KUPINANG SAHABATKU MENJADI MADUKU
*"Saya terima nikah dan kawinnya Amira Azzahra binti almarhum Sumana dengan mas kawin tersebut, tunai ...." Lantang suara lelaki yang duduk di sebelahku mengucapkan ijab qabul dalam sekali tarikan napas. Meskipun sebelumnya sempat gagal, dan tadi adalah yang ketiga kalinya, lelaki itu mengulanginya. Akhirnya dia berhasil mengucapkan janji suci itu. "SAH!""SAH!""Alhamdulillah."Riuh ramai suara para saksi yang hadir di sana pun terdengar. Bagai sebuah mimpi, diri ini sudah sah menjadi istri dari Rendra Abidzar Kusuma, seorang presdir di sebuah perusahaan tempatku bekerja.Dia juga merupakan suami dari sahabatku sendiri, Aleesha Putri. Ya, saat ini aku telah sah menjadi adik madu sahabatku sendiri.Bukan. Ini sungguh bukanlah inginku menjadi seorang madu. Menjadi duri dalam pernikahan sahabatku. Sungguh sama sekali bukanlah keinginanku.Hanya saja takdir yang telah mengharuskanku menjadi madu dalam pernikahan mereka. Nasib buruk harus memaksaku menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Demi sebuah perasaan sungkan yang dilandasi dengan hutang budi. Aku berhutang budi pada sahabatku, dan inilah saatnya aku membalas budinya yang telah menyelamatkanku dan ibuku dari cengkeraman rentenir dan biaya operasi untuk penyakit ibuku. Dengan kikuk, aku mengulurkan tangan untuk menyalami punggung tangan Pak Rendra. Tanganku terasa dingin dan berkeringat. Panas dingin kurasakan di sekujur tubuh. Ini ... adalah pertama kalinya aku bersentuhan dengan lawan jenis dengan intens. Tentu saja aku merasa sangat gugup. Tampak raut wajah terpaksa darinya. Ia menatap sendu wajah ayu istrinya. Aleesha yang duduk di sebelahnya seakan memberi kode, jika dirinya akan baik-baik saja andai dia bersikap layaknya pengantin yang baru saja sah menjadi suami istri padaku. Aku benar-benar ada di situasi yang canggung. Kucium tangan lelaki yang memiliki alis tebal yang kini jadi suamiku dengan takzim. Lalu, setelahnya dia mencium keningku. Aku tak bisa menghindar dan hanya mengikuti alur cerita saja. Sejujurnya, aku takut melukai perasaan Aleesha. Bagaimanapun, dalam hatinya pasti ada rasa tak ikhlas saat suaminya mencium perempuan lain di depan mata kepalanya sendiri. Aku pun seorang perempuan. Aku juga mengerti akan perasaan itu.Para tamu yang hanya merupakan kerabat dekatku pun segera pulang setelah acara selesai. Hanya aku, Ibu, Aleesha dan Pak Rendra ang masih tetap berada di rumahku, tempat ijab qabul tadi terjadi.Aku dan Pak Rendra menikah secara resmi. Meskipun acara yang digelar hanya sekedar akad nikah biasa. Sederhana saja, yang penting sah. Tidak ada resepsi yang mewah seperti halnya pernikahan seorang Direktur Utama.Bahkan sejak awal aku pun tak mengharapkan adanya resepsi mewah. Tentu saja, karena menjadi istri kedua itu adalah sebuah mimpi buruk bagiku. Cap sebagai pelakor pastinya akan melekat padaku, selamanya. Ini adalah aib bagiku! Jadi, untuk menghindari skandal yang besar akhirnya kami sepakat agar pernikahan itu dilangsungkan secara tertutup. Bahkan, kedua orang tua Aleesha maupun Pak Rendra tidak tahu dengan pernikahan ini. Mereka tidak akan tahu, karena memang rencana ini tersembunyi dan terselubung hanya di antara kami juga ibuku. "Ingat kata-kata Ibu, Nak. Sekarang surgamu ada pada suamimu. Patuhlah dengan nasihat dan perintahnya. Jangan membantah." Ibu berpesan seraya berbisik saat aku hendak masuk ke mobil, kami harus pergi ke rumah yang ditempati Aleesha dan Pak Rendra. "Iya, Bu. Amira akan ingat pesan-pesan Ibu. Ibu jaga diri baik-baik. Amira juga akan sering mengunjungi Ibu."***Setelah acara selesai, aku langsung diboyong ke rumah mewah yang selama ini menjadi hunian mereka selama dua tahun pernikahan. Rumah mewah dengan dua lantai dengan cat berwarna putih bersih. Terlihat klasik dan elegan. Perabot di dalam rumah ini pun terkesan mewah, dan tentu saja mahal. Bahkan aku tak pernah bermimpi dapat menginjakkan kaki di rumah ini. Saat masuk ke dalam rumah. Aku dibuat semakin terkagum dengan desain interiornya. Perabotan di rumah ini pun semuanya terlihat berkelas. Aleesha memang tak diragukan lagi soal seleranya. Sejak dulu dia memang terkenal seperti itu. High class. Sesuai dengan status sosialnya yang merupakan putri tunggal seorang pengusaha kelas atas. "Ayo, Ra. Aku antar ke kamar kamu ke atas." Aleesha menggamit tanganku. Kami melangkah menaiki tangga menuju lantai kedua. "Di sini, ada tiga pembantu yang nantinya akan membantu kita. Cuma untuk bersih-bersih sih. Soalnya aku lebih suka masak sendiri," celotehnya mengiringi langkah kami. Aku hanya menganggukan kepala sekilas, serta mengulas senyum.Aleesha. Gadis yang ceriwis juga seorang yang murah hati. Dia selalu ceria dan ramah kepada siapapun. Tak heran jika dia mempunyai banyak teman. Dari berbagai kalangan. Ia bahkan tak malu berteman denganku. Si anak ibu kantin di tempat kami sekolah dulu. Aku berhutang banyak padanya.Sampailah kami di tempat yang dituju. Ia mengeluarkan anak kunci dari dalam tasnya. Tas branded seharga ratusan juta itu dirogohnya. Aku merasa kecil jika bersanding dengan Aleesha. Bagaikan langit dan bumi perbedaan di antara kami. Sangat kontras.Aleesha punya segalanya bahkan sejak dirinya lahir. Sedangkan aku, hanya gadis biasa, meski dulu ayahku pernah memiliki bisnisnya sendiri, namun sejak beliau bangkrut dan jatuh sakit, aku pun tak dapat berdiam diri. Aku berjuang keras untuk menggantikan peran Ayah sebagai tulang punggung keluarga.Sejak dulu aku selalu terbiasa menabung jika ingin memiliki sesuatu pun aku harus berusaha keras menabung untuk mendapatkannya. Sedangkan Aleesha, mungkin hanya dengan menjentikkan jari semua keinginannya akan terwujud. Ah, aku sempat iri pada sahabatku itu. Namun, aku sadar, rasa iri dan dengki itu adalah penyakit hati yang sangat kotor. Hingga aku pun membuang jauh-jauh rasa itu. Ibuku hanya seorang janda yang membanting tulang sendirian sejak Ayah tiada, dan meninggalkan banyak hutang untuk kami lunasi. Aku pun serta merta ikut dalam menanggung segalanya. Kini, aku hanya memiliki ibu, dan beliau adalah satu-satunya alasanku bertahan dalam kehidupan yang penuh liku ini. Aku sempat ikut pindah ke kampung ibuku, dan lama tidak berkomunikasi dengan Aleesha. "Ayo, masuk," titah Aleesha. Suaranya berhasil membuyarkan lamunanku akan masa lalu."Ini kamar tidurmu, Ay. Kuharap kamu betah ya tinggal di sini." Aleesha menepuk sisi ranjang di sebelahnya seraya mengisyaratkan untuk duduk.Aku pun beranjak menghampirinya. Menjatuhkan bobot tubuh di sampingnya. Menelisik ruangan yang cukup besar dengan bermacam perabotan yang serasi. "Istirahatlah, Ra. Persiapan buat nanti malam!" candanya sembari menaik-turunkan alisnya."Apaan sih." Aku tersipu. Segera kututupi rona merah di kedua pipiku."Nggak apa-apa sih. Lagian kamu juga istri Mas Rendra. Aku sudah ikhlas, Ra.""Tapi, Sha. Kayaknya aku belum siap deh.""Pelan-pelan. Kamu pasti bisa mengambil hati Mas Rendra," ucapnya meyakinkanku. Aku tersenyum simpul."Bagaimanapun, akulah yang memintamu untuk menjadi maduku," tambahnya lagi."I--iya, Sha. Maafkan aku. Aku akan berusaha membuat Pak Rendra nyaman denganku.""Nah gitu dong! Nanti malam sampai minggu depan Mas Rendra akan tidur di kamarmu, ya," selorohnya lagi, seolah tanpa beban. Senyumnya tersungging sangat indah. Namun, aku tahu sorot matanya penuh luka. Aku sudah bersahabat cukup lama dengannya, tentu aku tahu dan mengerti sedikit banyak tentang dirinya. Aku harus segera menyelesaikan tugasku di sini. Dan secepat mungkin pergi dari kehidupan rumah tangga mereka yang bahagia itu. Tanpa aku. Tuhan, aku tahu tiada satu orang pun yang akan rela dan ikhlas sepenuhnya saat dirinya dimadu. Berbagi rasa dan raga yang sama dengan perempuan lain. Itu berat. Sungguh berat. Aku tak dapat membayangkan jika berada di posisi Aleesha. Aku tahu, dia kalut dan tertekan dengan keadaan sehingga ide menjadikanku sebagai madu pun tercetus begitu saja. Namun, dengan sebuah syarat. ***KUPINANG SAHABATKU MENJADI MADUKU (2)"Kapan kamu hamil, Aleesha? Harus berapa lama lagi kami menunggu, huh!" ketus Bu Ayumi -- mertua Aleesha -- dengan tatapan meremehkan.Suasana makan malam yang santai dan cozy, tiba-tiba berubah menjadi tegang. Aleesha mengeratkan sendok dan garpu yang tengah digenggamnya. Menahan gejolak amarah yang mulai menggelayuti hatinya. Siap meledak kapan saja."Kami baru dua tahun menikah, Ma. Dan itu belum terlalu lama. Kami masih punya banyak waktu untuk memiliki anak," ujar Aleesha dingin. "Benar itu, Ma. Kenapa harus bahas hal itu sekarang. Apa Mama begitu nggak sabar untuk menimang cucu?" tanya Rendra, sedikit tak suka jika istrinya dipojokkan saat makan malam keluarga ini. Apalagi menyinggung masalah keturunan yang memang tak kunjung hadir lagi di antara mereka. Aleesha memang pernah hamil, tapi, mengalami sebuah kecelakaan. Dan pasca keguguran itu, ada suatu hal yang mereka tutupi dari kedua keluarga mereka tentang Aleesha yang akan sulit untuk
Rendra tercekat. Pria itu langsung mengurai pelukannya. Mencipta jarak di antara keduanya. Sudah sering bagi Aleesha untuk menyuruh Rendra menikah lagi, dan mendapatkan keturunan dari wanita lain. Namun, Rendra tak pernah menyetujui ide gila dari istrinya.Ia tidak pernah terpikir untuk mendua sedikit pun. Mengkhianati rumah tangganya. Hal itu tidak ada dalam prinsipnya untuk tidak setia."Jangan bodoh, Sha. Aku nggak akan melakukan itu, sampai mati pun," tukas Rendra. Aleesha menundukkan kepalanya. Menyusut air mata yang mulai mengering. Ia benar-benar tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk suaminya agar mau menikah lagi."Mas, ini semua demi kebaikan kita. Mas tahu sendiri, kan kalau aku tak mungkin bisa hamil lagi. Kemungkinannya 0,1 persen. Hanya keajaiban yang dapat mewujudkan hal itu. Tetapi, aku nggak percaya akan keajaiban itu." Penuh emosi, Aleesha menumpahkan semua keluh kesahnya. Malam pekat yang dingin menjadi saksi bisu perdebatan mereka di dalam mobil. Angin
Pagi hari itu, Aleesha sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Rendra, suaminya. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk meramu sendiri apa yang ia dan suaminya ingin makan di pagi hari. Dan sudah berlangsung seperti itu sejak mereka menikah dua tahun silam.Walau begitu, untuk pekerjaan rumah yang lainnya ia memiliki tiga asisten rumah tangga yang sigap membantunya. Maklum, rumah tempat mereka tinggal cukup luas. Hanya saja, suasana rumah terasa sepi dan kurang hidup tanpa adanya tangisan dan celotehan bayi. "Huft!" Aleesha menghela nafasnya berat. Ia mengingat lagi perdebatan semalam yang membuatnya kembali mengingat luka lama.Luka yang sekian lama ia coba lupakan dari ingatannya. Namun, tak pernah berhasil. Ingatan itu akan terpatri kuat selamanya di dalam benaknya. Meski mencoba sekuat hati pun, aku tetap tak bisa menyingkirkan kenangan perih itu dari dalam ingatan. Ingatan saat rahimnya pernah dihuni oleh buah cintanya dengan Rendra. Namun, hanya se
"Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa wajahnya seperti familier untukku?" Rendra mengedikkan bahunya dan menyerahkan tugas untuk anak buahnya mengorek lebih dalam tentang wanita ular itu. Sejak saat itu, Rendra memasang CCTV di semua sudut ruangan. Hal itu bertujuan untuk mengawasi para pekerjanya. Agar hal serupa tidak pernah terjadi lagi. Selang beberapa minggu, terungkap sudah identitas tentang gadis itu. Dia adalah kakak dari wanita yang pernah dikencani Rendra semasa sekolah dulu. Rendra menghancurkan masa depannya. Gadis itu frustrasi dan memilih bunuh diri setelah sebelumnya Rendra menolak untuk bertanggung jawab, dan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. Rendra menutupi informasi sepenting itu dari Aleesha. Dia tidak ingin masa lalu kelamnya terkuak. Tidak penting bagi Aleesha tahu masa lalu Rendra. Hidup mereka adalah untuk masa depan, begitu pikir Rendra dalam hatinya. Aleesha sudah yakin jika dirinya sudah berubah, dan Rendra tak ingin menghancurkan kepercayaan Al
"Amira." Aleesha menggumam. Lantas ia menarik lengan seorang wanita yang berjalan tepat tiga langkah di depannya. Ia merasa seperti mengenal wanita itu."Hei!" sapa Aleesha setelah wanita itu menoleh ke arahnya."Kamu … Aleesha?" tanya Amira kaget. Ia langsung menoleh saat lengannya ditarik dari belakang. "Bener, ternyata kamu, Amira." Aleesha langsung memeluk Amira. "Aku kangen tau!" ungkapnya."Sama! Lama ya kita nggak ketemu, Sha." Amira melerai pelukannya dan menatap rindu sahabatnya semasa di sekolah menengah atas dulu. "Iya, nih! Kayaknya sejak kita lulus SMA, ya. BTW, dengar-dengar kamu balik ke kampung Ibumu, ya waktu itu?" tanya Aleesha. "Ya, begitulah. Eh, kenapa kamu ada di sini? Kamu … kerja di sini juga?" tanya balik Aya. "Iya, aku mau ke lantai sepuluh. Kamu mau kemana?" jawab dan tanya Aleesha lagi."Oh, aku mau ke lantai tujuh, Sha. Maaf, tapi Aku harus cepat-cepat nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya." Aya tersadar jika waktunya tak banyak. Ia segera berlari kec
Mereka pun berjalan menuju ke kantin kantor yang letaknya di lantai dasar. Aleesha begitu menikmati momen ini. Ia pun tak henti mengulas senyum. Tidak salah jika tadi pagi ia sampai memaksa untuk ikut ke kantor suaminya. Suaminya pun akhirnya mengabulkan keinginannya. Aleesha berdalih jika dirinya merasa bosan di rumah terus. Dan satu lagi, ia berhasil bertemu dengan Amira, gadis sederhana dan manis yang sangat ia kagumi sejak dulu. Amira adalah gadis yang tulus, ia sangat bersyukur mengenal Amira dalam hidupnya. Aleesha bukanlah orang yang sulit bergaul. Dia begitu supel, ramah, dan kaya raya. Siapa yang tidak mau untuk menjadi temannya. Namun, sebanyak apapun teman Aleesha, tidak ada yang dapat menggantikan seorang sahabat seperti Amira.Maka dari itu, Aleesha sempat merasa kehilangan Amira saat mereka putus kontak dulu. Amira menghilang dari pusaran hidupnya. Dan kini, mereka bertemu lagi. Ada kebahagiaan tersendiri yang meluap-luap dalam diri Aleesha."Sha, kamu nggak makan yang
'Aku yakin, Mas Rendra nggak akan semudah itu menerima permintaan Mama,' gumam Aleesha."Kenapa diam, ha? Aleesha, harusnya kamu sadar diri, kamu 'kan yang nggak bisa punya anak? Harusnya kamu lepasin anak saya, Rendra. Atau kamu biarkan saja agar Rendra menikahi Visca!" sentak Ibu mertuanya dengan wajah kakunya. Andai Aleesha tidak menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua, ingin rasanya Aleesha membalas perkataan mertuanya dengan umpatan. Namun, Aleesha masih menahan diri, karena yang bicara dengannya saat ini adalah mertuanya. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan suami Aleesha. Wanita yang tetap menjadi surga bagi Rendra. Aleesha tidak memungkiri hal itu. "Maaf, Ma! Aku nggak akan percaya begitu saja, sebelum Mas Rendra yang menceritakannya sendiri padaku. Kalau begitu, saya pamit, Ma." Aleesha berujar dengan nada yang dibuat pelan. Selembut mungkin agar gejolak amarahnya tidak semakin meletup-letup. Ia tak mau membuat mertuanya semakin marah. "Permisi!" p
"Ma, kenapa Mama begitu membenciku?" Aleesha bertanya dengan suara bergetar menahan tangis."Kenapa? Karena kamu anak dari saingan bisnis suamiku! Puas!?" hardiknya keras. "Ma, itu tidak adil! Bukankah setiap orang berhak untuk jatuh cinta, dan Mas Rendra justru jatuh cinta padaku. Apa aku harus menyalahkan takdir?" Aleesha lagi-lagi menguatkan hatinya untuk tidak terlihat menyedihkan.Pintu terbuka, dan muncul kedua orang tua Aleesha. Mereka mengulas senyum saat melihat sang besan sedang menunggui putri mereka."Siang, Bu Besan," sapa Bu Rita, Mama Aleesha sambil tak luput tersenyum.Bu Ayumi hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, dan terkesan enggan. "Saya permisi dulu, masih ada urusan di butik." Bu Ayumi segera berpamitan setelah berbasa-basi sekitar sepuluh menit."Kamu nggak apa-apa, Sha? Mertuamu ngomong apa tadi, kelihatannya serius banget," tanya Bu Rita begitu besannya keluar dari ruangan."Nggak ngomong apa-apa, kok, Ma. Cuma nasehatin aja supaya Aleesha lebih ber