Share

Perdebatan yang Menyenangkan

Author: Perarenita
last update Huling Na-update: 2024-12-16 16:34:03

Di sepanjang jalan, Rosa bersenandung ria membayangkan wajah tegang ibu mertuanya. Terutama, iparnya yang terlalu banyak bicara itu. Rosa sudah tak sabar, dengan kecepatan penuh ia menarik pedal gas melalui jalanan Kota Palembang. Tak sampai 20 menit, akhirnya dirinya sampai di kediaman sang mertua.

Di depan rumah, terlihat ayah mertua tengah duduk sendirian. Tidak ada teman apalagi kopi yang menemaninya. Rosa membuka helm, lalu menghampiri lelaki tua yang tak banyak bicara itu. 

"Assalamualaikum, Pak," sapa Rosa sopan. 

Di antara banyaknya penghuni rumah ini, hanya ayah mertua, dan sang suami yang tak banyak bicara. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan Bu Wati, serta dua anak dan menantunya yang gemar sekali bicara. 

"Waalaikumsalam. Dari mana, Nak?" tanya lelaki tua itu. 

Rosa pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ayah mertuanya. "Dari antar nasi untuk Mas Hasan, Pak," jawab Rosa seadanya. 

"Oooo." 

Setelah pembicaraan itu, mereka sama-sama tak bergeming. Lelaki tua itu sebenarnya melihat motor baru yang di bawa pulang oleh menantunya. Hanya saja, rasa penasarannya ia abaikan begitu saja. 

"Saya masuk dulu, Pak," pamit Rosa akhirnya. Ini baru permulaan, sayangnya orang yang di tuju tidak ada di situ. Dalam hati ia terus bertanya kemana dua manusia kepo itu.

"Iya, Nak," sahut Pak Bowo. 

Rosa pun beranjak dari sana, dan masuk ke dalam rumah. Saat tiba di ruang tamu, suasana rumah begitu sepi, tidak ada ibu mertua, keponakan apalagi ipar-iparnya. Namun, ketika kaki hendak melangkah ke dalam kamar, dari arah dapur Rosa mendengar seperti ada keributan. "Apa mereka semua berkumpul di dapur?" gumam Rosa, "oh sayang sekali mereka tidak melihat pemandangan indah itu," lanjutnya seraya membuka pintu kamar bersiap untuk mengikuti apa kata suaminya tadi. 

Namun, indera pendengarannya menangkap bahwa obrolan yang tengah terjadi di dapur bukanlah obrolan biasa. Suara mereka terdengar sama-sama meninggi, seperti tengah emosi, "apa mereka sedang bertengkar?" tanya Rosa pada angin. 

Rasa penasaran pun menyelimuti dirinya. Rosa kembali menutup pintu kamar, dan berlalu dari sana menuju pusat keramaian yang tengah terjadi.  Rosa berdiri di ambang pintu tanpa mengeluarkan suara. Ia masih asyik menyaksikan pemandangan baru. Bukan mereka yang di buat syok, tetapi kini dirinyalah yang dibuat syock oleh mereka. 

"Seadanya saja, Bu! Tidak perlu mewah! Lagian yang datang juga cuma ibu-ibu komplek! Untuk apa di sambut dengan hidangan mewah! Ngabisin uang saja! Ibu tahu, 'kan Mas Farid belum gajian!" ucap Tiara, nampak sekali raut kesal di wajahnya. 

Bu Wati yang di ocehi oleh menantunya, begitu tak terima, bila harus sederhana, maka harga diri adalah taruhannya. 

"Kamu mau bikin Ibu malu? Bunuh saja Ibu sekalian!" 

"Siapa yang mau bikin Ibu malu? Aku cuma bilang, hidangkan makanan seadanya saja, tidak perlu berlebihan! Ini cuma pengajian biasa, Bu! Bukan menyambut tamu penting. Anggap saja seperti Ibu menyambut keluarga Rosa kemarin!" 

Degh! 

Jantung Rosa berdegup kencang. Ingatannya kembali teringat pada pesta pernikahan yang telah berlangsung satu minggu lalu. Begitu sederhana, dan terkesan biasa saja. Bukan karena Hasan tak ada uang, tetapi semua karena dirinya dinikahi oleh anak yang tak begitu di harapkan di keluarga ini, terutama oleh sang ibu. 

"Tidak! Pokoknya Ibu tidak mau! Untuk acara kali ini Ibu ingin memesan catering saja. Biar mahal, yang penting Ibu puas!" 

"Puas apa, Bu? Puas di puji?" 

"Ya iya, dong! Secara, ibu-ibu komplek sini kalau pengajian di rumah mereka, mereka pada masak sendiri, itu pun cuma ubi goreng, dan ubi rebus. Bikin malu saja! Pokoknya kamu bilang sama Farid, kalau hari kamis besok Ibu narik pengajian, dan Ibu ingin Farid nambahin modalnya!" 

"Tidak, Bu! Aku tidak setuju!" 

"Tiara!" Bu Wati mulai geram melihat Tiara yang sama sekali tak mau mengikuti keinginannya. 

"Terserah ya, Bu! Pokoknya aku tidak akan nambahin sepeserpun! Dari pada untuk pesen catering, mending untuk aku ke salon!" 

"Astaga anak ini! Kamu sudah lupa siapa aku? Aku ini Ibu suamimu! Aku berhak atas uang anakku!" ungkap Bu Wati yang mulai tersulut emosi.

"Dan aku istrinya. Ibu tidak ada hak untuk mengatur keuangan Mas Farid, karena sekarang Mas Farid sudah menikah. Tanggung jawabnya bukan Ibu lagi, tetapi aku, dan Chika!" ucap Tiara, matanya melotot seakan ingin keluar dari tempatnya. 

Rosa, begitu shock melihat sikap Tiara yang begitu kasar pada Bu Wati. Pasalnya, mereka pagi tadi, dan hari-hari sebelumnya mereka terlihat begitu akrab, mereka sangat akur, dan kompak menghina Rosa, tetapi siang ini, semua nampak berbeda. Menantu yang begitu akrab, ternyata tak begitu menghargainya Ibu dari suaminya itu. 

Rosa masuk ke dapur, dan membuka kulkas berpura-pura mengambil minum. Perdebatan yang tengah terjadi mendadak berhenti. Mau Tiara ataupun Bu Wati, mereka sama-sama tak berkutik. 

Glegek ... Glegek ... Glegek ....

Rosa sangat menikmati moment menegangkan seperti ini, setelah puas minum, ia meletakkan gelas itu di atas meja. Rosa tersenyum lalu berkata, "Ibu butuh berapa? Katakan saja." 

 ***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kedok yang Terbongkar

    "Ma-maksud kamu?" Bu Wati menjadi gugup mendengar penawaran dari menantu yang di anggapnya perawan tua itu. "Ibu butuh u*ng, 'kan untuk acara pengajian? Saya tanya, Ibu butuh berapa?" jelas Rosa.Tiara yang masih berdiri di sana, merasa dirinya akan tersaingi oleh Rosa, bila sampai Rosa memberikan u*ng pada sang Ibu. Tidak, bagi Tiara, tidak ada yang boleh memberikan Ibu ua*g, selain dirinya. Karena hanya dirinya yang patut untuk di sanjung. "Tidak, perlu. Aku akan menutupi kekurangannya," sanggah Tiara cepat, "Ibu pesan saja catering sebanyak mungkin, nanti sisanya biar aku yang bayar," ucapnya lantang, namun tak seemosi tadi. Bu Wati yang sudah sakit hati akan sikap Tiara tadi, kini berpihak pada Rosa yang sudah menawarkan bantuan tanpa perlu di minta. Untuk sementara, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat, sebab Rosa memberi keuntungan baginya. "Kamu tadi bilang, lebih baik ke salon dari pada pesen catering. Ya sudah, pergi saja ke salon. Ibu tidak butuh u*ng dari kamu

    Huling Na-update : 2024-12-25
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Hari Sial Tidak Ada di Kalender

    "APA!" belum hilang rasa yang membuncah di hati, kini rasa iri telah timbul menyelimuti. "Tidak, mungkin, Pak! Apa tadi dia keluar untuk membeli motor? tapi itu tidak mungkin, beli motor tidak semudah membeli cabe di warung. Mana mungkin secepat itu prosesnya, dan motor langsung bisa di bawa pulang. Bapak pasti mengada-ada, 'kan? Ini pasti motor tetangga," omel Tiara. Pak Bowo, lelaki tua yang hampir berusia 66 tahun itu, masuk ke dalam rumah tanpa menanggapi ucapan menantunya. Ia biarkan Tiara gelabakan karena rasa penasarannya. Bergegas wanita berusia 35 tahun itu mengambil ponselnya, dan membuka google untuk melihat ha*ga dari kuda besi yang ada di hadapannya ini. "Berapa harga motor Honda ADV 160 CBS 2024," tulisnya di kolom pencarian. Sontak kedua mata Tiara terbelalak melihat tampilan harga yang tertera di layar ponselnya. "Ha*ga Honda ADV 160 adalah antara R* 36,2 ju*a hingga R* 39,4 j*ta." "Wow! Ini sih gilak!" umpatnya pada ponsel. Mendadak rasa perih di pipi akibat t

    Huling Na-update : 2024-12-26
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Serakah

    "Mbak ...." "Apa, Nanik!" sentak Tiara, wajahnya kesal memandang wanita paruh baya ini. "Jadi yang di katakan si Dodi, benar?" sidiknya. "Ya, benar. Orang saya sendiri yang mengantarnya ke sorum," jawab si tukang ojek itu dengan cepat. "Eh Nanik, kamu tahu tidak istrinya Hasan beli motor ini pake metode apa?" lanjutnya. "Pasti kr*dit, 'kan!" seru Nanik begitu yakin. "Salah." "Terus?" "Kontan!" "What!" kini Nanik yang di buat hampir keluar bola matanya, "berapa tadi, Mbak har*anya? 56 j*ti ya!" ucapnya seraya memandang Tiara yang hanya diam tak berkutik. "Edyan! si Hasan diam-diam ta*ir juga, ya," puji Dodi si tukang ojek. "Iya, nggak nyangka aku. Padahal kerjanya ya cuma jadi Security, jauh banget, 'kan sama kedua Kakaknya yang seorang Manajer ya, 'kan, Mbak?" timpal Nanik, sekaligus menyerempet Tiara yang tak kunjung bicara. "Makanya, Nanik. Kalau menilai seseorang itu jangan hanya sebelah mata," ungkap Dodi lagi. Lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek di kampung itu,

    Huling Na-update : 2024-12-27
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Jujur

    "Hehehe," cengir Bu Wati, "sudah Ibu bilang, 'kan. Pengajian kali ini Ibu mau beda dari yang lain. Ibu mau ....""Ya nggak gitu juga kali, Bu. Takutnya, terlalu banyak menu nanti nggak ke makan, 'kan sayang, Bu. Mubazir.""Ih, kamu nggak tahu aja, ibu-ibu kampung sini kalau pengajian. Mereka pada bawa anak, dan juga kalau makanan masih tersisa mereka bakal bawa pulang, jadi kamu tenang saja, menu sebanyak itu tidak akan mubazir. Semua pasti habis ludes tanpa sisa.""Ibu yakin?""Yakin, dong.""Ya sudah, Ibu buat list saja makanan apa yang Ibu mau. Saya akan buatkan semua itu sendiri.""What! Kamu yang akan buat? Sebanyak itu?" Bu Wati tak percaya dengan yang di katakan oleh menantunya barusan, pasalnya di pengajian-pengajian sebelumnya kedua menantunya yang lain tidak ada yang mau turun tangan, atau pun ikut pusing dalam mengadakan acara itu. Namun, sangat berbeda dengan kali ini, menantu barunya itu denga

    Huling Na-update : 2024-12-28
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Songong

    "Kenapa, Bu?" Rosa sangat tertarik dengan perbincangan ini, sebab dia pun penasaran mengapa sikapnya begitu beda terhadap Hasan, padahal putra kandungnya. Ah, tapi apa jangan-jangan Hasan cuma anak pungut? "Karena Ibu sudah tidak ingin hamil lagi, tapi Tuhan berkata lain. Tuhan mengirimkan Hasan di saat perekonomian sulit. Itulah kenapa Ibu sangat membencinya. Di tambah, semenjak Farid menikah Hasan tidak pernah memberi uang belanja, tapi ternyata Ibu yang salah menilai. Semua karena mulut manis Tiara!" Oooo, dalam hati Rosa mengerti betapa sulit hidup dengan ekonomi terjepit. Karena dulu dia pun mengalami hal yang sama, hidupnya tidak langsung sukses, ada masa tersulit yang juga ia lalui tanpa seorang Ibu. "Tapi sekarang Ibu sudah tahu, 'kan siapa Mas Hasan, dan siapa Tiara?" ucap Rosa menimpali. "Iya ... Ibu menyesal telah bersikap kasar pada Hasan selama ini." "Tidak perlu di selali, Bu. Semua sudah berlalu. Mulai sekarang Ibu hanya perlu bersikap adil pada anak maupun menant

    Huling Na-update : 2024-12-29
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tadi Uang, Sekarang Motor

    "Kenapa kamu yang malu, Dek?" "Ih, pake nanya segala! Semua gara-gara kamu, Mas! Di telfon berulang kali bukannya di angkat! Aku pikir motor itu kamu yang beli, dan sengaja nggak kasih kabar, karena mau bikin kejutan. Makanya ku bilang sama Nanik motor itu kejutan dari kamu!" "Nah terus? Apa masalahnya? Si Nanik pasti percaya, 'kan sama omongan kamu?" "Awalnya iya ... tapi si Doni tukang ojek kamvr*t itu datang. Sialnya dia yang mengantar Rosa ke Sorum ...," Tiara tak melanjutkan ucapannya, sebab dia pun malu bila mengingat kejadian tadi, 'ah, sial banget, sih! Kenapa juga harus ku naiki motor tadi! Bodoh, bodoh, bodoh!' umpatnya dalam hati merutuki kelakuan konyolnya tadi. "Udah kamu tenang aja, nanti kita juga beli motor seperti itu." "Iya, Mas, pasti! Jangan mau kalah sama si Hasan! Lagian, gaji Mas itu besar, kenapa juga beli motor saja tidak mampu!" "Kamu lupa, Dek? Semua gaji Mas kamu yang atur, jadi jangan salahkan Mas bila motor saja tidak kebeli, karena kamu yang tida

    Huling Na-update : 2024-12-30
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Semua Karena Duit

    Hasan memarkirkan motornya di halaman rumah, di teras hanya ada sang ayah sendirian tengah memandikan burung perkutut kesayangannya, tidak ada bayang-bayang dari Farid, atau pun Rohim serta anggota keluarga yang lain. Sebenarnya pada kemana mereka pergi? Kenapa rumah terlihat sepi, tumben sekali. "Assalamualaikum, Pak," ucap Hasan seraya duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. "Waalaikumsalam," sahut Pak Bowo, tangannya masih asyik menyemprotkan air ke burung yang ada di dalam sangkar itu. "Kok sepi, pada kemana, Pak?" "Ndak tahu, Bapak." "Kalau Rosa?" "Tadi istrimu pergi ke pasar sama Ibu." "Kepasar? Sama Ibu?" Hasan mengulangi ucapan ayahnya untuk memastikan bahwa dirinya tak salah dengar. "Iya," jawab Pak Bowo singkat.Lelaki tua itu kerap kali bicara irit. Membuat lawan bicaranya jadi mati oleh rasa penasaran, "ndak salah apa, Pak? Ibu pergi sama Rosa?" ulang Hasan bertanya pada sang ayah. "Yo, ndak. Memangnya kenapa?" "Ibu, 'kan ndak suka sama Rosa, Pak." "Yo itu ke

    Huling Na-update : 2024-12-31
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Si Pemilik Mobil

    Tepat pukul 22:45, lelaki yang hampir belasan tahun sudah menjadi imam untuknya, berdiri di depan pintu kamar dengan keadaan yang tak biasa. Farid berjalan sempoyongan masuk ke dalam kamarnya. Tiara yang memang tidak bisa tidur sebab menahan lapar di perut, jadi gelabakan melihat suaminya pulang dalam keadaan mabuk. "Mas!" pekik Tiara, sontak ia langsung menghampiri suaminya, dan membopongnya naik ke atas tempat tidur, "kamu dari mana saja! Kenapa pulang dalam kondisi mabuk? Kamu habis party? Sama siapa? Kenapa aku tidak di ajak?" cecar Tiara beruntun, tetapi karena Farid yang sudah mabuk berat tak mengidahkan ucapan istrinya. Ia tergeletak begitu saja saat tubuhnya mendarat di kasur empuk itu. "Mas! Jawab aku tanya!" "Mas!" "Mas!" Tiara menggoyanggakan tubuh suaminya, tetapi yang di dapat malah hembusan nafas berbau akohol yang begitu menyengat. Sedang kedua matanya sudah terpejam. "Mas, ih! Aku nungguin kamu lo dari tadi! Kamu malah mabuk gini! Aku laper, Mas! Ambilin aku m

    Huling Na-update : 2025-01-01

Pinakabagong kabanata

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kedatangan Marco

    Suara sepatu para petugas berseragam bergema di dalam apartemen kecil itu, menciptakan ketegangan yang semakin menyesakkan. Lampu gantung berayun pelan akibat pintu yang didobrak paksa beberapa detik sebelumnya. Hasan berdiri kaku, wajahnya penuh amarah, sementara Mia berusaha keras mempertahankan ketenangannya.Rosa melangkah masuk, senyumnya lebar, namun dingin. Tatapan matanya menyorot tajam, seolah mengukur setiap inci dari ekspresi Mia dan Hasan. Di belakangnya, dua petugas tetap siaga, senjata mereka mengarah tanpa goyah."Kau pikir bisa mengendalikanku, Mia?" Rosa berkata pelan, hampir berbisik, namun cukup jelas untuk membuat ruangan itu terasa lebih dingin.Mia mendongak, menatap Rosa tanpa gentar. "Aku tidak pernah mencoba mengendalikanmu, Rosa. Aku hanya memastikan kau tidak bisa mengendalikanku."Rosa tertawa pelan, langkahnya mendekat hingga berdiri hanya beberapa meter dari Mia. "Kau pintar. Itu yang membuatmu menarik. Tapi sayangnya, permainan ini bukan tentang siapa ya

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Ini Belum Usai, Mia!

    Suasana di ruang kerja Hasan begitu tegang hingga udara pun terasa berat. Lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah menjadi saksi bisu dari pertemuan yang penuh intrik ini.Mia berdiri tegak di depan Rosa dan Hasan, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap menebas. Dengan penuh keyakinan, dia melempar flashdisk kecil ke atas meja. Bunyi benturan kecilnya terdengar nyaring di ruangan yang hening, membawa pesan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.“Di dalamnya ada semua bukti untuk menghancurkan kalian,” ucap Mia, suaranya tenang namun penuh tekanan. “Tapi aku tidak datang untuk mengancam. Aku datang untuk membuat kesepakatan.”Rosa mengangkat alisnya, lalu tertawa pelan. Suaranya bergema lembut di ruangan itu, namun ada nada tajam yang tersembunyi di balik tawa itu. "Kesepakatan? Kau pikir kau masih bisa mengendalikan permainan ini, Mia?" Dia melangkah pelan mendekat, tatapan matanya menusuk. "Kau lupa siapa yang memegang kendali."Mia tak b

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Pemenang yang Tak Terduga

    Mia menatap punggung Rosa dan Hasan yang perlahan menghilang di balik pintu gudang. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena beban pikiran yang menghimpit dadanya. Ruangan itu terasa semakin sempit, meski hanya dia dan dua pria berjas hitam yang masih berdiri di sana. Mereka mengawasinya seperti dua bayangan gelap tanpa emosi.Mia mengusap keringat di pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Ini belum selesai. pikirnya. Justru permainan baru saja dimulai.Keesokan harinya, Mia kembali ke rumah sakit tempat Farid dirawat. Aroma antiseptik menyambutnya saat ia melangkah di koridor yang sunyi. Langkah kakinya mantap, meski di dalam hatinya berkecamuk badai. Farid masih terbaring lemah di ruang perawatan VIP, infeksi alat kelaminnya membuatnya tak berdaya.Saat Mia membuka pintu kamar, Farid menoleh pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh kecurigaan.“Kau datang lagi,” gumam Farid dengan suara serak.Mia memaksakan senyum, mendekatinya sambil membawa nampan kecil

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Bukti Nyata

    Pintu gudang terbuka lebar, dan di ambang pintu berdirilah Rosa, menatap mereka dengan ekspresi dingin namun penuh kemenangan. Dua pria berjas hitam berdiri di belakangnya, wajah mereka tanpa emosi."Lama tidak bertemu, Mia."Mia membeku. Jantungnya berdegup kencang saat ia mencoba membaca situasi. Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah perang.Hasan berdiri di sebelah Mia, ekspresinya tak terbaca. Dia tampak tenang, tapi Mia tahu otaknya pasti sedang bekerja keras mencari jalan keluar.Rosa melangkah masuk, suara sepatu hak tingginya menggema di dalam ruangan. “Aku sudah menunggumu, Mia. Aku tahu cepat atau lambat kau akan mencoba melarikan diri.”Mia mencoba tersenyum tipis, meski dalam hatinya dia tahu dia sedang dikepung. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Rosa.”Rosa terkekeh, matanya bersinar tajam. “Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah menyelidikimu sejak awal.”Mia menelan ludah, tapi dia tetap menjaga ketenangannya. “Lalu kenapa kau tidak langsung bertindak?”R

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Rosa Datang

    Mia menatap Hasan dengan napas tertahan. Ruangan itu terasa semakin sempit, udara semakin berat. Hasan masih menggenggam ponselnya, suara di seberang menunggu jawabannya.“Serahkan Mia, dan kita bisa menyelesaikan ini tanpa perlu darah.”Mia menelan ludah. Ini adalah saat yang menentukan.Hasan menutup matanya sesaat, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tidak semudah itu.”Mia nyaris tidak bisa percaya. Dia… membelanya?Orang di seberang telepon tertawa pelan. “Kau masih terlalu lunak, Hasan. Ini bukan soal seberapa mudah atau sulitnya. Ini soal kepentingan. Kau tahu siapa yang ada di balik semua ini, kan?”Hasan tidak menjawab, hanya mengepalkan tangan.Mia merasakan ketegangan di ruangan itu semakin meningkat. Ini lebih besar dari yang dia bayangkan.Suara di telepon melanjutkan, lebih dingin dari sebelumnya. “Kau punya waktu sampai besok pagi. Jika kau tidak menyerahkannya, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian berdua.”Klik. Sambungan terputus.Mia mencoba m

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Keputusan

    Hujan mulai turun, rintik-rintiknya membasahi wajah Mia saat dia berdiri di hadapan Hasan. Tangannya masih dalam cengkeraman kuat pria itu. Nafasnya berat, pikirannya berpacu mencari cara keluar dari situasi ini.Hasan menatapnya tajam, matanya penuh kemarahan yang terpendam. “Katakan, Mia. Semua yang kau rencanakan.”Mia bisa saja berbohong. Dia sudah sering melakukannya. Tapi kali ini, dia tahu kebohongan tidak akan menyelamatkannya.“Aku…” Mia menelan ludah, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku memang mendekati Farid karena alasan tertentu. Tapi itu bukan karena aku ingin menyakitinya.”Hasan tersenyum sinis. “Benarkah? Kau ingin aku percaya bahwa kau mendekati kakakku dengan niat baik?”Mia menarik napas dalam. “Awalnya aku hanya ingin mendapatkan kepercayaan Farid… untuk bisa lebih dekat dengan keluargamu.”Hasan menggelengkan kepala, ekspresinya semakin mengeras. “Dan setelah itu? Apa kau berencana menipu kami? Mengambil uangku?”Mia tidak menjawab, tapi tatapan Hasan sem

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tertangkap

    Taksi melaju melewati jalanan kota yang diterangi lampu jalan remang-remang. Mia duduk di kursi belakang, jari-jarinya gemetar saat dia menggenggam ponselnya. Pesan yang baru saja dia terima terus berputar di pikirannya.“Kau sudah membuat pilihan yang salah, Mia. Sekarang giliran kami yang bermain.”Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah mereka sudah menemukan Marco?Mia menoleh ke luar jendela dan merasakan ketakutan merayapi tulangnya. Sebuah mobil hitam tampak mengikuti taksinya sejak tadi. Tidak ada sirene, tidak ada tanda-tanda mencolok, tetapi nalurinya tahu—mereka sedang diawasi.Sial.Dia tidak bisa langsung kembali ke rumah dan bertemu Marco. Jika dia membawa mereka ke sana, itu sama saja seperti menyeret Marco ke dalam bahaya.Dia harus berpikir cepat.Mia bersandar ke depan, berbicara dengan sopir taksi dengan suara tenang tapi mendesak. “Pak, bisa belok ke jalan kecil di depan sana? Saya harus turun di tempat lain.”Sopir itu menatap Mia sekilas melalui kaca spion, tampak

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Permainan Dimulai

    Mia tahu dia harus bertindak cepat. Situasi di restoran ini semakin berbahaya, dan Marco baru saja memperingatkannya tentang sesuatu yang lebih buruk. Tapi sebelum dia bisa berpikir jernih, Rosa sudah mengambil langkah lebih dulu.Dua pria berjas hitam memasuki restoran, wajah mereka datar dan serius. Keamanan restoran. Rosa melirik mereka dan memberi isyarat halus.“Mia,” Rosa berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku tidak tahu apa tujuanmu mendekati suamiku, tapi aku akan memastikan kau tidak bisa melakukan apa pun lagi.”Mia menatap Hasan, berharap pria itu akan membelanya. Tapi Hasan hanya diam, wajahnya penuh kebingungan. Mia tahu, kepercayaannya mulai runtuh.Sial.“Maaf, Bu,” salah satu petugas keamanan berkata sopan, “Kami mendapat laporan bahwa ada tamu yang mengganggu di sini. Kami harus meminta Anda pergi.”Mia menguatkan dirinya. Dia tidak bisa panik sekarang.Dia tersenyum kecil, menampilkan wajah polosnya. “Saya tidak mengerti apa maksud Anda. Saya hanya sedang makan

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tak-Tik yang Ketahuan

    Mia merasa kendali ada di tangannya. Hasan mulai terperangkap dalam pesonanya, dan Farid semakin bergantung padanya. Meski Rosa sudah mulai curiga, Mia yakin dia bisa mengatasinya. Namun, di balik rencana yang sempurna, ada sesuatu yang Mia tidak duga—sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap.Dua hari setelah pertemuan dengan Rosa, Mia menerima pesan dari Hasan.(Mia, bisa kita bertemu di luar rumah sakit? Aku ingin mengobrol denganmu tanpa ada orang lain.)Mia tersenyum tipis. Ini lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dengan cepat, ia mengetik balasan.(Tentu, Pak Hasan. Kapan dan di mana?)(Besok malam, di restoran La Belle di pusat kota. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.)Restoran mewah. Tanda bahwa Hasan mulai melihatnya lebih dari sekadar suster kakaknya. Mia tidak bisa menahan rasa puas yang menjalar dalam dirinya.Namun, saat ia menutup ponselnya, suara dingin Marco terdengar dari belakang.“Kau mulai bermain di luar rencana.”Mia menoleh dengan malas. “Aku tidak be

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status