Share

Tentang Uang

Author: Perarenita
last update Last Updated: 2024-12-16 16:21:51

"Biarin struk, toh niatku beli motor bukan untuk pamer, meski ada sih sedikit rasa jengkel." 

"Yaudah, Neng. Orang macam Bu Wati memang pantas dipojokkan dengan pembuktian. Kalo cuma balas ucapannya nggak bakalan mempan, orang itu pikirannya sempit, mana mau kalah sama orang," ucap si abang tukang ojek. 

"Emangnya kamu kenal banget sama mertuaku, Bang?" 

"Ya ... nggak kenal banget sih, Neng. Cuma, dari wajahnya saja sudah ketara kalau dia itu orangnya nyebelin. Lagian, bukan rahasia lagi siapa Bu Wati. Semua orang juga tahu, dialah si pembuat onar di kampung ini."  

"Oooo," sahut Rosa.  

Setelah berkendara beberapa menit tak jauh dari dealer yang tadi, akhirnya Rosa benar-benar sampai pada tempat yang sangat diinginkan olehnya.  

"Nah, ini dealer motor baru, Neng," kata si abang tukang ojek. 

Rosa pun membuka helm yang masih menyangkut di kepalanya lalu turun dari motor supra x milik si tokeng ojek itu. Dia pun masuk ke dealer sedangkan lelaki tadi hanya menunggu di depan. Mata Rosa kesana-kemari melihat-lihat motor apa yang akan dibawanya pulang siang ini. 

"Selamat datang, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" sapa wanita cantik yang menyambut kedatangan Rosa ketika ia memasuki area dealer motor ini. 

"Saya ingin motor keluaran terbaru yang paling mahal di tempat ini," ucap Rosa. 

"Ohhh, ada. Mari ikut saya." 

Wanita itu mengajak Rosa berkeliling, dan menunjukan beberapa koleksi terbaru yang mereka punya. "Ini, Bu. Ini yang termahal, dan terbaru. Di sini hanya ada,--" 

"Saya ambil ini," ucap Rosa tanpa mau mendengar penjelasan lebih lanjut dari wanita itu. 

"Baik. Akan saya urus. Tunggu sebentar Ibu. Oh ya, untuk pembayaran, mau ambil kredit yang berapa bulan?" 

"Saya bayar Kes." 

"Baik, Ibu. Mohon di tunggu sebentar ya." 

"Hmm." 

Wanita itu segera meninggalkan Rosa, dan mengurus surat serta total administrasi yang harus dibayar. Tak sampai 15 menit, motor dengan merek Honda ADV 160 CBS 2024, sudah bisa dibawa pulang. 

"Berapa, Bang?" tanya Rosa pada si tukang ojek tadi, sebab pulang ini ia tak lagi menggunakan jasanya. 

"25 ribu, Neng. Motornya sudah dapat, Neng?" 

"Nih," ucap Rosa seraya mengulurkan selembar uang berwarna biru pada lelaki itu, "alhamdulillah, sudah." 

"Motor apa, Neng?" tanyanya penasaran. 

"Tuu," tunjuk Rosa pada petugas dealer yang sedang mengeluarkan motor pilihan Rosa dari tempatnya. 

"Wow, gilak! Ini mah keren banget, Neng! Keluaran terbaru! Di kampung kita belum ada yang pake motor itu! Pasti harganya mahal ya, Neng?" 

"Kamu ini rempong banget jadi lelaki," ucap Rosa lalu pergi meninggalkan lelaki itu. 

Lelaki yang entah siapa namanya itu semakin dibuat kagum oleh sikap Rosa yang cuek dan tak banyak bicara. Beda sekali dengan dua iparnya. Setelah kepergian Rosa, ia baru tersadar jika uang yang diberikan Rosa masih ada sisanya, ia pun bergegas menyusul Rosa yang tengah mencoba motor barunya. 

"Neng, tunggu. Ini kembaliannya!" teriak lelaki itu, pasalnya motor yang di kendarai Rosa mulai berjalan meninggalakn area dealer.

"Ambil saja buat kamu!" balas Rosa tanpa menoleh ke belakang. 

 

"Wah! Alhamdulillah, terimakasih ya, Neng!" pekik lelaki itu, tetapi Rosa sudah semakin jauh dari jangkauannya.   

 

Perlahan, Rosa menarik pedal gas, dan menikmati perjalanannya. Selama satu minggu menjadi menantu Bu Wati, ia terkurung, dan terus berkutak di dapur tanpa ada kesudahan, tetapi hari ini, ia ingin meratukan diri. Rosa lelah bila terus-terusan berada di dapur.  Dan motor ini, jangan di tanya. Ada rasa sakit yang di rasa, hingga akhirnya ia memutuskan untuk membeli kuda besi itu. 

 

"Hei!" 

 

"Rosa!"  

 

Hasan yang tengah berjaga di pos, sedikit terkejut melihat istrinya sudah berada di hadapannya. Sejak tadi ia melamun, sehingga tak menyadari kedatangan wanita itu. Pikiran Hasan berkecabang, memikirkan nasib istrinya di rumah yang mungkin saja akan sengsara berhadapan dengan Ibundanya yang sangat judes itu. 

 

"Mikirin apa?" tanya Rosa seraya memberikan kotak nasi yang sudah ia bawa dari rumah. "Ni, sarapan dulu," ucapnya. 

 

"Terimakasih. Kamu pasti lelah." 

 

Rosa tersenyum, "tidak," jawabnya singkat. 

 

"Seharusnya tidak perlu repot-repot begini." 

 

"Tidak merepotkan. Lagian, aku bosen di rumah, Mas." 

 

Hasan yang akan membuka kotak nasi itu, sejenak menghentikan aktivitasnya, "maafkan, Ibu," lirihnya sambil tertunduk menyembunyikan wajah sedihnya. 

 

"Ibu tidak salah, Mas. Aku saja yang belum kenal lebih dekat dengan ibu. Kamu jangan khawatir, aku baik-baik saja, kok," ucap Rosa, "kamu sendiri, kenapa ibu begitu galak denganmu, Mas? Apa benar kamu tidak pernah memberi uang pada ibu?" tanya Rosa yang penasaran akan sikap ganjil ibunya pagi tadi. 

 

"Itu tidak benar, tapi entahlah. Sebelum kita menikah, aku rutin memberi u*ng belanja setiap minggu pada Kak Tiara, tapi Ibu masih saja terus mengomel seolah-olah aku hanya numpang makan tidur di rumah itu." 

 

"Wah-wah! Kalau begitu, sepertinya ada yang nggak beres ini, Mas!" 

 

***

 

Related chapters

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tentang Rosa

    "Maksud kamu?" Hasan tak mengerti, mengapa istrinya bicara seperti itu. Lelaki itu tak pernah ambil pusing, dan memikirkan setiap kata kasar yang keluar dari mulut ibundanya. "Sekarang gini deh, Mas. Ibu bilang,--" "Udahlah, Sa. Nggak usah diperpanjang. Terserah ibu mau bilang apa. Dari aku kecil, hingga aku setua ini, ibu tidak pernah berkata lembut padaku. Toh, sudah diizinkan tinggal bersamanya saja aku sudah bersyukur, Sa." "Kenapa, Mas? Kenapa kamu diam saja saat ibumu bicara kasar?" "Ya, aku harus bagaimana? Apa aku harus marah balik, dan mengumpatnya? atau aku harus membanting semua perabotan agar ibu berhenti mengomel? Percuma, Sa ...." Rosa pun terdiam, sejenak ia berpikir apa suaminya ini anak pungut, sehingga diperlakukan begitu beda oleh ibunya sendiri. "Mas," panggil Rosa, sekilas ia melihat manik mata lelaki yang ada di hadapannya ini begitu banyak menyimpan kesedihan. Dengan berat hati Hasan mengangkat wajahnya, dan balik memandang wanita yang sudah resmi menjad

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Bagaimana Reaksi Mereka?

    Dan benar saja, firasatnya itu sangat tepat. Andai Bu Wati tahu siapa Rosa sebenarnya, mungkin sikapnya akan lembut, dan meratukan Rosa, seperti dia meratukan Tiara. "Tadi ke sini naik apa?" tanya Hasan, memecahkan keheningan, dan kecanggungan yang sempat tercipta. Sikap lancangnya tadi, membuat keduanya sama-sama menahan malu, tetapi saling menikmati. Andai saat ini mereka berada di dalam kamar, mungkin aksi malam pertama yang sempat tertunda akan terlaksana. "Motor," jawab Rosa pelan. "Motor?" Hasan mengulangi ucapan istrinya. "Iya motor, Mas." "Motor bapak?" "Bukan.""Lalu?" "Ya, motorku, Mas. Mau make motor bapak, tapi nggak dikasih izin sama ibu, jadi ya aku beli motor sendirilah. Dari pada minjem-minjem nggak dipinjemin." "Apa!" Hasan terbelalak mendengar penuturan istrinya. "Kamu anggap beli motor kayak beli kopi di warung, Sa?" ucapnya seakan tak percaya atas pengakuan istrinya. "Kenapa? Kamu nggak percaya, Mas?" "Ya nggak percaya, Sa. Aku kasih uang ke kamu aja c

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Perdebatan yang Menyenangkan

    Di sepanjang jalan, Rosa bersenandung ria membayangkan wajah tegang ibu mertuanya. Terutama, iparnya yang terlalu banyak bicara itu. Rosa sudah tak sabar, dengan kecepatan penuh ia menarik pedal gas melalui jalanan Kota Palembang. Tak sampai 20 menit, akhirnya dirinya sampai di kediaman sang mertua.Di depan rumah, terlihat ayah mertua tengah duduk sendirian. Tidak ada teman apalagi kopi yang menemaninya. Rosa membuka helm, lalu menghampiri lelaki tua yang tak banyak bicara itu. "Assalamualaikum, Pak," sapa Rosa sopan. Di antara banyaknya penghuni rumah ini, hanya ayah mertua, dan sang suami yang tak banyak bicara. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan Bu Wati, serta dua anak dan menantunya yang gemar sekali bicara. "Waalaikumsalam. Dari mana, Nak?" tanya lelaki tua itu. Rosa pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ayah mertuanya. "Dari antar nasi untuk Mas Hasan, Pak," jawab Rosa seadanya. "Oooo." Setelah pembicaraan itu, mereka sama-sama ta

    Last Updated : 2024-12-16
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kedok yang Terbongkar

    "Ma-maksud kamu?" Bu Wati menjadi gugup mendengar penawaran dari menantu yang di anggapnya perawan tua itu. "Ibu butuh u*ng, 'kan untuk acara pengajian? Saya tanya, Ibu butuh berapa?" jelas Rosa.Tiara yang masih berdiri di sana, merasa dirinya akan tersaingi oleh Rosa, bila sampai Rosa memberikan u*ng pada sang Ibu. Tidak, bagi Tiara, tidak ada yang boleh memberikan Ibu ua*g, selain dirinya. Karena hanya dirinya yang patut untuk di sanjung. "Tidak, perlu. Aku akan menutupi kekurangannya," sanggah Tiara cepat, "Ibu pesan saja catering sebanyak mungkin, nanti sisanya biar aku yang bayar," ucapnya lantang, namun tak seemosi tadi. Bu Wati yang sudah sakit hati akan sikap Tiara tadi, kini berpihak pada Rosa yang sudah menawarkan bantuan tanpa perlu di minta. Untuk sementara, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat, sebab Rosa memberi keuntungan baginya. "Kamu tadi bilang, lebih baik ke salon dari pada pesen catering. Ya sudah, pergi saja ke salon. Ibu tidak butuh u*ng dari kamu

    Last Updated : 2024-12-25
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Hari Sial Tidak Ada di Kalender

    "APA!" belum hilang rasa yang membuncah di hati, kini rasa iri telah timbul menyelimuti. "Tidak, mungkin, Pak! Apa tadi dia keluar untuk membeli motor? tapi itu tidak mungkin, beli motor tidak semudah membeli cabe di warung. Mana mungkin secepat itu prosesnya, dan motor langsung bisa di bawa pulang. Bapak pasti mengada-ada, 'kan? Ini pasti motor tetangga," omel Tiara. Pak Bowo, lelaki tua yang hampir berusia 66 tahun itu, masuk ke dalam rumah tanpa menanggapi ucapan menantunya. Ia biarkan Tiara gelabakan karena rasa penasarannya. Bergegas wanita berusia 35 tahun itu mengambil ponselnya, dan membuka google untuk melihat ha*ga dari kuda besi yang ada di hadapannya ini. "Berapa harga motor Honda ADV 160 CBS 2024," tulisnya di kolom pencarian. Sontak kedua mata Tiara terbelalak melihat tampilan harga yang tertera di layar ponselnya. "Ha*ga Honda ADV 160 adalah antara R* 36,2 ju*a hingga R* 39,4 j*ta." "Wow! Ini sih gilak!" umpatnya pada ponsel. Mendadak rasa perih di pipi akibat t

    Last Updated : 2024-12-26
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Serakah

    "Mbak ...." "Apa, Nanik!" sentak Tiara, wajahnya kesal memandang wanita paruh baya ini. "Jadi yang di katakan si Dodi, benar?" sidiknya. "Ya, benar. Orang saya sendiri yang mengantarnya ke sorum," jawab si tukang ojek itu dengan cepat. "Eh Nanik, kamu tahu tidak istrinya Hasan beli motor ini pake metode apa?" lanjutnya. "Pasti kr*dit, 'kan!" seru Nanik begitu yakin. "Salah." "Terus?" "Kontan!" "What!" kini Nanik yang di buat hampir keluar bola matanya, "berapa tadi, Mbak har*anya? 56 j*ti ya!" ucapnya seraya memandang Tiara yang hanya diam tak berkutik. "Edyan! si Hasan diam-diam ta*ir juga, ya," puji Dodi si tukang ojek. "Iya, nggak nyangka aku. Padahal kerjanya ya cuma jadi Security, jauh banget, 'kan sama kedua Kakaknya yang seorang Manajer ya, 'kan, Mbak?" timpal Nanik, sekaligus menyerempet Tiara yang tak kunjung bicara. "Makanya, Nanik. Kalau menilai seseorang itu jangan hanya sebelah mata," ungkap Dodi lagi. Lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek di kampung itu,

    Last Updated : 2024-12-27
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Jujur

    "Hehehe," cengir Bu Wati, "sudah Ibu bilang, 'kan. Pengajian kali ini Ibu mau beda dari yang lain. Ibu mau ....""Ya nggak gitu juga kali, Bu. Takutnya, terlalu banyak menu nanti nggak ke makan, 'kan sayang, Bu. Mubazir.""Ih, kamu nggak tahu aja, ibu-ibu kampung sini kalau pengajian. Mereka pada bawa anak, dan juga kalau makanan masih tersisa mereka bakal bawa pulang, jadi kamu tenang saja, menu sebanyak itu tidak akan mubazir. Semua pasti habis ludes tanpa sisa.""Ibu yakin?""Yakin, dong.""Ya sudah, Ibu buat list saja makanan apa yang Ibu mau. Saya akan buatkan semua itu sendiri.""What! Kamu yang akan buat? Sebanyak itu?" Bu Wati tak percaya dengan yang di katakan oleh menantunya barusan, pasalnya di pengajian-pengajian sebelumnya kedua menantunya yang lain tidak ada yang mau turun tangan, atau pun ikut pusing dalam mengadakan acara itu. Namun, sangat berbeda dengan kali ini, menantu barunya itu denga

    Last Updated : 2024-12-28
  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Songong

    "Kenapa, Bu?" Rosa sangat tertarik dengan perbincangan ini, sebab dia pun penasaran mengapa sikapnya begitu beda terhadap Hasan, padahal putra kandungnya. Ah, tapi apa jangan-jangan Hasan cuma anak pungut? "Karena Ibu sudah tidak ingin hamil lagi, tapi Tuhan berkata lain. Tuhan mengirimkan Hasan di saat perekonomian sulit. Itulah kenapa Ibu sangat membencinya. Di tambah, semenjak Farid menikah Hasan tidak pernah memberi uang belanja, tapi ternyata Ibu yang salah menilai. Semua karena mulut manis Tiara!" Oooo, dalam hati Rosa mengerti betapa sulit hidup dengan ekonomi terjepit. Karena dulu dia pun mengalami hal yang sama, hidupnya tidak langsung sukses, ada masa tersulit yang juga ia lalui tanpa seorang Ibu. "Tapi sekarang Ibu sudah tahu, 'kan siapa Mas Hasan, dan siapa Tiara?" ucap Rosa menimpali. "Iya ... Ibu menyesal telah bersikap kasar pada Hasan selama ini." "Tidak perlu di selali, Bu. Semua sudah berlalu. Mulai sekarang Ibu hanya perlu bersikap adil pada anak maupun menant

    Last Updated : 2024-12-29

Latest chapter

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Lalu, bagaimana dengan Tiara?

    Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Siapa Dia?

    lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Takkan kubiarkan mulut busuk kalian terus menghinaku!

    Semakin lama orang yang masuk dari pintu belakang itu semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya terlihat juga batang hidungnya. "Mbak Nanik! Ngapain masuk dari pintu belakang? Kayak maling aja!" seru Farid yang tadi sedikit panik. Ia kira mengira ada penyusup yang ingin membobol rumahnya, meski di saat siang hari begini. "Mana ada maling cantik," sahut wanita itu sambil celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Mana ibumu? Tadi saya nggak salah lihat, 'kan? Hasan keluar dari mobil mewah? " tanyanya pelan sambil berbisik. Jiwa kepo bin julidnya itu masih saja bertebaran. Farid yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sebab berita yang dibawa Hasan tadi sangat memukul mentalnya pun berlalu begitu saja tanpa mengidahkan seribu pertanyaan dari Mbak Nanik. "Eh, tunggu, Farid. Saya tanya, ibumu mana?" ulang Mbak Nanik lagi. Namun, Farid hanya diam dan tangannya terus memutar roda lalu masuk ke kamarnya. "Ihh, dasar! Sudah cacat masih saja belagu." Wanita itu pun berja

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Hak Asuh

    Pak Lurah menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Bu Wati yang terlihat semakin tua karena masalah yang tiada habisnya. "Baiklah, Nak Farid. Kalau begitu, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, hidup ini masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan untuk memperbaiki semuanya," katanya pelan.Pak Lurah melangkah pergi, diikuti oleh Bu Wati yang menunduk lesu. Setelah menutup pintu, Bu Wati menghela napas panjang, matanya berair menatap lantai. "Ya Allah, sampai kapan ini semua akan selesai?" gumamnya.Farid yang masih duduk di kursi roda memandangi pemandangan di luar jendela. Sebuah kenangan menyelinap masuk ke dalam pikirannya, tentang hari-hari penuh tawa bersama Chika, dan istrinya yang kini mendekam di penjara. Sebuah foto dengan senyum bahagia yang tergantung di dinding seakan mengolok-oloknya."Kalau aku tidak begini ... apa mereka masih akan ada di sini?" bisiknya dengan suara serak.Namun, sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara langkah kaki Bu Wati terde

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Belas Kasihan

    "Bu ...," suara Farid terdengar lirih. Bu Wati tak sadar bila di mata pria itu terdapat genangan air yang siap membasahi wajahnya yang terlihat tampan, tapi itu dulu, jauh sebelum hidupnya dilanda musibah. "Apa! Mau apa lagi kamu? Kerjaanmu tiap hari nyusahin ibu saja! kalo nggak berak, kencing, berak, kencing, itu-itu aja tiap hari!" omel bu Wati seraya membersihkan tempat tidur Farid yang terkena kotorannya tadi. Pria itu tak jadi berkata, ucapan ibunya sungguh menusuk hati, seperti cakaran kucing pada luka yang belum kering. "Kalau tau nasibmu bakal begini, tak sudi ibu melahirkan kamu!" Degh! Hati Farid semakin mencelos mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya itu. Dulu, sewaktu berjaya, dirinyalah yang selalu disanjung-sanjung dan jadi kebanggaan sang bunda. Namun, kata bangga dan penuh pujian itu, kini tak lagi ia terdengar. Sekarang, setiap hari hanya caci dan maki yang selalu ia dapatkan. "Maaf, Bu," lirihnya pelan, bahkan semut saja tak dapat men

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kabar Pria Yang Kemaluannya Hampir Putus

    Hasan sedang berdiri di depan pintu, rapi dengan kemeja biru muda yang digosok sempurna. Tas kerjanya tergantung di bahu, dan ia sedang memakai jam tangan ketika Rosa tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Mas, nggak usah ke kantor, dong," rengek Rosa, suaranya lembut namun manja. Hasan tertawa kecil, lalu menolehkan kepala untuk melihat istrinya. "Sayang, aku kan harus kerja. Kalau nggak, nanti semua kacau." Rosa melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan menghadap Hasan. Tangannya menyilang di depan dada, ekspresinya cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. "Kerja dari rumah aja, Mas. Perusahaan ini punya Papah juga. Kalau ada apa-apa, kan bisa telpon-telponan." Hasan menggeleng sambil tersenyum. "Rosa, aku bos, iya. Tapi tetap harus kelihatan di kantor. Kalau nggak, nanti anak buahku bilang aku cuma duduk-duduk dan numpang nama mertuaku." Rosa menatap suaminya dengan mata bulat besar, berusaha mengeluarkan jurus andalan: tatapan penuh permohonan. "Tapi aku

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kebiasaan Unik

    Rosa tertawa kecil lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak energi. "Thanks, Mas. Tapi jangan lupa kasih kecapnya yang banyak, ya. Sama kerupuknya yang kriuk banget."Hasan mengangkat kedua alisnya. "Siap, Bu. Ada tambahan lagi? Es teh manis, mungkin?"Rosa mengangguk. "Iya, es teh manis juga, Mas. Tapi teh nya jangan terlalu manis. Dan kalau bisa, pakai jeruk nipis."Hasan pura-pura menghela napas panjang. "Wah, istriku ini ternyata pelanggan yang perfeksionis. Tapi oke, siap dilaksanakan."Rosa tersenyum lega sambil kembali menyandarkan tubuhnya ke bantal. Hasan pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan bubur ayam yang diminta istrinya. Selama di dapur, ia mencari cara sederhana untuk membuat bubur ayam dengan bahan yang tersedia. Meski tidak ahli, Hasan mencoba sebisa mungkin memenuhi keinginan Rosa.Sementara itu, Rosa kembali merenung di kamar. Ia tersenyum kecil, memikirkan betapa beruntungnya ia memiliki suami seperti Hasan yang begitu pengertian. Meski sederhana, perhatian Hasa

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Jadi Chef Dadakan

    Hasan menghela napas panjang, lalu menarik Rosa kembali ke dalam rumah. "Mungkin kamu masih terpengaruh mimpi buruk tadi, Sayang. Sudahlah, kita masuk. Besok pagi pasti semuanya terasa lebih baik."Meski Rosa mengangguk, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa ganjil yang melingkupinya. Ia melirik ke arah pintu sekali lagi sebelum akhirnya masuk, bertanya-tanya apakah malam ini benar-benar sudah selesai.***Rosa menatap langit-langit kamar setelah Hasan membawanya masuk. Rasa gelisah masih menghantui pikirannya. Mimpi buruk tadi terlalu nyata, seakan-akan ia benar-benar mengalami setiap detiknya. Namun, Hasan berusaha menenangkannya."Rosa, coba tarik napas dalam-dalam," ujar Hasan sambil mengusap lembut punggung istrinya. "Apa pun yang tadi kamu rasakan, itu cuma efek mimpi. Kita di sini aman, semuanya baik-baik saja."Rosa mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Hasan benar. Tapi rasa berat di dadanya masih ada. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, memandangi Hasan yang

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Seperti Sedang Diawasi

    Tok... Tok... Tok...Hasan membuka pintu kamar perlahan, napasnya tertahan. Apa pun yang ada di balik pintu ini, ia harus siap. Ternyata, saat pintu terbuka, berdiri seorang wanita yang ia kenal baik—Bi Sumi, asisten rumah tangga mereka. Wajah Bi Sumi pucat, matanya merah dan basah seperti habis menangis. Ia terlihat gelisah, menggenggam erat tas kecil di tangannya."Bi Sumi?" Hasan memecah keheningan. "Ada apa malam-malam begini?"Bi Sumi mengangguk pelan sambil menunduk. "Maaf, Pak Hasan, saya mengganggu malam-malam begini. Tapi saya baru saja mendapat kabar dari kampung... Ibu saya meninggal dunia." Suaranya bergetar, hampir terisak. "Saya harus pulang malam ini juga. Maaf kalau ini mendadak."Hasan terkejut. Wajahnya berubah dari tegang menjadi penuh simpati. "Astaghfirullah... Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Bi, saya turut berduka cita. Tentu, Bi, silakan pulang. Saya akan bantu pesan kendaraan."Mendengar suara Hasan yang penuh empati, Rosa yang penasaran dengan apa yang ter

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status