menyesal, mengapa harus aku melawan orang tuaku hanya untuk menikah denganmu, bila akhirnya kita harus seperti ini!" omel Tiara di sepanjang jalan. Kakinya terus melangkah tak tentu arah. Entah kemana tujuannya sekarang, yang pasti dia ingin segera menjauh dari kampung ini, kampung yang sudah sebelas tahun menjadi tempatnya bernaung. "Mama," panggil Chika, gadis kecil itu baru tersadar dari tidur panjangnya. "Kenapa sayang?" sambil menggendong anaknya, Tiara terus berjalan dengan langkah cepat menelusuri gelapnya malam. "Chika kenapa di gendong, Mamah? Kita mau kemana?" tanya bocah dua tahun itu. "Kita mau ...," lama Tiara menggantung ucapannya, sebab ia pun tak tahu harus kemana,
Pak Bowo yang sejak tadi diam di dalam kamar, kini keluar karena mendengar pertengkaran anak, dan menantunya tak kunjung usai. Tak ada yang ingin di bela, Pak Bowo hanya tidak enak bila suara mereka terdengar hingga ke rumah tetangga sebelah. Apa kata mereka nanti? tengah malam begini masih saja bertengkar. "Apa yang kalian peributkan! Kalau Rosa tidak mau meminjamkan motornya, sudah! Jangan di paksa. Pakai motor yang ada, usaha dulu, bagaimana caranya hingga motor itu hidup!" kata Pak Bowo sambil membetulkan sarung yang ia kenakan. "Kamu ini, Pak! Sudah tahu anak sekarat masih saja membela Rosa! Bagaimana kalau Farid mati?" sahut Bu Wati. "Mati ya sudah, Buk. Mau di apain? Berarti memang sudah ajalnya, mana bisa kita hentikan," jawab Pak Bowo, lalu melenggang keluar menuju motor yang sejak tadi di engkol Hasan tetapi tak kunjung hidup. Bu Wati tercengang mendengar penuturan suaminya. Lelaki yang sudah berpuluh tahun menjadi pendamping hidupnya itu tak ubah sedikit pun tata, dan c
"Hasan benar, Bu. Jika kamu terus protes, anak kebanggaanmu ini bisa-bisa jadi mati sungguhan," sahut Pak Bowo sambil berjalan mendekati anak, dan istrinya yang tengah berkumpul di dekat mobil pick up itu."Bapak ini! Lihat, bagaimana mungkin Farid tidur di tempat kotor begini!" "Ya nggak masalah, Buk. Mau pake apa lagi? Motor nggak ada yang mau nyala, alhamdulillah Mas Tohir pulang. Sudahlah, yang penting Farid bisa sampai rumah sakit!" Dengan wajah masam nan pasrah akhirnya Bu Wati merelakan putra kebanggaannya tidur di tempat bekas sapi. Betul kata suaminya, tidak ada pilihan lain. Dari pada menunggu motor yang entah kapan menyala, lebih baik pakai yang ada dulu. Meskipun ... itu bekas sapi, dan banyak kotoran sapi. "Siapa yang akan menemaninya di rumah sakit?" tanya Pak Tohir sebelum berangkat. "Ya kamu, Hir. Siapa lagi?" "Saya? Yang benar saja? Saya baru pulang, lagian saya cuma tetangga, yang wajib itu kalian! Dasar keluarga aneh!" gerutunya lalu masuk ke dalam mobil pick
🌻KEJADIAN MALAM PURNAMA🌻 Brakkkkkk! Suara pintu di dobrak cukup mengagetkan Pak Bowo, dan istri serta ketiga putranya yang tengah bersantai di ruang tamu sambil menyaksikan acara TV. Kedatangan tamu tak di undang itu sangat mengganggu ketenangan beliau. Pak Bowo, Bu Wati, Farid, Rohim, maupun Hasan, secara bersamaan mengalihkan pandangannya ke daun pintu yang sudah tak berbentuk akibat di buka paksa, dan menanti siapa yang datang dengan cara tak sopan malam-malam begini. "KELUAR KALIAN!" Pekik lelaki itu, nafasnya memburu seperti kerasukan set*n. "Ada apa ini, Pak?" tanya Bu Wati, wajahnya pias karna cemas. Belum sempat Pak Bowo beranjak dari tempat duduknya, si pembuat onar sudah masuk dengan membawa gol*k, dan mengacungkannya kedepan seolah ingin menebas orang. "Astagfirullah," cicit Bu Wati. "Pak Koja, ada apa ini?" tanya Pak Bowo pada lelaki yang mendobrak pintu rumahnya tadi. Koja, lelaki dengan wajah sangar, berbadan kekar, datang membawa gol*k. Siapa yang tak
Farid dan Mia menikmati keheningan sore itu di taman rumah sakit. Angin sepoi-sepoi meniup lembut dedaunan, menciptakan irama alam yang menenangkan. Di sekeliling mereka, pasien lain juga menikmati waktu di luar, ada yang berjalan perlahan dibantu tongkat, ada pula yang duduk dengan kerabat mereka, berbagi cerita. Tapi bagi Farid, dunia seakan menyempit. Yang ada hanya dirinya dan Mia. Setiap kata yang Mia ucapkan tadi terus terngiang di kepala Farid. "Aku masih mencintaimu." Ia merasa dadanya penuh, seolah dihimpit antara kebahagiaan dan keraguan. Bagaimana mungkin Mia, yang dulu meninggalkannya tanpa jejak, kini kembali menawarkan cinta? Namun, ada sesuatu dalam cara Mia berbicara—kejujuran, penyesalan, dan ketulusan—yang membuatnya sulit untuk mengabaikan perasaannya. “Aku senang kamu tidak langsung menolak,” Mia memecah keheningan. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Aku tahu ini semua pasti berat untukmu, Farid. Tapi aku di sini, siap menunggu sampai kamu siap.” Farid me
Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te
lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari
Semakin lama orang yang masuk dari pintu belakang itu semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya terlihat juga batang hidungnya. "Mbak Nanik! Ngapain masuk dari pintu belakang? Kayak maling aja!" seru Farid yang tadi sedikit panik. Ia kira mengira ada penyusup yang ingin membobol rumahnya, meski di saat siang hari begini. "Mana ada maling cantik," sahut wanita itu sambil celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Mana ibumu? Tadi saya nggak salah lihat, 'kan? Hasan keluar dari mobil mewah? " tanyanya pelan sambil berbisik. Jiwa kepo bin julidnya itu masih saja bertebaran. Farid yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sebab berita yang dibawa Hasan tadi sangat memukul mentalnya pun berlalu begitu saja tanpa mengidahkan seribu pertanyaan dari Mbak Nanik. "Eh, tunggu, Farid. Saya tanya, ibumu mana?" ulang Mbak Nanik lagi. Namun, Farid hanya diam dan tangannya terus memutar roda lalu masuk ke kamarnya. "Ihh, dasar! Sudah cacat masih saja belagu." Wanita itu pun berja
Pak Lurah menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Bu Wati yang terlihat semakin tua karena masalah yang tiada habisnya. "Baiklah, Nak Farid. Kalau begitu, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, hidup ini masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan untuk memperbaiki semuanya," katanya pelan.Pak Lurah melangkah pergi, diikuti oleh Bu Wati yang menunduk lesu. Setelah menutup pintu, Bu Wati menghela napas panjang, matanya berair menatap lantai. "Ya Allah, sampai kapan ini semua akan selesai?" gumamnya.Farid yang masih duduk di kursi roda memandangi pemandangan di luar jendela. Sebuah kenangan menyelinap masuk ke dalam pikirannya, tentang hari-hari penuh tawa bersama Chika, dan istrinya yang kini mendekam di penjara. Sebuah foto dengan senyum bahagia yang tergantung di dinding seakan mengolok-oloknya."Kalau aku tidak begini ... apa mereka masih akan ada di sini?" bisiknya dengan suara serak.Namun, sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara langkah kaki Bu Wati terde
"Bu ...," suara Farid terdengar lirih. Bu Wati tak sadar bila di mata pria itu terdapat genangan air yang siap membasahi wajahnya yang terlihat tampan, tapi itu dulu, jauh sebelum hidupnya dilanda musibah. "Apa! Mau apa lagi kamu? Kerjaanmu tiap hari nyusahin ibu saja! kalo nggak berak, kencing, berak, kencing, itu-itu aja tiap hari!" omel bu Wati seraya membersihkan tempat tidur Farid yang terkena kotorannya tadi. Pria itu tak jadi berkata, ucapan ibunya sungguh menusuk hati, seperti cakaran kucing pada luka yang belum kering. "Kalau tau nasibmu bakal begini, tak sudi ibu melahirkan kamu!" Degh! Hati Farid semakin mencelos mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya itu. Dulu, sewaktu berjaya, dirinyalah yang selalu disanjung-sanjung dan jadi kebanggaan sang bunda. Namun, kata bangga dan penuh pujian itu, kini tak lagi ia terdengar. Sekarang, setiap hari hanya caci dan maki yang selalu ia dapatkan. "Maaf, Bu," lirihnya pelan, bahkan semut saja tak dapat men
Hasan sedang berdiri di depan pintu, rapi dengan kemeja biru muda yang digosok sempurna. Tas kerjanya tergantung di bahu, dan ia sedang memakai jam tangan ketika Rosa tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Mas, nggak usah ke kantor, dong," rengek Rosa, suaranya lembut namun manja. Hasan tertawa kecil, lalu menolehkan kepala untuk melihat istrinya. "Sayang, aku kan harus kerja. Kalau nggak, nanti semua kacau." Rosa melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan menghadap Hasan. Tangannya menyilang di depan dada, ekspresinya cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. "Kerja dari rumah aja, Mas. Perusahaan ini punya Papah juga. Kalau ada apa-apa, kan bisa telpon-telponan." Hasan menggeleng sambil tersenyum. "Rosa, aku bos, iya. Tapi tetap harus kelihatan di kantor. Kalau nggak, nanti anak buahku bilang aku cuma duduk-duduk dan numpang nama mertuaku." Rosa menatap suaminya dengan mata bulat besar, berusaha mengeluarkan jurus andalan: tatapan penuh permohonan. "Tapi aku
Rosa tertawa kecil lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak energi. "Thanks, Mas. Tapi jangan lupa kasih kecapnya yang banyak, ya. Sama kerupuknya yang kriuk banget."Hasan mengangkat kedua alisnya. "Siap, Bu. Ada tambahan lagi? Es teh manis, mungkin?"Rosa mengangguk. "Iya, es teh manis juga, Mas. Tapi teh nya jangan terlalu manis. Dan kalau bisa, pakai jeruk nipis."Hasan pura-pura menghela napas panjang. "Wah, istriku ini ternyata pelanggan yang perfeksionis. Tapi oke, siap dilaksanakan."Rosa tersenyum lega sambil kembali menyandarkan tubuhnya ke bantal. Hasan pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan bubur ayam yang diminta istrinya. Selama di dapur, ia mencari cara sederhana untuk membuat bubur ayam dengan bahan yang tersedia. Meski tidak ahli, Hasan mencoba sebisa mungkin memenuhi keinginan Rosa.Sementara itu, Rosa kembali merenung di kamar. Ia tersenyum kecil, memikirkan betapa beruntungnya ia memiliki suami seperti Hasan yang begitu pengertian. Meski sederhana, perhatian Hasa
Hasan menghela napas panjang, lalu menarik Rosa kembali ke dalam rumah. "Mungkin kamu masih terpengaruh mimpi buruk tadi, Sayang. Sudahlah, kita masuk. Besok pagi pasti semuanya terasa lebih baik."Meski Rosa mengangguk, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa ganjil yang melingkupinya. Ia melirik ke arah pintu sekali lagi sebelum akhirnya masuk, bertanya-tanya apakah malam ini benar-benar sudah selesai.***Rosa menatap langit-langit kamar setelah Hasan membawanya masuk. Rasa gelisah masih menghantui pikirannya. Mimpi buruk tadi terlalu nyata, seakan-akan ia benar-benar mengalami setiap detiknya. Namun, Hasan berusaha menenangkannya."Rosa, coba tarik napas dalam-dalam," ujar Hasan sambil mengusap lembut punggung istrinya. "Apa pun yang tadi kamu rasakan, itu cuma efek mimpi. Kita di sini aman, semuanya baik-baik saja."Rosa mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Hasan benar. Tapi rasa berat di dadanya masih ada. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, memandangi Hasan yang